anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
Kekuatan Jahat di Rumah Duka
Hujan mengguyur kencang ke seluruh atap-atap tua dusun. Jauh dari kekacauan badai, menyala sambaran api meliuk-liuk di perapian beranda utama. Sonita berjalan mengikat rambut ke punggung, kemudian melipat tangan, berdiri mematung ke ambang pintu ruang tamu. Santi berjam-jam lamanya duduk menekur depan peti mati Sonia. Entah, apa merasuki dinding kepala gadis itu, barang tentu muncul harapan Sonia mampu bangkit dan menjenguk senyum manis ke wajah harunya. Mereka barulah mengenal tiga tahun, mengapa selamat tinggal itu sangat cepat, melampaui seluruh perpisahan di buku-buku cengeng murahan.

“Tidurlah. Aku gantikan.” Sonita bersila ke samping Santi. Santi masih melujurkan celana sembari membuka-buka majalah.

“Menurutmu,” Santi mengalihkan mata ke Sonita.

“Apa aku pantas menulis di majalah?”

“Kau tertarik ke sana?” tanya Sonita.

“Sepertinya menguras pena lebih merepotkan dari mengawini perjaka di musim bercinta begini.”

“Bicaramu selalu sulit kumengerti.”

“Kapan Arwan datang?”

“Kalau tidak ada kesulitan. Saudaraku tiba shubuh petang. Keluargaku datang ke mari sekaligus.”

“Bagus.” Santi membuat jarak ke belakang. Punggung itu berhenti ke barisan pintu-pintu tertutup. “Pernah menginap di sini? Rumah ini bagus sekali. Bahkan kupikir penatu dan biaya pasti lebih mahal dari motel ternama.”

“Tidak ada orang betah di sini. Saluran wc selalu mampet. Belum lagi lempengan ubin banyak didiami kutu-kutu ganas. Aku sarankan pulang itu lebih baik dari menginap.”

“Kacau.” Santi menerawang pintu paling jauh dan terpusat di tengah lorong. “Ah, pasti ada mayat di sana.”

“Tidak ah!” Sonita lari menyeret pinggang Santi ke meja bertaplak renda-renda. “Makan dulu. Aku sadar kau lapar. Sehingga liurmu lebih menjijikan dari a*****.”

“Pelayan terkutuk pantas lahir darimu.” Santi membuka waskom berisi nasi putih dan merobek daun pisang kemudian menyuling santan ke sana. Santi mulai menyuap pelahan-lahan ke mulutnya.

Sonita meraih botol selai membalur kacang mete ke sebulat roti hangat dari oven. Mereka makan begitu lahap, ditemani desau ranting-ranting pohon, bayangan pohon cungkring mengimbak-imbak tertiup hujan besar. Sekeliling rumah terpatri tembok berduri, mustahil maling nekat melompat, menudingkan parang atau sejenisnya. Mereka lebih lihai menjahati rumah-rumah sepi diujung kebon setapak, atau golongan monarki yang hamburkan uang menguasai berhektar-hektar tanah dusun hingga kuburan. Barangkali di tanah kuburan itulah mereka karuniakan mimpi paling indah di sana.

Tidak lama kebisingan luruhan daun-daun hujan berhenti. Seluruh lampu-lampu jalan mulai menyala, lapangan bola memantulkan kelap-kelip lampu piring, keheningan di sana hirap manakala muncul derung motor kumbang makin cepat, menjangkau pelataran rumah duka. Santi yang menidurkan dahi ke atas peti mati terbangun, terdengar pintu diketok-ketok keras. Sonita berjalan cepat-cepat membuka pintu, seketika muncul bayangan lelaki berpayung hitam di tengah-tengah gardu taman. Sonita melangkah hampiri siluet lelaki itu dekat-dekat. Tanpa disadari melayang tepukan tangan ke puncak kepalanya. Sonita kekagetan. Santi menyorot senter dan Sonita mengalihkan ke seberang. “Siapa lelaki itu?” telunjuknya menuding jauh-jauh ke jurusan taman depan.

Santi berhenti membelakangi pohon-pohon tinggi di tengah pekarangan. Pemuda itu sedang mematung memayungi kepala dengan payung hitam. Santi menepuk keras-keras pundak lelaki itu. “Arwan!”

Lelaki itu tidak lama menengok dan benar itu Arwan. Arwan melepas jas hujan tebal dari tubuhnya dan bergegas lari ke geladeri. Menyusul Santi terpontang-panting di belakang. Sonita menarik bangku dari besi dan duduk menopang dagu ke tangan. “Malam ini begitu berbeda dari sudah-sudah.”

“Hilangkan kecemasanmu.” Arwan membagi sigar terbakar ke Sonita. Sonita meniup kobaran api dan menyedot asap dalam-dalam.

“Oh-kau Wan!” Santi baru tiba dan melempar payung warna-warni ke sembarang arah. Kemudian duduk bersila depan pintu. “Kupikir kau pembunuh yang mau habisi kami.”

“Payah!” Sonita melempar gulungan koran bekas ke Santi.

Santi membuka surat kabar lebar-lebar dan membacanya kembali. “Hujan tinggi masih akan terjadi. Barangkali listrik padam kembali. Bersiaplah ada hantu bangkit dari baka.” Santi menakut-nakuti dengan tangan mencakar-cakar.

“Pikirmu Sonia mampu bangun dan mencakar tubuhmu?” Sonita membubung asap sejuk ke udara.

“Sonia pasti membunuhmu dulu. Kau telah hinakan orang mati. Orang mati butuh ketenangan abadi.” Santi mengutuki.

“Tidak. Lagipula, Sonia sangat baik, mustahil dia menerkam dan mencabik mulutku seperti babi.”

“Monyong a*****.” Santi menutup topi ke wajah cengar-cengir Sonita.

“Berapa jumlah anjing di desa ini?”

“Memang ada apa dengan itu?” Santi telah berdiri ke tengah meja serambi.

“Lihatlah nanti. Kalau benar tidak ada satu atau dua lolongan. Berarti arwah Sonia benar-benar damai di sisi Tuhan.”

“Ah-kau gendeng!” Sonita memukul dua belah pundak Arwan.

“Aku kan cukup baca mitos. Kalau kau marah. Berarti kau lebih dungu dariku.”

“Ayo!” Santi menarik-narik tangan Sonita ke dalam. “Ada mau kutunjukan padamu.”

“Mau apa?”

“Sudah jangan cerewet!” Santi tertawa-tawa rendah dan mereka berduyun-duyun menuju ke lorong. Sorot-sorot senter menari-nari di gelapnya sepanjang koridor. Arwan berhenti ke hadapan potret keluarga. Potret itu dibingkai berat, di sana Sonia dipangku neneknya di sebuah kursi dari rotan. Boneka teddy itu didekap erat-erat tubuhnya. “Sonia begitu kecilnya di gambar ini.”

“Tidak terasa semua itu telah lenyap.” Santi mendatangi tubuh Arwan.

Sonita menuding senter ke potret tua itu. “Aku bingung. Apa membuat Sonia pergi secepat itu. Di potret ini, dirinya seperti iblis kecil, yang menunggu terbangun pada suatu malam.”
“Gurauanmu sanggup bangunkan Sonia ke alam manusia.” Santi berbisik melenakan telinga Sonita.

“Wan!” panggil Sonita berbalik tubuh.
Arwan muncul dari tangga gelap kemudian mendorong satu peti berat. Sepertinya buffet kecil itu berisi macam-macam. Pikir Santi. Mereka mencongkel gembok dengan puntiran obeng besi. Seluruh kuncian terbuka menyemburkan debu hebat ke udara. Arwan duduk-duduk kembali ke serambi. Menyusul datangnya Santi ke sebelahnya.

Sonita menyorot senter ke ilustrasi. “Lihat. Ini gambar iblis yang merayap dari cangkang telur. Itu berarti Sonia tidak bohong.”

“Tunggu!” Santi mengarahkan pucuk senter Sonita ke tulisan abjad di bawahnya. “Kenapa kalimat ini dihapus separuhnya?”

“Nah,” Arwan selesai menyatukan potongan koran ke lembaran kurang itu. “Bacalah itu.”

“Kau berani?” Santi bertanya.

“Ini serupa mantra kebaktian sabat hitam.”

“Berani kau baca ini keras-keras depan peti mati, Sonia?” Santi mengulang tanya.

Sonita membisu beberapa waktu dan melepaskan topi dari kepalanya. “Aku ragu.”

“Justru itulah.” Arwan berdiri kembali ke sebelahnya. “Kita coba kebenaran itu benar tidaknya. Kalau tidak. Berarti semua ini cukup karangan mengada-ngada.”

“Arwan benar.” Santi matikan senter. “Kita telah berada di tahun yang hampir mendekati kemajuan. Setengah dekade lagi 90an tiba. Kita telah berada di puncak peradaban. Segala mengenai mitos, harus kita patahkan sebelum warna-warni 2000 ribu lahir ke dunia.”

“Ya,” Arwan menyahut. “Sekarang aku dampingimu.”

“Mengapa mesti aku?”

“Di kitab sabat hitam, hanya perempuan sedarah yang mampu tiupkan benih setan ke tubuh mati itu. Kau kan wanita, aku lelaki, jadi lebih ampuh mantra itu dihidupkan dari lidahmu.”

***

Mereka rampung mencari kesediaan ritual. Sebuah loyang berisi media boneka kotor semasa Sonia hidup di taruh bisu ke sana. Satu buah templok kecil diletakkan ke tengah-tengah sesajen. Nyala lilin-lilin memancar menaungi seluruh peti mati. Arwan selesai menyulut api ke mimbar ritual. Sonita menutup semua pintu hingga jendela. Santi mematikan sambungan listrik. Penerangan terbit dari beragam lampu-lampu minyak.

Dua tangan Sonita gemetar menampung kitab lusuh diiringi nyanyian-nyanyian sendu dari tabung gramapun. Samping kiri kanan Santi bersama Arwan melantunkan lagu perpisahan paling sedih. Tembang itu diulangi terus-menerus hingga tidak terasa suasana makin mencekam. Sonita mengangkat tinggi-tinggi kitab sabat setan dan menaruh ke atap peti mati. Sembari terus merapal ajian dari tulisan tempelan di sana. “Ascolto!” tepuk telapak Sonita ke permukaan dingin peti mati. “Virtus occulta! Evenite!” sentak suara itu merambat ke seluruh ruangan hening dan desir tubuh Santi hingga Arwan makin meninggikan suara mereka. Lagu kesenduan itu masih riang terputar-putar dari gramapun dan tanpa sadar: piringan macet, curahan nada tersendat-sendat, birama violin seakan tercekik putaran mengerikan tuas pemutar.

Arwan terbangun dari posisi kemudian menarik keras kotak aki memadamkan gerutuan tembang. Santi menidurkan wajahnya menatap langit-langit kamar keluarga. Sonita menyalakan semua lampu dan menggelar karpet ke samping tubuh Santi. Arwan memusat senter ke seberang jendela temaram di luar sana. Sepi. Keheningan itu menjadikan mereka semakin yakin ruh jahat itu benar-benar tipuan. Tidak ada kebenaran mampu lahir dari peristiwa sabat kegelapan barusan.

***

Jam pendule mendentum beberapa kali, jarum melesit pukul satu dini hari. Wajah Santi berusaha terjaga, membuka kembali selebaran majalah dari Sonia.

Sonita beralih duduk-duduk ke sebelahnya. “Kapan waktuku tiba?”

Santi menaruh majalah ke pangkuan. “Apa maksudmu? Aku mengantuk.” Santi menguap lebar ke wajah Sonita.

“Kau rajin membaca itu. Barangkali kelak namamu muncul di sana.”

“Menjadi penulis?” Santi mengakak. Kemudian merebahkan punggung ke sofa. “Orang lebih suka membaca penulis senior dari penulis penuh omong kosong sepertiku.”

“Kan, biasa dari omong kosong, mampu berangkat jadi kenyataan, kalau banyak ditiup kebohongan ke sana?”

“Itu lebih mengerikan lagi. Menulis ibarat kau memberi makan naluri. Dan nalurimu kalah gemuk dibanding mereka gede omongan darimu.”

“Itulah baiknya kau jangan pandai mengarang. Nanti orang mengecapmu dosen murahan.”

“Biar murah. Setidaknya aku tidak sempoyongan riset. Riset itu nutrisi sebelum bertempur hadapi janggut setan.”

“Mereka boleh berkepala besar. Banyak pula berwajah sejuta kebohongan. Anggaplah itu hiburan sebelum kau mati.”

“Aku mau bikin kopi. Kau pesan apa?” Santi mengedar pandang ke dapur belakang.

“Tidak usah. Sediakan wine saja.” Sonita berlalu menutup pintu dapur.

***

Santi tertawa pelan-pelan kemudian mengocok-ngocok gelas ke pancuran wastafel pembuangan. Melanjutkan memasak ceret hingga menuang ke dalam termos kecil. Menunggu air matang sayup-sayup Santi mendengar anjing melolong panjang, sangat lama, rintihan hewan itu begitu sendu, seakan-akan malam dingin itu badai mengerikan akan tiba ke dusun. Kaca ventilasi ditutup Santi tiba-tiba, tubuhnya melenggang ke depan kompor, mematik cerutu kembali, mengucur termos hangat ke dalam seduhan gelas dari kaca.

Santi melenggok langkah ke luar dapur, keadaan rumah makin membuat kulitnya panas, hawa dingin lenyap berganti menjadi gerah. Gadis itu melepaskan shal merah muda dan mengendurkan kancing sweater putihnya. Kalung liontin berisi potret itu diletakkan ke bawah lampu tidur. Santi mendaratkan tubuh ke samping Sonita yang menyodok-nyodok tongkat perapian. Sonita menyambar segelas wine dengan sangat cepat, meneguknya berulang-ulang. Santi menatapnya aneh. Arwan kembali dari beranda utama, memandang heran saudarinya.

Sonita meminta minuman lagi seakan sangat dahaga. Santi menyanggupi kemudian berlari ke pintu kulkas, sebotol susu diambilnya, perempuan itu mengangsur sedikit demi sedikit susu ke gelas, namun kecepatan tangan Sonita makin rakus menenggak, botol itu sekejap tumpah ke lehernya. Sonita serupa orang yang lari dari gurun pasir ke mari, gadis itu melarikan punggung ke kulkas, menumpahkan seluruh air ke sekujur tubuhnya. Perempuan sweater merah muda itu meraung, menggaruk-garuk tengkuk, mengejang-ngejang ke lantai, mengguling-guling.

Santi berlari ke arahnya, gadis itu menepuk-nepuk pipi Sonita, Sonita tetap tidak merespon, tubuhnya terus menggigil dan meliuk ke sana ke mari. Hingga tibalah Sonita melompat tinggi ke meja makan dan mengobrak-abrik seluruh hidangan. Gadis itu terhuyung-huyung persis anjing sekarat, seluruh punggung itu terkapar meniban lantai. Arwan mengejar tubuh saudarinya ke sana, namun tidak lama, wajah Sonita terbeliak, dua belah matanya melebar, menuju ke sekujur kakinya, menegang, terdengar sayatan dari sana. Sonita merangkak-rangkak dan memuntir lehernya ke punggung. Santi menubruk lampu tidur. Arwan terperangah hebat menatap kengerian itu.

Gadis itu terjatuh ke karpet kemudian pinggang itu terputar ke depan, mukanya mengembis-ngembis, menonjolkan tulang-tulang keras, luar biasa menakutkan.

Sonita tertawa-tawa makin mengerikan, mulut itu membuka sangat besar, bunyi geraman memutuskan lehernya. Sonita ambruk ke tanah usai mencabut seluruh kepalanya. Santi terluntap ke dinding, menjatuhkan dua belah tangan ke lantai, perempuan itu menatap penuh iba, menendang-nendang selujuran celana ke depan. Arwan memeluk pinggul kedinginan Santi.
Mayat Sonita hampir ditutup kain putih dari mori yang diambil bersama Santi. Santi mengalungkan liontin ke sebujur jasad mengerikan Sonita. Tidak lama dari itu terdengar suara bising dari beranda utama, gramapun tiba-tiba berputar sendiri. Santi segera mencabut tabung ampli, melempar keras ke tanah. Dua belah tengkuk wanita itu dibelai kedinginan hebat, secepat mungkin wajahnya berotasi ke peti mati Sonia. Semua penutup kain peti mati itu terbang ke udara, angin kencang meniup dari seluruh penjuru rumah.

Santi merapatkan pundak ke jenjang tangga, tidak lama, tutup peti bergetar hebat, mulut peti itu bergerak-gerak. Sebuah jemari-jemari runcing, begitu tajam dan mengerikan, mencengkeram dari dalam peti mati. Hitungan detik peti itu terbuka memuntahkan makhluk mengerikan dari sana, makhluk itu bergaun putih serupa Sonia, benar, Sonia telah menjelma menjadi iblis terkutuk.

Santi menjerit-jerit. Kepanikan itu semakin menjadi-jadi. Arwan datang dari selatan pintu dan memukul keras kepala Sonia. Sonia tersenyum dengan wajah bercula, dua belah bibir itu bertaring runcing. Arwan menuding-nuding revolver paterson ke mayat mengenaskan itu. Semburan peluru membuat tubuh Sonia makin lemah dan akhirnya jatuh ke lantai.

Arwan menendang punggung mengerikan itu, tidak lama keheningan pecah dengan Sonita melompat tinggi-tinggi dari puncak loteng dan menggaruk punggung Arwan. Arwan mendorong seluruh tubuh Sonita ke hamparan perapian panas, makhluk itu berteriak-teriak hebat. Sonita hangus dihembus juluran api bertubi-tubi.
Sonia menerjang pukulan pedang ke wajah Santi. Santi menggelinding ke permadani, menghindari setiap serangan mematikan. Arwan datang meletuskan pucuk mesiu ke wajah Sonia. Sonia meledak berpuing-puing tercium pistol dahsyat itu. Seluruh tubuhnya ambruk ke jilatan-jilatan perapian menyala-nyala. Santi mendekati Arwan dan mereka jauhkan punggung dari kekacauan mengerikan itu. Lanjutan di bawah ....

Part 2
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...941708fe178b19

Part 3
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...3ccf2ed47ab39d

Part 4
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...53d84993524dd6

Part 5
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...d22a79411403ad

Diubah oleh anasaufarazi810 03-08-2023 12:24
Bgssusanto88
indrag057
rafisullivan354
rafisullivan354 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.5K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
#7
Part 5
Hujan meledak menyemburkan guyuran kencang menyapu bumi. Diluar kilat-kilat berkejaran satu dengan lain, seperti tangan-tangan dewa memburu iblis.

Pintu dibuka sekali hentakan. Lydia menyuruh Santi duduk pada meja. Sementara itu Lydia mandi ke dalam kamar belakang. Tidak lama, mereka sudah saling hadap di meja makan, Santi mengambil nasi dengan sambal pedas dan Lydia tetap senyum menunduk. Keduanya makan dengan sabitan sendok menggebu-gebu, seperti tidak makan setelah kematian.
“Siapa membuatmu jadi begini, Lydia?”
Lydia belum menjawab. Gadis muda itu justru terisak dalam-dalam, dan semakin kuat mendekap Santi erat-erat.

“Sudah kau obati lukamu?”

“Aku tidak berani,”

“Itu sebabnya, kau selalu mengenakan koyo dan kayu putih?”

Lydia mengangguk masyghul.
“Siapa sudah bikin dadamu begitu?”

“Aku malu Santi!” raung Lydia menggoncang tubuh Santi dalam pelukan.

“Kau disakiti lelaki? Katakan siapa!”
Lydia menaik pandangi Santi penuh bimbang.

“Aku kawanmu sekarang.”

“Sungguh, aku tidak bisa mengatakan itu padamu.”

“Apa sudah kau alami, itu juga apa sudah terjadi padaku, kita sama sebagai perempuan.”

“Sekarang, ceritalah.”

Lydia berbaring pada pangkuan Santi dan mereka melihat bayangan masing-masing sendu dicermin.

“Ayahku diancam.”

“Mereka ingin aku menyerahkan harga diriku.”

“Setiap pagi, kakak kelasku datang, menyeretku ke gudang dan aku selalu menolak. Sebagai gantinya, dadaku dihisap dan disayat hingga berdarah.”
Santi menyalang menatap langit-langit kamar.

“Biadab!”

“Nanti malam kuantar kau ke dokter. Sudah berapa kali mereka lakukan ini padamu?”

“Seminggu lebih.” Sekali lagi Lydia terseguk-seguk sembunyikan wajahnya.

“Maafkan aku!” peluk Santi hangat dan menenangkan Lydia. Lydia tersenyum dalam sentosa, terberkati seisi jiwa dan keluarganya, termasuk anjing rumahnya belum lagi beranak, semoga cepat diperanakan.

“Tidak masalah, Santi, kau sudah cukup baik padaku.”

“Buat apa kau pakai koyo? Bukan itu tidak mampu sembuhkanmu?”

“Nenekku di Perth. Selalu mengatakan, jagalah dirimu dengan sesuatu yang sanggup memanaskanmu. Dan besarlah kau sebagai betina yang mahir dalam apa pun. Begitu pesannya.”

“Tidak kumengerti.” Senyum Santi menggeleng berulang-ulang.

“Apa rencanamu?”

“Kau berjanji takkan bocorkan?” Lydia mengusap-usap keras pipinya.
Santi menyanggupi dengan tawa mesem.

“Membunuh mereka.”
Santi geragap luar biasa dan dia mengusap pelipis Lydia berkali-kali.

“Kau hanya akan membuat polisi makin meraung habisimu!”

“Bukan dengan kriminil.”

“Lalu?” tanya Santi mengikuti Lydia duduk ke meja makan.

“Membinasakan mereka dengan mantra.”

Tidak lama Santi berusaha menahan bahak. Dan mencuatlah semprotan tawa lebarnya, yang seketika bikin Lydia mengopong-ngopong.

“Bercanda, kau?”

“Siapa bilang, sedang melawak pun tidak.”

“Kau bermaksud meneluh dan membuhul mereka?”

“Kurang lebih begitu.” Ujar Lydia meminum susu beruang, kemudian izin keluar masuk gardu telepon.

***

Santi duduk anteng sembari terus mencari akal lain. Dia begitu bersimpati miris. Sebegitu kejikah pemuda saat ini? Hingga sekali mereka temukan perempuan molek, berahi itu mengamuk menguasainya?

Di suasana sunyi itu Santi tidak sengaja menemukan lipatan koran. Dengan menarik satu demi satu, Santi membaca selebaran tabloid dan rupanya tidak jauh dengan desus: sekte. Dilubang kolom, telah dilingkari, ordo sembilan malaikat sudah membibit jamur pada penyesatan kota-kota besar. Bukan tidak mungkin, mereka bergerak cepat menembus nafas metropolitan.
Tidak sadar berdiri perempuan dibalik punggung, wanita bercelana cutbray itu mendeham keras-keras. Santi melunjak kekagetan, segera ditaruhnya lembaran tabloid. Tepat tidak jauh tubuhnya, berdiri perempuan sintal dengan rambut disemir jagung. Pada pipinya masih begitu muda, dan dahinya bersinaran cerah, bahunya tinggi, pakaian itu dihembus titik-titik keringat di udara panas.

“Siapa kau?” tanya Santi.

“Ini bukan tempatmu, nona. Pergilah keluar kamarku,”

“Kemana Lydia?”

“Tidak ada Lydia. Di sini hanya ada aku, sekarang pergilah kau.”

“Apa salahku di sini?”

“Kau masuk hunian orang tanpa mengenalnya, itu sudah berarti maling. Maling tidak pantas kusambut, bukan?”

“Kasar sekali kau!”

“Tidak usah teriak. Mereka tidak suka ribut.”

“Apa maksud kau dengan mereka?”

“Keluar, atau kupanggil sekuriti menyeretmu.”

“Sinting!”

“Di sini tidak ada siapa pun!”

“Kami masuk tidak ada penjaga. Harusnya aku boleh tunggu Lydia pulang!” Santi berjalan mundur masuk ruang belakang. Tungku pawon masih mengeluarkan asap pekat, perempuan itu berhenti depan perapian menyala-nyala. “Kau sebut, tempat tua seperti ini, apartemen?”

Gadis itu tetap diam menatap bisu Santi.

“Jawab kataku brengsek!”

“Atau kau sudah apa-apakan Lydia?!”

“Diam kau wanita cerewet.”

“Kau yang tidak mau jujur padaku.”

“Mana sopanmu?”

“Persetan.”

“Aku katakan, bicaralah baik, pintu masih terbuka untukmu. Kembalilah.”
Santi menyungging senyum tinggi. Wanita jangkung itu mengacak pinggang, menantang. “Memang apa sanggup kau lakukan?”

“Pergilah, aku tidak mau kau sakit.”

Santi terkekeh kemudian mendekati tubuh gadis muda itu dan menoel dagunya. “Perawan sepertimu, hanya pantas diburu lelaki berperut besar, bahkan kau pantas diperanakan lebih banyak.”

“Mulutmu kotor. Bisa kau pergi?”

“Aku harus tahu Lydia!”

“Dia tidak di sini. Mari aku antar pulang,”
Santi menepis kuat tangan perempuan itu dan berjalan dia sampai beranda utama.

“Berikan aku nomor telepon Lydia.”

“Kau tak pantas begitu padaku.”

“Apa aku salah? Itu hanya kartu telkom lacur. Tidak ada salahnya kuminta bukan?”

“Tidak ada perempuan sepertimu. Kau lebih baik menjadi lelaki,”
Santi menaut alis dalam-dalam. Sebelum akhirnya dia mencengkeram pundak gadis itu, meremas begitu lepas dan menekan kencang kulitnya.

“Cepat katakan!”

“Ada apa kau simpan artikel metafisik itu!”

Perempuan bercelana bunga-bunga rose itu hanya mendelik menatapnya. Santi yang merasa dilihat seperti itu, mundur pelahan-lahan, mereka saling menyudut satu-sama lain.

Pada waktunya Santi menabrak almari berukir, ukiran jati menguarkan bau tua. Wanita itu terus berjalan makin mendekat, wajahnya begitu dingin, bibirnya mengering, kulit halusnya mengerut-ngerut.

Tidak lama tubuh Santi mendesir, seakan satu inci bulu kuduknya disapu hebat-hebat. Dalam posisi terpaku pada lemari besar, Santi mendengar goncangan timbul, bunyi itu menggema. Tepatnya, dibalik lemari, hening mengalihkan dahinya ke udara. Dagunya naik pelan-pelan, pintu lemari bergerak-gerak, sedikit demi sedikit kayu tua itu mulai terbuka.

Muncul dari balik pintu lemari, kuku-kuku hitam, disusul dengan almari bergetar tiada kendali. Santi membelalak tiada karuan, punggung itu jatuh menabrak kursi. Perempuan pengepung Santi hanya tertawa-tawa lebar. Suara-suara tawa muncul pasang-surut dibalik lemari, tutup almari seperti dipaksa dibuka. Gebrak keras memuntahkan makhluk mengerikan dari dalam lemari, bayangan hitam besar, mengibarkan kain-kain lusuh. Cengkeraman kencang menerkam sisi-sisi meja, Santi mengesot dalam tubuh merangkak-rangkak, seketika badan jangkung itu menubruk tembok.
Jauh berapa meter tubuhnya terdesak, muncul seraut wajah perempuan bermulut lebar dengan dagu runcing dan taring menjulang. Santi menjerit-jerit, mendorong meja. Pintu persada membuka, Santi menyelinap buru-buru. Mengambil kuali besar kemudian menutupi kepalanya, tawa nyaring menggentarkan dapur. Dengung mengakibatkan pening merasuki kepala.
Santi mengayun-ayun dalam kecemasan.

Makhluk berjubah gombal itu menebar gelumbang teriakan. Santi melempar kencang kuali, beralih mengambil panci dan mengibas keras-keras makhluk mengerikan itu. Gagang panci putus, beralih kursi diangkatnya tinggi-tinggi, pukulan kencang mengubah makhluk itu menjadi api, sekujur kain hitam itu menjadi berapi-api, wajah tua berubah menjadi rusa bertanduk lancip dengan tangan-tangan terus mencabik-cabik.
Santi menghindar dalam punggung meluncur ke lantai kamar mandi, pintu lorong tertutup dengan libasan api meledak kencang, perempuan bercelana biru legam itu keluar buka pintu dengan baju compang-camping. Tangan kirinya menggapai-gapai kursi dan tubuhnya terjatuh, hantam lantai. Santi pingsan dengan salib kecil dipegang kuat-kuat.

***

Pagi mengaburkan siluet kelam dilangit semesta petang, telah terbangun wanita di bawah lukisan tua. Tepatnya Santi siuman memegang kepala belakang. Tidak begitu lama, terdengar olehnya ceret bertiup kencang, didapatinya gadis muda duduk depan meja makan.
Masih duduk sempoyongan, pandangan mata Santi makin tajam pelahan-lahan. Wanita di sana berangkat dari kursi, membawa nampan tembikar, meletakan suguhan kopi susu.

Santi mencelos luar biasa, gadis ini bukan lain pemanggil setan neraka semalam.

“Minumlah.” Alihnya mengambil secangkir kopi, “geser sedikit.” Mereka hening dalam cipta untuk sementara. Keduanya meminum seduhan masing-masing.

Santi melirik berkali-kali wanita hampir mencelakainya itu.

“Sudah lebih baik?”

“Mengapa kau tidak membunuhku?”
Perempuan bercelana katun merah anggur itu tertawa senang. “Tadinya,”

“Kalau begitu, matikan saja aku di sini.”

“Kau terlampau liar, untuk kuhabisi.”

“Dan kau begitu menakutkan, siapa ajari kau memperabot jina?” tanya Santi.

“Nanti saudaraku pulang. Dia sedang mencari sarapan buat kita.”

“Lydia?”

Angguk gadis itu tersenyum samar.
“Kau beda sekali dengan adikmu.”

“Bahkan, kupikir, dia lebih berani darimu. Sudah kau tahu apa masalahnya?”

“Aku tidak mengerti apa maksudmu.”

“Jangan belagak bodoh,” angkat Santi berdiri depan gadis berambut jagung pekat itu. “Apa sudah kau tahu? Adikmu begitu terluka dihinakan setiap waktu oleh bajingan-bajingan itu. Tidakkah, kau berniat melaporkan ke polisi? Atau sengaja melakoni maksud kejimu padanya?”

Perempuan itu bertekur gemas dengan wajah memanas. Kulitnya makin merah seperti dihembus radius merapi.
Santi berbalik punggung menuju meja makan, membuka persediaan roti dalam kotak, mengambil setoples selai. Mengoles pelan-pelan, pisau diletaknya kembali, belum lama mulutnya mengunyah-unyah. Sesuatu aneh dirasanya, Santi rasakan satu persatu jari-jari tangannya bergerak kaku, tubuhnya secara konstan duduk tegak.
Pandangan wajahnya kaku, dagunya terangkat sedikit demi sedikit. Sadar hal buruk menimpanya, Santi berusaha berteriak. Lehernya tercekat, dua belah tangan itu sedekap kaku, pisau kecil depan tubuhnya bergetar. Benda berkilau itu melayang, terbang mengitari lehernya hingga mengitari kepalanya.
Perempuan barusan kembali dengan santai dan duduk depan Santi yang kaku membisu.

“Kau sudah tahu, rasanya menjadi kami?”

Santi hanya meringis dalam seseguk tertahan.

“Pisau itu tinggal masuk dan mencabik-cabik ususmu, Santi.”

“Aku tidak pernah sakiti adikku. Mengapa kau berani mengatakan aku tidak tanggung jawab padanya? Tidakkah kau sakit? Keluargamu disakiti?”

“Barangkali semua tidak mudah.”

“Lydia menolongmu karena kau baik padanya!” gerap perempuan itu menggebrak meja kencang. “Coba, malam tadi saudaraku tidak pulang. Sudah aku kubur tubuhmu, Santi.”
Santi sekali lagi cuma meneteskan air mata.

“Aku sayang adikku. Kami bertahan bukan siapa paling hebat, hebat hanya mereka yang tumbang lebih dulu.”

“Paham maksudku?” maju wajah itu menahan murka tatapan matanya. “Terima kasih atas rasa sayangmu. Kau sudah dulu membuatku muntah, selamat jalan Santi ....” pisau itu berhenti melayang dan bergerak lamban menusuk pelahan dan begitu pelan menembus pipi Santi. Santi meraung dengan jeritan dan tangisan, mulutnya menggeram.

Pintu dibuka kencang dengan bantingan, wanita muda berseragam putih berlari mendekat. “Apa kau lakukan?!”

“Hentikan Arnita!”

Lydia menerjang tubuh saudaranya, mereka jatuh hantam permadani. Santi bernafas lega, segera mungkin dia beranjak cepat-cepat dan menggapai tas kulitnya, belum menerkam pintu, pintu tiba-tiba terpelanting menutup.
Dada bulatnya mengempis-ngempis, Santi balik punggung. Lydia segera memeluknya erat.

“Biarkan aku pulang.” Santi tidak henti mengelap pipi basahnya.

“Saudaraku sudah kejam padamu.”

“Maafkan dia, seharusnya kuajak kau tadi.”

“Mari makan!” ajak Lydia menarik-narik tangan Santi.

Gadis hitam manis itu menolak keras-keras.

“Mungkin lain kali. Ayahku mencariku, aku harus pulang.”

“Baguslah.” Arnita mendesis. “Siapa butuh manusia idiot di sini.”

“Jaga katamu brengsek!” sikut kencang Lydia pada kakaknya.

“Jangan begitu, Santi, aku sudah lama menunggumu siuman. Ayolah, biar aku ganti balas budimu padaku.”

Santi terus menolak dengan telapak diangkat tinggi-tinggi.
“Siapa kalian?!”

“Kau sudah membacanya, semalam.” Arnita tersenyum mematik rokok dan menghisap pelan-pelan. “Kami menerimamu. Bergabunglah, Santi.”
Santi menggeleng cepat-cepat dan menerobos tangga turun apartemen. Sementara itu Lydia duduk lesu hadap meja makan, Arnita membuka gulungan mie goreng berasap-asap.

“Jangan bilang seperti itu pada temanku.”

Arnita melirik sekali-kali dan tetap meneruskan makan kemudian mengelap bibir dengan tisu bersih. “Memang, apa kukatakan?”

“Kau menakut-nakuti Santi!”

“Bukan itu mimpimu? Kau sudah lama ingin membuktikan, benarkah mereka ada?”

“Kukarang saja. Siapa tahu, Santi salah seorang ordo sembilan malaikat.”

“Bicaramu ngawur. Dia terpelajar brengsek!” goncang Lydia menancap pisau pada meja.

“Siapa tahu?” Arnita membahak setelahnya. “Makanlah. Besok kembalikan uangku, kalau kau masih bawa orang asing ke mari.”

“Terserah itu mauku.”

“Kapan papamu balik?”

Arnita meminum susu dan menatap wajahnya pada cermin bedak. “Dia takkan mungkin pulang. Puterinya sudah harus kimpoi, dan aku merasa terlalu muda untuk menyusui bayi.”

“Kuliahmu?”

“Aku serahkan padamu.” Arnita berdiri mengenakan jas hijau tanah dan berlalu menutup pintu.

“Satu surat palsu, sudah mampu membikin seluruh manusia tunduk. Bodoh.” Lydia tertawa mengeluarkan kertas dan mulai menulis modus alfa.

Bersambung
0