Beberapa bulan yang lalu, laporan sebuah penelitian tentang penurunan jumlah sperma laki-laki di penjuru dunia memicu pertanyaan besar? Akankah manusia mengalami krisis kesuburan?
Pada Juli 2017, beberapa media melansir laporan penelitian yang dilakukan para peneliti dari Hebrew University di Jerusalem. Para ahli melakukan meta-analisis terhadap 185 penelitian yang diterbitkan antara tahun 1973 dan 2011, dan melibatkan 42.935 responden laki-laki yang memberikan sampel sperma.
Dalam laporan yang diterbitkan dalam situs
Human Reproduction Updateini, para ahli mencatat penurunan konsentrasi sperma sebesar 52,2 persen dan penurunan jumlah sperma sebesar 59,3 persen, terutama pada laki-laki di Amerika Utara, Eropa, Australia dan New Zealand. Para peneliti tersebut tidak meneliti penurunan yang terjadi pada laki-laki yang tinggal di daerah Amerika Selatan, Asia dan Afrika.
Shanna Swan, peneliti dari Icahn School of Medicine, Mount Sinai di New York, yang terlibat dalam penelitian ini, mengatakan pada
Newsweek bahwa penemuan ini sangat menakutkan, "Saya pikir, kita harus benar-benar serius menanggapi penurunan jumlah sperma ini."
Sementara Hagai Levine, penulis laporan utama dari Hebrew University mengatakan bahwa ada sesuatu yang sangat salah pada laki-laki.
Beberapa media mengangkat isu kemungkinan terjadinya masalah pada kesuburan. Misalnya saja
New York Times mengangkat judul "infertilitas laki-laki melanda", sementara
The Guardian mengangkat judul "The inferlity crisis is beyond doubt".
Akan tetapi,
Huffington Post menyebutkan bahwa sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui kesuburan laki-laki, analisis sperma bukan hanya mengukur jumlah sperma, tetapi juga bentuk dan kecepatan gerak sperma. Dan nyatanya hubungan antara jumlah sperma dan kesuburan sebenarnya sangat lemah.
Hal ini karena hanya dibutuhkan satu sperma yang dapat membuahi sel telur, bahkan laki-laki dengan jumlah sperma yang paling sedikit sekalipun masih memproduksi jutaan sperma. Hal inilah yang membuat para ahli yang lain bersikap skeptis dengan klaim bahwa kemampuan memiliki anak akan berkurang.
Fiona Mathews, dosen biologi lingkungan di University of Sussex, Inggris mengatakan bahwa penurunan jumlah sperma, yang penelitiannya berkali-kali dilakukan selama setidaknya 15 tahun, memang benar-benar mungkin terjadi.
"Akan tetapi tidak dapat dihubungkan dengan penurunan kesuburan laki-laki." Mathews memang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, namun dia telah meneliti berbagai faktor lingkungan terhadap kualitas sperma.
Pendapat Fiona Mathews diamini oleh
Aaron Styer, dokter spesialis kandungan dan kebidanan dan salah satu direktur
CCRM Boston, yang merupakan salah satu jaringan nasional klinik kesuburan di Amerika Serikat.
Pada Huffington Post dia mengatakan bahwa hasil penelitian ini tidak dapat diinterpretasikan sebagai penurunan kesuburan bagi laki-laki.
Sampai saat ini para ahli belum mengetahui cara yang tepat untuk mengungkapkan berapa jumlah minimal sperma per mililiter yang dibutuhkan untuk dapat membuahi. Dengan menggunakan contoh air mani yang dikumpulkan dari beberapa laki-laki selama menjalani tes kesuburan selama 12 bulan,
World Health Organization melaporkan bahwa mereka telah mencatat setidaknya 15 juta sperma per mililiter.
Temuan inilah yang sampai sekarang digunakan sebagai batas minimal bagi parameter sperma normal.
Kendati penelitian meta-analisis oleh Swan dan Levine mengungkapkan bahwa laki-laki dengan jumlah sperma di bawah batas minimal itu telah meningkat, namun dokter Styer mengatakan bahwa meta-analisis ini merupakan kombinasi dari banyak penelitian yang berbeda.
Dengan berbagai jenis responden dan metode untuk menghitung sperma. Sehingga kemungkinan terjadi beberapa inkonsistensi penghitungan data dapat terjadi.
Styer menyarankan diadakan penelitian yang lebih baik, dengan melibatkan kelompok pria yang sama dalam kurun waktu yang lama, untuk melihat apakah jumlah sperma benar-benar menurun atau apakah pria tersebut memang sejak awal memiliki jumlah sperma rendah.
Sementara itu, terkait masalah kesuburan laki-laki, dokter Jesse Mills, seorang ahli urologi dan direktur The Men's Clinic di
UCLA, menyebutkan berbagai faktor yang dapat menurunkan jumlah dan kualitas sperma, yaitu obesitas, merokok, stres dan gaya hidup yang menyebabkan tubuh kurang bergerak.
Para ahli sepakat bahwa perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk memeriksa penyebab penurunan jumlah sperma dalam skala yang lebih besar.
Dengan melihat hubungannya dengan berbagai hal seperti penggunaan bahan kimia sehari-hari, polusi udara hingga radiasi dari telepon genggam. Juga meneliti apakah benar-benar ada hubungan antara jumlah sperma dengan kesuburan.
Jadi kira-kira seperti itu bree..
Masih perlu di adakan penelitian lebih lanjut buat masalah kesuburan lelaki di dunia nih gan
Tapi klo emang ampe beneran terjadi penurunan kualitas sperma pada laki-laki bisa bahaya nihhh..
hmmmm,,, tetep jaga kesuburan sperma otong agan agan yak, karena banyak faktor yang menyebabkan kualitas sperma menurun, seperti obesitas, merokok, stress serta kurang berolahraga