anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
Kekuatan Jahat di Rumah Duka
Hujan mengguyur kencang ke seluruh atap-atap tua dusun. Jauh dari kekacauan badai, menyala sambaran api meliuk-liuk di perapian beranda utama. Sonita berjalan mengikat rambut ke punggung, kemudian melipat tangan, berdiri mematung ke ambang pintu ruang tamu. Santi berjam-jam lamanya duduk menekur depan peti mati Sonia. Entah, apa merasuki dinding kepala gadis itu, barang tentu muncul harapan Sonia mampu bangkit dan menjenguk senyum manis ke wajah harunya. Mereka barulah mengenal tiga tahun, mengapa selamat tinggal itu sangat cepat, melampaui seluruh perpisahan di buku-buku cengeng murahan.

“Tidurlah. Aku gantikan.” Sonita bersila ke samping Santi. Santi masih melujurkan celana sembari membuka-buka majalah.

“Menurutmu,” Santi mengalihkan mata ke Sonita.

“Apa aku pantas menulis di majalah?”

“Kau tertarik ke sana?” tanya Sonita.

“Sepertinya menguras pena lebih merepotkan dari mengawini perjaka di musim bercinta begini.”

“Bicaramu selalu sulit kumengerti.”

“Kapan Arwan datang?”

“Kalau tidak ada kesulitan. Saudaraku tiba shubuh petang. Keluargaku datang ke mari sekaligus.”

“Bagus.” Santi membuat jarak ke belakang. Punggung itu berhenti ke barisan pintu-pintu tertutup. “Pernah menginap di sini? Rumah ini bagus sekali. Bahkan kupikir penatu dan biaya pasti lebih mahal dari motel ternama.”

“Tidak ada orang betah di sini. Saluran wc selalu mampet. Belum lagi lempengan ubin banyak didiami kutu-kutu ganas. Aku sarankan pulang itu lebih baik dari menginap.”

“Kacau.” Santi menerawang pintu paling jauh dan terpusat di tengah lorong. “Ah, pasti ada mayat di sana.”

“Tidak ah!” Sonita lari menyeret pinggang Santi ke meja bertaplak renda-renda. “Makan dulu. Aku sadar kau lapar. Sehingga liurmu lebih menjijikan dari a*****.”

“Pelayan terkutuk pantas lahir darimu.” Santi membuka waskom berisi nasi putih dan merobek daun pisang kemudian menyuling santan ke sana. Santi mulai menyuap pelahan-lahan ke mulutnya.

Sonita meraih botol selai membalur kacang mete ke sebulat roti hangat dari oven. Mereka makan begitu lahap, ditemani desau ranting-ranting pohon, bayangan pohon cungkring mengimbak-imbak tertiup hujan besar. Sekeliling rumah terpatri tembok berduri, mustahil maling nekat melompat, menudingkan parang atau sejenisnya. Mereka lebih lihai menjahati rumah-rumah sepi diujung kebon setapak, atau golongan monarki yang hamburkan uang menguasai berhektar-hektar tanah dusun hingga kuburan. Barangkali di tanah kuburan itulah mereka karuniakan mimpi paling indah di sana.

Tidak lama kebisingan luruhan daun-daun hujan berhenti. Seluruh lampu-lampu jalan mulai menyala, lapangan bola memantulkan kelap-kelip lampu piring, keheningan di sana hirap manakala muncul derung motor kumbang makin cepat, menjangkau pelataran rumah duka. Santi yang menidurkan dahi ke atas peti mati terbangun, terdengar pintu diketok-ketok keras. Sonita berjalan cepat-cepat membuka pintu, seketika muncul bayangan lelaki berpayung hitam di tengah-tengah gardu taman. Sonita melangkah hampiri siluet lelaki itu dekat-dekat. Tanpa disadari melayang tepukan tangan ke puncak kepalanya. Sonita kekagetan. Santi menyorot senter dan Sonita mengalihkan ke seberang. “Siapa lelaki itu?” telunjuknya menuding jauh-jauh ke jurusan taman depan.

Santi berhenti membelakangi pohon-pohon tinggi di tengah pekarangan. Pemuda itu sedang mematung memayungi kepala dengan payung hitam. Santi menepuk keras-keras pundak lelaki itu. “Arwan!”

Lelaki itu tidak lama menengok dan benar itu Arwan. Arwan melepas jas hujan tebal dari tubuhnya dan bergegas lari ke geladeri. Menyusul Santi terpontang-panting di belakang. Sonita menarik bangku dari besi dan duduk menopang dagu ke tangan. “Malam ini begitu berbeda dari sudah-sudah.”

“Hilangkan kecemasanmu.” Arwan membagi sigar terbakar ke Sonita. Sonita meniup kobaran api dan menyedot asap dalam-dalam.

“Oh-kau Wan!” Santi baru tiba dan melempar payung warna-warni ke sembarang arah. Kemudian duduk bersila depan pintu. “Kupikir kau pembunuh yang mau habisi kami.”

“Payah!” Sonita melempar gulungan koran bekas ke Santi.

Santi membuka surat kabar lebar-lebar dan membacanya kembali. “Hujan tinggi masih akan terjadi. Barangkali listrik padam kembali. Bersiaplah ada hantu bangkit dari baka.” Santi menakut-nakuti dengan tangan mencakar-cakar.

“Pikirmu Sonia mampu bangun dan mencakar tubuhmu?” Sonita membubung asap sejuk ke udara.

“Sonia pasti membunuhmu dulu. Kau telah hinakan orang mati. Orang mati butuh ketenangan abadi.” Santi mengutuki.

“Tidak. Lagipula, Sonia sangat baik, mustahil dia menerkam dan mencabik mulutku seperti babi.”

“Monyong a*****.” Santi menutup topi ke wajah cengar-cengir Sonita.

“Berapa jumlah anjing di desa ini?”

“Memang ada apa dengan itu?” Santi telah berdiri ke tengah meja serambi.

“Lihatlah nanti. Kalau benar tidak ada satu atau dua lolongan. Berarti arwah Sonia benar-benar damai di sisi Tuhan.”

“Ah-kau gendeng!” Sonita memukul dua belah pundak Arwan.

“Aku kan cukup baca mitos. Kalau kau marah. Berarti kau lebih dungu dariku.”

“Ayo!” Santi menarik-narik tangan Sonita ke dalam. “Ada mau kutunjukan padamu.”

“Mau apa?”

“Sudah jangan cerewet!” Santi tertawa-tawa rendah dan mereka berduyun-duyun menuju ke lorong. Sorot-sorot senter menari-nari di gelapnya sepanjang koridor. Arwan berhenti ke hadapan potret keluarga. Potret itu dibingkai berat, di sana Sonia dipangku neneknya di sebuah kursi dari rotan. Boneka teddy itu didekap erat-erat tubuhnya. “Sonia begitu kecilnya di gambar ini.”

“Tidak terasa semua itu telah lenyap.” Santi mendatangi tubuh Arwan.

Sonita menuding senter ke potret tua itu. “Aku bingung. Apa membuat Sonia pergi secepat itu. Di potret ini, dirinya seperti iblis kecil, yang menunggu terbangun pada suatu malam.”
“Gurauanmu sanggup bangunkan Sonia ke alam manusia.” Santi berbisik melenakan telinga Sonita.

“Wan!” panggil Sonita berbalik tubuh.
Arwan muncul dari tangga gelap kemudian mendorong satu peti berat. Sepertinya buffet kecil itu berisi macam-macam. Pikir Santi. Mereka mencongkel gembok dengan puntiran obeng besi. Seluruh kuncian terbuka menyemburkan debu hebat ke udara. Arwan duduk-duduk kembali ke serambi. Menyusul datangnya Santi ke sebelahnya.

Sonita menyorot senter ke ilustrasi. “Lihat. Ini gambar iblis yang merayap dari cangkang telur. Itu berarti Sonia tidak bohong.”

“Tunggu!” Santi mengarahkan pucuk senter Sonita ke tulisan abjad di bawahnya. “Kenapa kalimat ini dihapus separuhnya?”

“Nah,” Arwan selesai menyatukan potongan koran ke lembaran kurang itu. “Bacalah itu.”

“Kau berani?” Santi bertanya.

“Ini serupa mantra kebaktian sabat hitam.”

“Berani kau baca ini keras-keras depan peti mati, Sonia?” Santi mengulang tanya.

Sonita membisu beberapa waktu dan melepaskan topi dari kepalanya. “Aku ragu.”

“Justru itulah.” Arwan berdiri kembali ke sebelahnya. “Kita coba kebenaran itu benar tidaknya. Kalau tidak. Berarti semua ini cukup karangan mengada-ngada.”

“Arwan benar.” Santi matikan senter. “Kita telah berada di tahun yang hampir mendekati kemajuan. Setengah dekade lagi 90an tiba. Kita telah berada di puncak peradaban. Segala mengenai mitos, harus kita patahkan sebelum warna-warni 2000 ribu lahir ke dunia.”

“Ya,” Arwan menyahut. “Sekarang aku dampingimu.”

“Mengapa mesti aku?”

“Di kitab sabat hitam, hanya perempuan sedarah yang mampu tiupkan benih setan ke tubuh mati itu. Kau kan wanita, aku lelaki, jadi lebih ampuh mantra itu dihidupkan dari lidahmu.”

***

Mereka rampung mencari kesediaan ritual. Sebuah loyang berisi media boneka kotor semasa Sonia hidup di taruh bisu ke sana. Satu buah templok kecil diletakkan ke tengah-tengah sesajen. Nyala lilin-lilin memancar menaungi seluruh peti mati. Arwan selesai menyulut api ke mimbar ritual. Sonita menutup semua pintu hingga jendela. Santi mematikan sambungan listrik. Penerangan terbit dari beragam lampu-lampu minyak.

Dua tangan Sonita gemetar menampung kitab lusuh diiringi nyanyian-nyanyian sendu dari tabung gramapun. Samping kiri kanan Santi bersama Arwan melantunkan lagu perpisahan paling sedih. Tembang itu diulangi terus-menerus hingga tidak terasa suasana makin mencekam. Sonita mengangkat tinggi-tinggi kitab sabat setan dan menaruh ke atap peti mati. Sembari terus merapal ajian dari tulisan tempelan di sana. “Ascolto!” tepuk telapak Sonita ke permukaan dingin peti mati. “Virtus occulta! Evenite!” sentak suara itu merambat ke seluruh ruangan hening dan desir tubuh Santi hingga Arwan makin meninggikan suara mereka. Lagu kesenduan itu masih riang terputar-putar dari gramapun dan tanpa sadar: piringan macet, curahan nada tersendat-sendat, birama violin seakan tercekik putaran mengerikan tuas pemutar.

Arwan terbangun dari posisi kemudian menarik keras kotak aki memadamkan gerutuan tembang. Santi menidurkan wajahnya menatap langit-langit kamar keluarga. Sonita menyalakan semua lampu dan menggelar karpet ke samping tubuh Santi. Arwan memusat senter ke seberang jendela temaram di luar sana. Sepi. Keheningan itu menjadikan mereka semakin yakin ruh jahat itu benar-benar tipuan. Tidak ada kebenaran mampu lahir dari peristiwa sabat kegelapan barusan.

***

Jam pendule mendentum beberapa kali, jarum melesit pukul satu dini hari. Wajah Santi berusaha terjaga, membuka kembali selebaran majalah dari Sonia.

Sonita beralih duduk-duduk ke sebelahnya. “Kapan waktuku tiba?”

Santi menaruh majalah ke pangkuan. “Apa maksudmu? Aku mengantuk.” Santi menguap lebar ke wajah Sonita.

“Kau rajin membaca itu. Barangkali kelak namamu muncul di sana.”

“Menjadi penulis?” Santi mengakak. Kemudian merebahkan punggung ke sofa. “Orang lebih suka membaca penulis senior dari penulis penuh omong kosong sepertiku.”

“Kan, biasa dari omong kosong, mampu berangkat jadi kenyataan, kalau banyak ditiup kebohongan ke sana?”

“Itu lebih mengerikan lagi. Menulis ibarat kau memberi makan naluri. Dan nalurimu kalah gemuk dibanding mereka gede omongan darimu.”

“Itulah baiknya kau jangan pandai mengarang. Nanti orang mengecapmu dosen murahan.”

“Biar murah. Setidaknya aku tidak sempoyongan riset. Riset itu nutrisi sebelum bertempur hadapi janggut setan.”

“Mereka boleh berkepala besar. Banyak pula berwajah sejuta kebohongan. Anggaplah itu hiburan sebelum kau mati.”

“Aku mau bikin kopi. Kau pesan apa?” Santi mengedar pandang ke dapur belakang.

“Tidak usah. Sediakan wine saja.” Sonita berlalu menutup pintu dapur.

***

Santi tertawa pelan-pelan kemudian mengocok-ngocok gelas ke pancuran wastafel pembuangan. Melanjutkan memasak ceret hingga menuang ke dalam termos kecil. Menunggu air matang sayup-sayup Santi mendengar anjing melolong panjang, sangat lama, rintihan hewan itu begitu sendu, seakan-akan malam dingin itu badai mengerikan akan tiba ke dusun. Kaca ventilasi ditutup Santi tiba-tiba, tubuhnya melenggang ke depan kompor, mematik cerutu kembali, mengucur termos hangat ke dalam seduhan gelas dari kaca.

Santi melenggok langkah ke luar dapur, keadaan rumah makin membuat kulitnya panas, hawa dingin lenyap berganti menjadi gerah. Gadis itu melepaskan shal merah muda dan mengendurkan kancing sweater putihnya. Kalung liontin berisi potret itu diletakkan ke bawah lampu tidur. Santi mendaratkan tubuh ke samping Sonita yang menyodok-nyodok tongkat perapian. Sonita menyambar segelas wine dengan sangat cepat, meneguknya berulang-ulang. Santi menatapnya aneh. Arwan kembali dari beranda utama, memandang heran saudarinya.

Sonita meminta minuman lagi seakan sangat dahaga. Santi menyanggupi kemudian berlari ke pintu kulkas, sebotol susu diambilnya, perempuan itu mengangsur sedikit demi sedikit susu ke gelas, namun kecepatan tangan Sonita makin rakus menenggak, botol itu sekejap tumpah ke lehernya. Sonita serupa orang yang lari dari gurun pasir ke mari, gadis itu melarikan punggung ke kulkas, menumpahkan seluruh air ke sekujur tubuhnya. Perempuan sweater merah muda itu meraung, menggaruk-garuk tengkuk, mengejang-ngejang ke lantai, mengguling-guling.

Santi berlari ke arahnya, gadis itu menepuk-nepuk pipi Sonita, Sonita tetap tidak merespon, tubuhnya terus menggigil dan meliuk ke sana ke mari. Hingga tibalah Sonita melompat tinggi ke meja makan dan mengobrak-abrik seluruh hidangan. Gadis itu terhuyung-huyung persis anjing sekarat, seluruh punggung itu terkapar meniban lantai. Arwan mengejar tubuh saudarinya ke sana, namun tidak lama, wajah Sonita terbeliak, dua belah matanya melebar, menuju ke sekujur kakinya, menegang, terdengar sayatan dari sana. Sonita merangkak-rangkak dan memuntir lehernya ke punggung. Santi menubruk lampu tidur. Arwan terperangah hebat menatap kengerian itu.

Gadis itu terjatuh ke karpet kemudian pinggang itu terputar ke depan, mukanya mengembis-ngembis, menonjolkan tulang-tulang keras, luar biasa menakutkan.

Sonita tertawa-tawa makin mengerikan, mulut itu membuka sangat besar, bunyi geraman memutuskan lehernya. Sonita ambruk ke tanah usai mencabut seluruh kepalanya. Santi terluntap ke dinding, menjatuhkan dua belah tangan ke lantai, perempuan itu menatap penuh iba, menendang-nendang selujuran celana ke depan. Arwan memeluk pinggul kedinginan Santi.
Mayat Sonita hampir ditutup kain putih dari mori yang diambil bersama Santi. Santi mengalungkan liontin ke sebujur jasad mengerikan Sonita. Tidak lama dari itu terdengar suara bising dari beranda utama, gramapun tiba-tiba berputar sendiri. Santi segera mencabut tabung ampli, melempar keras ke tanah. Dua belah tengkuk wanita itu dibelai kedinginan hebat, secepat mungkin wajahnya berotasi ke peti mati Sonia. Semua penutup kain peti mati itu terbang ke udara, angin kencang meniup dari seluruh penjuru rumah.

Santi merapatkan pundak ke jenjang tangga, tidak lama, tutup peti bergetar hebat, mulut peti itu bergerak-gerak. Sebuah jemari-jemari runcing, begitu tajam dan mengerikan, mencengkeram dari dalam peti mati. Hitungan detik peti itu terbuka memuntahkan makhluk mengerikan dari sana, makhluk itu bergaun putih serupa Sonia, benar, Sonia telah menjelma menjadi iblis terkutuk.

Santi menjerit-jerit. Kepanikan itu semakin menjadi-jadi. Arwan datang dari selatan pintu dan memukul keras kepala Sonia. Sonia tersenyum dengan wajah bercula, dua belah bibir itu bertaring runcing. Arwan menuding-nuding revolver paterson ke mayat mengenaskan itu. Semburan peluru membuat tubuh Sonia makin lemah dan akhirnya jatuh ke lantai.

Arwan menendang punggung mengerikan itu, tidak lama keheningan pecah dengan Sonita melompat tinggi-tinggi dari puncak loteng dan menggaruk punggung Arwan. Arwan mendorong seluruh tubuh Sonita ke hamparan perapian panas, makhluk itu berteriak-teriak hebat. Sonita hangus dihembus juluran api bertubi-tubi.
Sonia menerjang pukulan pedang ke wajah Santi. Santi menggelinding ke permadani, menghindari setiap serangan mematikan. Arwan datang meletuskan pucuk mesiu ke wajah Sonia. Sonia meledak berpuing-puing tercium pistol dahsyat itu. Seluruh tubuhnya ambruk ke jilatan-jilatan perapian menyala-nyala. Santi mendekati Arwan dan mereka jauhkan punggung dari kekacauan mengerikan itu. Lanjutan di bawah ....

Part 2
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...941708fe178b19

Part 3
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...3ccf2ed47ab39d

Part 4
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...53d84993524dd6

Part 5
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...d22a79411403ad

Diubah oleh anasaufarazi810 03-08-2023 12:24
Bgssusanto88
indrag057
rafisullivan354
rafisullivan354 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.5K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
#4
Part 2
Dalam ruangan ramai itu Santi menyodorkan beberapa gambar milik Sonita. Sonita membagi-bagi cerita serupa komik itu ke pria berbaju rapih. “Wah, sayang sekali tidak bisa,”

“Kenapa tidak bisa pak?” tanya Sonia yang baru masuk.

“Cerita kalian tidak berpribadi. Sangat mengikuti pasar perfilman belakang.”

“Bukan majalah Bineka Ria menerima segala macam kisah seram, serupa roman kuntilanak, sassus pocong, kedatangan teluh di kampung, mengapa bapak tolak ini?” Santi merengek.

“Materi kalian berikan ke saya. Begitu jiplak demam evil dead, saya bosan media mengatakan industri kita cuma pandai meniru. Coba tunjukkan asas terbaik kalian.”

“Apa kami harus menari telanjang, agar bapak menerima semua cerita kami?” Santi mendelik dalam-dalam.

“Santi, Santi, memasuki 83, kamu tidak laku kalau begitu terus mimpimu. Kami mau lenyapkan porno aksi ke nada Islami atau lagu-lagu Kudus. Bukan porno, bukan seksuil, masyarakat butuh sajian lebih intensif. Separuh dekade majalah kita bertopeng porno, apa kamu tidak pikir, apa nanti anak kamu katakan, kalau tahu ibunya suka menjual diri di koran?”

“Tapi, kami kerjakan ini sembilan bulan, kok bisa bapak hinakan karya kami!” Sonita membentak dan berdiri.

“Nah, kan, tulisan kalian saja belum benar, sangat disayangkan bayi itu tidak sempurna. Ibaratnya, sembilan bulan itu kamu susui mereka, dan hasil itu melahirkan ketidak sempurnaan. Sayang sekali, sayang sekali.”

“Kemarin,” Sonia meneruskan. “Bapak himbau ke saya. Kalau saya punya kawan bisa gambar, sekaligus cerita, bawalah ke sini. Mereka telah saya pertemukan ke bapak. Apa itu juga salah saya?”

“Kalian tidak ada yang keliru atau salah. Hanya, kamar redaksi kami tidak menerima cerita macam itu, silakan angkat kaki dari sini.”

Santi menarik lengan Sonita yang sangat kecewa dan tentu begitu terpukul. Tetapi belum itu Sonia mengejar-ngejar mereka hingga ke pelataran kantor depan. “Hubungi lelaki ini. Aku tahu dia lebih baik dari tua bangka barusan.”

“Anhar Simatupang?” tanya Santi membolak-balik kartu telepon.

“Ya, kau bisalah ketemu beliau kapan pun. Cuma, orangnya terlalu santai, cenderung tidak serius, tapi percayalah, beliau orang yang sangat ramah. Datanglah padanya, pasti kalian punya panggung ke sana.”

“Terima kasih berat padamu.” Santi memeluk pelan tubuh Sonia.

“Aku minta maaf ke kalian semua.” Sonita datang ke tengah-tengah mereka.

“Ada apa kau kata begitu?” Santi merengkuh hangat pinggang Sonita.

“Dalam waktu tidak ditentukan, aku akan pergi ke Makassar, mungkin bisa lima tahun, atau nanti Januari 1995 aku baru kembali.”

“Tidak bisa kau undur?” Santi menatap bimbang Sonita.

“Maaf San, aku tidak mampu tolak tawaran itu, aku sudah berjanji ke budeku, kalau kau ditolak penerbit, pulanglah ke kotamu, kami siap berangkatkan kau ke Australia. Kami punya jaminan kerja di sana. Kebetulan aku lihai menggambar, peluang butik membuka desainer baju pelatihan drama pentas, aku salah satu orang yang diundang ke sana.”

“Semoga berhasil. Jangan lupakan hari ini kita saling bertemu dan mencurahkan seluruh amukan setan ini.” Santi memeluk dua sahabatnya.

Setelah hari paling meletihkan itu mereka sama-sekali tidak pernah berkabar satu sama lain. Hingga di suatu siang Santi menerima telepon Sonia akan menikah ke Kansas dan merencanakan tinggal di sana. Hidup meriah Santi kini benar-benar kesepian usai itu. Namun dari itulah kisah ini terjadi begitu saja, tanpa diundang, atau malah tidak pernah dilahirkan seluruh penulis dimuka bumi. Terbitlah Santi pertama kali ke sebuah sandiwara di kehidupan barunya.

***

Terminal pasar baru lengang tidak sepadat hari-hari biasa. Sepanjang trotoar, bermukim banyak penjual koran, pengamen dewasa, bocah bersuara natural atau dibuat-buat seindah mungkin pun ada: bancilah contohnya. Dari lalu-lalang aktivitet penduduk telah berlari laki-laki bertas pinggang dari kain bekas. Pemuda itu melarikan sepatunya seperti tak tentu arah. Memang benar. Ia sempat dicegah patroli polisi. Akibat dikira hendak menerobos palang lalu-lintas.

Tidak lama berbiak wabah paling mematikan, mengancam singgasana maraja dari segala raja, yaitu, bukan lain demo. Unjuk rasa itu ketidak yakinan akan pemerintah, yang makin ngawur, dan membiarkan negeri ini makin kabur, demikian keamanan diperkuat, sana-sini sudah seperti persiapan bantau pertempuran. Padahal sudah jelas, mereka bekerja pun untuk bangsanya, lebih anehnya, sesamanya pun, ikut dirongrong, tanpa ampun, ya, itulah mikroba rezim di mana keadilan seperti sudah digadai jadi dongeng.

Lolosnya pemuda itu dari pemeriksaan paling aneh, dan tidak beralasan itu, menyebabkan dia beralih menyetop taksi, maka, masuklah dia ke sebuah bird express, yang membawa tubuhnya laksana pancuran patung selamat datang. Dan, memang itu tujuan utama lelaki itu, menyambut seorang kawan, yang entah tidak tahu juntrungan jelasnya di mana.

Dekatlah mobil taksi memelan, berhenti ke pelataran gardu masinis, benar, hari ini pemuda itu mau menunggu sahabatnya di sana, peron, tidak jauh dari Gambir. Inilah adegan yang masih terus dituntun penulis, seraya mengusir kantuk, di jam empat pagi. Kebetulan pemudi taksi memberi kelonggaran, ongkos masih tergolong murah. Asal, tetap dibayar, dan sesuai pajak pemerintah.

Pemuda itu telah berdiri ke barisan peron, yang mana itu antrian jurusan lain. Sementara penumpang mbandel, mereka tanpa tiket pun, piknik, tamasya riang, hati tetap suka bahkan sekali pun, bergelantungan atau duduk di puncak gerbong. Mereka menyerahkan jiwa sepenuhnya ke nafas keberanian. Bergantungan serupa monyet bebas, tanpa bayar, merasakan surga sungguh-sungguh dekat dengan mereka. Apalagi ketika kereta melaju tinggi. Semakin dekatlah keimanan mereka sampai Tuhan.

Penantian itu pada akhirnya menemukan sumbu puncak. Lintasan preipal mengesit kencang, roda kereta berhenti. Semburat wajah muncul di tengah-tengah keramaian, lelaki itu bercelana mekar, menuju dua belah pinggul, terpasang sabuk jantan, macho, ala lelaki jantan. Seperti telah dijanjikan pemuda penjemput, mereka bersapa satu sama lain. Mengingat apa yang perlu dikatakan, pria berambut lebat itu, mengeluarkan sebuah surat dari tas cangklong. Kemudian sepasang perjaka itu telah berjalan menuju tangga turun, dan isian telegram bukan lain, pemberitahuan Tarankita menyuruh mereka berkemas secepat mungkin ke Bandung.

“Ah, kau Her, baru aku datang, semua begitu cepat. Seperti aku ini mau mati saja.”

Herby membahak dalam derai keringat. “Bicaramu, cuma pantas masuk kandang singa, di sana banyak kawanmu, ya, bisalah ladeni congormu.”

“Njubileh, babelu g*****!” maki Martin menampuk dua belah pipi Herby.
Mereka dua bersaudara, hanya beda binti bapak, binti enyak, binti kunyuk, dan beribu binti lainnya. Alias, kawan sepertarungan, seperaduan nasib.
Beginilah obrolan itu terjalin kembali di sebuah pelataran rumah. Herby meletakkan sepatu ke lantai, melepas dua belah mojah ke bawah meja dari rotan. “Aku senang kau kembali.”

“Apa hadiahnya, ketika kau sadar aku belum cukup umur, buat kimpoi.”

“Alasan.” Herby mengapit cerutu. “Kau bukan tidak telat umur atau semacamnya. Melainkan, kantung kering, tidak ada uang.”

“Bilanglah itu dirumah mantan pacarku.”

“Buat apa?” tanya Herby terkejut.

“Biar.” Martin menjawab hati-hati. “Dia mau kembali padaku, dan memilihku laksana aku ini presiden dunia.”

“Percaya,” kecap Herby memulai. “Doimu itu terlalu cantik. Ibarat kata, kau ini laron, sedang wanitamu bunga surga, apa pantas, perempuam seindah, secerah itu kimpoi, dengan laron hidup sepertimu?”

“Idiot!” geram Martin tertawa kemudian. “Setahuku, kau ada kerabat cewe pula? Eh-tunggu, ya, benar, aku ingat siapa dia. Kalau aku tidak keliru, Santi. Itu namanya, ingatanku masih bagus. Setidaknya, bayangan pinggul mulusnya, setia berdansa di wajahku.”

“Dasar!” Herby melempar bekas-bekas potongan rokok.

Martin terhibur mengabaikan dan tidak jauh dari keriangan di siang itu. Pintu pagar besi tertarik, terbuka, pertanda baik, atau justru buruk, tidak ada manusia tahu, ketika semua gerbang membuka. Telah berjalan seorang wanita berbaju santai, beranting bulat-bulat dari mutiara, menuju pinggang terikat sabuk permata wanita, berikutnya, wajah wanita itu mulai nampak diterpa sinar gemerlap, dan dari muka itu, meluruh senyum ramah, mencantikkan daya pikat ke seluruh pantulan wajahnya saat itu.
“Con amour,” bisik Herby.

“Santi?” tanya Martin tidak percaya. “Wah? Sudah besar kau?” Martin beralih mengguncang salaman tangan Santi.
Herby menutup wajah Martin dengan sebuah majalah. Herby tidak henti berbinar, menatap lebar Santi.

“Benar ini kau, San?”

“Iya bung, ini saya, memang ada cetakan manusia begitu mirip saya?”

“Ada.”

“Siapa itu?”

“Akulah orangnya.”

“Aku tidak paham.” Elak Santi mengipas tangan menolak.

“Ya, memang itu akulah orangnya, aku yang persis sepertimu.”

“Majalahmu mack!” singkir keras-keras Martin melempar surat berita.
Herby terpana serupa orang kehabisan jiwa.

Kunjungan Santi seperti lahirnya puteri tercantik, bahkan mengalahkan sejuta bidadari semesta.

“Ada apa kau ke sini?” tanya Martin.
“Begini. Aku sudah pindah minggu depan. Kebetulan, aku tidak ada kawan di sana, jadilah kudatangi kalian.”

“Wah,” geleng Martin persis ketiban molotov. “Kita baru ketemu sudah pisah begini, ya? Her?”

Herby setia terpukau seperti benar-benar idiot.

“Woi mack! Ada godzilla mengamuk!”
“Mana?! Mana?!” Herby celingukkan melebihi helicop oleng yang hampir sekarat.

“Itu ada di majalah. Nah, kau bacalah di sana, sangat bagus ceritanya.”

“Tai!”

“Ayo! San! Kamu masuk. Kami kebetulan belum masak apa-apa nih. Jadi, bisalah kau masak buat kami.”
Santi mengerucut bibir persis monyet. “Idih! Masaklah sendiri!”

“Huh! Kau itungan.”

“Aku pulang. Kalian lelaki paling dungu pernah kutemukan di seluruh bumi.”

“Apa pluto termasuk, San?” duduk Martin tertawa tanpa mengiringkan Santi makin menjauh.

Herby melompat mengejar perempuan itu hingga pelataran depan. “Aku mau ikut plesir!” teriaknya.

Santi berhenti tiba-tiba namun tidak menengok, dan cukup memaling leher. “Jualah jiwamu. Barulah, pergi bersamaku.”

“Tidak San, aku cukup gurau, sekarang kau beri alamatmu. Kami usahakan datang.”

“Nah,” Santi merogoh celana kemudian memberi kertas. “Kalian jangan lepas dariku. Sonia begitu pula Sonita. Mereka telah hilang seperti kemarin itu mimpi.”
“Jangan sedih,” Herby mendekat. “Aku begitu pun Martin. Kami senantiasa ada buatmu San. Eh itu Arwan!”

“Oh-kau benar.” Santi melambai-lambai tangan dan Herby pergi ke dalam.
Dari kejauhan Arwan menaiki motor kemudian Santi dibonceng sampai ke depan kamar rusun. “Tidak mau mampir dulu, Wan?”

“Aku sibuk belakang. Kau yakin mau pindah?”

“Ya, kenapa tidak?”

“Ini aku ada buku buatmu. Barang tentu nanti kau ada waktu membaca atau selingan.”

“Apa ini?”

“Iblis dan keenam penjuru. Kau nanti tahu apa dicari mereka.”

“Aku merasa kau sulit.”

“Tidak, aku tidak ada beban, mungkin habis itu kita ketemu kembali suatu saat.”

“Semoga,” Santi menyandar bahu ke ambang pintu.

“Selamat sore San. Aku pergi dulu.”
Santi menatap punggung berjaket kulit itu makin mengecil masuk lorong.

Bersambung
Diubah oleh anasaufarazi810 14-07-2023 07:16
0