Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 03:25
sehat.selamat.
JabLai cOY
al.galauwi
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
331.9K
4.9K
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2243
Spill_Part 1
Alah. Yaelah. Masa sih.

Kata-kata di atas mungkin kata-kata yang seringkali didengar di sekitar kita. Dan tanpa disadari, sebenarnya kata-kata tersebut dapat menimbulkan efek yang sangat negatif bagi si penerima. Keluarnya kata-kata tersebut terkesan meremehkan si penerima dan membuat apapun yang telah dilakukan oleh si penerima terkesan sia-sia atau tidak berguna.

Biasanya ketika si penerima mendapat ucapan tersebut, akan disertai sikap acuh yang kemudian akan mengalami efek domino dimana yang akan diingat oleh si pengucap adalah hal-hal negatif yang telah dilakukan oleh si penerima. Rasanya hilang begitu saja segala hal yang positif yang telah dilakukan oleh si penerima. Dan sikap tersebut dapat menghancurkan mental seseorang cepat atau lambat.

Kenapa gue berkata demikian? Karena gue dan Emi menjadi penerima kata-kata tersebut di rumah masing-masing. Salah satu penyebab gue jengah dengan keadaan di dalam rumah adalah bagaimana ibu dan adik gue melontarkan kata-kata tersebut atas apapun yang telah gue lakukan serta korbankan untuk mereka. Keadaannya menjadi semakin berat untuk kami karena kami mendapatkan sikap demikian dari sistem pendukung kami, yaitu keluarga kami sendiri.

Gue yakin, pasti banyak orang yang pernah merasakan hal seperti yang gue rasakan ini. Hanya saja mungkin banyak pula nggak menyadarinya. Atau mungkin di antara kita pernah ada yang tanpa disadari berkata demikian? Alih-alih memberikan dukungan, malah jadinya menjatuhkan secara tidak langsung. Percayalah, diperlakukan demikian itu sangat tidak menyenangkan dan bisa menghancurkan mental seseorang.

Mungkin keluarga gue akhirnya bersikap demikian karena merasa gue sudah menjadi sosok yang tidak lagi memiliki masa depan. Belum lagi entah bagaimana mereka menilai Emi sehingga berpikir kalau Emi menjadi salah satu faktor kemunduran diri gue ini. Semuanya menjadi terlihat sempurna, sempurna untuk dihinakan di hadapan mereka. Padahal apa yang gue lakukan di sini (yang tentunya tidak mereka ketahui) adalah usaha gue untuk membuat mereka bangga, untuk membuat mereka merubah penilaian mereka tentang gue, dan untuk membuat mereka bisa menerima Emi sebaik-baiknya Emi yang sebenarnya. Tetapi ya semua percuma saat ini.

Bahkan sekedar urusan menjemput Mama, Kakek, dan Nenek gue di Bandara pun, masih mereka ragukan. Dan gue sangat amat yakin, mengetahui kalau gue tidak menjemput mereka, Mama akan menghubungkan ini dengan hubungan gue dan Emi.

Kepulangan Mama dari Tanah Suci malah nggak membawa sesuatu yang baik buat gue. Padahal gue berharap, ketika Mama melihat gue dan Dania ada di rumah dan menyambut mereka, Mama, Kakek, dan Nenek akan tersenyum bahagia. Gue berharap banget akan ada lontaran senyum bahagia nan penuh rindu terpancar dari wajah beliau.

Itu harapan gue dan hanya sekedar menjadi harapan gue. Karena Mama bersikap seperti apa yang gue khawatirkan kemarin, Mama kecewa gue tidak datang untuk menjemput mereka di bandara. Bukannya disapa terlebih dahulu dan menunggu waktu istirahat baru mulai berbincang dengan gue. Ketika Mama melihat gue, beliau langsung berkata “Kamu kemana lagi sama Emi? Udah lupa sama Mama dan Mbah saking sibuknya pacaran sampe nggak bisa jemput di bandara? Kamu lebih khawatir diputusin Emi daripada kehilangan keluarga sendiri? Iya begitu, Kak? Kamu ini, ampun deh. Ditinggal Mama ibadah kok ya malah sibuk ngurusin dunia mulu.” Gumam Mama sambil masuk ke dalam rumah.

Gue terdiam tak berkutik. Gue kaget dan bingung mau bersikap seperti apa saat itu. Gue malu, karena ada Om Dani dan keluarga di sana menyambut kedatangan Mama, Kakek, dan Nenek. Gue sedih, karena hal pertama yang diucapkan oleh Mama setelah 10 hari tidak bertemu adalah kalimat-kalimat yang kurang menyenangkan. Gue kecewa, karena Mama percaya sepenuhnya pada adik gue dan tidak mau mendengarkan penjelasan gue sama sekali.

Daripada gue menjadi kehilangan akal dengan berteriak atau membanting sesuatu di rumah, gue masuk ke kamar gue dan mengurung diri di sana. Biar Mama dan seluruh keluarga gue semakin puas menilai negative tentang diri ini.

Karena gue terlalu sibuk dengan urusan emosional yang merusak mental gue dari dalam ini dengan keluarga, gue sampai lupa memberi kabar pada Emi kalau kami tidak jadi menjemput Mama ke bandara. Saat itu Emi berpikir kalau gue sudah membawa mobil dari rumah dia dan akan menjemput dia di stasiun dekat rumah gue. Tapi ketika dia sudah menunggu beberapa lama di stasiun, dia melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah saat gue memberi tahu kalau Mama sudah sampai di rumah.

“Yaudah aku nyambut Mama kamu via chat aja nggak apa apa ya? Nggak enak kalau aku ke rumah kamu sekarang, pasti lagi banyak tamu dan keluarga kan.” Ucapnya via chat. Andai dia tau apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Tetapi gue yakin, itu akan semakin menyakiti perasaannya.

---

Tamu Mama satu per satu datang ke rumah untuk mengucapkan selamat datang dan selamat karena Mama telah menyelesaikan ibadah umrohnya dengan lancar. Mama menerima mereka dengan baik dan ramah. Begitupun dengan ucapan via telepon dan chat. Satu per satu Mama balas. Entah bagaimana nasib chat Emi ke Mama karena gue yakin ucapannya sudah sampai dan dibaca sama Mama. Ingin rasanya gue menanyakan Mama apa Mama menerima chat dari Emi dan apa Mama sudah membalasnya. Tapi gue yakin, Mama pasti murka. Dan gue males harus merusak mood baiknya saat ini.

“Haduh Mama capek. Mama mau istirahat dulu.” Ucap Mama sambil duduk bersandar di ruang keluarga. Gue duduk di depan TV sedangkan Dania duduk sembari memainkan handphone dia di sebelah Mama.

“Istirahat dulu Ma. Mama dari sampe kemarin belum istirahat lho. Nerima tamu terus. Padahal tamunya pasti gapapa kalau misalnya tau Mama lagi istirahat tidur. Mbah aja langsung istirahat di rumah Om Dani saking capenya.” Kata gue mencoba menenangkan Mama.

“Emang kamu bisa dipercaya buat ngeberesin rumah, buat nerimain tamu, dan buat bagi-bagiin oleh-oleh begini ke orang-orang? Jagain adik sendiri aja nggak bisa. Apalagi dikasih amanah kayak begitu. Yang ada malah kabur kamu entar kalau dikasih tugas begitu.”

“Kok malah bawa-bawa jagain adik sendiri? Mama emangnya ngeliat Dania kenapa-kenapa? Dania biasa aja kan? Sehat walafiat pas Mama pulang kemarin. Nggak ada lecet sedikitpun. Kenapa masih aja aku yang disalahin sih?”

“Emangnya Mama nggak tau kalau kamu kerjaannya pacaran terus. Sibuk kesana sini, nginep mulu di rumah Emi, atau pulang kerja tapi sampe di rumah dini hari. Apa-apaan kayak begitu? Siapa yang ngajarin kamu jadi berandalan kayak begitu? Kalau tau ibunya lagi ibadah di sana mbok ya di rumah banyak-banyak berdoa buat keselamatan Mama, bukannya malah jadi kabur-kaburan nggak betah banget di rumah. Lagipula udah tau Dania kondisinya lagi begini, bukannya diperhatiin dan dijagain. Malah sibuk merhatiin dan jagain anak orang yang nggak jelas---”

“Mama emang tau darimana aku ngapain aja di sini?”

“Mama itu ibu kamu! Mama tau lah kelakuan kamu kayak gimana kalau ditinggalin sama Mama!”

“Mama tau kelakuan akua tau MAMA DIKASIH TAU DANIA tentang kelakuan aku? Iya kan?

“Kok lo kesannya bilang gue tukang ngadu sih Kak?” Dania terlihat nggak terima dirinya dibawa-bawa di dalam debat gue dengan Mama. Tapi gue nggak salah.

“Gue bilang apa kemarin? Nggak usah ngehubungin Mama terus! Biarin Mama tenang gitu ibadahnya. Jangan digangguin terus. Ngapain sih lo malah ngehubungin setiap saat dari sini? Gue paham lo kangen Mama, gue juga. Tapi ya nggak kayak gitu caranya lah. Eh ujung-ujungnya malah cerita gue ngapain aja di sini yang nggak lo tau. Apa namanya kayak lo bukan tukang ngadu?”

“IJA! Dania itu lagi hamil! Jangan dibentak gitu!”

“Mama juga kenapa sih Mama nggak pernah mau dengerin penjelasan Ija? Mama cuma mau denger dari satu sisi doang. Mama cuma mau dengerin apa yang Dania bilang daripada omongan Ija. Aku masih anak Mama kan? Aku masih punya hak yang sama kan kayak Dania buat didenger?”

“Buat apa nanya ke kamu lagi kalau Mama udah dapet dari Dania, Ja? Yang ada kamu malah belain diri sendiri dan bela-belain pacar kamu itu. Udah, kamu diem aja Ja. Nggak usah teriak-teriak lagi. Kamu itu cuman bikin Dania stres di kehamilannya ini. Kamu nggak boleh mikir negative sama adik sendiri. Paham kamu?”

“Mikir negatif? Nggak kebalik Ma? Adanya juga Dania kan yang selalu ngabarin hal-hal negatif tentang aku. Kalau dia nggak ngabarin Mama tentang hal-hal negatif, yang sebenarnya cuma suudzon dia doang, Mama nggak akan bersikap kayak begini kan?”

“………”

“Terus lagi, ketika kemarin ini aku udah janji sama Mama buat jemput Mama di bandara terus tiba-tiba aja Dania bilang kalau Mama dijemput sama Om Dani. Mama langsung nyalahin aku kan setelahnya? Mama emang nanya ke aku kenapa aku bisa nggak jemput Mama? Nggak kan? Tapi Mama malah dengerin semua yang Dania bilang begitu aja. Kalau sekarang aku bilang fakta kalau ternyata Dania itu asumsi sendiri dan bikin aku batal jemput Mama, apa Mama mau percaya dan salahin Dania?”

“………”

“Kenapa diem aja Ma?” Gue mengalihkan pandangan ke adik gue, “Kenapa lo ga bela diri Dania?” Gue kembali ke Mama, “Sadar kalau omongan Ija bener sekarang?”

“Udah ah Kak! Sekarang nggak usah nyalah-nyalahin orang Kak.”

“Salah-salahin orang? Kok kesannya Ija yang nyalahin orang? Masih nggak mikir Dania juga salah? Mama sekarang masih belain Dania jadinya? Yang duluan mulai nyalah-nyalahin orang siapa sekarang? Bukannya Dania ya? Aku yang ngapa-ngapain loh.”

“Tapi sampai kemarin ini kan lo masih sibuk ada acara di luar kan? Sama band lo juga? Apa lo nggak banyak acara namanya? Bukannya mau jemput Mama tuh ya di rumah, jangan keluyuran mulu!”

“Udah nggak usah bahas urusan gue dan band gue. Lo sama Mama nggak mau perkarain juga fakta kalau Adit nggak meluangkan sedikit waktunya untuk jemput Mama juga? Cuman gue terus yang diperkarain. Padahal kalau gue jadi jemput, gue pasti bawa Emi. Tapi kalau lo ikutan jemput, emang Adit bakal ikut? Nggak kan? Terus gimana sikap Mama?”

“Yeee bawa-bawa suami gue. Dia jauh kali. Lo cuma nyari-nyari kesalahan orang namanya Kak! Udah nggak usah ngeles lagi lo!”

“Dania! Ija! Udah udah! Mama capek denger kalian berantem terus kayak gini! Mama pusing dengernya!”

“Aku sama Dania nggak ribut-ribut. Dia juga sebenernya nggak nyusahin aku kok. Hanya aja, mindset Mama dan Dania ke aku itu udah keburu negatif duluan dan terus menerus. Jadinya apapun yang aku lakuin akan ada salahnya. Orang dimana-mana mengambil hikmah dari sebuah kejadian, lah Mama dan Dania malah mengambil sisi buruk, bukan baiknya. Gimana sih?”

“Makanya kamu itu jagain adik kamu yang bener. Kan mama udah nitip sama kamu.”

“Aku kurang bener apa jagainnya? Emang sekarang Dania kenapa-kenapa? Bayinya mati di dalam kandungan? Kan nggak. Semua baik-baik aja. Nah ini contohnya sekarang. Dania nggak kenapa-kenapa, kandungannya nggak bermasalah. Tapi apa? Aku tetap aja ada salahnya. Padahal AKU NGGAK NGAPA-NGAPAIN! Kalau aku ngapa-ngapain, mungkin Dania udah mati bareng bayinya sekarang Ma!”

“KAK! Kamu apa-apaan sih ngomong kayak gitu? Seneng kamu kalau adik kamu kenapa-kenapa?”

“Sekarang aku tanya Mama. Mama seneng kalau anak sulungnya ini kenapa-kenapa? Pernah mikir begitu nggak? Jangan mentang-mentang Dania lagi hamil terus aku dianggep bukan anak Ma. Aku bisa aja stres sampai akhirnya berpikir buat bunuh diri karena selalu disalahin di setiap pergerakan aku. Apa Mama pernah berpikir sampai kesana? Karena aku udah berpikir sampai di titik itu kalau Mama mau tau!” Emosi gue mulai nggak terkendali. Gue berbicara sambil menghentakkan kepalan tangan kiri gue ke meja.

“Kok kamu kayak nggak punya agama sih Kak? Sampai begitu mikirnya. Kamu emang pernah diajarin jalan pintas kayak gitu sama Papa Mama selama ini? Diajarin nyontek aja nggak pernah kan?”

“Nah, liat lagi nih sekarang. Aku udah ngeluarin unek-unek kayak gini aja, bukannya Mama merubah pola pikir, malah nyalahin aku lagi kan kenapa sampai berpikir kayak gitu? Bukannya Mama mikir kek dikit, kenapa kok anak Mama bisa sampai punya pikiran begitu? Apa yang salah? Gitu Ma harusnya. Masa kayak gitu mesti aku yang ajarin?”

“Kamu ini sekarang berani banget kalau ngomong sama orang tua…..”

“Dania aja berani ngomong negatif dan selalu nyalahin aku. Aku kakaknya. Aku lebih tua dari dia. Tapi kenapa dia boleh aku nggak?”

“Siapa yang ngebolehin Dania sih kak?” Mama mulai emosi juga sekarang.

“Ya Mama, masa Mbah?! Mama kan selalu denger omongan Dania. Secara nggak langsung Mama memberi lampu hijau buat Dania, seolah semua pemikiran Dania tentang dunia ini pasti benar menurut sudut pandang dia. Termasuk jelek-jelekin kakaknya sendiri. Iya apa iya, Ma?”

“…….”

“Kok Mama diam? Berarti baru sadar sekarang? Selama ini kemana aja Mama? Ya Mama pergi terus ke alam pemikirannya Dania. Tapi nggak pernah mampir ke alam pemikiran aku. Makanya jadi Mama nggak tau apa yang terjadi di sekeliling selain dari Dania, Dania, dan Dania terus……”

“…….” Mama melanjutkan diamnya.

“Inget kita dulu pernah punya rumah yang sangat besar dan semua yang kita impikan ada disana? Tapi liat komplek perumahannya? Kanan kiri nggak kenal. Nggak pernah tegur sapa. Hanya Papa dan Pak Toni aja yang akrab karena suka ngobrol di pos satpam sama orang-orang kelas bawah tapi punya andil besar di pengamanan komplek kita. Nah Mama ini posisinya kayak tetangga-tetangga tajir parlente kita yang nggak peduli kanan kiri. Sementara aku ada di posisi seperti Papa yang bisa berbaur kemanapun, tapi nggak keliatan sama orang-orang disekitarnya. Bener apa nggak?”

“……..”

“Nah, Mama aja selama dulu bertahun-tahun tinggal disana selalu mengeluhkan keadaan yang sangat berbeda dengan komplek rumah lama kita yang kembali kita tinggali ini sekarang kan? Disini kehangatan bertetangga sangat terasa. Walaupun komplek ini pun banyak sekali orang-orang mapan, tapi kanan kiri saling kenal dan peduli. Sekarang Mama malah termasuk jadi golongan yang dulu selalu Mama keluhkan. Itu kan namanya kemunduran Ma? Iya nggak? Mama daritadi diam aja, ngerti nggak yang aku omongin? Nanti aku udah ngomong panjang lebar dengan analogi-analogi yang mudah dipahami, ujung-ujungnya aku tetep disalahin. Tetep nyari celah kesalahan yang bisa diambil dari aku.”

“Mama itu nggak nyalah-nyalahin Kamu ataupun adik kamu loh, Ja.”

“Kan, bener kan. Belum juga beberapa detik aku ngomong. Kembali lagi kayak gitu. Udah jelas-jelas aku selalu disalahin. Sekarang malah bilang nggak nyalahin siapapun. Udahlah, kayaknya emang tinggal nunggu matinya aja baru pada sadar….”

Seperti biasa, gue langsung membanting pintu dan keluar rumah. Gue mengendarai motor dan mampir ke rumah Drian yang memang sangat dekat jaraknya dengan rumah gue. Disana pun gue disambut oleh Neneknya yang memang tinggal disana. Beliau sudah lama sekali nggak melihat gue main kerumah itu dan merasa sangat senang.
putudarmaji
khodzimzz
caporangtua259
caporangtua259 dan 29 lainnya memberi reputasi
30
Tutup