anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
Kekuatan Jahat di Rumah Duka
Hujan mengguyur kencang ke seluruh atap-atap tua dusun. Jauh dari kekacauan badai, menyala sambaran api meliuk-liuk di perapian beranda utama. Sonita berjalan mengikat rambut ke punggung, kemudian melipat tangan, berdiri mematung ke ambang pintu ruang tamu. Santi berjam-jam lamanya duduk menekur depan peti mati Sonia. Entah, apa merasuki dinding kepala gadis itu, barang tentu muncul harapan Sonia mampu bangkit dan menjenguk senyum manis ke wajah harunya. Mereka barulah mengenal tiga tahun, mengapa selamat tinggal itu sangat cepat, melampaui seluruh perpisahan di buku-buku cengeng murahan.

“Tidurlah. Aku gantikan.” Sonita bersila ke samping Santi. Santi masih melujurkan celana sembari membuka-buka majalah.

“Menurutmu,” Santi mengalihkan mata ke Sonita.

“Apa aku pantas menulis di majalah?”

“Kau tertarik ke sana?” tanya Sonita.

“Sepertinya menguras pena lebih merepotkan dari mengawini perjaka di musim bercinta begini.”

“Bicaramu selalu sulit kumengerti.”

“Kapan Arwan datang?”

“Kalau tidak ada kesulitan. Saudaraku tiba shubuh petang. Keluargaku datang ke mari sekaligus.”

“Bagus.” Santi membuat jarak ke belakang. Punggung itu berhenti ke barisan pintu-pintu tertutup. “Pernah menginap di sini? Rumah ini bagus sekali. Bahkan kupikir penatu dan biaya pasti lebih mahal dari motel ternama.”

“Tidak ada orang betah di sini. Saluran wc selalu mampet. Belum lagi lempengan ubin banyak didiami kutu-kutu ganas. Aku sarankan pulang itu lebih baik dari menginap.”

“Kacau.” Santi menerawang pintu paling jauh dan terpusat di tengah lorong. “Ah, pasti ada mayat di sana.”

“Tidak ah!” Sonita lari menyeret pinggang Santi ke meja bertaplak renda-renda. “Makan dulu. Aku sadar kau lapar. Sehingga liurmu lebih menjijikan dari a*****.”

“Pelayan terkutuk pantas lahir darimu.” Santi membuka waskom berisi nasi putih dan merobek daun pisang kemudian menyuling santan ke sana. Santi mulai menyuap pelahan-lahan ke mulutnya.

Sonita meraih botol selai membalur kacang mete ke sebulat roti hangat dari oven. Mereka makan begitu lahap, ditemani desau ranting-ranting pohon, bayangan pohon cungkring mengimbak-imbak tertiup hujan besar. Sekeliling rumah terpatri tembok berduri, mustahil maling nekat melompat, menudingkan parang atau sejenisnya. Mereka lebih lihai menjahati rumah-rumah sepi diujung kebon setapak, atau golongan monarki yang hamburkan uang menguasai berhektar-hektar tanah dusun hingga kuburan. Barangkali di tanah kuburan itulah mereka karuniakan mimpi paling indah di sana.

Tidak lama kebisingan luruhan daun-daun hujan berhenti. Seluruh lampu-lampu jalan mulai menyala, lapangan bola memantulkan kelap-kelip lampu piring, keheningan di sana hirap manakala muncul derung motor kumbang makin cepat, menjangkau pelataran rumah duka. Santi yang menidurkan dahi ke atas peti mati terbangun, terdengar pintu diketok-ketok keras. Sonita berjalan cepat-cepat membuka pintu, seketika muncul bayangan lelaki berpayung hitam di tengah-tengah gardu taman. Sonita melangkah hampiri siluet lelaki itu dekat-dekat. Tanpa disadari melayang tepukan tangan ke puncak kepalanya. Sonita kekagetan. Santi menyorot senter dan Sonita mengalihkan ke seberang. “Siapa lelaki itu?” telunjuknya menuding jauh-jauh ke jurusan taman depan.

Santi berhenti membelakangi pohon-pohon tinggi di tengah pekarangan. Pemuda itu sedang mematung memayungi kepala dengan payung hitam. Santi menepuk keras-keras pundak lelaki itu. “Arwan!”

Lelaki itu tidak lama menengok dan benar itu Arwan. Arwan melepas jas hujan tebal dari tubuhnya dan bergegas lari ke geladeri. Menyusul Santi terpontang-panting di belakang. Sonita menarik bangku dari besi dan duduk menopang dagu ke tangan. “Malam ini begitu berbeda dari sudah-sudah.”

“Hilangkan kecemasanmu.” Arwan membagi sigar terbakar ke Sonita. Sonita meniup kobaran api dan menyedot asap dalam-dalam.

“Oh-kau Wan!” Santi baru tiba dan melempar payung warna-warni ke sembarang arah. Kemudian duduk bersila depan pintu. “Kupikir kau pembunuh yang mau habisi kami.”

“Payah!” Sonita melempar gulungan koran bekas ke Santi.

Santi membuka surat kabar lebar-lebar dan membacanya kembali. “Hujan tinggi masih akan terjadi. Barangkali listrik padam kembali. Bersiaplah ada hantu bangkit dari baka.” Santi menakut-nakuti dengan tangan mencakar-cakar.

“Pikirmu Sonia mampu bangun dan mencakar tubuhmu?” Sonita membubung asap sejuk ke udara.

“Sonia pasti membunuhmu dulu. Kau telah hinakan orang mati. Orang mati butuh ketenangan abadi.” Santi mengutuki.

“Tidak. Lagipula, Sonia sangat baik, mustahil dia menerkam dan mencabik mulutku seperti babi.”

“Monyong a*****.” Santi menutup topi ke wajah cengar-cengir Sonita.

“Berapa jumlah anjing di desa ini?”

“Memang ada apa dengan itu?” Santi telah berdiri ke tengah meja serambi.

“Lihatlah nanti. Kalau benar tidak ada satu atau dua lolongan. Berarti arwah Sonia benar-benar damai di sisi Tuhan.”

“Ah-kau gendeng!” Sonita memukul dua belah pundak Arwan.

“Aku kan cukup baca mitos. Kalau kau marah. Berarti kau lebih dungu dariku.”

“Ayo!” Santi menarik-narik tangan Sonita ke dalam. “Ada mau kutunjukan padamu.”

“Mau apa?”

“Sudah jangan cerewet!” Santi tertawa-tawa rendah dan mereka berduyun-duyun menuju ke lorong. Sorot-sorot senter menari-nari di gelapnya sepanjang koridor. Arwan berhenti ke hadapan potret keluarga. Potret itu dibingkai berat, di sana Sonia dipangku neneknya di sebuah kursi dari rotan. Boneka teddy itu didekap erat-erat tubuhnya. “Sonia begitu kecilnya di gambar ini.”

“Tidak terasa semua itu telah lenyap.” Santi mendatangi tubuh Arwan.

Sonita menuding senter ke potret tua itu. “Aku bingung. Apa membuat Sonia pergi secepat itu. Di potret ini, dirinya seperti iblis kecil, yang menunggu terbangun pada suatu malam.”
“Gurauanmu sanggup bangunkan Sonia ke alam manusia.” Santi berbisik melenakan telinga Sonita.

“Wan!” panggil Sonita berbalik tubuh.
Arwan muncul dari tangga gelap kemudian mendorong satu peti berat. Sepertinya buffet kecil itu berisi macam-macam. Pikir Santi. Mereka mencongkel gembok dengan puntiran obeng besi. Seluruh kuncian terbuka menyemburkan debu hebat ke udara. Arwan duduk-duduk kembali ke serambi. Menyusul datangnya Santi ke sebelahnya.

Sonita menyorot senter ke ilustrasi. “Lihat. Ini gambar iblis yang merayap dari cangkang telur. Itu berarti Sonia tidak bohong.”

“Tunggu!” Santi mengarahkan pucuk senter Sonita ke tulisan abjad di bawahnya. “Kenapa kalimat ini dihapus separuhnya?”

“Nah,” Arwan selesai menyatukan potongan koran ke lembaran kurang itu. “Bacalah itu.”

“Kau berani?” Santi bertanya.

“Ini serupa mantra kebaktian sabat hitam.”

“Berani kau baca ini keras-keras depan peti mati, Sonia?” Santi mengulang tanya.

Sonita membisu beberapa waktu dan melepaskan topi dari kepalanya. “Aku ragu.”

“Justru itulah.” Arwan berdiri kembali ke sebelahnya. “Kita coba kebenaran itu benar tidaknya. Kalau tidak. Berarti semua ini cukup karangan mengada-ngada.”

“Arwan benar.” Santi matikan senter. “Kita telah berada di tahun yang hampir mendekati kemajuan. Setengah dekade lagi 90an tiba. Kita telah berada di puncak peradaban. Segala mengenai mitos, harus kita patahkan sebelum warna-warni 2000 ribu lahir ke dunia.”

“Ya,” Arwan menyahut. “Sekarang aku dampingimu.”

“Mengapa mesti aku?”

“Di kitab sabat hitam, hanya perempuan sedarah yang mampu tiupkan benih setan ke tubuh mati itu. Kau kan wanita, aku lelaki, jadi lebih ampuh mantra itu dihidupkan dari lidahmu.”

***

Mereka rampung mencari kesediaan ritual. Sebuah loyang berisi media boneka kotor semasa Sonia hidup di taruh bisu ke sana. Satu buah templok kecil diletakkan ke tengah-tengah sesajen. Nyala lilin-lilin memancar menaungi seluruh peti mati. Arwan selesai menyulut api ke mimbar ritual. Sonita menutup semua pintu hingga jendela. Santi mematikan sambungan listrik. Penerangan terbit dari beragam lampu-lampu minyak.

Dua tangan Sonita gemetar menampung kitab lusuh diiringi nyanyian-nyanyian sendu dari tabung gramapun. Samping kiri kanan Santi bersama Arwan melantunkan lagu perpisahan paling sedih. Tembang itu diulangi terus-menerus hingga tidak terasa suasana makin mencekam. Sonita mengangkat tinggi-tinggi kitab sabat setan dan menaruh ke atap peti mati. Sembari terus merapal ajian dari tulisan tempelan di sana. “Ascolto!” tepuk telapak Sonita ke permukaan dingin peti mati. “Virtus occulta! Evenite!” sentak suara itu merambat ke seluruh ruangan hening dan desir tubuh Santi hingga Arwan makin meninggikan suara mereka. Lagu kesenduan itu masih riang terputar-putar dari gramapun dan tanpa sadar: piringan macet, curahan nada tersendat-sendat, birama violin seakan tercekik putaran mengerikan tuas pemutar.

Arwan terbangun dari posisi kemudian menarik keras kotak aki memadamkan gerutuan tembang. Santi menidurkan wajahnya menatap langit-langit kamar keluarga. Sonita menyalakan semua lampu dan menggelar karpet ke samping tubuh Santi. Arwan memusat senter ke seberang jendela temaram di luar sana. Sepi. Keheningan itu menjadikan mereka semakin yakin ruh jahat itu benar-benar tipuan. Tidak ada kebenaran mampu lahir dari peristiwa sabat kegelapan barusan.

***

Jam pendule mendentum beberapa kali, jarum melesit pukul satu dini hari. Wajah Santi berusaha terjaga, membuka kembali selebaran majalah dari Sonia.

Sonita beralih duduk-duduk ke sebelahnya. “Kapan waktuku tiba?”

Santi menaruh majalah ke pangkuan. “Apa maksudmu? Aku mengantuk.” Santi menguap lebar ke wajah Sonita.

“Kau rajin membaca itu. Barangkali kelak namamu muncul di sana.”

“Menjadi penulis?” Santi mengakak. Kemudian merebahkan punggung ke sofa. “Orang lebih suka membaca penulis senior dari penulis penuh omong kosong sepertiku.”

“Kan, biasa dari omong kosong, mampu berangkat jadi kenyataan, kalau banyak ditiup kebohongan ke sana?”

“Itu lebih mengerikan lagi. Menulis ibarat kau memberi makan naluri. Dan nalurimu kalah gemuk dibanding mereka gede omongan darimu.”

“Itulah baiknya kau jangan pandai mengarang. Nanti orang mengecapmu dosen murahan.”

“Biar murah. Setidaknya aku tidak sempoyongan riset. Riset itu nutrisi sebelum bertempur hadapi janggut setan.”

“Mereka boleh berkepala besar. Banyak pula berwajah sejuta kebohongan. Anggaplah itu hiburan sebelum kau mati.”

“Aku mau bikin kopi. Kau pesan apa?” Santi mengedar pandang ke dapur belakang.

“Tidak usah. Sediakan wine saja.” Sonita berlalu menutup pintu dapur.

***

Santi tertawa pelan-pelan kemudian mengocok-ngocok gelas ke pancuran wastafel pembuangan. Melanjutkan memasak ceret hingga menuang ke dalam termos kecil. Menunggu air matang sayup-sayup Santi mendengar anjing melolong panjang, sangat lama, rintihan hewan itu begitu sendu, seakan-akan malam dingin itu badai mengerikan akan tiba ke dusun. Kaca ventilasi ditutup Santi tiba-tiba, tubuhnya melenggang ke depan kompor, mematik cerutu kembali, mengucur termos hangat ke dalam seduhan gelas dari kaca.

Santi melenggok langkah ke luar dapur, keadaan rumah makin membuat kulitnya panas, hawa dingin lenyap berganti menjadi gerah. Gadis itu melepaskan shal merah muda dan mengendurkan kancing sweater putihnya. Kalung liontin berisi potret itu diletakkan ke bawah lampu tidur. Santi mendaratkan tubuh ke samping Sonita yang menyodok-nyodok tongkat perapian. Sonita menyambar segelas wine dengan sangat cepat, meneguknya berulang-ulang. Santi menatapnya aneh. Arwan kembali dari beranda utama, memandang heran saudarinya.

Sonita meminta minuman lagi seakan sangat dahaga. Santi menyanggupi kemudian berlari ke pintu kulkas, sebotol susu diambilnya, perempuan itu mengangsur sedikit demi sedikit susu ke gelas, namun kecepatan tangan Sonita makin rakus menenggak, botol itu sekejap tumpah ke lehernya. Sonita serupa orang yang lari dari gurun pasir ke mari, gadis itu melarikan punggung ke kulkas, menumpahkan seluruh air ke sekujur tubuhnya. Perempuan sweater merah muda itu meraung, menggaruk-garuk tengkuk, mengejang-ngejang ke lantai, mengguling-guling.

Santi berlari ke arahnya, gadis itu menepuk-nepuk pipi Sonita, Sonita tetap tidak merespon, tubuhnya terus menggigil dan meliuk ke sana ke mari. Hingga tibalah Sonita melompat tinggi ke meja makan dan mengobrak-abrik seluruh hidangan. Gadis itu terhuyung-huyung persis anjing sekarat, seluruh punggung itu terkapar meniban lantai. Arwan mengejar tubuh saudarinya ke sana, namun tidak lama, wajah Sonita terbeliak, dua belah matanya melebar, menuju ke sekujur kakinya, menegang, terdengar sayatan dari sana. Sonita merangkak-rangkak dan memuntir lehernya ke punggung. Santi menubruk lampu tidur. Arwan terperangah hebat menatap kengerian itu.

Gadis itu terjatuh ke karpet kemudian pinggang itu terputar ke depan, mukanya mengembis-ngembis, menonjolkan tulang-tulang keras, luar biasa menakutkan.

Sonita tertawa-tawa makin mengerikan, mulut itu membuka sangat besar, bunyi geraman memutuskan lehernya. Sonita ambruk ke tanah usai mencabut seluruh kepalanya. Santi terluntap ke dinding, menjatuhkan dua belah tangan ke lantai, perempuan itu menatap penuh iba, menendang-nendang selujuran celana ke depan. Arwan memeluk pinggul kedinginan Santi.
Mayat Sonita hampir ditutup kain putih dari mori yang diambil bersama Santi. Santi mengalungkan liontin ke sebujur jasad mengerikan Sonita. Tidak lama dari itu terdengar suara bising dari beranda utama, gramapun tiba-tiba berputar sendiri. Santi segera mencabut tabung ampli, melempar keras ke tanah. Dua belah tengkuk wanita itu dibelai kedinginan hebat, secepat mungkin wajahnya berotasi ke peti mati Sonia. Semua penutup kain peti mati itu terbang ke udara, angin kencang meniup dari seluruh penjuru rumah.

Santi merapatkan pundak ke jenjang tangga, tidak lama, tutup peti bergetar hebat, mulut peti itu bergerak-gerak. Sebuah jemari-jemari runcing, begitu tajam dan mengerikan, mencengkeram dari dalam peti mati. Hitungan detik peti itu terbuka memuntahkan makhluk mengerikan dari sana, makhluk itu bergaun putih serupa Sonia, benar, Sonia telah menjelma menjadi iblis terkutuk.

Santi menjerit-jerit. Kepanikan itu semakin menjadi-jadi. Arwan datang dari selatan pintu dan memukul keras kepala Sonia. Sonia tersenyum dengan wajah bercula, dua belah bibir itu bertaring runcing. Arwan menuding-nuding revolver paterson ke mayat mengenaskan itu. Semburan peluru membuat tubuh Sonia makin lemah dan akhirnya jatuh ke lantai.

Arwan menendang punggung mengerikan itu, tidak lama keheningan pecah dengan Sonita melompat tinggi-tinggi dari puncak loteng dan menggaruk punggung Arwan. Arwan mendorong seluruh tubuh Sonita ke hamparan perapian panas, makhluk itu berteriak-teriak hebat. Sonita hangus dihembus juluran api bertubi-tubi.
Sonia menerjang pukulan pedang ke wajah Santi. Santi menggelinding ke permadani, menghindari setiap serangan mematikan. Arwan datang meletuskan pucuk mesiu ke wajah Sonia. Sonia meledak berpuing-puing tercium pistol dahsyat itu. Seluruh tubuhnya ambruk ke jilatan-jilatan perapian menyala-nyala. Santi mendekati Arwan dan mereka jauhkan punggung dari kekacauan mengerikan itu. Lanjutan di bawah ....

Part 2
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...941708fe178b19

Part 3
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...3ccf2ed47ab39d

Part 4
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...53d84993524dd6

Part 5
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...d22a79411403ad

Diubah oleh anasaufarazi810 03-08-2023 12:24
Bgssusanto88
indrag057
rafisullivan354
rafisullivan354 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.5K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
#6
Part 4
Seminggu berlalu dengan Santi selesai membaca sebuah buku. Perpus rampung dimasukinya, kegiatan kampus sudah dibatasi, berdasarkan radikalisasi bersumber pada protes sekian tahun silam. Dimana hal itu merujuk semakin banyak siswa kampus unjuk rasa depan gedung parlemen.

Menuju senja dilangit temaram itu, orang-orang mengantre masuk bis, Santi naik dengan mata mengawas. Hatinya, belum beres, semenjak hadapi mimpi mengerikan seminggu kemarin. Entah, apa sebab tubuhnya diincar makhluk-makhluk belis itu, pastinya: Amanda lebih tahu daripada ini. Hanya, Santi enggan mendekati adiknya kembali. Dia berprasangka, sesuatu buruk mengincar keluarganya.
Rencana lain belum sama-sekali didapat olehnya. Beberapa pekan terakhir, ia tidak sanggup menjaga adiknya, Tina. Gadis itu diketahuinya, menjauhi Amanda diam-diam, padahal jauh-jauh hari, sebelum mereka pindah kediaman. Tina begitu dekat dengan Amanda, bahkan Santi seringkali mencemburui mereka.

Bertambah pula rasa bencinya, ketika sang bapak tidak pernah peduli padanya. Memang, beginilah hidup di masa gelumbang orba, semua pemuda berada pada tekanan dan tekanan atas tanggung jawab belum mampu mereka pikul. Santi berada dalam kerangkeng hukum keluarganya.

Langit bermega-mega sejuk, kadar kota meningkat semakin padatnya penduduk, terutama baby-boomer 60an silam. Keadaan itu makin memperpuruk ekonomi dan sosial bersamaan dalam aturan mencengkeram pemerintah. Tidak ada protes, perlawanan, perintis, korupsi melebar memenuhi telapak-telapak dusun tertinggal.
Sementara media mati dengan pembisuan, semua dibatasi penuh, tidak dibolehkan mengeluarkan bidik perlawanan. Rakyat sepenuhnya berjatuhan dalam kesempoyongan orba, kecuali hanya bagi mereka berani melawan dan tumpas kemudian tidak ditemukan.

Santi menyandar kepala letih, sebentar-bentar meregang-regang tangan, melepas syal kecil lehernya, mengamati kembali kejenuhan senja. Berharap langit bakal membenam segala kejemukan dan kesebalan dunia, namun itu semua cukup tak kurang cela baginya.

Buat apa dia terus mengamuk?

Mengingat sesuatu Santi merogoh-rogoh tas miliknya, ditariknya selebaran artikel, lagi-lagi dibacanya berulang-ulang, sumber rubrik menyatakan: sekte menyebar luas melalui keyakinan yang saling dikelirukan satu dengan lainnya. Hal itu berakibat timbulnya paham baru yang lebih dapat mengajak masa, dibanding segala keyakinan sudah ada dahulu.
Dalam penulisan redaksi, nama pengarang tidak disemat benar, hanya berbunyi R.Sentosa. Santi tidak tahu siapa juru-warta berikut, selanjutnya dia membaca-baca seluruh statement yang dibangun kubik kepala penulis. Uraian menyebutkan, sumber mistik lebih dulu melekat pada kekuatan lemah penduduk hokus-pokus atau disebut dalam analogi: bukan lain adalah masyarakat yang sudah berpegang dahulu sebelum magistra dan mystik lain timbul memadukan unsur-unsur atavisme pertama dan sesudahnya.

Berikutnya, Santi membolak-balik lipatan kliping, didapatnya kolom sengaja dilingkari merah. Di sana dikatakan, setan tidak dapat menyerang manusia, sehingga mereka manfaatkan perantara lain. Seperti mediumisasi yang mampu hantarkan energi tertentu pada obyek hidup, sedang dimaksud hidup di sini bukan lain, hanya manusia. Tidak ada benda lain, sedang buhul yang biasa disebut hanya sebagai kepercayaan manusia yang sudah ditimbul selisihkan pada magis dan doa-doa tertentu.

Santi merasa keanehan, bukan tidak mungkin, sejenis teluh hanya dapat ditargetkan setelah pelaku utama menemukan keberadaan korban. Hal ini tidak lain mampu kuatkan kecurigaan Santi, bisa saja, adik angkatnya gunakan situasi lemah hidupnya. Guna mempraktekan kekurang-ajaraan. Amanda pergunakan pusat kacau alam bawah sadarnya dalam menaklukan Santi. Emosi dapat mengakibatkan distorsi ruang hingga waktu, karena pelaku berada pada sentral yang ditunjuk mimbar utama. Mimbar itu dikatakan sebagai catur penghantar masuknya energi lain yang ingin menghantam dinding kewarasan akal manusia. Santi berada pada kalkulasi kelemahan akal.

Dimana, dia hadapi etiket keluarganya yang tidak semestinya mencurangi ketenangan. Sedang itu Amanda lebih dulu memainkan saudara besarnya, sesenang mungkin, bahwa dengan cara mengobok-obok kecemasan Santi, adiknya sanggup menerobos alam mimpi saudarinya.

Lantas, bagaimana keadaan tubuhnya ketika tidak sadarkan diri? Mampukah Amanda gunakan obyek mati sebagai perantara pada yang hidup?

Santi menimang-nimang sesaat. Rupanya, seruntut gambar itu hanya ada dalam mimpinya, itu berarti Amanda menyimpan kesatuan energi lain yang belum sempat dia bidik-milisikan. Sehingga kekacauan itu hanya meluap dalam imajinatif otaknya yang terus diperdombakan sekelam mungkin. Amanda senang mengobyektivitas Santi sebagai bentuk penalaran ketakutan.

Santi menelusuri sebaris rubrik lain, disebutkan: mitologi kuno banyak dicampur adukkan dalam beragam simbolis dan kepercayaan. Salah satunya sistem religialisme, dalam kristus ibu peradaban hanya dikenal Eve. Sedang dilain hal ada juga kepercayaan lain, mengaitkan demonic pada sumber kehidupan manusia turun ke dunia. Ibu peradaban yang lain justru begitu diragukan dan tidak dapat diambil acuan kuat dalam kitab beragama apa pun.

Lilith diketahui Santi bersimbiosis dalam faham metafisik, dan sang perempuan perabadan itu melahirkan benih-benih setan.

Santi berhenti membaca, dilihatnya arloji, jarum memukul setengah lima kurang. Tanpa disadarinya, sudah duduk perempuan dengan rambut berombak menggulung, gadis sma itu kembali pada keadaan bisu. Sesekali Santi memperhatikan wajah perempuan muda itu, hidung mancungnya mengkilat diterpa sinar sore, matanya kilau-kilau cerah, dagunya lonjong mengkilat. Begitu persis kecantikan ratu-ratu Mesir dan sehalus mungkin, betapa sempurna gadis ini. Barangkali hadirnya dibumi kota hanya sebagai perabot agensi model.

Cih, Santi memasang wajah dengkiknya, melipat tangan dalam dada, gadis hitam manis itu melanjutkan buka majalah lain. Bermaksud memancing longokan perempuan muda itu, Santi sengaja berdeham berulangkali, usahanya tidak memantulkan gerak apa pun dari wanita itu.

Kian lama situasi semakin menggeletarkan pedalaman dadanya. Santi menekuk majalah dan menepuk bahu wanita muda itu, kali ini mereka saling memandang satu-sama lain. Ucapan belum terjadi antara mereka, barang tentu keduanya hanya saling melumbakan prestise kelas kambing, apalagi domba hitam hanya ingin menyundul manusia idiot mudah binal walau persepsi itu bukan kelasnya sekalipun.

“Apa kau perhatikan?” tanya Santi menaik alis tajam.

Perempuan berseragam itu hanya melempangkan rok dan menarik ingus dalam-dalam. Kemudian melihat Santi sekali-kali, dan mengeluarkan selupas koyo, tidak lama dari itu, telapak kirinya memijit-mijit pelipis berulangkali, melanjutkan meraba-raba saku rok dan kayu putih melumat tengkuk hingga bau itu membaui seluruh kursi-kursi bis.
“Hanya pramuria berlaku sepertimu,”
Perempuan itu tertawa tiba-tiba, lantas menatap Santi dalam senyum tanpa dibuat-buat.

“Tidak usah cari ribut,” katanya mengulurkan tangan, “Bertemanlah denganku, namaku Geraldina Layla Mochtar,”

Santi merasa kepalanya lebih tinggi dan demikian dia ibaratkan prestise tubuhnya melampaui puncak kahyangan. Sebab hanya buat perempuan tamak, segalanya terbukti pada keangkuhan secantik pembusukan adat kerendahan. Santi bukan perendah, dia lebih suka mententeng seperti jagoan kesiangan yang bangun di padang gurun dan hangus lebih dulu dalam kekerontangan.

“Aku tidak butuh namamu.”

“Panggil aku Lydia,” merasa tidak diacuhkan, Lydia menarik tangan dan tetap melihat Santi penuh sembunyi. Entah apa membuatnya tertarik pada perempuan ini.

“Mengapa kau lihat aku seperti itu?”

“Suka kau? Padaku?”

Lydia kembali mengetawa senang dan menutupi mulutnya dengan setangan. Bau kayu putih setia berdansa menembusi rongga hidung. “Kalau tidak berat hati, kan kita bisa jadi sahabat ....”

“Apa perlumu berteman denganku?” Santi melihatnya amuk membubung.

“Kau nampaknya lebih tidak menyukaiku,” rutuk Lydia berusaha menggali sekati keberaniannya.
Padahal kentara sekali, Santi ingin membumikan pertemuan sepasang jenis betina salah kandang ini.

“Itu kau paham, sudahlah, jauhi aku. Sudah repot kuurusi wanita seburuk dirimu,”

Lydia tetap tidak terperanjat.
Dimana pun manusia ingin berteman, pastilah dia harapkan tropi menyala dan bukan menyan dia dapatkan. Justru Santi menjadi bau-bauan sengak menyerang nyali dan akal warasnya.
“Bukan masalah, toh, aku cuma mau berkenalan. Senang pun itu urusanmu, di tempat mana saja, manusia butuh kawan untuk melepas penat hidupnya. Kau begitu tertarik sesuatu mistis?” kena.

Santi mendapatkan kesimpulan lebih dekat padanya, perempuan ini barang tentu satu habitat seperti Maria, hanya mereka tidak disangkar dalam satu kurungan dan mengakibatkan jenis ini sulit ditemui.

“Percuma kau mau mengenalku,” lanjut Santi benarkan celana biru tuanya, “Tujuanmu hanya mengganggu, tidak sudi kusapa kau pramuria, berapa uangmu hari ini?”

“Katamu sungguh sakit,” Lydia terbangun dalam pipi berkeringat. “Bukan berarti kupasang koyo dan kubawa minyak ini, dapat kau hinakan aku sekurang ajar begitu, tidakkah mami-papimu, mengajar pantatmu dengan baik, bedebah?”

Santi tertawa memancing dan menepuk-nepuk bahu Lydia berkali-kali. Yang ditepuk justru merengut serupa anjing sudah dekat lubang perawan.

“Apa masalahmu?” Lydia beralih menatap runcing Santi. Sudah dipastikan perempuan hitam itu makin mengerut laksana sayur basi di nampan Henry VIII.

“Katamu, kau mau mengenalku?”

“Bukan seperti ini mauku, kau lebih dulu membuatku kesumat padamu,” tatap Lydia mengancam.

“Maumu apa, Lydia?”

“Begini saja, kau sudah setengah mati meladeniku.”

“Kendalikan emosimu, aku hanya sedang ingin mencoba-coba sikismu.” Cerocos Santi membaung-baung.

“Caramu, membuatku ingin membunuhmu,” Lydia bangkit menyongsong tas, menendang majalah Santi dan menginjak berulangkali kertas hingga bercecar kacau.

Santi tertiup semburan kehancuran dalam kepalanya. “Kau sakit!” Santi menyusul memunguti selebaran tesis robek-robeknya. “Gantikan semua dengan uangmu!”

Lydia melipat tangan jengkel. Tersenyum dengan mata menyelidik keras.

“Pikirmu, aku mau menyepeseri uangku untukmu?”

“Berdirilah, pukul pipiku,” tantang Santi mengeplak bergantian sudut-sudut wajahnya. “Buktikan, ayo, kau bukan pramuria rendahan ....”

Lydia menguatkan eratan tangan-tangan. Kepalan itu mengencang, sejurus kemudian pukulan terbang menghantam bertubi-tubi muka Santi.

“Pukulan baik,” ulangnya. “Pukulan baik lahir dari tangan dungu sepertimu, siapa lagi? Gadis muda berkoyo, berkayu putih? Kalau tidak bukan terbebani nafsu mengeruk uang?”

“Ini hidupku brengsek!” jinjing Lydia melinting sudut-sudut pundak, hingga terangkat seluruh kulitnya keluar permukaan dan sekian penumpang terpelongo menatapnya, banyak koyo menempel tidak beraturan, melumat kulit putihnya.

“Kalau begitu, sisihkan uang hasil mepramuriamu, barangkali orang tuamu bangga punya puteri sepertimu.”

“Berhenti katakan aku dengan itu!”

“Kau tidak jauh lebih hitam daripada celana jaman tengah!”

Santi mendesis dengan geraman. Sebaris penumpang ratanya memilih menonton pergelutan dan pertempuran layar hidup.

“Setan!” amuk Santi mengamang dorongan pada tubuh Lydia, gadis itu terjengkang hantam lantai, sekian inci rok robek, tidak bisa lain dengan celana cawatnya ikut robek.

Lydia berdiri mengembis-ngembis, menjurus gapratan keras, mereka saling mencamuk libatan-libatan, geraman melayang-layang dalam bis yang ikut mengoleng kiri-kanan. Penumpang histeris mencak-mencak, pemisah datang mendamaiakan keributan. Lydia terus meronta-ronta dengan tangan dan kaki dipegang kuat-kuat. Santi menggulung majalah kemudian menyabet berulang kali kepala gadis sma itu. Yang diseruduk banteng begitu meradang, menjalari sendi-sendi kesabaran, pada nadirnya mereka kembali saling membinasa satu sama lain.

Kenek datang menyetop kegaduhan mengamuk-amuk, bis berhenti dengan pemuda-pemuda menggotong satu-persatu wanita kesetanan itu dan Lydia dilempar ke emperan toko, menyusul Santi diayunkan ke tikar-tikar kumal pengemis.

Bis melaju dengan sorak-sorak kebebasan. Utamanya mereka berhasil menyelamatkan nyawa manusia dari setan, sekaligus mengusir manusianya langsung.

Mengetahui terjadi keributan hebat, sebaris anak-anak asongan, penjual koran, geretan-geretan mendekat. Walau secara hati-hati mengamati sepasang bidadari neraka itu, memastikan mereka sungguh manusia atau makhluk jadi-jadian. Didapatinya Lydia dalam seragam koyak-koyak, melanjutkan Santi jauh lebih legam daripada segelondong celengan babi.
Lydia mengecek dalaman seragamnya, keluar dari kutang, sebincis kain kecil berisi uang, gadis berambut ikal itu menarik isi dan menyerahkan satu demi satu pada bocah penghidup jantung kota itu. Selesai itu, semua anak melompat kegirangan, makin jauh tergapai, semakin samar keceriaan malaikat-malaikat surga itu. Kecuali, sebongkah dada Lydia yang diterpa angin sore membuat udara basah.

“Sudah, berhentilah melambai,”
“Tutup bajumu,” perintah Santi yang segera menyadarkan Lydia dari cenungnya.

Mereka berjalan melewati perumahan kumuh dan angkrinan dan warungan dan dukuh-dukuh petani dan berhenti pada setiap kios kosong, rehat sejenak dan tidak terjadi kontak keonaran antara manusia penuh murka itu. Kemudian Lydia keluarkan sesuatu dari tasnya, sebotol air diberikan pada Santi. Perempuan hitam itu segera menenggak penuh nafsu, pertarungan membuatnya harus sekuat wayang hidup, biar tidak cukup dilapisi kulit-kulit tak bertulang.

“Siapa namamu?” tanya Santi mengulang.

Lydia terus mengipas wajah berulangkali. Hingga dia mengelupas koyo kemudian menempelkan dahinya.

“Di sini tidak ada pelanggan. Buat apa, kau pakai itu?”

Lydia masih diam tanpa pedulikan Santi. Kembali gadis itu keluarkan kayu putih dan mencium aroma sakral benda keramat itu.

“Kau sungguh sakit?”

“Tidak,” jawabnya tanpa memandang Santi.

“Tataplah lawan bicaramu, idiot.”

“Kau begitu, jelas tidak ada mau denganmu, bodoh.” Balas Lydia duduk tegak.

Santi tersenyum senang menanggapi. Dalam kepalanya terbayang, bagaimana bila dia telah temukan saudara angkat lain? Santi merasa kecocokan begitu kuat dengan Lydia. Ketimbang Amanda yang lamban seperti siput tua.

“Kenalkan, Santi. Senang mengenalmu.” Jabat tangan Santi padanya dan dia tetap bergeming tanpa menyahut. Menengok pun tidak, apalagi sampai mencium?

“Baik. Kau sudah tidak suka padaku.”

“Kau sendiri membuat dirimu begitu.”

“Geral, aku mau menjadi temanmu. Jadilah saudariku hari ini.”

Lydia bangkit dari emperan. Menggulung tas kulit gelapnya. “Terlambat, pulanglah. Aku mau mandi, kulitku terlalu putih buatmu, mana negromu yang lain?”

Santi menyusul bangkit mengejar Lydia yang sudah sampai shelter. “Sebentar lagi hujan turun.”

“Mustahil bis datang.”

“Ikutlah denganku.” Rangkul Santi pada pundak Lydia dan segera ditepis jauh-jauh.

“Aku ada kawan di sini. Tidak usah cemaskanku, lagipula siapa kau? Gelap!”

Santi berusaha menahan degupan amarahnya.

“Maafkan sikapku. Sudah kuduga kau bakal membenciku, lakukan apa maumu. Asal kau memaafkanku.”

“Ceritakan di rumahmu.”

“Aku tidak punya rumah.”

“Ada apartemen kawanku tidak jauh dari sini. Mau kau ikut denganku?”
Santi menggangguk.

Bersambung
0