- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Setelah hampir 10 tahun hiatus, akhirnya ane bikin thread lagi di kaskus. Agak canggung juga, karena sudah 1 dekade cuman sesekali berkunjung. Cuman kali ini ane mau bikin cerita, tentang pengalaman seorang kawan yang menemukan hal ganjil ketika ada project di salah satu desa di pedalaman Kalimantan.
Jadi ceritanya bakal ane jabarin satu-satu di bawah
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 18-07-2021 06:49
adolfsbasthian dan 295 lainnya memberi reputasi
288
298K
Kutip
5.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
benbela
#149
Quote:
Bab VII : Desa Yang Sunyi
Usai melewati anak tangga, kami berdiri tepat di tengah gerbang desa. Gerbang itu berupa gapura dengan bahan kayu ulin sebagai penyangga di kiri dan kanan. Papan melintang di bagian atas sudah lapuk, dengan tulisan selamat datang yang sudah luntur. Beberapa hurufnya bahkan sudah hilang.
Aku dan istriku menyeret tas koper kami di jalan desa yang masih berupa tanah merah. Roda-roda kecil di bagian bawah tas mempermudah gerakan kami. Tas punggung kami panggul masing-masing. Kami terus berjalan melewati rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu.
Baru beberapa langkah, ada rasa tidak nyaman memasuki desa ini.
Terlalu sepi. Aktivitas di desa ini seperti lumpuh. Bagaikan kampung mati, tidak ada satupun warga yang terlihat kecuali kesunyian.
Rumah penduduk banyak yang telah runtuh, menyisakan puing berserakan. Sebagian lagi, kosong tanpa penghuni diselimuti tanaman merambat dan rumput liar. Rumah-rumah itu seperti ditinggalkan dalam keadaan terburu-buru.
Entah apa yang terjadi dengan desa ini. Setiap kaki melangkah, serasa ada tangan tak terlihat yang menempel di bagian tengkuk. Bulu-bulu halus di tangan dan belakang leher berdiri tanpa sebab. Bayangan hitam di sudut-sudut rumah akibat tidak terkena cahaya, seperti sosok yang sedang mengawasi kami.
Aku berusaha berpikir logis, menghilangkan seluruh pikiran buruk yang bersemayam di otakku.
Lalu, samar-samar terdengar suara orang tertawa cekikikan dari salah satu rumah yang kosong. Suara itu, sesekali terdengar sangat jelas, sesekali seperti bisikan. Dengan berat hati, aku mengumpulkan keberanian untuk melihat asal suara.
Setelah mengucap bismillah, kutolehkan kepala ke asal suara, dan...
Alhamdulillah, ternyata hanyalah suara seng atap rumah yang tertiup angin. Atap seng itu melambai-lambai, seakan memberitahukan bahwa rumah itu telah ditinggalkan bertahun-tahun.
Kami terus berjalan, berharap ada seseorang yang bisa ditemui untuk tempat bertanya. Istriku tampak kelelahan, dengan sisa tenaganya ia memaksa melangkahkan kaki.
"Mas, cari warung yuk. Aku lapar." ucapnya lirih.
"Ayo..sambil jalan. Aku juga lapar."
Kami terus menapakan kaki dengan kondisi perut seperti terlilit. Kalimantan yang berada di garis khatulistiwa, membuat cuaca terasa lebih terik daripada di Jawa. Keringat sudah mulai membasahi tubuh kami. Kami meminum air mineral yang tersisa separo secara bergantian. Tiupan angin dari balik pepohonan tidak cukup mendinginkan suhu tubuh kami.
Setelah melewati beberapa rumah, akhirnya kami bertemu juga dengan penduduk desa. Seorang wanita tua terlihat sedang duduk di teras rumahnya. Dari kejauhan, ia memperhatikan kami dengan seksama tanpa bergerak. Ia mengenakan kebaya lusuh yang warnanya sudah pudar. Rambutnya yang penuh uban ia sanggul rapi di belakang. Wajahnya cekung dan tubuhnya kurus. Mulutnya komat-kamit sedang mengunyah sesuatu.
Kami melangkah pelan untuk mendekat, wanita tua itu terus memperhatikan kami dengan sorot mata kosong.
Setelah cukup dekat, aku memberanikan diri untuk bertanya pada wanita itu.
"Permisi nek...rumah pak Kasno dimana ya? "
Bukannya menjawab pertanyaanku, nenek itu malah memalingkan muka.
Cuuh...!
Nenek itu meludah ke samping. Aku dan istriku kaget, lalu terdiam. Cairan yang keluar dari mulutnya berwarna merah pekat. Perlahan, ia memalingkan wajahnya sambil tersenyum. Senyumnya sangat lebar dengan sorot mata yang tajam. Giginya berwarna merah kental kehitaman.
"Mau kemana? " tiba-tiba ada seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu.
Seketika jantungku rasanya mau copot karena kaget.
Lelaki itu menatap kami dengan wajah tidak ramah. Hanya memakai celana pendek dan kaos singlet putih. Tubuhnya kurus namun berisi. Urat-urat di pergelangan tangannya terlihat menonjol.
"Ibuku sudah tidak bisa mendengar dengan jelas. Harus berteriak baru ia bisa mendengar." lanjut bapak itu.
"Permisi pak, kami mau ke tempat Pak Kasno. Kami..."
" Pak Kasno kepala sekolah ? Ada urusan apa kalian dengan dia? " potong bapak itu dengan ketus.
"A-anu pak. Saya guru baru di sini. Saya ditugaskan mengajar di desa ini. Makanya, kami harus ke rumah Pak Kasno hari ini." jawabku.
"Owwhhh...guru baru." Seketika bapak itu berubah jadi ramah. Namun, tetap saja sikap ketusnya tadi sudah menimbulkan kesan tidak nyaman.
"Rumah Pak Kasno lurus aja. Perempatan kedua, belok kiri. Jalannya agak menanjak. Sebelum perempatan, nanti ada lapangan."
"Kalau warung makan, dimana pak?"
"Di sini tidak ada warung makan. Kami memasak sendiri di rumah, tidak seperti di kota. Kalau pun ada, belum tentu ada yang belanja. Penduduknya sudah banyak yang pergi." jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.
Aku dan istri saling pandang keheranan. Entah apa maksud bapak itu.
"Makasih pak. Kami permisi dulu."ucapku
Aku dan istri lalu melirik bekas ludahan nenek tadi. Cairan merah pekat terlihat menggumpal di atas tanah. Di beberapa titik, terlihat bekas cairan merah yang telah mengering di sana sini.
"Ibuku memang suka menginang sirih. Kebiasan penduduk di sini." ucap bapak itu lagi. Ia masih berdiri di depan pintu. Sepertinya ia tahu kalau kami bertanya-tanya dengan bekas ludah nenek itu.
Kemudian kami pamit undur diri, lalu kembali berjalan sesuai petunjuk bapak tadi.
Semakin masuk ke dalam desa, kami berjumpa lagi dengan beberapa penduduk. Beberapa orang kami dapati sedang duduk di teras rumah, sebagian lagi mengintip dari jendela. Sepertinya mereka sengaja bersembunyi.
Sesekali kami menyapa mereka, namun mereka tidak menjawab sepatah katapun.
Aku merasa ada yang janggal di kampung ini. Penduduknya hanya beberapa orang saja. Berbeda seperti desa sebelumnya di pinggir sungai. Sepanjang perjalanan, tidak ada anak muda maupun anak kecil yang kami jumpai. Semuanya rata-rata sudah berusia paruh baya maupun lansia.
Wajah mereka sangat muram dengan pakaian yang lusuh. Tubuh mereka kurus dan pucat, seperti orang yang terkena penyakit. Tatapan mereka kosong tanpa pengharapan, seolah-olah ajal siap menjemput mereka kapan saja.
Sambil menahan lapar, kami terus berjalan melewati rumah-rumah penduduk yang saling berhadapan.
Sejak dari gerbang tadi, aku merasa ada yang mengikuti kami. Mengamati tiap langkah kami dari kejauhan. Namun entah dimana. Rupanya istriku juga merasakan hal yang sama. Kami menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapa-siapa. Kami juga mengedarkan pandang ke sekeliling, hanya ada rumah-rumah kosong dan terbengkalai. Mungkin hanya perasaan saja.
Akhirnya kami melewati tanah yang cukup lapang seperti kata bapak tadi. Tanah lapang itu berada persis di samping bangunan puskesmas yang telah lapuk dan hampir roboh.
"Disana, dekat lagi." Aku menunjuk kearah perempatan dengan cara mendongakan wajah dan memonyongkan bibir.
"Mas, itu siapa?" Tiba-tiba istriku mengcengkram pergelangan tanganku dengan erat. Suaranya tertahan dengan nafas tidak beraturan. Aku mengarahkan pandang ke arah tatapan mata istriku. Benar saja, di sudut lapangan yang cukup jauh dari posisi kami, berdiri sepasang kakek nenek dengan tingkah yang ganjil. Keduanya berdiri tanpa alas kaki.
Entah muncul darimana, mereka tiba-tiba ada disitu. Mereka hanya menatap kami dari kejauhan tanpa bergerak sedikitpun. Sang nenek, badannya agak membungkuk. Tongkat kayu ia genggam sebagai penopang tubuh. Sehelai selendang dari kain kerudung melingkar di lehernya. Rambutnya yang memutih terurai acak-acakan. Ia memakai baju kebaya putih compang camping dan bawahan kain jarik lusuh.
Sedangkan sang kakek, berdiri tegak sempurna dan berpakaian serba hitam. Di tangannya, terhunus sebuah mandau panjang yang berwarna hitam legam.
"Ayo cepat." Kami bergegas pergi dari situ, menuju perempatan jalan. Aku membantu menyeret tas istriku agar kami bisa segera mencapai tujuan.
Setelah berbelok, jalan yang menanjak memperlambat langkah kami. Belum lagi batu dan kerikil di tengah jalan membuat tas harus berbenturan, sehingga gerak kami semakin lambat.
Sesekali aku menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti kami. Untung saja, kakek nenek itu sudah tidak terlihat lagi.
Langkah kami terasa ringan saat jalan mulai datar. Kiri kanan jalan ditumbuhi semak belukar dan pohon-pohon tinggi menjulang. Daun yang rindang melindungi kami dari teriknya matahari.
Kami mencari tempat yang agak lapang untuk beristirahat. Di bawah pohon yang cukup besar, kami langsung duduk di atas rerumputan. Setelah melepas tas punggung, badan kami sandarkan berdempet pada batang pohon. Sedangkan tas koper, kami biarkan saja tergeletak di depan kami.
Dengan wajah penuh keringat, nafas kami masih tersengal-sengal. Kami menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru kami.
Tidak ada bising knalpot kendaraan, tidak ada pula suara keributan orang-orang. Hanya ada suara serangga dan burung dari balik hutan.
Istriku menyerahkan botol air mineral kepadaku, kami minum secara bergantian. Hanya air ini sisa bekal kami, lainnya sudah habis di kelotok tadi.
Aku memandang ke balik semak belukar di seberang jalan. Samar-samar, terlihat sesuatu berwarna hitam memanjang, tertutup daun-daun liar dan rumput ilalang. Aku perhatikan lebih jelas, Astagfirullahul azim !
Itu adalah peti mati alias Raung. Bulu kudukku mulai merinding.
Jantungku kembali berdegup dengan kencang.
Tidak hanya satu, Raung di hadapanku ini jumlahnya puluhan. Peti-peti mati itu berjejer, dua meter dari atas tanah disangga tiang-tiang ulin. Tidak salah lagi, di depan kami adalah komplek pemakaman. Hanya saja, ukurannya lebih kecil dibandingkan peti mati orang dewasa.
Bayangan dikejar Raung tadi subuh membuatku kembali merasa ngeri.
Aku segera bangkit berdiri, mengajak istriku segera beranjak dari situ.
"Ayo..kita harus cepat!"
Melihat aku panik,istriku bergegas bangkit dari duduknya. Wajahnya kebingungan, namun raut mukanya lebih terlihat ketakutan.
"Kenapa mas ?"
Belum sempat kujelaskan, terdengar suara sesuatu dari semak belukar di belakang kami. Suara-suara ranting patah dan langkah kaki.
Kami lalu berpaling, melihat kearah semak belukar yang tiba-tiba terpotong ditebas sesuatu. Aku dan istri kaget, hingga genggaman tas kami terlepas.
Sesuatu keluar dari semak belukar, sorot matanya yang tajam menatap ke arah kami. Aku dan istri terpaku melihat sosok itu. Dia berdiri tepat di depan kami. Dia adalah kakek tadi. Di tangan kanannya, terhunus mandau yang sangat tajam.
..bersambung...
sampai jumpa malam Senen ya gan 😁🙏
Terima Kasih buat gansist yang setia di thread ane. En moon maap bila ada komeng yang belum terbalas
Diubah oleh benbela 04-03-2021 13:14
sirluciuzenze dan 86 lainnya memberi reputasi
87
Kutip
Balas
Tutup