KOMUNITAS
Home / FORUM / All / Story / ... / Stories from the Heart /
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
KASKUS
51
244
https://www.kaskus.co.id/thread/5de0d5ec337f9364df2d12f0/pencarian-belum-usai-true-story---season-3

Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3

Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
profile-picture
profile-picture
profile-picture
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh yanagi92055
133

The Proof_Part 3

“Sebagai temen, Ja. Bukan sebagai pendamping hidup…” Ara menggenggam tangan gue. “Ja, jujur ya selama kita deket lagi, jujur aku seneng banget. Tapi setiap kali kita debat, bete-betean, atau aku dibilang ‘tumben’ terus-terusan sama kamu, atau ya momen kamu salah panggil… Aku sedih banget, Ja. Aku ngerasa terbandingkan. Ya karena faktanya di dalam hati kamu, kamu emang lagi ngebandingin aku sama Emi… Dan itu nyakitin banget, Ja. Nggak ada orang di dunia ini yang suka dibanding-bandingin. Apalagi sama mantan pacar… Aku… Nggak suka, Ja. Dari situ aku sadar… Sayang kamu ke aku itu nggak lebih dari temen… Tapi karena kayaknya kamu masih terus kesiksa dengan apa yang ada di pikiran kamu dan apa yang terjadi di rumah kamu, aku sengaja nggak bilang sama kamu… Aku nunggu momen yang tepat.”

“……”

“Ja, kamu itu selalu cinta sama Emi. Mungkin bisa dibilang kamu nggak sekedar sayang dan cinta sama dia, tapi kamu udah bisa dibilang cinta mati kali sama Emi. Nggak salah kok kayak begitu. Karena cinta mati sama cewek kayak Emi itu nggak pernah salah. Mungkin kalau aku cowok dan aku masih sendiri, aku nggak akan pernah ngelepas Emi buat siapapun. Sama kayak yang kamu lakuin ke Emi… Salahnya kamu, ya kamu terlalu nyia-nyiain dia. Emi itu tipe orang yang mikirin banget kenyamanan orang. Selalu pengen bikin orang bahagia dan nyaman… Dan efeknya, bikin ketergantungan. Rasa nyaman yang dikasih Emi itu bikin kamu ketergantungan sama dia. Itu nggak salah, tapi bagi keluarga kamu itu jadi salah. Karena ketergantungan kamu ke dia itu bikin kamu terlihat banyak berubah.”

“Tapi Emi itu ngajak aku berubah lebih baik, Ra!”

“Lebih baik buat kamu, Emi, dan orang-orang bukan berarti dianggep lebih baik di keluarga kamu. Tergantung dari sudut pandang mana ngeliatnya. Keluarga kamu mikir, kalau ada perubahan di luar kebiasaan yang ada di keluarga kamu, itu adalah perubahan yang negatif. Jadi deh Emi dianggap negatif sama keluarga kamu, apapun yang dia lakuin. Ja… Aku nggak bisa kayak Emi, Ja. Bisa sabar mengenal seseorang, bahkan bikin orang itu jadi diri sendiri pas dia bareng sama kita. Aku nggak tau bakalan bisa apa nggak. Apalagi Emi mau rela ngebantu kamu ngewujudin segala mimpi kamu… Sesabar itu dia ditengah banyaknya urusan dia sendiri? Mungkin aku nggak kuat kayak begitu. Ternyata aku sadar, kamu bisa kayak sekarang ini setelah kita lama nggak deket, itu bukan murni kemampuan kamu sendiri… Tetapi ada Emi yang selalu support kamu di belakang. Aku yakin, cuma Emi yang bisa sesabar itu ngelakuin itu.”

“Gue pun udah mikir dan bilang begitu ke keluarga gue…” Kata gue dalam hati.

“Setelah momen ke Jogja waktu itu, aku jadi sadar kalau kita emang nggak bisa lebih dari sahabat. Kadang emang nggak semua persahabatan yang berbeda gender itu akan berakhir di pelaminan. Mungkin ada, tetapi kebanyakan emang sulit. Dan salah satunya itu kita. Walaupun kita pernah saling sayang kayak begini, aku nggak akan jadi orang yang sama ketika di pernikahan kamu nanti kok, Ja. Aku juga bakalan pergi dari kehidupan kamu, sama kayak ketika aku menikah dan pergi dari kehidupan kamu dengan suami aku. Aku nggak akan pernah gangguin hidup kamu dengan Emi…”

“Kamu nggak pernah ganggu hidup aku, Ra. Nggak pernah sekalipun aku mikir begitu…”

“Tapi kalau aku yang sayang sama kamu dan kamu pernah bilang sayang sama aku, aku bisa dibilang pengganggu hidup kalian…”

“……”

“Kejar Emi, Ja… Kejar Emi lagi dan jangan pernah kamu lepas lagi dia.”

“Tapi…” Gue kehabisan kata-kata.

Gue bingung luar biasa. “Apa iya gue selama ini masih mengharapkan Emi? Apa iya selama ini gue hanya menyakiti hati Ara karena terus membandingkannya dengan Emi? Kok bisa gue bodoh banget sampai nggak sadar akan hal tersebut? Apa yang bikin gue nggak sadar sama itu semua? Rasa-rasanya gue udah semantap itu buat nikahin Ara bahkan gue udah sempet ngebayangin gimana kehidupan pernikahan kita. Kenapa sekarang hati gue kembali kalut?” Tanya gue di dalam hati.

“Ja… Sekarang kamu itu udah jauh lebih baik. Kamu harus bisa ngeyakinin dan nunjukin itu ke keluarga kamu kalau kamu itu sekarang pribadi yang lebih baik. Kalian itu putus murni karena kesalahpahaman keluarga kamu, bukan murni salah Emi seorang. Emi udah bertahan dan berjuang untuk kamu selama ini. Bahkan dia masih juga ngejelasin ke keluarga kamu ketika dia udah segitu dihinakan sama keluarga kamu. Kurang sabar dan berjuang apa lagi dia? Sekarang tinggal gimana kamu berjuang untuk ngeyakinin keluarga kamu kalau mereka salah menilai Emi. Dan kamu juga harus segera kejar Emi lagi, Ja…”

“Tapi, Ra—"

Belum selesai gue melanjutkan kata-kata, Ara sudah langsung menutup mulut gue dengan jari telunjuk kirinya. Dia mendekatkan diri ke gue dan langsung memeluk gue. Dia mendekap gue. rasa nyaman itu muncul kembali dan seiring dengan itu pula gue kembali berada dalam simpang jalan hati gue. Ara dan Emi sama-sama memberikan apa yang gue butuhkan. Gue butuh didengar. Gue butuh pengakuan. Gue butuh dilihat dengan detail dan seksama.

“Ketakutan akan kehilangan Emi itu lah yang membuat kamu menjadi orang yang berani melakukan segala hal, Ja. kamu berani menghadapi keluarga kamu sendiri dengan mengorbankan hubungan darah kalian. Aku rasa itu udah cukup membuktikan kalau selama ini yang kamu cari itu dia. Sosok seperti itu yang kamu butuhkan buat ngedampingin kamu dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kamu punya. Bukan aku. Dari dulu aku selalu berusaha untuk jadi apa yang kamu butuhin, tapi nggak bisa.”

“Kamu jangan ngomong gitu dong, kan kamu juga banyak punya kelebihan.” gue langsung memotong omongan Ara. Insecure-nya ini mirip banget sama Emi.

Please jangan potong omongan aku dulu.”

“Apa yang kamu cari itu ada di Emi semuanya. Aku tau banget, aku nggak sepintar dan secerdas kamu, Dania, dan semua mantan kamu yang notabene sekampus. Inilah titik berat kamu kan? Kamu mungkin nggak menyadari, tapi pendidikan adalah salah satu hal yang paling utama ada dibenak kamu. Kamu selalu mencari orang-orang yang tingkat kecerdasannya minimal bisa menyamai kamu, syukur-syukur lebih cerdas daripada Dania yang mewarisi kecerdasan luar biasa si Om. Dan aku nggak pernah bisa memenuhi kriteria utama yang kamu pasang dari dulu itu Ja…”

“Apa iya gue sebegitu strict-nya nyari cewek berdasarkan pendidikannya?” Gue bertanya dalam hati.

“Ingat, dulu sebelum aku masuk ke sekolah, ada Tiffany. Dia adalah salah satu cewek paling cerdas diangkatan kamu kan? Bahkan setelah dia memutuskan untuk bergabung di jurusan IPS pun dia jadi nggak ada lawannya sama sekali. Jauh ninggalin teman-teman lainnya. Tapi apa? Kamu malah bisa segitu deketnya kan sama dia? Belum lagi ada beberapa cewek lainnya yang juga tingkat kecerdasannya mirip-mirip Tiffany. Dari situ sebenarnya aku udah bisa baca kalau kamu itu orangnya pemilih dan selalu netepin kriteria tinggi untuk urusan pendidikan. Aku juga pede kok, karena aku ngerasa nggak bodoh banget buat nyetarain kamu. Tapi entah kenapa, kamu nggak pernah ngeliat aku seperti itu. Entah apa yang kamu liat dari aku kalau bukan urusan pendidikan…”

“……” Gue diem. Jujur, gue nggak suka arah omongan Ara ini.

“Kamu adalah orang yang paling vokal kalau ada kesalahan kecil yang aku lakuin di band. Dan mungkin kamu nggak sadar kalau kamu hampir selalu ngomong ‘kayak gini aja masa nggak bisa?’ Nah dari situ aja kan udah keliatan. Walaupun kita berasal dari sekolah yang sama, tapi tetep aja aku nggak bisa ngejar standar kamu. Sementara semua mantan kamu, apalagi Keket dan terakhir Emi, semua udah memenuhi kriteria utama kamu ini. Itu yang bikin aku sadar diri dulu, aku nggak akan bisa ngejar kamu. Dan nggak akan bisa diseriusin sama kamu…”

“Padahal Emi jadi satu-satunya cewek yang bisa nemuin kelemahan gue di bidang pendidikan… Dia yang bisa ngoreksi kesalahan gue, dia yang bisa bilang ‘kayak gini aja masa nggak bisa?’, dan dia yang bisa dengan mudahnya nemuin kalau gue punya kelemahan… Nggak sesempurna apa yang Ara bilang ini.” Kata gue dalam hati.

“…Hingga akhirnya aku menemukan suami aku, yang ternyata bisa menerima aku apa adanya dan membuat aku merasakan apa itu cinta.”

“Ra udah…” Gue nggak mau Ara jadi flashback kenangan sama almarhum suaminya. “Omongan ini udah mulai kemana-mana, Ra…”

I’m just saying, Ja… Kita emang saling sayang, tapi kita nggak diharuskan untuk bersama. Mungkin perasaan ini tumbuh bukan murni karena cinta. Witing tresno jalaran soko kulino. Beda dengan sayang kamu sama Emi yang emang pada nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi, Ja…”

“Apa iya begitu? Tapi, Ra… Hati aku itu udah mantap sama kamu.”

“Kamu nggak mau perjuangin sama Emi dulu? Ja… Menikah itu jangka waktunya seumur idup, Ja. Lama banget… Kalau bisa cuma sekali seumur hidup, nggak pernah diulang lagi. Kamu mau sia-siain kesempatan kamu sama dia?”

“…….”

“Kamu emang yakin bakalan bisa nerima aku apa adanya? Kamu yakin bisa nerima segala kekurangan aku yang belum banyak kamu tau itu? Kamu yakin udah kenal semua kebiasaan aku? Kamu yakin juga nggak akan pernah lagi ngebandingin aku sama Emi? Kamu udah punya standar setinggi Emi loh, yakin nggak akan terbandingkan kalau istri kamu nanti standarnya masih di bawah Emi?”

Kali ini gue yang nyenderin badan gue ke sofa. Gue tarik napas dalam-dalam. “Aku pasrah, Ra. Aku nggak yakin kalau aku bakalan diterima lagi sama Emi… Aku nggak yakin kalau Emi bakalan mau ngeliat aku lagi setelah ada Fazli…”

“Fazli? Mantan dia?” Gue menggukkan kepala gue tanda setuju. “Emang tau darimana kamu kalau Emi balikan sama Fazli?”

“Aku…” Apa nggak apa-apa ya bilang gue stalking Emi waktu itu?

“Kamu emang liat dia bareng lagi sama mantannya? Mana buktinya?”

“Aku… Nemuin Emi lagi berduaan sama Fazli di teras rumahnya. Di sana, aku ngeliat… Emi bisa ketawa dan tersenyum…” Gue menerawang jauh, gimana gue seneng banget bisa ngeliat tawa dan senyum Emi saat itu. “Kalau aku ngehubungin dia lagi… Kalau aku nemuin dia lagi dan ngejar dia lagi, entah apa dia bakalan nerima aku apa nggak…”

“Emang masalah di kalian apa sih waktu putus kemarin? Bukannya kalian putus dalam keadaan baik-baik aja ya? kalian itu bukan karena kalian berantem sebelumnya kan? Bukannya kalian putus itu cuma karena kamu yang nggak bisa ngebelain dia di hadapan keluarga kamu, Ja?”

“……” Gue terdiam.

“Kalian itu putus karena keluarga kamu mempermasalahkan Emi yang jadi bad influence buat kamu… Cuma itu. Harusnya… Kalian nggak kayak sekarang. Harusnya kamu, Ja! Harusnya kamu yang kali ini perjuangin dia! Harusnya bukan dia yang ngebelain kamu di hadapan keluarga kamu! Harusnya kamu yang bisa ngeyakinin mereka kalau Emi itu yang terbaik buat kamu!”

“Tapi mereka kan nggak mau---”

“Nggak mau apa? Nggak mau terima apa nggak mau dengerin kamu? Udah sejauh mana usaha kamu ngeyakinin mereka? Sebesar apa usaha kamu ngebuktiin ke mereka kalau mereka itu salah selama ini? Udah kayak gimana, Ja?”

“……” Gue tertohok.

Usaha gue ngebelain Emi baru sebatas debat sama Mama dan Dania. Gue belum pernah bener-bener ngebuktiin ke mereka kalau selama ini mereka salah. Bahkan saat Dania jadi penyebab putusnya gue sama Emi, gue malah terima gitu aja dan lari ke Ara. Gue belum pernah bener-bener perjuangin Emi. Gue belum pernah nunjukin keseriusan gue ke keluarga gue.

“Kamu yakin nggak kalau kamu bisa ngebahagiain Emi?”

“Aku… Nggak yakin---”

“Nggak yakin apa lagi?”

“Ra… Aku nggak yakin apa Emi bisa bahagia saat sama aku, Ra… Aku udah nyakitin dia nggak cuma satu dua kali. Udah berapa kata-kata kasar udah pernah aku lontarin ke dia? Udah berapa kali aku bohong sama dia? Udah berapa kali dia nangis sama aku? Udah berapa kali dia sakit hati karena aku? Entah apa masih ada stok kesabaran dan maaf dia buat aku…”

“Tapi apa pernah dia bilang kalau dia nggak sayang lagi sama kamu? Apa pernah satu kali dia bilang kalau dia nggak mau maafin kamu? Apa dia pernah bilang juga kalau dia nggak pernah lagi mau bareng sama kamu, Ja? Ja… Kalian itu dipertemukan lagi setelah beberapa tahun sebelumnya kalian tanpa sengaja ketemu. Kamu pernah coba selingkuhin dia dan pernah juga putusin dia, tapi apa? Kamu tetep balik sama dia… Terus satu kali, Ja. Satu kali dia mutusin kamu… Kamu langsung give up dan ninggalin dia? Perjuangan kamu segitu doang, Ja? Terus kamu masih mau mempertanyakan gimana stok kesabaran Emi? Kamu masih nanyain apa dia masih mau maafin kamu? Stop mikir dari sudut pandang kamu… Coba kamu mikir, apa yang Emi inginkan… Apa yang Emi butuhin…”

“Aku nggak tau, Ra…”

Ara megang kedua tangan gue. “Ja, bilang kalau kamu cinta banget sama aku. Sekarang bilang sama aku kalau kamu cuman cinta sama aku. Kamu nggak mau ngelepasin aku. Bilang sekarang, Ja.”

“Ra?” Gue bingung. Apa maksudnya Ara. Kenapa dia mendadak minta gue buat bilang begitu.

“Bilang yang tulus kalau kamu CUMA CINTA SAMA AKU. Bilang sekali lagi kalau kamu SAYANG BANGET BANGET BANGEEET SAMA AKU. Ayo bilang, Ja!”

“Ehm… Ra… Kenapa jadi begini sih, Ra?”

“Ayo bilang sekali lagi, Ja! Ayo!”

“Apaan sih kamu, Ra? Kenapa mendadak jadi begini sih???”

“Ayo, Ja!”

“RA!”

“Ayo, Ja! Bilang, Ja!”

“BERHENTI, RA!”

“AYO, IJA! BILANG KALAU KAMU CINTA SAMA AKU!”

“RA!” Gue berdiri di hadapan dia. “NGGAK BISA, RA! AKU NGGAK BISA! AKU NGGAK BISA BILANG BEGITU! AKU CUMA SAYANG SAMA EMI, RA!”

Gue terdiam. Ara tersenyum sembari meneteskan air matanya. “Liat kan? Siapa yang kamu sayang sekarang? Jadi, apa lagi yang kamu raguin dari perasaan kamu?”

Gue ambil handphone dan kunci motor gue. Gue udah paham apa maksudnya Ara. Gue salah. Selama ini gue salah. Bener kata Ara. Gue nggak perjuangin apapun. Gue lemah. Gue bodoh. Gue harusnya sadar ini dari kemaren-kemaren. Harusnya gue udah ngelakuin ini dari kemaren.

“Aku harus pergi, Ra! Aku nggak mau kehilangan Emi lagi.”

“Harusnya kamu nggak kesini, Ja! Harusnya kamu ke rumah Emi. Harusnya kamu kejar dia. Ayo sebelum terlambat, Ja!”

Gue peluk Ara yang kini berdiri di hadapan gue. Gue kecup kening dia. Gue mengusap air matanya. “Makasih banyak ya, Ra. Makasih udah mau dengerin aku. Makasih selalu ada di samping aku pas di masa-masa sulit begini. Makasih udah mau bersabar dengan segala ego aku. Makasih udah sadarin aku kalau selama ini aku salah… Maafin aku ya Ra kalau aku selama ini selalu nyakitin kamu…”

I’m fine, Ja… Bisa ditemenin sama kamu beberapa waktu ini bener-bener ngebantu aku refresh perasaan aku… Kejadian kita ini bener-bener ngebuka pikiran dan perasaan aku. Di sini aku ngeliat gimana yang namanya cinta sejati itu nggak akan pernah terpisahkan… Sekarang tinggal bergantung sama usaha kamu dan waktu. Aku doain kamu belum terlambat… Semoga Tuhan masih kasih kamu kesempatan buat nebus pengorbanan Emi buat kamu, Ja…”

Kami berpelukan erat. Terima kasih atas semua kisah dan cerita kita selama ini, Adinda Kiara Fitria. Semoga kita berdua bisa sama-sama menemukan cinta sejati kita.

---

Gue udah berdiri di depan rumah Emi. Padahal beberapa hari lalu, gue sempet berpisah sama rumah dan komplek ini. Sekarang, gue berdiri tegap di sini kembali. Bukan untuk kembali pasrah dan putus asa. Tapi kali ini gue datang kesini mantap. Mantap untuk mengejar kembali cinta sejati gue.

Gue melihat mobil perjuangan gue yang masih terparkir di depan rumah dia. Sepertinya mobil itu dirawat dengan baik oleh keluarga mereka. Keluarga baik-baik yang selama ini jadi keluarga kedua gue. Keluarga yang selalu tau gimana caranya berterima kasih. Keluarga yang membesarkan calon pasangan hidup gue.

“Assalamualaikum…” Kata gue di depan rumah Emi.

“Waalaikumsalam, Ja… Kok baru ngeliat kamu kesini lagi?” Suara yang sangat gue kenal menyapa gue dari belakang gue.

“Ah iya, Om…. Kemarin Ija lagi ada urusan dulu, jadi belum sempet dateng kesini lagi.”

Dan ketika ibu dan adik gue udah menyakiti perasaan Emi dengan kata-kata nggak baik, Emi sama sekali nggak ceritain itu semua ke keluarga dia. Bahkan bapaknya masih menerima gue sebaik ini ketika gue lama nggak datang kesini. Andai bapaknya tau apa aja yang udah gue lakuin ke anaknya, baik mental ataupun fisik, bapaknya nggak akan sebaik ini sama gue.

“Masuk aja, Ja… Biasanya juga santai aja. Om baru aja mau mandiin Mama.”

Saat itu udah sore. Bapaknya Emi bakalan bantu ibunya untuk mandi sore hari, setelah bapaknya pulang dari Masjid untuk Ashar. Keluarga Emi itu adalah orang yang stick to the timeline tiap harinya. Nggak aneh anaknya bener-bener disiplin dan tertib. Orang tua nya juga mencontohkan hal yang sama.

“Saya bukan mau ketemu sama Emi, Om. Saya mau ketemu Om… Ada yang mau saya omongin sama Om.” Kata gue sambil ikut masuk ke dalam ruang tamu rumahnya.

Ayahnya Emi keliatan bingung dengan ucapan gue. “Omongin? Ada apa emang, Ja?” Tanya bapaknya sambil mempersilahkan gue duduk.

Déjà vu.

Gue pernah ada di momen yang sama. Gue diterima dan disidang pertama kali oleh orang tua Emi ya di ruang tamu ini. Kedua orang tua Emi masih mengobrol di ruang tamu ini saat itu. Mungkin menunggu kepulangan anaknya yang gue ajak main ke event sampai agak larut malam. Gue beraniin diri gue untuk permisi kepada kedua orang tuanya karena telah mengajak anak orang pergi sampai malam sebagai bentuk tanggung jawab gue.

Tegang banget karena bapaknya seakan masang tampang membunuh saat itu. Gue inget banget. Tapi ternyata dibaliknya, beliau adalah bapak yang penyayang, baik kepada istri maupun anaknya. Kesabaran Emi turun dari bapaknya.

---

Gue sedang duduk di atas motor gue. Gue sekarang sedang ada di stasiun. Tangan gue masih gemetaran. Gue nggak nyangka banget dapet jawaban kayak begitu dari bapaknya Emi. Belum lagi gimana cerita bapaknya ketika pertama kali beliau melihat gue. Gimana kocaknya pendapat keluarga mereka tentang gue. Semuanya santai tapi tetap menegangkan juga.

Gue sadar. Perjuangan gue masih belum berakhir. Perjuangan gue masih dibilang tahap perkenalan karena belum dimulai sama sekali. Ini baru pembukaan. Perjuangan gue masih sangat amat panjang di depan.

Dret. Dret. Dret.

“Ja… Apapun yang terjadi, jangan pernah menyerah dari Emi ya. Kejar dia sekuat tenaga kamu. Yakinin dia kalau cuma dia yang kamu butuhin. Cuma dia yang bener-bener kamu sayang. Cuma dia, cinta sejati kamu. Jangan pernah tinggalin dia lagi. Jangan pernah sakitin dia lagi. Hargai dan jaga dia sekuat tenaga kamu… Seperti gimana dia berjuang mati-matian selama ini untuk terus bertahan di sisi kamu. Karena nanti… Semua perjuangan kamu di awal ini nggak bisa kamu balas dengan apapun di dunia ini. Kamu akan paham nanti…”

Gue dapet chat itu dari Ara. Chat ini menguatkan gue. Kalau gue nggak akan pernah melepas genggaman gue dari dia yang paling gue sayang di dunia ini… Setelah keluarga gue.

“Zy? Kamu nungguin siapa?”

Gue melihat ke arah suara. Gue tau suara ini, nggak perlu gue tanyain lagi. Gue tersenyum. Gue turun dari motor gue dan langsung menggenggam tangan dia. Gue kecup kedua punggung tangan dia. Gue minta maaf pada dia dan gue pun mengatakan hal yang penting kepada dia.

Mi… We’re gonna married.



Quote:



FIN


profile-picture
profile-picture
profile-picture
suryos dan 29 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh yanagi92055
profile picture
tom122
KASKUS Addict
@yanagi92055 hahaha gw gabisa menuntut apa" bre abisan. Ga bisa ngasih reward apa" kan haha. Ya klo dilanjut mah gw seneng bgt jd ga kentang haha
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
×
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved
Ikuti KASKUS di