anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
Kekuatan Jahat di Rumah Duka
Hujan mengguyur kencang ke seluruh atap-atap tua dusun. Jauh dari kekacauan badai, menyala sambaran api meliuk-liuk di perapian beranda utama. Sonita berjalan mengikat rambut ke punggung, kemudian melipat tangan, berdiri mematung ke ambang pintu ruang tamu. Santi berjam-jam lamanya duduk menekur depan peti mati Sonia. Entah, apa merasuki dinding kepala gadis itu, barang tentu muncul harapan Sonia mampu bangkit dan menjenguk senyum manis ke wajah harunya. Mereka barulah mengenal tiga tahun, mengapa selamat tinggal itu sangat cepat, melampaui seluruh perpisahan di buku-buku cengeng murahan.

“Tidurlah. Aku gantikan.” Sonita bersila ke samping Santi. Santi masih melujurkan celana sembari membuka-buka majalah.

“Menurutmu,” Santi mengalihkan mata ke Sonita.

“Apa aku pantas menulis di majalah?”

“Kau tertarik ke sana?” tanya Sonita.

“Sepertinya menguras pena lebih merepotkan dari mengawini perjaka di musim bercinta begini.”

“Bicaramu selalu sulit kumengerti.”

“Kapan Arwan datang?”

“Kalau tidak ada kesulitan. Saudaraku tiba shubuh petang. Keluargaku datang ke mari sekaligus.”

“Bagus.” Santi membuat jarak ke belakang. Punggung itu berhenti ke barisan pintu-pintu tertutup. “Pernah menginap di sini? Rumah ini bagus sekali. Bahkan kupikir penatu dan biaya pasti lebih mahal dari motel ternama.”

“Tidak ada orang betah di sini. Saluran wc selalu mampet. Belum lagi lempengan ubin banyak didiami kutu-kutu ganas. Aku sarankan pulang itu lebih baik dari menginap.”

“Kacau.” Santi menerawang pintu paling jauh dan terpusat di tengah lorong. “Ah, pasti ada mayat di sana.”

“Tidak ah!” Sonita lari menyeret pinggang Santi ke meja bertaplak renda-renda. “Makan dulu. Aku sadar kau lapar. Sehingga liurmu lebih menjijikan dari a*****.”

“Pelayan terkutuk pantas lahir darimu.” Santi membuka waskom berisi nasi putih dan merobek daun pisang kemudian menyuling santan ke sana. Santi mulai menyuap pelahan-lahan ke mulutnya.

Sonita meraih botol selai membalur kacang mete ke sebulat roti hangat dari oven. Mereka makan begitu lahap, ditemani desau ranting-ranting pohon, bayangan pohon cungkring mengimbak-imbak tertiup hujan besar. Sekeliling rumah terpatri tembok berduri, mustahil maling nekat melompat, menudingkan parang atau sejenisnya. Mereka lebih lihai menjahati rumah-rumah sepi diujung kebon setapak, atau golongan monarki yang hamburkan uang menguasai berhektar-hektar tanah dusun hingga kuburan. Barangkali di tanah kuburan itulah mereka karuniakan mimpi paling indah di sana.

Tidak lama kebisingan luruhan daun-daun hujan berhenti. Seluruh lampu-lampu jalan mulai menyala, lapangan bola memantulkan kelap-kelip lampu piring, keheningan di sana hirap manakala muncul derung motor kumbang makin cepat, menjangkau pelataran rumah duka. Santi yang menidurkan dahi ke atas peti mati terbangun, terdengar pintu diketok-ketok keras. Sonita berjalan cepat-cepat membuka pintu, seketika muncul bayangan lelaki berpayung hitam di tengah-tengah gardu taman. Sonita melangkah hampiri siluet lelaki itu dekat-dekat. Tanpa disadari melayang tepukan tangan ke puncak kepalanya. Sonita kekagetan. Santi menyorot senter dan Sonita mengalihkan ke seberang. “Siapa lelaki itu?” telunjuknya menuding jauh-jauh ke jurusan taman depan.

Santi berhenti membelakangi pohon-pohon tinggi di tengah pekarangan. Pemuda itu sedang mematung memayungi kepala dengan payung hitam. Santi menepuk keras-keras pundak lelaki itu. “Arwan!”

Lelaki itu tidak lama menengok dan benar itu Arwan. Arwan melepas jas hujan tebal dari tubuhnya dan bergegas lari ke geladeri. Menyusul Santi terpontang-panting di belakang. Sonita menarik bangku dari besi dan duduk menopang dagu ke tangan. “Malam ini begitu berbeda dari sudah-sudah.”

“Hilangkan kecemasanmu.” Arwan membagi sigar terbakar ke Sonita. Sonita meniup kobaran api dan menyedot asap dalam-dalam.

“Oh-kau Wan!” Santi baru tiba dan melempar payung warna-warni ke sembarang arah. Kemudian duduk bersila depan pintu. “Kupikir kau pembunuh yang mau habisi kami.”

“Payah!” Sonita melempar gulungan koran bekas ke Santi.

Santi membuka surat kabar lebar-lebar dan membacanya kembali. “Hujan tinggi masih akan terjadi. Barangkali listrik padam kembali. Bersiaplah ada hantu bangkit dari baka.” Santi menakut-nakuti dengan tangan mencakar-cakar.

“Pikirmu Sonia mampu bangun dan mencakar tubuhmu?” Sonita membubung asap sejuk ke udara.

“Sonia pasti membunuhmu dulu. Kau telah hinakan orang mati. Orang mati butuh ketenangan abadi.” Santi mengutuki.

“Tidak. Lagipula, Sonia sangat baik, mustahil dia menerkam dan mencabik mulutku seperti babi.”

“Monyong a*****.” Santi menutup topi ke wajah cengar-cengir Sonita.

“Berapa jumlah anjing di desa ini?”

“Memang ada apa dengan itu?” Santi telah berdiri ke tengah meja serambi.

“Lihatlah nanti. Kalau benar tidak ada satu atau dua lolongan. Berarti arwah Sonia benar-benar damai di sisi Tuhan.”

“Ah-kau gendeng!” Sonita memukul dua belah pundak Arwan.

“Aku kan cukup baca mitos. Kalau kau marah. Berarti kau lebih dungu dariku.”

“Ayo!” Santi menarik-narik tangan Sonita ke dalam. “Ada mau kutunjukan padamu.”

“Mau apa?”

“Sudah jangan cerewet!” Santi tertawa-tawa rendah dan mereka berduyun-duyun menuju ke lorong. Sorot-sorot senter menari-nari di gelapnya sepanjang koridor. Arwan berhenti ke hadapan potret keluarga. Potret itu dibingkai berat, di sana Sonia dipangku neneknya di sebuah kursi dari rotan. Boneka teddy itu didekap erat-erat tubuhnya. “Sonia begitu kecilnya di gambar ini.”

“Tidak terasa semua itu telah lenyap.” Santi mendatangi tubuh Arwan.

Sonita menuding senter ke potret tua itu. “Aku bingung. Apa membuat Sonia pergi secepat itu. Di potret ini, dirinya seperti iblis kecil, yang menunggu terbangun pada suatu malam.”
“Gurauanmu sanggup bangunkan Sonia ke alam manusia.” Santi berbisik melenakan telinga Sonita.

“Wan!” panggil Sonita berbalik tubuh.
Arwan muncul dari tangga gelap kemudian mendorong satu peti berat. Sepertinya buffet kecil itu berisi macam-macam. Pikir Santi. Mereka mencongkel gembok dengan puntiran obeng besi. Seluruh kuncian terbuka menyemburkan debu hebat ke udara. Arwan duduk-duduk kembali ke serambi. Menyusul datangnya Santi ke sebelahnya.

Sonita menyorot senter ke ilustrasi. “Lihat. Ini gambar iblis yang merayap dari cangkang telur. Itu berarti Sonia tidak bohong.”

“Tunggu!” Santi mengarahkan pucuk senter Sonita ke tulisan abjad di bawahnya. “Kenapa kalimat ini dihapus separuhnya?”

“Nah,” Arwan selesai menyatukan potongan koran ke lembaran kurang itu. “Bacalah itu.”

“Kau berani?” Santi bertanya.

“Ini serupa mantra kebaktian sabat hitam.”

“Berani kau baca ini keras-keras depan peti mati, Sonia?” Santi mengulang tanya.

Sonita membisu beberapa waktu dan melepaskan topi dari kepalanya. “Aku ragu.”

“Justru itulah.” Arwan berdiri kembali ke sebelahnya. “Kita coba kebenaran itu benar tidaknya. Kalau tidak. Berarti semua ini cukup karangan mengada-ngada.”

“Arwan benar.” Santi matikan senter. “Kita telah berada di tahun yang hampir mendekati kemajuan. Setengah dekade lagi 90an tiba. Kita telah berada di puncak peradaban. Segala mengenai mitos, harus kita patahkan sebelum warna-warni 2000 ribu lahir ke dunia.”

“Ya,” Arwan menyahut. “Sekarang aku dampingimu.”

“Mengapa mesti aku?”

“Di kitab sabat hitam, hanya perempuan sedarah yang mampu tiupkan benih setan ke tubuh mati itu. Kau kan wanita, aku lelaki, jadi lebih ampuh mantra itu dihidupkan dari lidahmu.”

***

Mereka rampung mencari kesediaan ritual. Sebuah loyang berisi media boneka kotor semasa Sonia hidup di taruh bisu ke sana. Satu buah templok kecil diletakkan ke tengah-tengah sesajen. Nyala lilin-lilin memancar menaungi seluruh peti mati. Arwan selesai menyulut api ke mimbar ritual. Sonita menutup semua pintu hingga jendela. Santi mematikan sambungan listrik. Penerangan terbit dari beragam lampu-lampu minyak.

Dua tangan Sonita gemetar menampung kitab lusuh diiringi nyanyian-nyanyian sendu dari tabung gramapun. Samping kiri kanan Santi bersama Arwan melantunkan lagu perpisahan paling sedih. Tembang itu diulangi terus-menerus hingga tidak terasa suasana makin mencekam. Sonita mengangkat tinggi-tinggi kitab sabat setan dan menaruh ke atap peti mati. Sembari terus merapal ajian dari tulisan tempelan di sana. “Ascolto!” tepuk telapak Sonita ke permukaan dingin peti mati. “Virtus occulta! Evenite!” sentak suara itu merambat ke seluruh ruangan hening dan desir tubuh Santi hingga Arwan makin meninggikan suara mereka. Lagu kesenduan itu masih riang terputar-putar dari gramapun dan tanpa sadar: piringan macet, curahan nada tersendat-sendat, birama violin seakan tercekik putaran mengerikan tuas pemutar.

Arwan terbangun dari posisi kemudian menarik keras kotak aki memadamkan gerutuan tembang. Santi menidurkan wajahnya menatap langit-langit kamar keluarga. Sonita menyalakan semua lampu dan menggelar karpet ke samping tubuh Santi. Arwan memusat senter ke seberang jendela temaram di luar sana. Sepi. Keheningan itu menjadikan mereka semakin yakin ruh jahat itu benar-benar tipuan. Tidak ada kebenaran mampu lahir dari peristiwa sabat kegelapan barusan.

***

Jam pendule mendentum beberapa kali, jarum melesit pukul satu dini hari. Wajah Santi berusaha terjaga, membuka kembali selebaran majalah dari Sonia.

Sonita beralih duduk-duduk ke sebelahnya. “Kapan waktuku tiba?”

Santi menaruh majalah ke pangkuan. “Apa maksudmu? Aku mengantuk.” Santi menguap lebar ke wajah Sonita.

“Kau rajin membaca itu. Barangkali kelak namamu muncul di sana.”

“Menjadi penulis?” Santi mengakak. Kemudian merebahkan punggung ke sofa. “Orang lebih suka membaca penulis senior dari penulis penuh omong kosong sepertiku.”

“Kan, biasa dari omong kosong, mampu berangkat jadi kenyataan, kalau banyak ditiup kebohongan ke sana?”

“Itu lebih mengerikan lagi. Menulis ibarat kau memberi makan naluri. Dan nalurimu kalah gemuk dibanding mereka gede omongan darimu.”

“Itulah baiknya kau jangan pandai mengarang. Nanti orang mengecapmu dosen murahan.”

“Biar murah. Setidaknya aku tidak sempoyongan riset. Riset itu nutrisi sebelum bertempur hadapi janggut setan.”

“Mereka boleh berkepala besar. Banyak pula berwajah sejuta kebohongan. Anggaplah itu hiburan sebelum kau mati.”

“Aku mau bikin kopi. Kau pesan apa?” Santi mengedar pandang ke dapur belakang.

“Tidak usah. Sediakan wine saja.” Sonita berlalu menutup pintu dapur.

***

Santi tertawa pelan-pelan kemudian mengocok-ngocok gelas ke pancuran wastafel pembuangan. Melanjutkan memasak ceret hingga menuang ke dalam termos kecil. Menunggu air matang sayup-sayup Santi mendengar anjing melolong panjang, sangat lama, rintihan hewan itu begitu sendu, seakan-akan malam dingin itu badai mengerikan akan tiba ke dusun. Kaca ventilasi ditutup Santi tiba-tiba, tubuhnya melenggang ke depan kompor, mematik cerutu kembali, mengucur termos hangat ke dalam seduhan gelas dari kaca.

Santi melenggok langkah ke luar dapur, keadaan rumah makin membuat kulitnya panas, hawa dingin lenyap berganti menjadi gerah. Gadis itu melepaskan shal merah muda dan mengendurkan kancing sweater putihnya. Kalung liontin berisi potret itu diletakkan ke bawah lampu tidur. Santi mendaratkan tubuh ke samping Sonita yang menyodok-nyodok tongkat perapian. Sonita menyambar segelas wine dengan sangat cepat, meneguknya berulang-ulang. Santi menatapnya aneh. Arwan kembali dari beranda utama, memandang heran saudarinya.

Sonita meminta minuman lagi seakan sangat dahaga. Santi menyanggupi kemudian berlari ke pintu kulkas, sebotol susu diambilnya, perempuan itu mengangsur sedikit demi sedikit susu ke gelas, namun kecepatan tangan Sonita makin rakus menenggak, botol itu sekejap tumpah ke lehernya. Sonita serupa orang yang lari dari gurun pasir ke mari, gadis itu melarikan punggung ke kulkas, menumpahkan seluruh air ke sekujur tubuhnya. Perempuan sweater merah muda itu meraung, menggaruk-garuk tengkuk, mengejang-ngejang ke lantai, mengguling-guling.

Santi berlari ke arahnya, gadis itu menepuk-nepuk pipi Sonita, Sonita tetap tidak merespon, tubuhnya terus menggigil dan meliuk ke sana ke mari. Hingga tibalah Sonita melompat tinggi ke meja makan dan mengobrak-abrik seluruh hidangan. Gadis itu terhuyung-huyung persis anjing sekarat, seluruh punggung itu terkapar meniban lantai. Arwan mengejar tubuh saudarinya ke sana, namun tidak lama, wajah Sonita terbeliak, dua belah matanya melebar, menuju ke sekujur kakinya, menegang, terdengar sayatan dari sana. Sonita merangkak-rangkak dan memuntir lehernya ke punggung. Santi menubruk lampu tidur. Arwan terperangah hebat menatap kengerian itu.

Gadis itu terjatuh ke karpet kemudian pinggang itu terputar ke depan, mukanya mengembis-ngembis, menonjolkan tulang-tulang keras, luar biasa menakutkan.

Sonita tertawa-tawa makin mengerikan, mulut itu membuka sangat besar, bunyi geraman memutuskan lehernya. Sonita ambruk ke tanah usai mencabut seluruh kepalanya. Santi terluntap ke dinding, menjatuhkan dua belah tangan ke lantai, perempuan itu menatap penuh iba, menendang-nendang selujuran celana ke depan. Arwan memeluk pinggul kedinginan Santi.
Mayat Sonita hampir ditutup kain putih dari mori yang diambil bersama Santi. Santi mengalungkan liontin ke sebujur jasad mengerikan Sonita. Tidak lama dari itu terdengar suara bising dari beranda utama, gramapun tiba-tiba berputar sendiri. Santi segera mencabut tabung ampli, melempar keras ke tanah. Dua belah tengkuk wanita itu dibelai kedinginan hebat, secepat mungkin wajahnya berotasi ke peti mati Sonia. Semua penutup kain peti mati itu terbang ke udara, angin kencang meniup dari seluruh penjuru rumah.

Santi merapatkan pundak ke jenjang tangga, tidak lama, tutup peti bergetar hebat, mulut peti itu bergerak-gerak. Sebuah jemari-jemari runcing, begitu tajam dan mengerikan, mencengkeram dari dalam peti mati. Hitungan detik peti itu terbuka memuntahkan makhluk mengerikan dari sana, makhluk itu bergaun putih serupa Sonia, benar, Sonia telah menjelma menjadi iblis terkutuk.

Santi menjerit-jerit. Kepanikan itu semakin menjadi-jadi. Arwan datang dari selatan pintu dan memukul keras kepala Sonia. Sonia tersenyum dengan wajah bercula, dua belah bibir itu bertaring runcing. Arwan menuding-nuding revolver paterson ke mayat mengenaskan itu. Semburan peluru membuat tubuh Sonia makin lemah dan akhirnya jatuh ke lantai.

Arwan menendang punggung mengerikan itu, tidak lama keheningan pecah dengan Sonita melompat tinggi-tinggi dari puncak loteng dan menggaruk punggung Arwan. Arwan mendorong seluruh tubuh Sonita ke hamparan perapian panas, makhluk itu berteriak-teriak hebat. Sonita hangus dihembus juluran api bertubi-tubi.
Sonia menerjang pukulan pedang ke wajah Santi. Santi menggelinding ke permadani, menghindari setiap serangan mematikan. Arwan datang meletuskan pucuk mesiu ke wajah Sonia. Sonia meledak berpuing-puing tercium pistol dahsyat itu. Seluruh tubuhnya ambruk ke jilatan-jilatan perapian menyala-nyala. Santi mendekati Arwan dan mereka jauhkan punggung dari kekacauan mengerikan itu. Lanjutan di bawah ....

Part 2
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...941708fe178b19

Part 3
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...3ccf2ed47ab39d

Part 4
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...53d84993524dd6

Part 5
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...d22a79411403ad

Diubah oleh anasaufarazi810 03-08-2023 12:24
Bgssusanto88
indrag057
rafisullivan354
rafisullivan354 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.5K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
#5
Part 3
Pada waktu demikian. Tina sedang menjahit sebuah baju, kuningan peniti jatuh, diraihnya ke lantai, tidak lama dari itu. Jarum kecil itu melompat kilat, tepat, benda itu menancap depan tumit mungilnya. Tina menunduk, sekian jengkal itu, hidung mancungnya mengendus-endus jarum, seketika sebuah tangan mengerikan muncul, menarik begitu cepat jarum itu, dan tangan berbulu lebat itu lenyap masuk cermin. Tina menjingkat, punggung itu mendebam, jatuh ke lantai, bersamaan dalam posisi mengesot, pada cermin dia dapati retak-retak dan retak mengubah wajah kecilnya remuk.
Kembali pada pusat pantulan, bayangan wajahnya memudar pelahan-lahan, kulit mulus itu mengelupas, melepuh bersamaan. Juga bau asap makin mengebul keluar cermin pecah, dibalik itu, sekian bunyi ayam bersahut-sahutan, tibalah dia dengar lantai berdentum. Bukan sekali. Gema itu merambat, laju menit menambah bobot tubuhnya seperti tertiban jutaan babon berterbangan.

Benar saja, pintu almari terbuka lebar-lebar, muncul siluet makhluk berbulu kasar-kasar, kepala berjengger, sayap hitam itu mengepak tinggi-tinggi, seok barang-barang terlempar keluar lemari. Sekian waktu memukau, melompat keluar babon besar dengan wujud menyerupai reptil berbulu lebat, paruh itu terus menyembur api, lidah merah itu, semerah tembaga, menjulur-julur.

Tina ketakutan hebat, gadis itu beringsut mundur pelan-pelan, mendekam pojokan almari. Suara babon berkepala reptil masih di dengarnya, bahkan persis monyong babi ditampar-tampar, ukuran hewan sebesar almari tua rumahnya. Makin menambah menawan, sekaligus mempercantik rumah dengan kengerian, dan ngeri itu membunuh penghuni pelahan-lahan. Tina masih duduk, memeluk tubuhnya erat-erat, babon raksasa masih juga mengamuk diluar sana, bahkan, hanya dari pukulan dan gema, dapat Tina tahu, makhluk aneh itu sedang mengacau penuh rumah neneknya.

Babon besar masih berteriak-teriak, sayap itu kian melebar, menyapu habis meja-meja, gelas-gelas kaca, semua menyerak, memecah dalam amukan bertubi-tubi. Tidak lama, keadaan menjadi sunyi, kian hening. Hal ini digunakan Tina menyusup, dalam punggung mengembik, dagunya tunduk, sembari terus berjalan masuk kolong-kolong meja.

Separuh jidat Tina mengintip dibalik meja remuk, tidak jauh tengah aula kecil rumahnya, babon raksasa sedang bertarung hebat dengan perempuan berhelmet, tidak lupa, pedang itu terus mengibas ke udara. Lesatan-lesatan api menyembur hebat ke lawan, wanita berbaju zirah menyala-nyala itu, sekali lagi menuding keras-keras pedang, dan pada waktu bersamaan, babon raksasa tumbang.

Kepala reptil berparuh api itu menggelinding, bangkai berbulu gelap berterbangan menjadi abu dan lenyap menjadi api. Tina tercekat bisu, perempuan berhelmet membentuk segi-tiga pada tangan dan lenyap menjadi asap.

Tina terbangun dalam keadaan semula, tubuhnya tegak duduki sofa, keadaan ruangan tenang, semua barang masih rapih pada tempatnya masing-masing. Tidak lama dia bisu, kain merah anggur yang setia diganggangnya, robek menjadi sayatan hangus, belum lama dia membisu.

Duduk tidak jauh darinya, Amanda, gadis itu bertekur dalam posisi bersila hadap lantai, Tina penasaran, apa sedang diperbuat saudara bisunya? Didatanginya, belum mendekat, Tina berdegupan, dadanya naik turun tidak beraturan.

Amanda sedang serius menatap papan, kertas itu berdiorama konstelasi, lingkaran pertama mengartikan satu huruf mesti dijawab, pemain kedua. Dan kebetulan Tina berada tepat depan pemain kedua, Amanda berhenti bermain. Sejenak dia rentangkan tangan, tidak jadi menguap, mulutnya justru tersenyum. Makin membuat Tina menekuk alis bingung, apalagi sekarang?

“Apa ini, Amanda?” Tina kembali bertanya.

Amanda melipat kertas, beralih alis itu memandang wajah adiknya. “Benar? Kau tidak adukan, Santi?”

“Tentu, kak, sejak kapan, kau tidak percaya padaku?” kini Tina takut. Takut Amanda gondol jiwanya.

“Tidak perlu kau tahu.” Amanda beranjak melipat kertas. “Nanti. Kita bersenang-senang, kau suka?” entah apa maksud Amanda menabur enigma sengak.

“Tidak tahu aku,” Tina menyandar punggung dibalik sofa, dengan itu, Amanda menyusul duduk di sebelahnya. Masih bersila di lantai, dua anak manusia itu, sibuk membisu seperti boneka karatan.

“Jangan begitu, aku, kan mau tahu.”

“Berkatalah, seterang, dan sejelas mungkin.” Amanda meyakinkan berkali-kali.

“Kenapa, kau selalu muncul, setiap aku bermimpi buruk, Amanda?” tanya Tina menatap serius saudarinya. Dan Amanda tetap merasa tidak pernah manusia. Memang itu dirinya.

“Cuma firasat, dan manusia modern, sejatinya lebih percaya pada tafsiran pribadi, ketimbang hari-hari tertentu, sekarang kau katakan, masih mau main denganku?” Amanda mengokohi keberanian tubuhnya.

“Apa maksud kau dengan, bermain?” Tina bingung.

Amanda terkekeh singkat. Kemudian lempangkan kertas barusan, sebentar dia gelar berkas itu dilantai, sudut-sudut tangannya mencangkung gambar. “Perhatikan. Pernah kau dengar?”
Tina menggeleng.

“Manusia bermimpi melewati sadar tidaknya tubuh itu mampu kuatkan kestabilan emosi kepalanya.”

“Jelaskan lebih tepatnya,” tuntut Tina.

“Kertas ini kunamakan: permintaan mimpi.”

“Kau bisa minta apa pun bentuk mimpimu.”

“Kau makin ngawur, Amanda,” Tina sekali-kali perhatikan wajah pasi saudaranya. Amanda segar dengan kulit putih seperti mayit hampir busuk.

“Dengar dulu!” Amanda menginterup. “Kau itu mudah sekali hinakan orang. Aku ambil contoh kartu ini,”

Amanda mengeluarkan sepicis kartu. Dilemparnya kencang ke lantai, telunjuk gadis itu mengacu ilustrasi templar menunggang kuda. “Di sini kuda. Dan tidak jauh darinya, matari terbenam, sedikit lagi ufuk terbenam. Bumi sepenuhnya berada dalam pelukan malam. Kuda itu meringkik, tertartih menuju bukit, sedang kesatria itu lebih dulu dibunuh atas fitnah, dan mantra penyesatan yang mereka sebarkan.”

“Kau maksudkan,” Tina mengingat sesuatu, “sekarang aku ingat. Jumat 13, waktu itu, 1300s, para templar dieksekusi dan pandai besi masuk dalam melismastik penyekutuan sihir.”

“Pandai kau dengan itu.” Amanda memulai. “Mereka pergi dengan pengetahuan, salah satunya, jejak kuno itu lahir pada kepercayaan yang dikelirukan, sekian dari itu, simbol feminim lahir benar semasa templar belum mati. Justru setelahnya, baphomet, disalah gunakan sebagai wujud dewa kejahatan. Mereka sengaja mengubahnya, menjadi kian dekat pada satanic verse.”

“Sekarang,” Tina ragu memulai, “Apa kaitan hal itu pada mimpi kocokanmu, itu?”

“Mudah.” Amanda tarik kencang papan catur. Kertas kecil itu diletakkan, kartu dibariskan mengikuti sudut-sudut pigura, panah itu mengarah ke sekian baris pelaku. “Aku letakkan jarum disebuah pusat kartu. Gambar itu kualihkan pada badan pusat, nah, koordinat utama berada pada orang ditengah mimbar. Mimbar percaturan.”

“Kau bohong,” Tina membalik kartu ke arah piramid berlawanan. “Lihat?”

Amanda terkejut dalam posisi bersila. “Darimana kau tahu?”

“Kuningan ini,” Tina mencatut peniti emas, “Aku gunakan menjahit baju. Gaun itu robek setelahnya, mengapa, tiba-tiba jarum ini jatuh ke lantai?”
Amanda menatap Tina diam. Mata besar itu seakan mengaduk-aduk pedalaman batin adiknya.

“Ada kau sembunyikan dariku,” Tina menangkap papan. Sekian tumpuk kartu kecil bawah papan ditarik laju. “Benda-benda aneh ini, padahal, ini hanya papan catur tua, papa membawanya tiga tahun lalu. Setelah kematian kakek.”

“Perasaanmu,” sangkal Amanda menarik kartu-kartu kemudian melipat menjadi gambar gulungan.

“Perasaan bagaimana?” Tina bangkit mencomot kertas, seketika Amanda terperanjat. “Untuk apa kau buat peta ouija ini?”

“Jangan salah dulu, Tina, jangan!”

“Barangkali, semua hanya dongenganmu,” lanjut Tina emosi, “Kau mainkan mimpiku berturut-turut. Seakan kau anggap aku gadis dungu, dapat kau tipu, semua tidak segampang itu Amanda.”

“Kau!” telunjuk Amanda menuduh dada Tina. “Keji!”

“Itu hanya kau brengsek!” dorong Tina makin sudutkan Amanda.

“Tengik!”

Tina menerjang tubuh Amanda yang jauh lebih tinggi dan besar darinya. Mereka beradu gedebukan, berguling-guling liar sana-sini, raung-raung saling menjambak, berakhir Amanda menyudutkan Tina pada lemari kaca. “Mengalahlah, Tina, aku lebih besar darimu, adikku oh adikku sayang.”

“Aku tahu, kau itu pembohong!”

“Sepulang sore-sore kau duduk mengawasiku!”

“Selanjutnya, meneror mimpi-mimpiku!” Tina sigap menyikut perut Amanda, beralih menghempas kencang tubuh saudarinya, Amanda terpaku rapat-rapat hantam cermin.

“Semua kau katakan padaku, hanya penggandaan bualan!”

“Katakan siapa kau Amanda!”

“Tidak ada manusia sanggup menembus mimpi manusia lain.”

“Kaukah, setan itu?” cecar Tina mengamuk buas.

Amanda berkeringat hebat. Lengan Tina terus menekan leher basahnya kuat-kuat.

“Jawab Amanda!” gerap Tina mencengkeram pundi-pundi kepala Amanda. Gadis peranakan itu tetap bisu, matanya menyipit tajam, sekilas kilatan merah menyambar-yambar.
“Pujilah Tuhan Amanda,” Tina menarik salib kecil cepat-cepat.

“Tidurlah, hari sudah malam,” Amanda tersenyum meniup wajah Tina, gadis itu pening, sempoyongan meniban karpet, cermin bergetar dengan Amanda lenyap menembus bayangan kaca.
Entah, kemana setelah ini?


***

Dilain layar datang mobil Pak Seno masuk halaman rumah. Waktu itu keadaan rumah begitu sepi, hanya burung malam terbang kian menepi, mega sejuk berlaluan dilangit menuju surya pagi.

Pintu dibuka dengan pandangan Santi, merawat Tina pada sofa panjang, anak gadisnya demam, sedang di sana sama-sekali tidak ada Amanda.
Kemana saudara keduanya?
Pak Seno mendatangi mereka. Suasana di pagi itu sudah bikin panik Santi, harusnya, dia tidak pergi keluar, entah mengapa, perasaan kecilnya yakin penuh. Semua kekacauan dibuat Amanda, anehnya, gadis itu tidak berada di rumah semalaman penuh.
Lap hangat dilipat hati-hati, tangan berkeringat Santi memeras kuat-kuat kain, ayahnya sudah duduk tepati punggungnya.

“Ada apa dengan, Tina?”

Santi belum menjawab. Perempuan tinggi itu mengelap dahi adiknya, sembari terus mengecek suhu tubuh. “Tina sakit,” jawab Santi diam tunduk.

“Yakin kau? Selama ini bapak sudah wanti-wanti kamu, buat jaga adik-adikmu. Kalo sudah begini, siapa disalahkan?”

Santi membanting wadah lap dengan tangan mengusap dahi. “Siapa? Ayah bilang siapa?! Aku! Aku yang sehari ini tidak henti menjaga mereka!”

“Selama ini, kemana ayah? Ayah yang dulu selalu ada buat kami. Ayah yang dulu tidak pernah pergi, sekali pun ibu, sudah dulu dikubur dibanding ayah!” acung Santi menekan penuh dada Pak Seno.

Sekilat tamparan terbang menyerang habis wajah Santi, Santi membisu dalam tunduk. Kemudian mengangkat wajah, pandangan sengit meledak-ledak dalam mata apinya, dua belah tangan itu terus mengepal kuat-kuat.
“Ayah pukul aku?” suara Santi merembes penuhi liang tenggorokan.

“Santi!”

“Maafkan!”

“Bapak tidak seperti kamu ...,” rangkul Pak Seno yang ditepis kuat dengan Santi menutup pintu kamarnya.
Sepatu berlari menggema, menggaung runtuhkan tangga menuju kamar tingkat. “Buka! Santi!”

“Ibu sudah titipkan kalian sama bapak!”

“Apa ini, yang kamu harapkan?”

“Membenci bapak, karena tidak pernah sayang sama kamu?”

“Bapak tahu, Santi, kami tidak lagi perhatian sama kamu. Sekarang, kamu katakan, dimana Amanda?”

“Bapak mau bicara sama dia!”

Santi terus menguapkan air mata. Kebiruan air mengaliri pipi resamnya, tubuh tinggi itu terus berdiri menahan pintu. “Ayah pilih, Amanda?!”

“Bukan itu maksudku, sayang,”

“Dengar baik-baik,” Pak Seno pelankan suara, “Amanda, itu, tidak pernah seberuntung kamu, nak. Dia sudah tidak punya keluarga, sekarang, giliran kamu beri adikmu kesempatan, dia tidak pernah minta aneh-aneh, salahkah, kalo kamu kasih dia rasa sayangmu?”

“Seperti kamu sayang ibu dulu ….”

Santi tercekat menahan guyuran air mata yang terus melinang dengan riangnya. “Jadi? Ayah anggap Amanda pengganti, ibu?!”

“Santi dengar!”

“Sekarang Santi tahu,” Santi menatap penuh murka ke cermin almari, “tujuan ayah angkat Amanda sebagai adik Santi. Bukan lain, karena Amanda mirip ibu, kan?”

“Apalagi waktu ibu muda, dia gak jadi pergi ke Belanda, karena lebih milih kimpoi lari sama ayah, ayah lebih suka anggap Amanda anak kandung, karena dia begitu persis ibu, kan?”

“Bukan itu maksud bapak, Santi!”

“Sudah, mulai hari ini, Santi tahu: kebaikan ayah buat jauhin kita dari kebenaran.”

“Amanda itu kan setan,”

“Bener kan? Kataku?” ungkap Santi membuka pintu, dan betapa dia kaget, keadaan sunyi dan tidak ada ayahnya sama-sekali.

“Ayah!” panggil Santi keras-keras.

***

Perempuan hitam manis itu berjalan pelan-pelan, menuju tangga turun, selintas muncul bayangan kepala perempuan berjalan cepat-cepat. Santi segera lari menuruni anah tangga, tidak jauh dari sofa, dia dapati Tina juga tidak berada di sana. Santi kian panik, entah, apa sesungguhnya terjadi padanya.
Kemana semua orang?

Keadaan rumah hanya diisi ketak-ketuk langkah kakinya. Dari ruangan ke ruangan, menuju ke belakang, kembali ke beranda depan, semua masih hening tanpa orang selain dirinya. Mendekati ruang tengah, bunyi pintu berderit mengalihkan lehernya. Santi berjalan hati-hati masuk lorong, suara berasal tidak jauh depan dapur, dimana tidak jauh dari sana, sebelahnya kamar Amanda.

Santi rasakan kekacauan baru dimulai.
Kembali menyusuri langkah demi langkah, terus mengayun kaki. Santi putuskan mengintip ke balik kamar adik angkatnya. Dalam separuh mata itu, tidak dia dapatkan apa pun, hanya keadaan ranjang yang bersih, dan cukup terawat. Santi putuskan buka pintu kemudian tubuhnya sudah berada di dalam, punggung besarnya menunduk ke kolong ranjang, kosong, beralih ke laci kamar, kosong, hingga dia tidak sengaja menyenggol buku saku.
Santi memunggut kertas tebal itu, rupanya berisi gambar-gambar coretan, ilustrasi mula-mula hanya urek-urek tidak jelas, kian lama, semakin Santi kian mendalami isi. Dia mulai sadar, halaman demi halaman, bukan lain adalah, seperti rangkaian adegan yang sekarang dialaminya. Santi bisu. Buku kecil itu jatuh ke lantai, dengan potongan gambar perempuan bergaun robek-robek mengacu pisau, kemudian Santi beranikan diri membuka lanjutan, dadanya turun naik dengan dentuman bergantian, dan dia peroleh, gambar berikutnya mengatakan, tidak lama, dia meraung depan cermin. Lagi-lagi cermin, batin Santi merasa terusik, dia kembali keluar kamar, sekali-kali matanya awas melihat sekitar.

Lampu-lampu piring berayun-ayun. Mengikuti panah cahaya, tubuh jangkung Santi terus mencari adiknya. Satu-satu pintu digedornya kuat dan tetap tidak ada seorang pun. Menuju ke dalam kamar tangga, tubuhnya berhenti tengah tangga, bunyi aneh kembali datang, suara gedokkan muncul berulang-ulang. Santi menjenguk separuh kepala ke barisan pintu, keadaan sunyi, tubuhnya melewati lorong atas. Sampai ke pintu tengah, dia rasakan lalat berdengung keras, bau busuk menguar panjang. Santi batuk-batuk muntahkan lendir, menahan bau begitu besar keluar pintu.

Pelan-pelan tangan panjang itu membuka knop, pintu terbuka pelahan. Santi menyeparuh tubuh pada tembok, dibalik ranjang duduk dua gadis kecil bergaun putih berenda-renda, tidak jauh dari mereka, meja rias dikerubungi lalat-lalat berterbangan, suara gigitan menggaung penuhi kamar. Santi mendekati dua perempuan itu, tidak lama tubuhnya berdiri, bau itu semakin kuat menusuk tubuhnya. Sepasang perempuan membalik tubuh, dikedua belah tangan masing-masing, menyuguh daging lembek.
Santi berhenti depan gaun-gaun lebar mereka. Wajah-wajah itu terangkat, senyum menyungging penuhi aroma-aroma busuk sekitarnya. Mata besar Santi membulat hebat-hebat. Sepasang muka itu bukan lain adalah Amanda dan Tina.

Mereka dengan lahap memakan daging anjing yang sudah membusuk depan meja rias. Santi meluncurkan muntahan hebat ke lantai, hujaman bubur terus muncrat dari mulutnya, tawa melengking-lengking pekaki telinga. Santi berusaha berdiri, dia rasakan tubuhnya mulai sempoyongan, Amanda bangkit berdiri menangkup daging anjing, dengan Tina berada dibalik punggung, mereka terus menyodorkan bangkai itu tinggi-tinggi.

Tepuk-tepuk bahu dirasa makin jelas menyadarkan manusia pingsan. Berada dalam kamar sejuk, Santi mengocok matanya berulangkali, telah duduk tidak jauh darinya Pak Seno, wajah tua itu melihatnya cemas. Santi segera beranjak menuju pintu, ayahnya mencegat dengan buru-buru, terjadi perdebatan diambang pintu.

“Kemana Tina?! Santi mau ketemu dia!”
Pak Seno mencekal pundak puterinya erat-erat.

“Tenang!”

“Tina baik-baik saja di kamarnya!”

“Sekarang bapak antar kamu kembali,”

“Ayo!” tidak lama mereka baru duduk berdua samping dipan. Muncul Amanda membawa waskom tanah liat, gadis itu menunduk, menaruh cepat-cepat lampiran lap sebelum pergi.
Sebelum itu Santi menarik tangan adiknya. Dua mata berbeda itu berpandangan keras satu-sama lain, Pak Seno mulai berdiri ke tengah-tengah mereka.

“Kau sudah apakan aku brengsek!” dorong Santi menghempas tubuh Amanda ke karpet.

“Apa salahku? Apa kak!”

“Kenapa kakak begini?”

“Kowe tidak usah pura-pura lugu!”

“Tina pingsan akibat ulahmu, kan?!”

“Sekarang kejadian mengerikan ini, juga akibat kau setan!” raung Santi menjambak habis-habisan rambut Amanda.

“Sudah!” banting kursi ke lantai. Pak Seno memisah cepat-cepat keduanya.

“Kalian duduk!”

Dipandangnya satu-satu puterinya. Pak Seno memijat-mijat dahinya, berjalan maju-mundur. Kemudian membungkuk, melipat satu tangan ke balik punggung, satu telunjuk mengacu puterinya satu persatu.

“Ada apa terjadi antara kalian?”
Semua masih diam dengan tunduk.

“Jawab pertanyaan bapak,” Pak Seno mengambil bangku kecil depan meja rias. Kemudian hadap ke tengah puteri-puterinya. “Ada sesuatu kalian pendam, selama ini?”

Masih tetap tidak ada jawaban.
“Jalan keras itu tidak baik, Santi. Bapak tidak pernah ajari kalian kurang ajar, karena bapak tahu, terlalu otoriter hanya semakin jauhkan kita satu-sama lain.”

“Bicarakan baik-baik. Manusia butuh ketenangan, seribut anjing dan kucing, mereka takkan meributkan bangkai saudaranya sendiri. Kalian bertengkar, bapak tidak segan memberi sanksi, minggu depan dinas keluar kota. Amanda bisa bapak pulangkan ke rusun, kamu Santi, bapak masukkan ke asrama puteri.”

“Memang bapak selama ini sudah pulang?” Santi terbangun.

“Apa maksudmu?”

“Bukan, rutinitas bapak adalah kantor?”

“Kamu nanti tahu,” Pak Seno bangkit membawa Amanda, “kenapa bapak lebih memilih adik kamu, ketimbang kamu yang kadang kurang hargai kami.”

Santi diam tanpa pedulikan lirikkan Amanda dengan wajah basahnya.
Apa selama ini, Santi sudah terlalu kurang ajar? Ataukah, benar, sesuatu terjadi pada keluarga mereka?
Sekian diam itu. Santi mencoba meregang-regang otot tangan, guling digesernya, menarik sprei kotor dan melipat kain menjadi gulungan, selesai beres-beres Santi mengunci lemari, sebentar tubuhnya duduk membuka-buka setumpuk surat, melalui lipatan-lipatan, Santi temukan sobekkan kertas dengan ilustrasi ranjang dibakar api, dan sekian huruf berbunyi: waktuku kian dekat pada senja terbenam.

Seketika dalam kepalanya mengingat hingar-bingar tembang paling laris skala 75 silam, benar. Itu adalah sepotong judul lagu yang ditembangkan Nina L. Tama, tepat di usianya yang begitu belia, dan melambungkan namanya secepat usianya sebagai tebusan.

Bersambung
0