Esok paginya aku terbangun dan melihat langit-langit dengan corak yang tidak kukenali.
Kuedarkan pandanganku ke segala arah, aku berada di sebuah ruangan bercat putih, beberapa brangkar berjejer disampingku, selang infus yang tertancap, dan bau obat yang kental di udara membuatku tersadar bahwa aku telah merepotkan semua orang.
3 hari kemudian aku diperbolehkan pulang, beruntung kondisiku masih ringan dan tak perlu dirujuk ke rumah sakit, cukup dirawat di klinik saja membuat keuangan keluarga kami sudah morat-marit, apalagi harus ke rumah sakit? Bisa-bisa bangkrut sudah.
Istriku seringkali menatapku dengan tatapan nanar yang khawatir. Setelah penjelasan panjang lebar dan alot selama beberapa hari kemudian, ia akhirnya dapat mengerti bahwa aku baik-baik saja.
Seminggu kemudian, tubuhku telah pulih sepenuhnya, selama itu pula aku mengikuti perkembangan sebuah kasus yang menarik perhatianku.
Kali ini aku berencana mengunjungi rumah teh Yuyun dan berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi.
Nomor telepon teh Yuyun, abah, Dinda maupun orang-orang yang bekerja di toko grosir milik teh Yuyun semuanya tidak aktif dan tak dapat dihubungi. Membuatku semakin waswas atas apa yang mungkin saja telah terjadi.
Aku melaju pelan di sebuah jalan beraspal komplek yang sudah lama kuhapal. Belokan ke arah ruko milik teh Yuyun terlihat. Aku berhenti tepat di seberangnya.
Ada rasa aneh yang menganggu, pasalnya aku sudah lama sekali tidak kesini. Setiap kali aku melalui jalan ini, aku tak pernah dapat melihat belokan gang itu dengan tepat. Selalu terlewati tanpa sengaja dan akan tersadar beberapa ratus meter kemudian.
Aku menghela nafas panjang dan memasuki gang itu hingga ruko teh Yuyun dapat kulihat dari jauh.
Saat mendekat, barulah aku dapat melihatnya jelas. Ruko teh Yuyun tutup. Dan abah sedang duduk di teras ditemani rokok dan secangkir kopi, ia terlihat sedang membaca koran pagi itu.
Kuparkirkan motorku tepat di hadapannya, abah menoleh ke arahku, ia memicingkan matanya sebentar. Lalu berdiri dan menghampiriku dengan tersenyum.
"aeh aeh aeh, sugan teh saha nu nyampak kadieu, kumaha damamg kasep?"
("Kirain siapa yang datang kesini, gimana kabarnya?")
Aku membalas senyumannya dan menyalaminya.
"Sae bah, abah kumaha damang?"
("Baik bah, Abah gimana kabarnya?")
Aku balas bertanya.
"Nya kieu weh abah mah, tos sabaraha lami nya teu kadieu?"
("Gini aja Abah mah, udah berapa lama ya gak kesini?")
Abah menepuk pundakku agar mengikutinya untuk duduk di teras bersama.
"dua sasih langkung mah aya bah."
("Dua bulan lebih kayaknya bah.")
Jawabku sambil duduk.
"Karek mangkukna kitu, abah nyametan matangpuluh teh Yuyun, abah mah moal naros kunaon jeung kumaha. Keun bae, nu penting Re cageur weh."
("Baru kemarin lusa gitu, abah memperingati 40 hari kematian teh Yuyun, abah gak bakal nanya kenapa dan gimana. Gak apa-apa, yang penting Re sehat-sehat aja.")
Abah berujar sambil meneguk kopinya.
"Ai sugan kami mah kabar eta mah teu nyaan bah."
("Kirain saya kabar itu gak nyata bah.")
Aku berucap sambil memandang ke bawah, melihat bebatuan yang dilapisi aspal dan seekor belalang sembah yang sedang menyeberang.
Abah terdiam, saat kutengok ia menatapku nanar. Guratan wajahnya seperti tak ingin menceritakan apa yang terjadi lebih jauh.
"Ngomong-ngomong mbak Dinda kemana?"
Aku mengalihkan pembicaraan.
"Kayaknya lagi jemur diatas. Coba susul kesana."
Jawab abah sambil menunjuk ke balkon luar lantai dua.
"Yaudah saya masuk dulu ya bah."
Aku pamit dan berlalu masuk, menaiki tangga dan menemui Dinda yang sedang menjemur pakaian disana.
Pandangan kami terhalang oleh kain lebar berwarna merah muda. Tapi aku bisa melihat kakinya yang memakai sendal jepit berwarna hitam.
"Mbak."
Aku memanggilnya pelan.
Dinda menghentikan kegiatannya, menyingkap tirai diantara kami dan melihatku yang sedang berdiri.
"Ah Re, udah keluar dari rumah sakitnya?"
Dinda bertanya seolah ada seseorang yang mengabari mengenai kondisiku.
"Bukan di rumah sakit, cuma klinik biasa. Gak lama juga kok."
Aku mengambil kursi dan duduk disana.
Mbak Dinda lalu duduk di kursi di depanku, kami terhalang meja kaca kecil. Pemandangan dari atas sini cukup menenangkan. Hamparan sawah, kebun dan deretan rumah terlihat lebih jelas.
"Yang kamu lihat, semua itu benar-benar terjadi."
Dinda mengucapkannya tiba-tiba, ia menyenderkan punggungnya dan meluruskan kakinya.
Aku diam tak langsung membalasnya.
Hanya mencoba meminta angin untuk menyapu tubuhku, berharap ia membawa sedikit ketenangan agar aku lebih kuat untuk mulai berkata-kata.
"Jadi gimana sekarang?"
Tanyaku padanya.
"Gak tau deh, abah juga belum ngambil sikap. Aku emang punya dendam sama Ki Kala, tapi aku gak mau jalan kalo abah sendiri gak ngijinin."
Jawabnya padaku.
"Maaf, bukannya abah bukan orangtua kandung teteh ya?"
Aku mengkonfirmasi.
"Emang bukan, tapi aku gak punya siapa-siapa lagi sekarang. Abah udah kehilangan seluruh keluarganya demi tumbal yang dilakukan keluarga Han dulu banget.
Aku juga sama, sekarang cuma punya Abah. Kalo Yudha, jangan ditanya deh, dia udah mati saat mutusin buat ngikutin iblis itu."
Dinda merogoh saku celananya, mengambil sebungkus rokok dan menyalakannya sebatang. Lalu melemparkan ke atas meja sisanya.
"Jalan terbaik memaafkan iya kan?"
Aku mencoba memberi saran.
Teh Dinda hanya merengut, seolah mentertawakan apa yang aku bilang.
"Balas dendam boleh, abah tidak akan melarang. Dengan satu syarat."
Abah tiba-tiba datang dan langsung merespon percakapan kami.
Aku dan teh Dinda terdiam menunggu abah melanjutkan kata-katanya.
"Tuntaskan hingga selesai dan kembali hidup-hidup."
Lanjutnya.
"Itu dua bukan satu."
Teh Dinda menghisap rokoknya sekali lagi.
"Tapi satu kalimat kan?"
Abah terkekeh.
"Dengan kondisi sekarang, bukannya bakal bagus pas Ki Kala lagi lemah-lemahnya?"
Sepertinya kata-kataku merusak suasana.
"Karena itu, dia bersembunyi lebih rapat dari sebelumnya. Pergerakannya terlampau hati-hati, semua kejadian yang mencurigakan juga terlalu banyak titik akhir, seolah dia sedang memulihkan diri dan menyamarkan jejaknya."
Teh Dinda mengepalkan tangannya kesal.
"Karena dia lebih waspada, kita juga harus lebih cerdas. Pokoknya kembali hidup adalah satu-satunya pilihanmu, abah takkan mengulangi lagi. Mengerti Dinda?"
Abah menegaskan kata-kata di kalimat terakhirnya.
"Mengerti bah. Dinda pastikan tidak akan bergerak sebelum semuanya jelas. Keputusan Dinda juga belum pasti, Dinda mau melihat semuanya dengan teliti dan mengambil sikap. Jika mampu, ada jalan balas dendam, Dinda gak akan segan. Tapi kalo cuma ada satu jalan bunuh diri, Dinda pasti nyari jalan lain.
Kesempatan akan terus ada selama kita hidup."
Dinda mengatakan itu tersenyum ke arah abah.
"Kita harus buka toko besok, abah mau beres-beres. Udah kelamaan kita tutup.
Ohya Re, coba cek blok H no. Xx, itu rumah yang abah beli. Tadinya toko sama rumah mau dipisah, tapi gak jadi. Kalo kamu cocok kamu bisa ngontrak disana."
Ujar abah berbalik dan akan pergi.
"Rumah? Kontrakan?"
Aku keheranan.
"Kan dulu teh Yuyun pernah nawarin buat pindah kontrakan gara-gara kontrakanmu yang sekarang kurang luas setelah ada anak. Inget?"
Abah mengingatkanku.
"Oh iya iya.. Re kira itu basa-basi doang loh, bah."
Aku benar-benar melupakan itu.
"Hahaha, ngga lah. Abah tapi minta tahunan. Kamu tempatin aja dulu selama 6 bulan, baru abis itu bayar buat setahun. Terhitung sejak kamu nempatin itu. Itu juga kalo kamu mau."
Abah melanjutkan.
"Biar saya diskusiin dulu sama istri ya bah. Biar sama-sama enak."
Aku menjawab penawarannya.
"Yaudah lanjutin deh ngobrolnya, kabarin Abah nanti ya."
Kini Abah benar-benar pergi.
"Siap bah."
Balasku melihatnya turun.
"Anakmu cewe apa cowo Re?"
Teh Dinda bertanya.
"Cowo teh."
Jawabku singkat.
"Oh, syukur deh.
Ohya, kamu kayaknya perlu pergi ke lapas SK deh. Ratih kayaknya punya sesuatu yang perlu diomongin."
Tiba-tiba teh Dinda bicara soal Ratih.
"Saya ngikutin kasusnya, tapi apa yang saya lihat dan apa yang muncul di media, beda."
Aku berujar dengan serius.
"Ibu dilaporkan sebagai korban Kusuma Han, dan Ratih dilaporkan bukan hanya membunuh Kusuma tapi juga membantai seluruh anggota keluarga Han.
Teteh juga sempat diperiksa, tapi setelah penyidik paham hubungan ibu sama Ratih dari teteh, teteh dilepasin gitu aja.
Meski katanya bisa jadi ada perkembangan baru dan ada kemungkinan teteh harus kesana lagi.
Tapi nyatanya engga, Ratih mengakui semua pembunuhan itu meski bukan dia yang membunuh Kara dan Vijaya. Alasannya karena dia benci hal-hal yang merepotkan.
Alhasil dia kena 20 tahun penjara dan 15 tahun masa percobaan sebagai kasus pembunuhan berencana.
Awalnya malah dihukum mati, tapi gak tahu gimana bisa dibatalin setelah Ratih bisa buktiin perlakuan yang dia terima dari keluarga Han."
Teh Dinda menjelaskan panjang lebar.
"Perlakuan? Kayaknya normal-normal aja deh."
Aku tak mengerti maksudnya apa.
"Hadeuh, tentu ada bohong disitu dong. Yakali bilang Ratih bunuh demi balas dendam karena saudari kembarnya jadi tumbal? Kamu pikir bakal gimana buktiinnya?"
Teh Dinda tampak kesal.
"Terus buktinya gimana dia dapat perlakuan semena-mena dari keluarga Han?"
Aku penasaran.
"Hahahaha, itu lucu sih. Dia nunjukin luka-luka di badannya yang dia dapet dari latihan sama Ayi sebagai luka-luka karena tindakan kejam keluarga Han.
Kamu harus lihat, ekspresinya pas jelasin luka-luka itu satu persatu di ruang sidang, hahaha.
Lucu banget asli, dia pinter akting ternyata."
Teh Dinda tertawa berkali-kali dengan tertahan geli.
"Hadeuh ya sudahlah saya nengok dia aja sekarang. Mumpung masih nyantai, biar bisa jalan-jalan lagi."
Aku berdiri dan berpamitan.
"Salamin ya."
Ucapnya sambil melihatku menuruni tangga.
"Iya gampang."
Aku menyanggupi.
Aku bertemu dengan Abah yang sedang sibuk membereskan barang-barang.
"Re pamit bah."
Salamku padanya.
"Yaudah hati-hati ya."
Ia membalasnya.
"Aduh lupa, untung keinget. Minta nomor abah yang baru."
Pintaku.
"Abah ngga ganti nomor, Re."
Jelasnya keheranan.
"Tapi yang lama kok gak bisa ditelepon?"
Aku protes sambil mengambil ponselku.
Aku mencari nama kontak Abah dan menelponnya.
Dan ponsel abah berdering.
Aku keheranan.
"Lah ini? Bisa ditelepon."
Abah memperlihatkan ponselnya yang sedang berdering dan memperlihatkan namaku yang sedang menghubunginya.
"Tapi kenapa kemaren-kemaren gak bisa ya?
Yaudah lah pokoknya Re udah ada nomor abah."
Aku mengalaminya dan pamit.
"Iya sekali lagi hati-hati ya Re."
Ia berkata setengah berteriak mengiringi kepergianku dari rumahnya.
"Iya bah, Re pamit ya."
Aku memutar motorku, melambaikan tangan dan melaju menjauh.
~oOo~
Lapas SK 09:14 WIB
Komplek bangunan yang berdiri dengan luas beberapa hektar, membentuk huruf 'O' kotak. Didepannya berbaris lurus menyamping kantor-kantor administrasi, di jaga ketat oleh pos-pos di setiap sudutnya.
Kadang beberapa petugas berjalan mengitari bangunan bergiliran, mereka berpatroli.
"Mau ke siapa pak?"
Seorang petugas memberhentikanku tepat didepan posnya.
"Jenguk pak."
Jawabku singkat.
"Tolong taruh tasnya disini, dan tangannya tolong diangkat menyamping."
Petugas itu berjalan dan mendekatiku, sementara tasku dikeluarkan isinya dan periksa oleh petugas yang lain di dalam pos.
Petugas memeriksa setiap inci tubuhku dengan seksama, bahkan dompetku ia keluarkan dan mengeluarkan isinya. Malu rasanya saat melihat recehan yang aku kumpulkan disana harus ia lihat. Tapi wajahnya benar-benar datar dan tegas.
"Mau jenguk siapa?"
Tanya petugas itu.
"Ratih pak, yang baru sebulan kalo gak salah."
Aku menjawab dan menghitung ke belakang kapan kira-kira dia masuk kemari.
"Oh yang bunuh anggota polantas itu? Kamu siapanya?"
Petugas itu bertanya seolah mencurigaiku.
"Temen aja sih pak. Saya baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, terus denger kabar, yaudah saya mau nengok gitu."
Sekalian saja aku menjawab alibiku, jika aku bilang klinik dan bukan rumah sakit, pasti bakal lebih ribet.
Petugas yang memeriksaku, menyodorkan sebuah kertas dari dalam dompetku pada temannya.
"Klinik apa rumah sakit?"
Dia bertanya lagi.
Sial, ribet jadinya harus jelasin.
"Klinik sih pak, rumah sakit mahal. Hehe."
Aku menjawabnya sambil cengengesan berharap bisa mencairkan suasana.
"Emang di klinik bisa nginep?"
Usahaku percuma.
Bener kan harus jelasin ribet.
"Bisa pak klinik yang 24 jam, dokternya juga profesional kok, itu loh klinik AM yang di jalan CL."
Aku menjawab sambil menunjuk kertas yang ia pegang dan arah rumahku.
"Oh yaudah silahkan masuk ke bangunan itu dulu ya. Isi absen terus tukar KTP sama kartu pengunjung."
Jelasnya padaku sambil menunjuk sebuah bangunan yang paling besar berada di tengah.
"Baik pak, terimakasih."
Aku segera masuk setelah portal dibuka.
Setelah melakukan apa yang petugas didepan katakan, akhirnya aku bisa menemui Ratih.
Aku menunggu di sebuah ruangan berukuran 2x2 M bercat putih, dengan hanya ada kursi dan meja besi yang kesemuanya ditanam di dalam lantai.
Aku masuk pada sebuah pintu degan jeruji besi dan penjaga yang berada di depannya.
Nyatanya ruangan ini mempunyai 2 pintu masuk yang saling berseberangan.
Aku duduk dan menunggu, lalu kemudian Ratih masuk dari pintu yang lain. Tangan dan kakinya diborgol, ia lalu duduk, lalu rantai borgol dipasang di atas meja pada sebuah kait besi yang sudah disiapkan.
Baju berwarna oranye dengan nomor di dadanya terlihat menyedihkan saat Ratih mengenakan itu.
Setelah petugas yang mengantarnya keluar ruangan, barulah Ratih mulai bicara.
"Ada apa?"
Ia bertanya dengan nada datar yang dipaksakan.
"Begini akhirnya?"
Tanyaku balik.
"Jangan membuat saya repot dengan harus melaporkan teh Yuyun yang membunuh Kara dan Vijaya. Dia sudah tiada, dan ini anggap saja sebagai bentuk penghormatan saya padanya."
Jelasnya dengan dingin.
"Oke, biarlah urusan itu. Lu punya pilihan sendiri. Gua hargai itu. Gua pengen tau soal tabu yang lu bilang waktu itu."
Aku mencoba sesuatu.
"Baik, akan saya jelaskan dengan sederhana.
Mari kita sebut energi kehidupan itu energi murni, dan energi kematian itu energi hitam.
Energi murni yang dimiliki oleh semua makhluk yang hidup dan berada di alam kehidupan. Saat makhluk hidup kehilangan energi murninya, artinya dia mati.
Orang-orang yang mati entah sengaja atau tidak, tidak membuat energi murninya lenyap melainkan berubah menjadi energi hitam. Jika itu terjadi, maka menandakan bahwa haknya untuk hidup di alam kehidupan telah berpindah, dan diharuskan untuk hidup di alam kematian.
Orang mati karena usia atau mati karena penyakit hanyalah karena tubuh kasarnya yang sudah tak dapat lagi bertahan.
Bisa kamu pahami konsep ini?"
Ratih berhenti menjelaskan.
"Agak bingung sih, tapi kayaknya gua paham."
Aku menjawab sejujurnya.
"Hmm kita ibaratkan energi itu air, dan tubuh manusia itu gelas. Saat gelas pecah, energinya berhamburan dan tercemar bukan?
Nah air dalam gelas itu energi murni dan air yang tumpah itu energi hitam.
Bagaimana jika seperti ini?"
Ratih mengulangi penjelasannya.
"Oke ngerti, terus siapa Hyang Pura?"
Aku lanjut bertanya.
"Sebelum kesana, saya jelaskan dulu tentang kedua alam.
Alam kehidupan dan alam kematian jelas berbeda dan terpisah satu sama lain.
Alam kematian mempunyai beberapa penguasa untuk mengatur setiap energi hitam dari jiwa orang-orang yang mati.
Lalu ..."
Ratih terus menjelaskan,
"Sebentar tahan sampai situ, apa perbedaan antara jiwa dan energi?"
Aku memotongnya dengan pertanyaan.
"Jiwa itu yang mengiringi energi, kesadaran manusia terletak disana.
Entah energi murni atau hitam, keduanya diiringi oleh jiwa kesadaran manusia itu sendiri. Paham?"
Ratih menjelaskan.
"Oke gua paham, lanjut."
Jawabku.
"Hyang Pura adalah salahsatu penguasa yang mengatur energi hitam dan jiwa-jiwa manusia di alam kematian.
Teh Yuyun membuat kontrak dengan sang penguasa, memberinya keleluasaan untuk melacak setiap jiwa manusia dimana pun, memberinya hak untuk merubah energi murni menjadi energi hitam dengan berbagai cara, jiwa yang sudah melakukan kontrak tidak diperkenankan untuk tetap ada. Jiwa itu akan hilang ditelan sang penguasa, hilang."
Ratih berhenti menjelaskan dan menunggu reaksiku.
Aku mencerna setiap kata-katanya dengan hati-hati.
"Bagaimana konsep keabadian?"
Aku melanjutkan pertanyaanku.
"Jika kamu penasaran tentang apa yang ki Kala lakukan hingga lolos dari Hyang Pura, akan saya jelaskan.
Ki Kala menciptakan energi hitamnya sendiri saat di alam kematian, energi hitam itu melapisi jiwanya dan menahan agar jiwanya tidak terlepas dan dibawa oleh Hyang Pura seperti yang teh Yuyun rencanakan diawal.
Hingga kamu bisa melihat saat Hyang Pura mengambil energi murni Ki Kala namun tidak dengan jiwa kesadarannya.
Ki Kala yang hidup dengan menyimpan energi hitam dalam jiwanya namun berada di alam kehidupan dan bukan di alam kematian seperti seharusnya, itu yang disebut tabu.
Tabu itu seperti bentuk kejadian yang menyalahi aturan baku mengenai dua alam.
Tabu untuk energi hitam menempati dan tinggal di alam kehidupan,
Tabu untuk jiwa yang masih memiliki energi murni melakukan kontrak dengan penguasa alam kematian,
Jika jiwa yang memiliki energi hitam ingin melakukan suatu kontrak dengan penguasa alam kematian, hal itu tidak dianggap tabu selama sang Penguasa menyetujui.
Namun jika jiwa yang masih memikirkan energi murni kehidupan menawarkan kontrak, sang penguasa akan dengan senang hati menerimanya, alasannya ya tentu saja dia akan punya hak untuk melahap jiwa itu."
Ratih menjelaskan panjang lebar, aku dengan susah payah memahami konsep ini.
"Lalu sampai kapan jiwa-jiwa itu tinggal di alam kematian?"
Tanyaku setelah diam beberapa saat.
"Entahlah tak ada yang tahu."
Jawabnya singkat.
"Bagaimana sang penguasa terbentuk atau tercipta?"
Tanyaku lagi.
"Siapa yang tahu? Semua jiwa dari sejak dulu berkumpul dan hanya mengetahui bahwa ada beberapa penguasa di alam kematian. Selesai.
Urusan bagaimana tercipta dan siapa yang menciptakannya tak ada yang tahu."
Jelasnya tenang.
Aku tersenyum tipis sebelum kembali bertanya.
"Bukankah terdapat suatu kekuatan yang mampu menciptakan sang penguasa alam kematian?"
Aku memancingnya.
Ratih terdiam sejenak, ia terlihat berpikir.
"Waktu habis."
Seorang petugas yang mengawal Ratih masuk dan lalu melepaskan rantai borgol yang terpasang di meja.
Ia lalu menuntun Ratih berdiri, sebelum Ratih menghilang di balik pintu.
"Maksudmu Tuhan?"
Ratih tersenyum sangat amat lebar, senyuman yang melintang dari kedua ujung telinganya.
"Dan dia tak lagi bicara halus, yi."
Aku berkata setengah berteriak.
Sebelum pintu tertutup, sebuah retakan kecil terlihat di mata kaki Ratih, lalu butiran pasir merah kering terjatuh dari situ.
Aku tersenyum tipis, ada sedikit perasaan lega yang menyentak dadaku saat melihat dan memastikan itu.
Lalu beberapa minggu setelahnya sebuah headline di surat kabar membuatku tertawa terbahak-bahak.