Suatu jenis malaria yang sangat resistan terhadap obat, saat ini menyebar dengan cepat di Asia Tenggara. Para ahli telah memperingatkan bahwa hal tersebut dapat segera menjadi ancaman global.

Penyakit yang disebut-sebut sebagai malaria super ini pertama kali terdeteksi di Kamboja pada 2007. Sejak itu wabah menyebar ke kawasan timur laut Thailand, Laos selatan, dan Myanmar bagian timur. BBC(22/9/2017) telah melaporkan bahwa malaria super juga masuk ke wilayah Vietnam bagian selatan.

Para ilmuwan di Oxford Tropical Medicine Research Unit yang berkedudukan di Bangkok, Thailand, telah mengatakan adanya bahaya nyata dari malaria yang tidak dapat diobati dengan obat yang biasa digunakan untuk mengatasi penyakit tersebut.

"Menurut kami, ini ancaman yang serius," kata Prof Arjen Dondorp yang mengepalai Oxford Tropical Medical Research. "Ini tanda bahaya bahwa jenis ini menyebar begitu cepat ke seluruh wilayah dan kami merasa khawatir dapat menyebar lebih jauh, bahkan akhirnya sampai ke Afrika."

Dalam laporan yang dipublikasikan pada The Lancet Infectious Diseases, para peneliti merinci "perkembangan mengerikan baru-baru ini" yang telah menampakkan resistensi terhadap penggunaan obat artemisinin, yang selama ini digunakan untuk mengobati malaria.

Jakarta Postmelansir sekitar 212 juta masyarakat terinfeksi oleh malaria setiap tahunnya. Kombinasi artemisinin dan piperaquine merupakan pilihan pertama untuk pengobatannya. Akan tetapi artemisinin telah semakin berkurang keampuhannya, bahkan sekarang parasit malaria telah berevolusi untuk resistan terhadap piperaquine juga.

Menurut laporan tersebut, kegagalan penanganan terhadap malaria semakin mengkhawatirkan.

Prof Dondorp menyatakan kegagalan ini mencapai sekitar sepertiga dari total pengobatan di Vietnam, sementara di beberapa wilayah di Kamboja mencapai 60 persen.

Resistensi malaria super terhadap obat-obatan tersebut bakal menjadi bencana besar jika bisa menyebar hingga Afrika. Saat ini 92 persen dari kasus malaria di dunia terjadi di benua tersebut.

Pada era 1950-an dan 60-an terjadi dua gelombang malaria yang tak mempan diobati oleh obat-obatan standar saat itu di Asia Tenggara. Penyakit lalu menyebar ke India dan Afrika sehingga menyebabkan jutaan orang tewas.

Dondorp menyebutkan bahwa para ilmuwan berlomba dengan waktu untuk memusnahkannya, sebelum malaria semakin tidak dapat diobati lagi dan menimbulkan banyak kematian. "Jika saya jujur," tambah Prof Dondorp, "Saya merasa sangat khawatir."

Kekhawatiran yang sama diutarakan Michael Chew dari badan amal penelitian medis Wellcome Trust, seperti dikutip The Straits Times.

"Sekitar 700.000 orang per tahun meninggal karena penyakit akibat resistensi obat, termasuk malaria," ungkapnya. " Jika kita tidak melakukan apa-apa, korban dapat meningkat hingga jutaan setiap tahun pada 2050."

Sementara itu, Rajesh Chandramohanadas dari Singapore University of Technology & Design mengatakan bahwa kecil kemungkinan penyakit ini akan menyebar di Singapura.

Hal itu disebabkan Singapura telah dinyatakan bebas malaria oleh Badan Kesehatan Dunia pada tahun 1982. Dan populasi nyamuk Anopheles yang membawa malaria sangat sedikit di sana.

"Ini tidak menjadi hal utama yang harus dirisaukan," ungkapnya. Namun dia menambahkan bahwa Singapura tetap rentan terpapar infeksi yang berasal dari orang asing, karena banyaknya pekerja asing atau turis di negara itu.

Hingga berita ini ditulis, belum ada laporan telah masuknya wabah malaria super ke Indonesia. Namun, perlu diperhatikan, malaria masih menjadi salah satu ancaman besar di Nusantara, terutama kawasan bagian Timur, seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara.