Wewangian memang tidak dapat terhindarkan, karena memang ada di sekitar kita. Bahkan sejak berabad-abad lalu digunakan untuk menutupi bau badan alami, membuat seseorang tampil lebih menarik dan dapat memengaruhi suasana hati. Bahkan aroma wangi tertentu dapat membangkitkan kenangan-kenangan tertentu juga pada setiap orang.
Akan tetapi, berdasarkan
penelitianyang dituliskan dalam buku
The Case Against Fragrance, penulis Kate Grenville menyebutkan bahwa satu dari tiga orang mengalami gejala-gejala seperti sakit kepala, asma dan ruam karena peka terhadap wewangian. Bahkan sekitar delapan persennya mengalami alergi wewangian yang sangat parah, sehingga harus kehilangan satu hari kerja.
Sebuah penelitian terpisah yang dilakukan pada tahun 2014 menemukan bahwa tiga perempat perempuan yang menderita migrain karena bau-bauan mengatakan bahwa parfum adalah penyebab utama masalah mereka, seperti yang dikutip dari
Independent.
Di dalam bukunya, Grenville mengingat bagaimana dia terkenang pada parfum ibunya saat dia masih kecil. Akan tetapi, Grenville kemudian terinspirasi untuk meneliti dampak wewangian buatan terhadap kesehatan setelah dia mendapati dirinya harus menutupi celah di pintu kamar hotelnya untuk menghalangi bau dari pewangi ruangan yang terdapat di koridor, karena kuatir mengalami migrain.
Ketika melakukan penelitian untuk bukunya tersebut, Grenville menemukan hampir semua parfum dan aroma modern dibuat dengan menggunakan bahan kimia buatan, dan bukan dari bahan-bahan alami, seperti bunga. Hal ini dikatakannya dalam sebuah wawancara dengan
The Guardian pada Maret 2017 lalu. Di tempat lain, 57 orang dari 60 pasien asma mengaku mendapatkan masalah pernapasan saat terpapar bau, termasuk wewangian.
Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata para produsen wewangian tidak mencantumkan bahan-bahan pembuatnya dalam label kemasan. Campuran yang menciptakan wewangian dianggap sebagai "rahasia dagang", dan karena itulah mereka dibebaskan dari peraturan tentang pelabelan.
Padahal wewangian ada di mana-mana, mulai dari kertas tisu, deterjen, hingga minyak wangi.
Sejak akhir perang dunia, industri kimia telah memproduksi wewangian sintetis secara besar-besaran, agar dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk secara luas dan murah.
Grenville mengatakan kepada
The Sydney Morning Herald bahwa terlepas dari luasnya penggunaan wewangian, ternyata informasi tentang bahan-bahan yang digunakan sangat minim karena formulanya dianggap sebagai rahasia dagang.
"Padahal, masalah kesehatan seperti sakit kepala, asma maupun alergi yang disebabkan karena wewangian semakin meningkat," ungkapnya.
Lebih jauh dari itu, dalam suatu acara talkshow di
Ted.com, dokter Luca Turin, seorang ahli biofisik dari College University, London, yang mengkhususkan diri dalam bidang indera penciuman dan kimiawi aroma mengatakan bahwa coumarin, sejenis wewangian sintetis yang menguarkan aroma "rumput yang baru dipotong", merupakan karsinogenik, atau mengandung zat yang dapat menyebabkan kanker. Padahal coumarin telah digunakan sebagai campuran minyak wangi pria sejak abad ke 19.
Dalam sebuah penelitian yang menggunakan tikus percobaan, dinemukan bahwa coumarin menyebabkan kanker pada tikus. Coumarin merupakan senyawa yang sangat mudah diserap kulit, dan menyebar hingga ke paru-paru.
Sejauh ini masih dilakukan
penelitian mengenai dampaknya terhadap manusia, akan tetapi sesuatu yang merupakan karsinogen terhadap hewan percobaan, kemungkinan merupakan karsinogen pada manusia tidak dapat dikesampingkan.
Ternyata coumarin hanyalah salah satu dari sejumlah bahan pewangi yang bersifat karsinogenik terhadap hewan, ada beberapa bahan lainnya yang sering digunakan seperti isoeugenol yang menguarkan aroma manis dan pedas akan tetapi dapat memengaruhi hati, darah, kelenjar susu dan limfa. Allyl isovalerate yang beraroma apel yang dapat menimbulkan leukaemia, maupun estragole yang beraroma adas manis akan tetapi bersifat karsinogenik.
Sejumlah perusahaan telah melakukan peninjauan kembali terkait penggunaan wewangian buatan. Pada tahun 2014 perusahaan Johnson & Johnson mengumumkan bahwa produk-produk mereka tidak mengandung bahan-bahan yang karsinogenik seperti formaldehida karsinogen dan 1,4-dioksan. Akan tetapi kabar baik ini menyebabkan kita berpikir bahwa selama kurang lebih 60 tahun, sejak tahun 1953, kita telah menggunakan produk-produk yang mengandung karsinogen.