- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Setelah hampir 10 tahun hiatus, akhirnya ane bikin thread lagi di kaskus. Agak canggung juga, karena sudah 1 dekade cuman sesekali berkunjung. Cuman kali ini ane mau bikin cerita, tentang pengalaman seorang kawan yang menemukan hal ganjil ketika ada project di salah satu desa di pedalaman Kalimantan.
Jadi ceritanya bakal ane jabarin satu-satu di bawah
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 18-07-2021 06:49
adolfsbasthian dan 295 lainnya memberi reputasi
288
298K
Kutip
5.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
benbela
#204
Quote:
Original Posted By benbelaāŗ
Wadah bambu itu terus menyala, api menari-nari tertiup angin lalu perlahan padam.
"Monggo mas, mbak, diminum dulu."
Pak Kasno tiba-tiba sudah ada di ruang tamu, membawa tiga gelas teh hangat dan roti kering dalam nampan. Di cuaca seterik ini, rasanya paling pas kalau minus es. Tapi apa boleh buat, rejeki tidak boleh ditolak.
Sembari menikmati hidangan, aku menyerahkan amplop coklat dari Dinas Pendidikan ke pak Kasno. Pak Kasno membaca isi surat itu sambil mengangguk-angguk.
"Berarti mas Bimo yang lulus tes CPNS tahun kemaren ya. Untuk rumah dinas, bisa pilih yang bagian tengah. Ada kosong dua. Yang paling ujung udah diisi Pak Tingen, guru Agama Hindu Kaharingan."
"Beliau datang satu minggu sekali, sesuai jadwal ngajar. Soalnya beliau juga ngajar beberapa sekolah di kecamatan ini. Tapi, kadang beliau nginap berhari-hari untuk berburu. Kalo beruntung, saya bisa dapat daging kijang gratis. He..he..he "
Aku dan istri memperhatikan penjelasan pak Kasno, sambil menikmati teh kami yang masih panas.
"Di sebelah pak Tingen, ada pak Ancah. Wali kelas lima. Beliau biasanya datang pagi, pulang sore. Di sini cuman istirahat siang. Rumah beliau di kampung sebelah, di hilir desa ini. Biasanya bawa kelotok sendiri. Sesekali nginap, kalo sekolah ada acara atau keperluan lainnya."
Aku lalu mengambil asbak dari samping pak Kasno, lantas menyalakan rokok yang tersisa tiga batang.
"Amit nggih pak. Kalau ibu sama anak-anak dimana ya? Kok kayaknya sepi?" tanya istriku.
Pak Kasno terdiam sejenak, menyalakan rokok kretek miliknya, lalu lanjut bercerita.
"Dulu pernah ikut, sama anak-anak juga. Tapi cuman bertahan 2 bulan. Katanya gak betah. Maklumlah mbak, di sini terlalu sepi. Yaudah balik lagi ke rumah kami di kota Muara Teweh. Lagian di sana ada mertua. Saya biasanya ke kota satu bulan atau 2 minggu sekali."
" Biasanya kalau saya pulang ke kota, bisa sampai 1 minggu. Di sini muridnya sangat sedikit. Hanya ada dua kelas, yaitu kelas tiga sama kelas lima. Kalau saya pulang, sekolah saya titipkan sama pak Ancah atau pak Tingen." kata pak Kasno sambil meminun tehnya. Setelah gelas tehnya sudah di nampan, pak Kasno kembali bercerita.
" Kelas lima cuman ada 4 murid. Kelas tiga cuman 3 murid. Sedangkan kelas lainnya kosong.
Itu juga bukan berasal dari desa ini. Tapi murid dari kampung seberang, juga desa di pinggiran sungai lainnya. Mereka kemari pake kelotok kecil. "ujar pak Kasno sambil menghisap rokoknya.
"Lima tahun lalu, waktu saya pertama kali diangkat jadi kepala sekolah, cuman ada satu kelas. Ya yang sekarang pada duduk di kelas lima."
"Sebenarnya, ada kampung lagi di balik bukit. Tapi mereka menolak sekolah di desa ini. Kudengar, mereka bermusuhan dengan desa ini. Desa ini dan desa di balik bukit, tidak pernah saling berhubungan dalam 10 tahun terakhir."
"Kenapa pak?" tanya istriku.
"Kurang tahu. Paling masalah batas desa."
Pak Kasno menghentikan ceritanya, seperti ada yang disembunyikan. Aku masih penasaran dengan desa dibalik bukit, tapi pak Kasno sepertinya sudah tidak mau melanjutkan kisahnya.
Lalu, tiba-tiba perutku bersuara, menandakan rasa lapar yang cukup parah.
"Kalian sudah makan?" tanya pak Kasno padaku dan istri.
"Belum pak." jawabku sambil tersenyum tanpa rasa malu. Istriku mendelik dan cemberut padaku. Tapi aku cuek aja, soalnya memang sudah terasa lapar sekali.
"Kalian makan di sini aja. Sebentar saya masak dulu. Tapi seadanya."
Pak Kasno bergegas berdiri, tapi dipotong istriku.
"Pak, kalau mau belanja sembako dimana ya? "tanya istriku.
"Mm...kalau mau belanja, di kampung sebelah. 2 jam pake kelotok."
Wah, apes batinku. Aku harus menahan untuk tidak merokok selama beberapa hari kedepan.
"Di sana ada pasar mingguan tiap hari rabu dan jumat. 2 hari lagi kita barengan aja kesana, pake kelotok pak Kades." ucap pak Kasno lagi.
"Sementara, pake punya saya aja dulu. Ada beras sama minyak goreng. Nanti balikin kapan-kapan aja, atau setelah kita belanja di desa sebelah.
Saya ambil kunci dulu ya, tunggu sebentar." Pak Kasno bergegas ke dalam kamar, lalu kembali lagi. Aku kemudian menerima dua buah kunci, ada tulisan nomor 2 dan nomor 3 di gantungannya.
Hari kian sore, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4.
Aku dan istri sepakat memilih rumah nomor 2 , persis bersebelahan dengan rumah pak Kasno. Biar kalau ada apa-apa, kami bisa cepat menghubungi pak Kasno.
Rumah dinas ini ternyata cukup nyaman walau sederhana. Hanya ada satu kamar tidur layaknya rumah petak mess karyawan.
Beberapa lampu minyak menempel di dinding.
Meskipun berdebu, beberapa peralatan dapur masih ada, seperti piring, gelas dan kompor minyak tanah. Hanya saja tidak ada panci dan wajan.
Aku mencoba membuka kran di kamar mandi, ternyata airnya keluar cukup deras dan jernih. Tetesan air segera ditampung pada bak berupa drum plastik ukuran 200 liter. Air tersebut mengalir dari dua tanki air plastik yang berada di depan rumah pak Kasno.
Dengan meminjam sapu dan pel dari tempat pak Kasno, kami berdua mulai membersihkan rumah dinas ini. Beberapa kali kami bersin dan terbatuk, karena harus membersihkan debu dan sarang laba-laba yang ada dimana-mana.
Aku memencet saklar lampu di kamar tidur, ternyata tidak menyala. Tentu saja, rumah ini hanya mengandalkan genset yang hanya menyala dari jam 6 sore hingga jam 10 malam.
Sebuah kasur usang terlihat tergulung rapi di sudut kamar, lengkap dengan kelambu. Aku segera membuka jendela, agar udara segar bisa segera masuk.
Beberapa kali, pak Kasno bolak balik ke rumah kami mengantarkan beberapa alat dapur seperti panci dan wajan, termasuk beras,minyak goreng dan kebutuhan lain.
Kata beliau, alat dapur itu milik penghuni sebelumnya, dan dititipkan ke dia.
" Pakai aja. Dulu dititipin bu Sinta sama saya. Beliau pindah tugas ke kecamatan. Tapi udah bertahun-tahun gak diambil-ambil. Kayaknya ga bakal balik lagi."
"Inggih pak, makasih banyak." ucapku dan istri hampir bersamaan.
Hampir satu jam kami membersih rumah dinas ini. Aku dan istri mandi secara bergantian. Tidak lama, pak Kasno mengajak kami makan di rumahnya.
Setelah mandi, badan terasa segar. Aku dan istri makan dengan lahap di tempat pak Kasno. Menunya sangat sederhana, hanya nasi dingin dengan lauk ikan sarden campur mie serta ikan asin.
Sambil makan, pak Kasno bercerita bahwa dulu sewaktu kecil ia ikut orang tuanya jadi transmigran di Kalimantan.
Mereka berasal dari daerah di Jawa Tengah. Tapi karena saking lamanya, pak Kasno merasa Kalimantan adalah kampung halamannya.
"Keluarga sih ada di Jawa. Tapi sudah lama gak mudik ke Jawa. Terakhir pas meninggalnya pak de, hampir 10 tahun lalu. Apalagi setelah orang tua saya meninggal semua, benar-benar gak pernah pulang ke Jawa. Soalnya bingung mas, ke Jawa mau ke tempat siapa juga.. sama saudara-saudaranya orang tua udah banyak yang gak kenal."
"Astagfirullah..hampir kelupaan." ujar pak Kasno. Ia lalu berdiri dengan piring di tangannya, kemudian melangkah hingga sampai teras. Pak Kasno kemudian melempar beberapa sendok nasi dan ikan sarden ke tanah, lalu kembali lagi.
"Kenapa pak?" tanya istriku heran. Ia mengkerutkan keningnya sambil memutar-mutar gelang rotan di tangan kirinya.
"Gak apa apa. Cuman kebiasaan masyarakat disini. Bagi-bagi rejeki sama sekitar. Kalian juga, kalau masak jangan lupa sisihkan sebagian makanan kalian."ucap pak Kasno sambil memasukan nasi ke mulutnya.
Aku dan istri saling tatap karena terheran-heran dengan tingkah pak Kasno. Tapi kami juga tidak ingin bertanya lebih lanjut apalagi membantah. Mungkin sudah adat masyarakat sini, tidak salah diikuti.
Pak Kasno kemudian menambah nasinya ke dalam piring, lalu melanjutkan ceritanya.
"Bagi saya, Kalimantan ini ya kampung halaman. Adik-adik saya di sini semua, dengan keluarga masing-masing. Apalagi, istri saya orang asli Kalimantan mas." ucap pak Kasno sambil menikmati makanannya.
Selesai mendengar cerita pak Kasno, kini gantian giliranku yang bercerita. Aku menceritakan awal mula perjumpaanku dengan istri di kampus, menikah, lalu ikut tes CPNS hingga akhirnya sampai di desa ini. Sesekali, istriku juga ikut menimpali.
"Kalau begitu, mbak Sri ngajar aja disini. Jadi guru honor. Kebetulan kita gak ada guru bahasa Inggris."
Mendengar tawaran pak Kasno, istriku terlihat senang. Wajahnya berbinar dan senyum merekah di bibirnya.
"Boleh pak...buat isi waktu,"ujar istriku bersemangat, "bosan juga di rumah terus."
"Kalau gitu, siapkan berkasnya. Besok atau lusa udah bisa ngajar. Bulan depan saya usulkan ke Dinas Pendidikan. "
Waktu berlalu, acara makan bersama pun selesai. Sebagai ucapan terima kasih, istriku menawarkan diri untuk mencuci piring. Pak Kasno lantas mengantarkan istriku ke bagian belakang rumahnya, lalu kembali lagi ke ruang tamu.
Melihat rokokku sisa satu batang, pak Kasno lalu membuka laci di samping tv dan menyerahkan dua bungkus rokok murah untukku.
"Seadanya. Yang penting ada asapnya." ujar pak Kasno seraya tertawa. Akupun menerima rokok pemberian pak Kasno sambil tertawa.
Kami lalu duduk bersender di dinding kayu di ruang tamu. Merokok setelah makan memang rasanya sangat nikmat.
Setelah suasana agak santai, rasa penasaranku kembali muncul terkait cerita pak Kasno sebelumnya.
"Pak, tadi bapak cerita kalau murid di sekolah ini sedikit. Terus semua berasal dari kampung sebelah, itu kenapa pak?"
Sambil bersandar, pak Kasno menatap langit-langit rumahnya. Ia menghela nafas pelan lalu menghisap rokoknya dalam-dalam.
Dengan suara tertahan, pak Kasno mulai menjawab pertanyaanku.
"Murid-murid yang dari desa ini...semuanya mati."
"Hah!?" kataku tidak percaya.
...bersambung...
Bab IX : Rumah Dinas Guru
Wadah bambu itu terus menyala, api menari-nari tertiup angin lalu perlahan padam.
"Monggo mas, mbak, diminum dulu."
Pak Kasno tiba-tiba sudah ada di ruang tamu, membawa tiga gelas teh hangat dan roti kering dalam nampan. Di cuaca seterik ini, rasanya paling pas kalau minus es. Tapi apa boleh buat, rejeki tidak boleh ditolak.
Sembari menikmati hidangan, aku menyerahkan amplop coklat dari Dinas Pendidikan ke pak Kasno. Pak Kasno membaca isi surat itu sambil mengangguk-angguk.
"Berarti mas Bimo yang lulus tes CPNS tahun kemaren ya. Untuk rumah dinas, bisa pilih yang bagian tengah. Ada kosong dua. Yang paling ujung udah diisi Pak Tingen, guru Agama Hindu Kaharingan."
"Beliau datang satu minggu sekali, sesuai jadwal ngajar. Soalnya beliau juga ngajar beberapa sekolah di kecamatan ini. Tapi, kadang beliau nginap berhari-hari untuk berburu. Kalo beruntung, saya bisa dapat daging kijang gratis. He..he..he "
Aku dan istri memperhatikan penjelasan pak Kasno, sambil menikmati teh kami yang masih panas.
"Di sebelah pak Tingen, ada pak Ancah. Wali kelas lima. Beliau biasanya datang pagi, pulang sore. Di sini cuman istirahat siang. Rumah beliau di kampung sebelah, di hilir desa ini. Biasanya bawa kelotok sendiri. Sesekali nginap, kalo sekolah ada acara atau keperluan lainnya."
Aku lalu mengambil asbak dari samping pak Kasno, lantas menyalakan rokok yang tersisa tiga batang.
"Amit nggih pak. Kalau ibu sama anak-anak dimana ya? Kok kayaknya sepi?" tanya istriku.
Pak Kasno terdiam sejenak, menyalakan rokok kretek miliknya, lalu lanjut bercerita.
"Dulu pernah ikut, sama anak-anak juga. Tapi cuman bertahan 2 bulan. Katanya gak betah. Maklumlah mbak, di sini terlalu sepi. Yaudah balik lagi ke rumah kami di kota Muara Teweh. Lagian di sana ada mertua. Saya biasanya ke kota satu bulan atau 2 minggu sekali."
" Biasanya kalau saya pulang ke kota, bisa sampai 1 minggu. Di sini muridnya sangat sedikit. Hanya ada dua kelas, yaitu kelas tiga sama kelas lima. Kalau saya pulang, sekolah saya titipkan sama pak Ancah atau pak Tingen." kata pak Kasno sambil meminun tehnya. Setelah gelas tehnya sudah di nampan, pak Kasno kembali bercerita.
" Kelas lima cuman ada 4 murid. Kelas tiga cuman 3 murid. Sedangkan kelas lainnya kosong.
Itu juga bukan berasal dari desa ini. Tapi murid dari kampung seberang, juga desa di pinggiran sungai lainnya. Mereka kemari pake kelotok kecil. "ujar pak Kasno sambil menghisap rokoknya.
"Lima tahun lalu, waktu saya pertama kali diangkat jadi kepala sekolah, cuman ada satu kelas. Ya yang sekarang pada duduk di kelas lima."
"Sebenarnya, ada kampung lagi di balik bukit. Tapi mereka menolak sekolah di desa ini. Kudengar, mereka bermusuhan dengan desa ini. Desa ini dan desa di balik bukit, tidak pernah saling berhubungan dalam 10 tahun terakhir."
"Kenapa pak?" tanya istriku.
"Kurang tahu. Paling masalah batas desa."
Pak Kasno menghentikan ceritanya, seperti ada yang disembunyikan. Aku masih penasaran dengan desa dibalik bukit, tapi pak Kasno sepertinya sudah tidak mau melanjutkan kisahnya.
Lalu, tiba-tiba perutku bersuara, menandakan rasa lapar yang cukup parah.
"Kalian sudah makan?" tanya pak Kasno padaku dan istri.
"Belum pak." jawabku sambil tersenyum tanpa rasa malu. Istriku mendelik dan cemberut padaku. Tapi aku cuek aja, soalnya memang sudah terasa lapar sekali.
"Kalian makan di sini aja. Sebentar saya masak dulu. Tapi seadanya."
Pak Kasno bergegas berdiri, tapi dipotong istriku.
"Pak, kalau mau belanja sembako dimana ya? "tanya istriku.
"Mm...kalau mau belanja, di kampung sebelah. 2 jam pake kelotok."
Wah, apes batinku. Aku harus menahan untuk tidak merokok selama beberapa hari kedepan.
"Di sana ada pasar mingguan tiap hari rabu dan jumat. 2 hari lagi kita barengan aja kesana, pake kelotok pak Kades." ucap pak Kasno lagi.
"Sementara, pake punya saya aja dulu. Ada beras sama minyak goreng. Nanti balikin kapan-kapan aja, atau setelah kita belanja di desa sebelah.
Saya ambil kunci dulu ya, tunggu sebentar." Pak Kasno bergegas ke dalam kamar, lalu kembali lagi. Aku kemudian menerima dua buah kunci, ada tulisan nomor 2 dan nomor 3 di gantungannya.
***
Hari kian sore, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4.
Aku dan istri sepakat memilih rumah nomor 2 , persis bersebelahan dengan rumah pak Kasno. Biar kalau ada apa-apa, kami bisa cepat menghubungi pak Kasno.
Rumah dinas ini ternyata cukup nyaman walau sederhana. Hanya ada satu kamar tidur layaknya rumah petak mess karyawan.
Beberapa lampu minyak menempel di dinding.
Meskipun berdebu, beberapa peralatan dapur masih ada, seperti piring, gelas dan kompor minyak tanah. Hanya saja tidak ada panci dan wajan.
Aku mencoba membuka kran di kamar mandi, ternyata airnya keluar cukup deras dan jernih. Tetesan air segera ditampung pada bak berupa drum plastik ukuran 200 liter. Air tersebut mengalir dari dua tanki air plastik yang berada di depan rumah pak Kasno.
Dengan meminjam sapu dan pel dari tempat pak Kasno, kami berdua mulai membersihkan rumah dinas ini. Beberapa kali kami bersin dan terbatuk, karena harus membersihkan debu dan sarang laba-laba yang ada dimana-mana.
Aku memencet saklar lampu di kamar tidur, ternyata tidak menyala. Tentu saja, rumah ini hanya mengandalkan genset yang hanya menyala dari jam 6 sore hingga jam 10 malam.
Sebuah kasur usang terlihat tergulung rapi di sudut kamar, lengkap dengan kelambu. Aku segera membuka jendela, agar udara segar bisa segera masuk.
Beberapa kali, pak Kasno bolak balik ke rumah kami mengantarkan beberapa alat dapur seperti panci dan wajan, termasuk beras,minyak goreng dan kebutuhan lain.
Kata beliau, alat dapur itu milik penghuni sebelumnya, dan dititipkan ke dia.
" Pakai aja. Dulu dititipin bu Sinta sama saya. Beliau pindah tugas ke kecamatan. Tapi udah bertahun-tahun gak diambil-ambil. Kayaknya ga bakal balik lagi."
"Inggih pak, makasih banyak." ucapku dan istri hampir bersamaan.
Hampir satu jam kami membersih rumah dinas ini. Aku dan istri mandi secara bergantian. Tidak lama, pak Kasno mengajak kami makan di rumahnya.
***
Setelah mandi, badan terasa segar. Aku dan istri makan dengan lahap di tempat pak Kasno. Menunya sangat sederhana, hanya nasi dingin dengan lauk ikan sarden campur mie serta ikan asin.
Sambil makan, pak Kasno bercerita bahwa dulu sewaktu kecil ia ikut orang tuanya jadi transmigran di Kalimantan.
Mereka berasal dari daerah di Jawa Tengah. Tapi karena saking lamanya, pak Kasno merasa Kalimantan adalah kampung halamannya.
"Keluarga sih ada di Jawa. Tapi sudah lama gak mudik ke Jawa. Terakhir pas meninggalnya pak de, hampir 10 tahun lalu. Apalagi setelah orang tua saya meninggal semua, benar-benar gak pernah pulang ke Jawa. Soalnya bingung mas, ke Jawa mau ke tempat siapa juga.. sama saudara-saudaranya orang tua udah banyak yang gak kenal."
"Astagfirullah..hampir kelupaan." ujar pak Kasno. Ia lalu berdiri dengan piring di tangannya, kemudian melangkah hingga sampai teras. Pak Kasno kemudian melempar beberapa sendok nasi dan ikan sarden ke tanah, lalu kembali lagi.
"Kenapa pak?" tanya istriku heran. Ia mengkerutkan keningnya sambil memutar-mutar gelang rotan di tangan kirinya.
"Gak apa apa. Cuman kebiasaan masyarakat disini. Bagi-bagi rejeki sama sekitar. Kalian juga, kalau masak jangan lupa sisihkan sebagian makanan kalian."ucap pak Kasno sambil memasukan nasi ke mulutnya.
Aku dan istri saling tatap karena terheran-heran dengan tingkah pak Kasno. Tapi kami juga tidak ingin bertanya lebih lanjut apalagi membantah. Mungkin sudah adat masyarakat sini, tidak salah diikuti.
Pak Kasno kemudian menambah nasinya ke dalam piring, lalu melanjutkan ceritanya.
"Bagi saya, Kalimantan ini ya kampung halaman. Adik-adik saya di sini semua, dengan keluarga masing-masing. Apalagi, istri saya orang asli Kalimantan mas." ucap pak Kasno sambil menikmati makanannya.
Selesai mendengar cerita pak Kasno, kini gantian giliranku yang bercerita. Aku menceritakan awal mula perjumpaanku dengan istri di kampus, menikah, lalu ikut tes CPNS hingga akhirnya sampai di desa ini. Sesekali, istriku juga ikut menimpali.
"Kalau begitu, mbak Sri ngajar aja disini. Jadi guru honor. Kebetulan kita gak ada guru bahasa Inggris."
Mendengar tawaran pak Kasno, istriku terlihat senang. Wajahnya berbinar dan senyum merekah di bibirnya.
"Boleh pak...buat isi waktu,"ujar istriku bersemangat, "bosan juga di rumah terus."
"Kalau gitu, siapkan berkasnya. Besok atau lusa udah bisa ngajar. Bulan depan saya usulkan ke Dinas Pendidikan. "
Waktu berlalu, acara makan bersama pun selesai. Sebagai ucapan terima kasih, istriku menawarkan diri untuk mencuci piring. Pak Kasno lantas mengantarkan istriku ke bagian belakang rumahnya, lalu kembali lagi ke ruang tamu.
Melihat rokokku sisa satu batang, pak Kasno lalu membuka laci di samping tv dan menyerahkan dua bungkus rokok murah untukku.
"Seadanya. Yang penting ada asapnya." ujar pak Kasno seraya tertawa. Akupun menerima rokok pemberian pak Kasno sambil tertawa.
Kami lalu duduk bersender di dinding kayu di ruang tamu. Merokok setelah makan memang rasanya sangat nikmat.
Setelah suasana agak santai, rasa penasaranku kembali muncul terkait cerita pak Kasno sebelumnya.
"Pak, tadi bapak cerita kalau murid di sekolah ini sedikit. Terus semua berasal dari kampung sebelah, itu kenapa pak?"
Sambil bersandar, pak Kasno menatap langit-langit rumahnya. Ia menghela nafas pelan lalu menghisap rokoknya dalam-dalam.
Dengan suara tertahan, pak Kasno mulai menjawab pertanyaanku.
"Murid-murid yang dari desa ini...semuanya mati."
"Hah!?" kataku tidak percaya.
...bersambung...
Sory gan rada telat. Dan makasih masih setia menanti dan mpe jumpa malam senen ya šš
Diubah oleh benbela 11-03-2021 12:58
coeloet dan 93 lainnya memberi reputasi
94
Kutip
Balas
Tutup