- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Setelah hampir 10 tahun hiatus, akhirnya ane bikin thread lagi di kaskus. Agak canggung juga, karena sudah 1 dekade cuman sesekali berkunjung. Cuman kali ini ane mau bikin cerita, tentang pengalaman seorang kawan yang menemukan hal ganjil ketika ada project di salah satu desa di pedalaman Kalimantan.
Jadi ceritanya bakal ane jabarin satu-satu di bawah
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 18-07-2021 06:49
adolfsbasthian dan 295 lainnya memberi reputasi
288
298K
Kutip
5.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
benbela
#267
Quote:
Original Posted By benbela►
Malam berganti pagi. Suara burung dan monyet saling bersahutan dari arah hutan untuk membangunkan para penghuni desa.
Aku dan istri telah siap dengan pakaian putih hitam, seperti pakaian mahasiswa calon guru saat PPL di sekolah. Hari ini pak Kasno akan mengenalkan kami pada guru lainnys dan juga murid-murid. Dan kami telah melupakan perihal perilaku aneh tambi Nyai tadi malam. Lebih tepatnya, pura-pura melupakan.
Matahari belum tinggi, dan embun berlapis kabut membasahi dedaunan dan rerumputan.
Kami bertiga menuju sekolah yang hanya beberapa langkah dari rumah dinas kami.
Aku mengedarkan pandang menatap bangunan sekolah ini. Sebagian kelas tampak kosong dan terkunci. Sarang laba-laba dan debu menghiasi tiap sudutnya. Plafon banyak yang terkelupas dan menjuntai di langit-langit. Bekas rembesan hujan bagaikan peta benua yang tersebar dimana-mana. Dindingnya juga banyak yang berlubang termakan usia.
Di ruang guru, ternyata sudah ada pak Ancah dan seorang lelaki paruh baya tengah mengobrol. Kopi panas yang masih mengepul tersaji di meja di depan mereka. Masing-masing jari tangan mereka mengapit sebatang rokok, sedangkan piring kaca kecil mereja jadikan asbak. Dan sesekali mereka tertawa.
Melihat kami bertiga datang, mereka lantas berhenti mengobrol.
Pak Kasno kemudian segera memperkenalkan kami pada mereka berdua. Mengetahui ada guru baru, wajah pak Ancah langsung berbinar bahagia.
Aku dan istri lalu menyalami mereka berdua dan menyebut nama masing-masing.
"Bimo Santoso pak. Guru Olahraga"
"Sriatunisa pak. Guru Bahasa Inggris."
"Mantap, mantap. Semoga betah. Sekolah kita memang butuh guru baru." ujar pak Ancah sambil menyambut tangan kami. Senyum di bibirnya begitu lebar, memamerkan barisan giginya yang putih.
Sedangkan lelaki di sampingnya, namanya pak Sahen. Dia bertugas sehari-hari untuk merawat serta menjaga sekolah ini. Ternyata, pak Sahen adalah laki-laki yang kami temui kemarin saat pertama kali tiba di sini.
Pak Sahen meminta maaf atas prilakunya kemarin, tapi kami sudah melupakan dan menganggap hal biasa.
Ada satu orang guru lagi yang belum kami jumpai, yaitu pak Tingen. Jadwalnya untuk mengajar tiap hari jumat, artinya esok hari.
Sementara itu, anak-anak tanpa sepatu dan berseragam putih merah kumal sudah berdatangan ke sekolah. Baju-baju mereka sudah menguning dan tidak bersetrika.
Diantara mereka, hanya beberapa orang saja yang memakai tas. Sedangkan lainnya menggunakan kantong kresek untuk wadah menyimpan buku, pensil dan polpen.
Anak-anak polos itu berlarian di halaman, saling kejar.
Sebagian lagi asyik bermain dengan kelompoknya.
Tepat pukul tujuh, pak Kasno meminta pak Sahen untuk memukul lonceng panjang.
...teng..teng..teng...
Murid yang hanya 7 orang itu segera berkumpul di depan ruang guru. Mereka berbaris berjejer. Anak-anak itu masih bercanda dan tertawa. Beberapa masih saling dorong dan bertengkar.
Keributan anak-anak langsung hilang ketika pak Kasno berdiri di depan.
"Anak anak...hari ini kita ada guru baru."
"Horeee....!!!" Anak-anak yang masih polos itu terlihat gembira. Tangan mereka menari-nari udara, ada juga yang melompat-lompat kegirangan.
Melihat tingkah anak-anak tersebut, aku dan istri langsung tersenyum simpul. Di tengah pelosok belantara seperti ini, ada anak-anak negeri yang berjuang meraih cita-cita dengan kondisi serba terbatas.
Pak Kasno meminta kami maju kedepan untuk memperkenalkan diri. Anak-anak menyambut antusias saat kami menyebut nama masing-masing. Istriku disebut ibu cantik oleh anak-anak tersebut. Istriku tersipu malu karena godaan anak-anak itu.
Bocah-bocah itu segera memberondongi kami dengan berbagai pertanyaan lugu khas anak-anak.
Usai perkenalan, anak-anak kemudian bubar menuju kelas masing-masing.
Pak Kasno langsung meminta kami untuk mengajar. Istriku mengajar kelas 3, sedangkan aku mengajar kelas 5.
"Udah gak apa-apa. Di sini di desa, gak kayak di kota. Yang penting anak-anak ada gurunya. Nanti kubuatkan jadwal ngajar yang baru."ucap pak Kasno.
Beberapa menit berlalu, kini aku sudah di lapangan sekolah. Tanpa baju olahraga, anak-anak segera kubariskan berjejer. Mereka adalah 2 perempuan dan 2 laki-laki.
Rencananya aku akan mengajak anak-anak melakukan beberapa permainan tanpa alat.
Saat memperkenalkan diri masing-masing, ada satu kesamaan pada anak-anak itu. Di kaki kanan mereka melingkar gelang hitam dari jalinan akar kayu, dirajut
rapi dengan benang hitam yang seperti rambut.
"Itu gelang apa? " tanyaku pada salah seorang anak laki-laki yang bernama Diwak.
"Ini basalpak. Jimat dari akar ulin. Supaya kami gak diganggu roh jahat. Dulu...anak-anak di kampung ini banyak yang mati. Soalnya ada..."
"Diwak, jangan diomongin. Nanti dia dengar " seorang gadis kecil di sebelahnya setengah berbisik.
Diwak terdiam, lalu menundukan kepala seolah menyadari kesalahanya. Mukanya merengut dan matanya berkaca-kaca. Cengeng juga bocah ini, batinku.
Aku segera mendekat dan memegang pundaknya dalam posisi jongkok.
"Sudah gak apa-apa." ucapku sambil mengusap kepala Diwak.
"Jimatnya dapat dari mana? "
"Dikasih ibu. Katanya dikasih pak Tingen."
"Iya, saya juga dapat." Jawab bocah lelaki lainnya.
"Pak.." gadis kecil tadi bicara terbata. Ia merapatkan tubuhnya dan berlindung di belakangku. Anak-anak yang lain juga segera mengikuti.
"Itu, disana" lanjut gadis kecil tadi. Ia menunjuk arah dengan dongakan kepala.
Aku berdiri lalu mengikuti arah pandangannya. Tapi tidak ada siapa-siapa di sudut lapangan.
" Dimana?"
" Itu di sana pak. Di atas pohon."
Setelah mencari kesana kemari, akhirnya pandanganku fokus pada salah satu pohon di dekat perpus dan wc siswa.
Benar juga, ada wajah nenek-nenek muncul di antara rimbun dedaunan. Wajahnya hanya cengengesan. Karena jarak yang cukup jauh, aku tidak bisa memastikan wajah siapa itu.
Apakah tambi Nyai? Tapi sepertinya tidak mungkin. Dia berjalan saja harus ditopang tongkat, apalagi memanjat pohon.
Nenek itu hanya diam mengawasi, lalu kembali terkekeh tanpa suara.
Tapi, dimana badannya? Apa yang dilakukannya di atas pohon?
Setelah beberapa saat, wajah itu kemudian masuk kedalam dedaunan. Ranting pohon tempatnya bersembunyi tampak bergoyang-goyang.
"Benarkan pak. Dia mendengar omongan kita." ujar gadis kecil tadi ketakutan.
Aku memandang wajah mereka. Mereka menunduk dengan tubuh gemetaran. Mereka hanya diam tanpa suara sambil terus merapatkan badan di kakiku.
Guna menghilangkan rasa penasaran, aku melangkahkan kaki menuju pohon itu. Anak-anak kusuruh diam menunggu.
Namun, baru beberapa langkah,...
....arrrggghhh....
Terdengar suara jeritan dari dalam kelas istriku. Dua orang anak berhamburan dari kelas sambil menangis ketakutan. Mereka lari terbiri ke ruang guru. Tidak lama, istriku menyusul mereka di belakang.
Aku segera berlari menghampiri istriku. Empat orang anak yang tadi bersamaku juga terlari terbirit-birit ke ruang guru.
"Ada apa? Dimana Mayang? "tanya Pak Kasno.
Belum sempat istriku menjawab, terdengar suara cekikikan dari ruang kelas.
Suara cekikikan itu melengking, terasa menyayat hati yang mendengar.
"Pak Sahen, jaga anak-anak dan bu Sri. Yang lain ikut aku !"
Kami bertiga bergegas menuju ruang kelas tiga. Begitu sampai pintu, suara cekikikan tadi langsung hilang. Murid yang bernama Mayang juga tidak terlihat.
Beberapa murid laki-laki juga ternyata mengikuti kami. Namanya anak kecil, pasti susah diatur. Pak Sahen terlihat kewalahan mengejar mereka, meninggalkan istriku dan murid lainnya di ruang guru.
Masih di depan pintu, kami mengedarkan pandangan ke dalam kelas, namun tidak ada siapa-siapa di situ. Hanya ada tumpukan kursi dan meja yang berhamburan.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara cekikikan.
"Di situ!" tunjuk pak Ancah.
Di salah satu sudut ruangan, ada sepasang kaki yang menjuntai dari atas plafon. Kaki itu bergoyang-goyang dengan tenang bagaikan ranting yang ditiup angin.
...bersambung...
Bab XII : Bocah Bergelang Kaki Hitam
Malam berganti pagi. Suara burung dan monyet saling bersahutan dari arah hutan untuk membangunkan para penghuni desa.
Aku dan istri telah siap dengan pakaian putih hitam, seperti pakaian mahasiswa calon guru saat PPL di sekolah. Hari ini pak Kasno akan mengenalkan kami pada guru lainnys dan juga murid-murid. Dan kami telah melupakan perihal perilaku aneh tambi Nyai tadi malam. Lebih tepatnya, pura-pura melupakan.
Matahari belum tinggi, dan embun berlapis kabut membasahi dedaunan dan rerumputan.
Kami bertiga menuju sekolah yang hanya beberapa langkah dari rumah dinas kami.
Aku mengedarkan pandang menatap bangunan sekolah ini. Sebagian kelas tampak kosong dan terkunci. Sarang laba-laba dan debu menghiasi tiap sudutnya. Plafon banyak yang terkelupas dan menjuntai di langit-langit. Bekas rembesan hujan bagaikan peta benua yang tersebar dimana-mana. Dindingnya juga banyak yang berlubang termakan usia.
Di ruang guru, ternyata sudah ada pak Ancah dan seorang lelaki paruh baya tengah mengobrol. Kopi panas yang masih mengepul tersaji di meja di depan mereka. Masing-masing jari tangan mereka mengapit sebatang rokok, sedangkan piring kaca kecil mereja jadikan asbak. Dan sesekali mereka tertawa.
Melihat kami bertiga datang, mereka lantas berhenti mengobrol.
Pak Kasno kemudian segera memperkenalkan kami pada mereka berdua. Mengetahui ada guru baru, wajah pak Ancah langsung berbinar bahagia.
Aku dan istri lalu menyalami mereka berdua dan menyebut nama masing-masing.
"Bimo Santoso pak. Guru Olahraga"
"Sriatunisa pak. Guru Bahasa Inggris."
"Mantap, mantap. Semoga betah. Sekolah kita memang butuh guru baru." ujar pak Ancah sambil menyambut tangan kami. Senyum di bibirnya begitu lebar, memamerkan barisan giginya yang putih.
Sedangkan lelaki di sampingnya, namanya pak Sahen. Dia bertugas sehari-hari untuk merawat serta menjaga sekolah ini. Ternyata, pak Sahen adalah laki-laki yang kami temui kemarin saat pertama kali tiba di sini.
Pak Sahen meminta maaf atas prilakunya kemarin, tapi kami sudah melupakan dan menganggap hal biasa.
Ada satu orang guru lagi yang belum kami jumpai, yaitu pak Tingen. Jadwalnya untuk mengajar tiap hari jumat, artinya esok hari.
Sementara itu, anak-anak tanpa sepatu dan berseragam putih merah kumal sudah berdatangan ke sekolah. Baju-baju mereka sudah menguning dan tidak bersetrika.
Diantara mereka, hanya beberapa orang saja yang memakai tas. Sedangkan lainnya menggunakan kantong kresek untuk wadah menyimpan buku, pensil dan polpen.
Anak-anak polos itu berlarian di halaman, saling kejar.
Sebagian lagi asyik bermain dengan kelompoknya.
Tepat pukul tujuh, pak Kasno meminta pak Sahen untuk memukul lonceng panjang.
...teng..teng..teng...
Murid yang hanya 7 orang itu segera berkumpul di depan ruang guru. Mereka berbaris berjejer. Anak-anak itu masih bercanda dan tertawa. Beberapa masih saling dorong dan bertengkar.
Keributan anak-anak langsung hilang ketika pak Kasno berdiri di depan.
"Anak anak...hari ini kita ada guru baru."
"Horeee....!!!" Anak-anak yang masih polos itu terlihat gembira. Tangan mereka menari-nari udara, ada juga yang melompat-lompat kegirangan.
Melihat tingkah anak-anak tersebut, aku dan istri langsung tersenyum simpul. Di tengah pelosok belantara seperti ini, ada anak-anak negeri yang berjuang meraih cita-cita dengan kondisi serba terbatas.
Pak Kasno meminta kami maju kedepan untuk memperkenalkan diri. Anak-anak menyambut antusias saat kami menyebut nama masing-masing. Istriku disebut ibu cantik oleh anak-anak tersebut. Istriku tersipu malu karena godaan anak-anak itu.
Bocah-bocah itu segera memberondongi kami dengan berbagai pertanyaan lugu khas anak-anak.
Usai perkenalan, anak-anak kemudian bubar menuju kelas masing-masing.
Pak Kasno langsung meminta kami untuk mengajar. Istriku mengajar kelas 3, sedangkan aku mengajar kelas 5.
"Udah gak apa-apa. Di sini di desa, gak kayak di kota. Yang penting anak-anak ada gurunya. Nanti kubuatkan jadwal ngajar yang baru."ucap pak Kasno.
Beberapa menit berlalu, kini aku sudah di lapangan sekolah. Tanpa baju olahraga, anak-anak segera kubariskan berjejer. Mereka adalah 2 perempuan dan 2 laki-laki.
Rencananya aku akan mengajak anak-anak melakukan beberapa permainan tanpa alat.
Saat memperkenalkan diri masing-masing, ada satu kesamaan pada anak-anak itu. Di kaki kanan mereka melingkar gelang hitam dari jalinan akar kayu, dirajut
rapi dengan benang hitam yang seperti rambut.
"Itu gelang apa? " tanyaku pada salah seorang anak laki-laki yang bernama Diwak.
"Ini basalpak. Jimat dari akar ulin. Supaya kami gak diganggu roh jahat. Dulu...anak-anak di kampung ini banyak yang mati. Soalnya ada..."
"Diwak, jangan diomongin. Nanti dia dengar " seorang gadis kecil di sebelahnya setengah berbisik.
Diwak terdiam, lalu menundukan kepala seolah menyadari kesalahanya. Mukanya merengut dan matanya berkaca-kaca. Cengeng juga bocah ini, batinku.
Aku segera mendekat dan memegang pundaknya dalam posisi jongkok.
"Sudah gak apa-apa." ucapku sambil mengusap kepala Diwak.
"Jimatnya dapat dari mana? "
"Dikasih ibu. Katanya dikasih pak Tingen."
"Iya, saya juga dapat." Jawab bocah lelaki lainnya.
"Pak.." gadis kecil tadi bicara terbata. Ia merapatkan tubuhnya dan berlindung di belakangku. Anak-anak yang lain juga segera mengikuti.
"Itu, disana" lanjut gadis kecil tadi. Ia menunjuk arah dengan dongakan kepala.
Aku berdiri lalu mengikuti arah pandangannya. Tapi tidak ada siapa-siapa di sudut lapangan.
" Dimana?"
" Itu di sana pak. Di atas pohon."
Setelah mencari kesana kemari, akhirnya pandanganku fokus pada salah satu pohon di dekat perpus dan wc siswa.
Benar juga, ada wajah nenek-nenek muncul di antara rimbun dedaunan. Wajahnya hanya cengengesan. Karena jarak yang cukup jauh, aku tidak bisa memastikan wajah siapa itu.
Apakah tambi Nyai? Tapi sepertinya tidak mungkin. Dia berjalan saja harus ditopang tongkat, apalagi memanjat pohon.
Nenek itu hanya diam mengawasi, lalu kembali terkekeh tanpa suara.
Tapi, dimana badannya? Apa yang dilakukannya di atas pohon?
Setelah beberapa saat, wajah itu kemudian masuk kedalam dedaunan. Ranting pohon tempatnya bersembunyi tampak bergoyang-goyang.
"Benarkan pak. Dia mendengar omongan kita." ujar gadis kecil tadi ketakutan.
Aku memandang wajah mereka. Mereka menunduk dengan tubuh gemetaran. Mereka hanya diam tanpa suara sambil terus merapatkan badan di kakiku.
Guna menghilangkan rasa penasaran, aku melangkahkan kaki menuju pohon itu. Anak-anak kusuruh diam menunggu.
Namun, baru beberapa langkah,...
....arrrggghhh....
Terdengar suara jeritan dari dalam kelas istriku. Dua orang anak berhamburan dari kelas sambil menangis ketakutan. Mereka lari terbiri ke ruang guru. Tidak lama, istriku menyusul mereka di belakang.
Aku segera berlari menghampiri istriku. Empat orang anak yang tadi bersamaku juga terlari terbirit-birit ke ruang guru.
"Ada apa? Dimana Mayang? "tanya Pak Kasno.
Belum sempat istriku menjawab, terdengar suara cekikikan dari ruang kelas.
Suara cekikikan itu melengking, terasa menyayat hati yang mendengar.
"Pak Sahen, jaga anak-anak dan bu Sri. Yang lain ikut aku !"
Kami bertiga bergegas menuju ruang kelas tiga. Begitu sampai pintu, suara cekikikan tadi langsung hilang. Murid yang bernama Mayang juga tidak terlihat.
Beberapa murid laki-laki juga ternyata mengikuti kami. Namanya anak kecil, pasti susah diatur. Pak Sahen terlihat kewalahan mengejar mereka, meninggalkan istriku dan murid lainnya di ruang guru.
Masih di depan pintu, kami mengedarkan pandangan ke dalam kelas, namun tidak ada siapa-siapa di situ. Hanya ada tumpukan kursi dan meja yang berhamburan.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara cekikikan.
"Di situ!" tunjuk pak Ancah.
Di salah satu sudut ruangan, ada sepasang kaki yang menjuntai dari atas plafon. Kaki itu bergoyang-goyang dengan tenang bagaikan ranting yang ditiup angin.
...bersambung...
Diubah oleh benbela 18-03-2021 14:32
itkgid dan 100 lainnya memberi reputasi
99
Kutip
Balas
Tutup