Malam ini malam minggu, seorang kawan yang jelas ia telah tiada tiba-tiba datang berkunjung. Beruntung istri dan saya melihat orang didepan kami dengan wujud yang berbeda.
Jika tidak, sudah pasti perang dunia akan kembali meledak. Bahkan ufo pun saya jamin akan terbang mengarah ke kepala.
Ia mengajakku untuk berwisata kuliner malam sambil menepuk sakunya yang terlihat mengembung meyakinkan akan ada traktiran malam ini.
Mereka kembali ke kediaman Prawira, menyelesaikan urusan dengan kepala keluarga saat ini.
Siangnya, anggota keluarga Adara dan Kisa menjemput Lani dan Nia pulang. Tentu masih mengutuk Denis yang dianggap sebagai biang keladi dari semua kejadian malam itu.
"
Aingkayaknya musti balik dulu nih, Ned."
Bayu berujar saat mereka duduk di taman belakang.
"
Sia khawatir sama proyekan?"
Denis menebak.
"Bukan itu,
aing rasa Ki Kala bakal balik lagi nyari kita."
Bayu menjawab.
"Ya pasti balik lagi
mah, sia gak nyadar kalo Ki Kala sebetulnya nargetin
aing atau ngejaga supaya kita gak nyari darimana dia bisa bikin kunti?"
Denis terus bertanya sambil mengaduk kopi hitamnya.
"Jelas tau lah, keliatan sekentara itu kok.
Aing perlu pergi buat fokusin ke ajian yang
aing punya dulu.
Sia tau kan cara tarung
aing gimana? Karena kita cuma mikir palingan yang nargetin anak Kunti ya manusia-manusia yang penasaran. Bukan makhluk macam Maludra atau Ki Kala."
Bayu menjelaskan.
"Tumben pinter kalo urusan ginian
sia."
Denis langsung berkomentar.
"Yeeee
si kehed! yaudah aing pergi ya."
Bayu berdiri dan berpamitan.
"
Aing kasih waktu seminggu paling lama."
Denis berujar tanpa maksud menahan Bayu.
"Kenapa emangnya?"
Bayu penasaran.
"Ya itungan paling riskan, Ki Kala nyari pengganti Maludra dalam kurun waktu itu.
Sia gak mikir dia bakal nerima gitu aja?"
Denis terus menjelaskan.
"Oke
aing paham. Kabar-kabar aja.
Aing balik ya."
Mereka berjabat tangan dan Bayu pergi.
Hingga punggungnya menghilang, disusul suara motor butut yang menyala dari halaman depan.
"Gak balik Ned?"
Jingga keluar dari dalam rumah.
"Ngga ah,
Aing perlu jaga si Laras.
Sia sendiri gimana?"
Denis balik bertanya.
"Lah? Bos
aing aja lagi tepar gini. Lagian
aing sama Lala kan udah pada ngabarin orang-orang rumah. Mereka juga tau posisinya gimana, sejak diangkat jadi penerus hal pertama yang kita terima ya siap mati. Jadi urusan gini bukan masalah."
Jelas Jingga.
"Ngeri amat sampe siap mati segala."
Denis berkomentar.
"Lah ya dong? Kita sampe rutin bikin surat wasiat tiap bulan buat jaga-jaga."
Jingga terus menjelaskan.
"Ya ya ya terserah deh. Eh gimana si Nata?"
Denis bertanya.
"Udah mulai baikan, ya meskipun dia ngabisin stok darah di rumah ini sih. Tapi yaudahlah ya emang resikonya punya ajian Getih Ayu."
Jingga menjawab sambil mengambil kue coklat di depannya.
"Lala?"
Denis kembali bertanya.
"Udah disembuhin kan sama si Bayu, tinggal istirahat aja. Beres."
Jawab Jingga singkat.
"Syukur deh,
aing rada lega."
Dengan begitu mereka dapat menghela nafas selama beberapa hari ke depan.
Dengan begitu, kediaman Prawira menjadi cukup ramai.
Laras perlahan mulai membaik, ia menjadi tahanan rumah sementara Ayi menyelediki apa yang terjadi pada segel Wirahma. Lala dan Jingga pun tinggal disana, meski mereka harus pulang-pergi cafe - kediaman Prawira. Lalu Denis yang sepenuhnya tak melakukan apapun.
~oOo~
Lalu di suatu malam, beberapa hari setelahnya. Angin bertiup membawa atmosfer yang tak nyaman. Suara jangkrik juga senyap. Malam itu benar-benar sunyi.
Ponsel Nata berdering, Nama Digya terpampang.
"Halo."
Nata mengangkatnya.
"Si Sined masih disitu kan?"
Suaranya bergetar.
"Iya, ada apa?"
Nata bertanya sambil berjalan mencari Denis di tempat biasa.
"Purwayiksa...."
Digya takut meneruskannya.
"Apa?! Yang jelas!"
Nata meninggi, yang kini ponselnya dalam mode
loudspeaker.
Tidak hanya Denis, tapi Jingga, Lala dan Laras turut mendengarkan percakapan Nata dan Digya.
"... Dia disini ..."
Lalu panggilannya ditutup.
Mereka semua saling lempar tatapan.
"Di rumah Rengga?"
Laras bertanya.
"Iya kayaknya. Si Digya kan lagi di rumahnya."
Jawab Nata setengah acuh.
"Jangan bilang kalo pengkhianatnya dari keluarga Rengga."
Lala berujar.
Raut wajah mereka segera menegang.
"Kenapa bisa mikir kesana?"
Denis bertanya.
"Menghitung aturan Rengga yang membagi ajiannya pada seluruh anggota keluarga mereka, tapi segelnya cuma dipegang oleh Digya langsung bahkan sebelum kepala keluarganya meninggal. Kedua, aturan siapapun bisa jadi pemegang segel kalo menang saat tarung keluarga."
Lala menjelaskan.
"Apalagi 'dia' kan pergi buat cari tau kenapa segel Wirahma rusak. Seinget saya, ada nama Rengga di daftar tamu yang saya kasih tempo hari. Tapi saya gak mikir keluarga Rengga yang rusakin."
Laras mengangkat suara.
"Yaudah kita kesana sekarang."
Nata mengusulkan.
Semua orang menatap Denis kemudian.
"Iya iya,
aingtau harus apa."
Denis berucap kesal, ia lalu berjalan ke depan meninggalkan rekan-rekannya.
"Yaudah siap-siap dah! 3 menit lagi kita berangkat!"
Nata memberi aba-aba.
Membubarkan mereka dan kembali ke ruangan masing-masing untuk bersiap pergi.
3 menit kemudian, mereka semua telah berkumpul didepan.
"Tumben gak ada yang pake rok."
Nata berkomentar.
"Berisik ah!"
Jingga membentak.
"Yok!"
Denis mengajak mereka naik ke dalam bis hantu.
Mereka menurut diam tenggelam dalam benak masing-masing.
"Jangan langsung nyerang ya. Kita perlu tau keadaannya gimana."
Ucap Denis saat mereka masuk.
"Emangnya kita bisa ngalahin 'dia'?"
Dibalas kecut oleh Jingga.
"Iya juga sih."
Denis menyetujui pernyataan Jingga.
"Ayo berangkat!"
Nata berteriak ke arah supir yang tak terlihat.
Dalam sekejap, mereka sampai di kediaman Rengga.
Dengan bangunan berbentuk kotak melingkar, ditengahnya terdapat arena tanding. Beberapa orang tergeletak tak sadarkan diri. Tak ada luka di tubuh mereka.
Sontak Lala mengaktifkan ajiannya, ia bersiap.
"Tunggu sebentar."
Nata memberhentikan tindakan Lala.
"Apa?"
Lala bertanya.
"Mereka belum mati."
Nata menjawab.
Lala menoleh ke arah Denis mencari pembenaran.
"Dia benar, mereka hanya pingsan."
Denis menjawab tatapan Lala.
"aa... Ampuun ...
To.... Looong
Beeer..... Hen....ti...."
Suara samar terdengar menyayat hati dari dalam.
Laras tak tahan, ia merapal, tubuhnya melayang, sekujur tubuhnya dilapisi armor api yang menyala, bersamaan dengan kedua tangannya yang mengeluarkan cakar dengan nyala yang sama. Rambut panjangnya terangkat, matanya memutih seluruhnya, ia terbang melesat menuju asal suara tanpa memperdulikan rekan-rekannya.
"Ras!!"
Jingga berusaha menahan namun terlambat.
"Kelamaan sih!"
Lala kesal, ia ikut melesat menyusul Laras. Dari belakang kakinya ada jejak percikan bunga listrik yang mendorong gerakannya.
"Ayok!"
Jingga menarik Denis dan Nata.
"Yok!"
Mereka berdua serempak menjawab Jingga.
Ketiga berlari seperti biasa, sesampainya disana. Hanya berbeda 2 menit. Tapi Laras sudah terkapar dan dadanya diinjak oleh Ayi. Sementara Lala sedang dicekik oleh Ayi hingga tubuhnya tergantung.
Tak jauh dari situ, seseorang dengan tangan kiri yang putus, kaki kanan yang patah dan wajah yang penuh darah sedang terduduk tak sadarkan diri. Disampingnya, Digya sedang berusaha menghentikan pendarahan pria itu dengan wajah yang panik.
"Awas."
Denis berkata dingin pada Jingga dan Nata. Ia berlari menghampiri Ayi, melepaskan tendangan lurus ke arah dagu Ayi. Membuatnya sempoyongan dan melepaskan Laras serta Lala.
Denis segera melanjutkan serangannya, ia memutar tubuhnya untuk memberikan tendangan bertubi-tubi pada Ayi. Ayi hanya menyilangkan lengan menahan Denis dengan senyum mengembang.
Lalu tiba-tiba sebuah tombak merah meluncur tanpa peringatan, melewati Denis dan menancap di dada Ayi hingga tembus ke belakang.
Denis segera mengambil tombak itu, mencabutnya dan menikam Ayi berkali-kali. Terus menerus tanpa jeda hingga ia kelelahan.
Semakin lama Denis menikam tubuh Ayi, semakin lemah dan lambat pula serangannya. Hingga di titik Denis kelelahan. Sementara Ayi tak membalas, hanya menerima serangan Denis sepenuhnya.
"Udah?"
Tanya Ayi saat Denis berhenti karena kehabisan nafas.
"Hooh."
Denis menjawab sambil mengatur nafasnya.
"Hehehe ..... "
Ia tertawa terkekeh sembari menyebarkan nafsu membunuhnya ke udara.
Orang-orang yang berdiri disitu semuanya tertekan, mereka berlutut dengan paksa, mereka kesulitan bernafas, seolah gravitasi menekan tubuhnya lebih berat, masing-masing benak mereka membayangkan kematian yang menyakitkan.
kecuali Denis yang sedang kelelahan, ia masih mengatur nafas.
"Katakan, kenapa kau disini?"
Denis bertanya masih dengan nafas yang kacau.
"Saudara laki-laki Digya berkhianat. Ia mendatangi tetua Wirahma dan merusak segel mereka dengan ini."
Ayi melemparkan sebuah batu berwarna hitam pekat dengan ukiran simbol kuno setengah lingkaran ke arah Denis.
"Ini?"
Denis mengambilnya dan memperhatikan simbol itu.
Bukan setengah lingkaran biasa, namun ada corak-corak kecil yang mengelilinginya.
"Batu dengan ukiran Rajah dengan sedikit energi dicampur sihir."
Ayi menjelaskan.
"Gak mungkin dia bisa bikin ginian."
Denis berkomentar.
"Apa mau dikata? Ira ikut campur dalam masalah ini."
Ayi membalas.
"Si jalang itu?!"
Denis berdiri dengan setengah kesal.
"Lampiaskan saja padanya."
Ayi menunjuk saudara Digya dan berjalan mundur.
Denis berjalan menghampirinya dengan tombak darah milik Nata.
"Ja.. ngan!"
Nata dengan susah payah berteriak.
"Jawab pertanyaanku Lintang Putra Rengga!"
Denis mengacungkan ujung tombak ke wajah Lintang.
Lintang menatap mata Denis dengan takut.
"Kau bertemu Ira?!"
Pertanyaan pertama Denis terlontar.
Ia menjawab dengan mengangguk pelan.
"Kau tahu dia adalah kaki tangan Kala?!"
Denis bertanya pertanyaan kedua dengan mendekatkan jarak ujung tombak tepat menuju bola mata kanannya.
Dengan takut yang semakin menjadi, ia mengangguk.
Denis marah, ia merobek bola mata kanan Lintang dengan cepat. Lalu menancapkannya tepat di paha kiri Lintang.
Teriakan tertahan segera terdengar menyayat pilu.
Ayi hanya menyaksikan semua itu dengan senyuman.
"Urusanku selesai, ini peringatan terakhirku untuk tidak berurusan dengan Kala dan antek-anteknya. Jika salahsatu dari kalian mengulangi kesalahan yang sama ingat hal ini ..... "
Kata-kata Ayi ditahan sejenak.
Ia melihat sekeliling, memperhatikan setiap mata yang menatapnya ketakutan.
"Antawirya akan lenyap dari muka bumi."
Ayi juga melihat semua orang, termasuk Denis.
Denis membalas tatapan Ayi dengan tegap.
Seraya mereka saling bertatapan, tubuh Ayi perlahan pudar menjadi sekelompok kupu-kupu hitam dan terbang keluar jendela meninggalkan semua orang dengan ketakutan yang tak dapat dilupa.
"Kau akan membayar ini, Niskala!"
Digya berteriak mengutuk Denis.
Denis mendekatinya dengan cepat.
"Ohya? Lakukan sekarang sebelum Ninik mencabut jantungmu perlahan."
Denis mengancam dan sesosok wanita tua menggerayangi dada Digya dengan empat tangannya.
"Cih!"
Digya hanya bisa berdecak.
Denis kembali ke posisinya semula, begitupun dengan lainnya yang kini telah dapat bergerak.
Pun dengan Laras dan Lala yang terlihat mulai pulih setelah hampir mati oleh Ayi.
"Katakan pendapat kalian sebelum aku mencabut seluruh segel milik Rengga saat ini juga."
Denis berkata setengah mengancam.
"Aku percaya kau dapat melakukan itu, tapi tahan dulu. Antawirya telah berlangsung ratusan tahun, kau tak bisa mengambil segel keturunan begitu saja."
Nata memberi pendapatnya.
"Melihat rekam jejak mereka, kesempatan lain tidaklah buruk."
Jingga angkat bicara.
"Justru disini yang patut dipermasalahkan adalah dirimu, Niskala."
Laras berkata sambil menahan sakit.
Denis tak membalas, ia menatap mata Laras serius.
"Seandainya dari awal kau tidak berurusan dengan Kala, semua ini tidak akan pernah terjadi."
Laras meneruskan kata-katanya.
"Lalu bagaimana dengan Lintang? Pikirkan alasan kenapa dia merusak segel keluargamu!"
Denis membalas ucapan Laras.
Laras terdiam.
"Secara logika, bukankah hal itu dilakukan agar dia bisa menempati posisi pemegang segel?"
Nata angkat bicara.
Denis menoleh ke arah Digya dan tetua Rengga.
"Jawab kakek tua!"
Denis membentak.
"Jangan hina diriku Putra Niskala!"
Tetua Rengga membentak.
"Jika kau tak ingin dihinakan, maka urus anakmu dengan benar. Atau kau ingin ancaman Purwayiksa jadi kenyataan?!"
Denis balas membentak.
Tetua Rengga terdiam seolah menyetujui dengan terpaksa.
"Perbaiki saja semua ini dengan benar. Barangkali keluargamu perlu dibenahi, Rengga."
Denis mengejek semua anggota keluarga Rengga.
Tak ada yang membalas ejekannya.
Hanya suara ponsel yang berbunyi, membuat semua orang heran.
"Oh, hape
aing."
Nata mengangkat ponselnya, tertera nama Wira disana.
"Halo Wir?"
Tanya Nata dengan loud speaker agar semua orang dapat mendengarkan.
"Astacala diserang, ada 20 orang dipimpin oleh seorang anak dengan dua kepala, 2 pasang kaki dan tangannya. Ada yang bisa kemari?"
Suara Wira terdengar terengah-engah, ia sepertinya berlari sambil menghubungi Nata.
"
Aingkesana,
sia dimana sekarang?"
Nata menyanggupi.
"A.. Aing kabur... Ini lagi turun gunung, yang lain lagi nahan mereka."
Suaranya terjeda karena menahan tangis.
"Tenang, tenang,
aing nyusul kesana."
Nata menenangkannya.
Hanya suara terengah dan ranting pohon yang terdengar sebelum panggilan ditutup.
"Aghh!! Sial sial sial!"
Nata memukul tembok dengan kesal.
Jingga melihatnya dengan prihatin.
"Sebagian ke rumah Astacala, sebagian jemput si Wira.
Aing ke rumah Astacala. Siapa yang mau ikut?"
Jingga membuka suara.
"Yang nyerang banyak kan?
Aing jemput si Wira aja sama si Nata."
Lala berkata.
"Yaudah. Saya ikut ke rumah Astacala."
Ucap Laras.
"Berarti ... "
Saat Denis ingin mengatakan sesuatu, ponsel Nata kembali berdering.
Dengan nama Cahya tertera.
"Halo Ya?"
Nata segera mengangkatnya.
"Maap den Nata, saya pembantu Cantaka."
Seorang perempuan tua terdengar bergetar.
"Iya bi kenapa?"
Nata kembali bertanya.
"Aden bisa kesini? Cantaka lagi ribut den, lawan beberapa orang. Saya disuruh nelepon aden."
Suaranya jelas ketakutan dan panik.
"Gimana keadaannya sekarang?"
Nata mulai panik.
"Saya kurang tau, den. Soalnya langsung sembunyi. Tapi sebelum saya lari, para penjaga udah gak sadar dan berdarah-darah. Tetua sama non Cahya lagi lawan pemimpinnya."
Jawabnya dengan suara yang terdengar berbisik.
"Pemimpinnya perempuan dengan rambut disanggul bukan bi?!"
Kini Denis yang bertanya.
"Iya ... Agh... A...Ampun, Ampuuun.... Saya cuma kerja disini non... Ampun ...."
'Krak!'
Lalu panggilan itu berakhir.
Nata membanting ponselnya hingga hancur berkeping-keping.
"BAAANGGGSAAAAAATTT!!!!"
Ia berteriak melampiaskan seluruh kekesalannya.
'PLAK!'
Denis menampar Nata dengan keras.
"Tenang anjing!
Aingyang kesana. Kalian pergi ke Astacala. Paham?!"
Denis membentak sambil mencengkram kerah Nata.
Nata akhirnya tenang. Ia mengatur nafas dan melepaskan cengkeraman Denis.
"Kalian fokus aja buat disini, oke?"
Laras berkata pada Digya yang tentu saja tak dapat jawaban apapun.
Denis, Nata, Jingga, Lala dan Laras berjalan keluar. Mereka siap berpencar.
Bis hantu menunggu mereka.
"Kalian pake itu."
Denis mempersilahkan.
"Bagaimana denganmu?"
Nata bertanya.
Yang disambut oleh suara delman dari kejauhan.
"
Aing pake itu."
Denis menunjuk ke belakang.
Sebelum angin kencang menyapu mereka dan Denis hilang dari pandangan.
"Kita juga berangkat."
Nata berkata pada kursi yang biasanya dibelakang kemudi.
Bedanya kali ini, sesosok pria tua dengan leher patah sedang tersenyum ke arah Nata sambil memegang kemudi.