Ini adalah cerita terakhir yang mengisahkan tentang Puputon. Agan sista diharapkan untuk mengintip terlebih dahulu
sebelum melanjutkan.
Aku melihat Ki Lawuh membaca mantra sambil meletakkan telapak tangan kirinya ke dahi Mang Arya. Suaranya lirih, lantunannya membuatku bergidik aneh. Lalu teh Yuyun melepaskan Mang Arya yang membuat tubuhnya seketika ambruk tak sadarkan diri.
Baru saja aku melangkah untuk mendekati mereka, Mang Arya meloncat, ia menari tak karuan.
"HAHAHA...HAHAHA...HAHAHA.."
Mang Arya tertawa sambil terus menari ditengah-tengah antara Ki Lawuh dan Teh Yuyun. Saat jarakku dengannya cukup dekat, aku bisa melihat wajahnya yang tersenyum seolah bahagia, namun matanya hanya ada warna putih disana. Mata mang Arya terbalik!
Aku melihatnya heran, ada rasa puas dan kasihan yang bercampur tatkala melihatnya dalam kondisi seperti itu.
"Ulah jang, ulah karunya ka jalma siga kieu. Mun teu diberesan, ngadon si Nia nu bakal nanggung sorangan. Sia sanggup ningali adi sorangan bakal kawas kieu?"
("Jangan nak, jangan merasa kasihan pada orang seperti ini. Jika tidak diselesaikan, malah si Nia yang akan menanggungnya sendiri. Kau sanggup melihat adikmu sendiri akan jadi seperti ini?")
Seolah Ki Lawuh dapat mengerti apa yang aku pikirkan, ia membalikkan badannya dan menatap ke arahku.
"Punten ki, abi rumaos budak kamari, ngersa salah lampah."
("Maaf ki, saya masih kecil, merasa salah dalam berfikir.")
Aku meminta maaf padanya saat melihat sorot matanya yang tajam. Jujur saja, aku sedikit merasa ngeri.
Tanpa melepas pandangannya padaku, ki Lawuh berteriak memanggil seseorang.
"Ayi!"
Saat ia memanggilnya, muncul asap hitam dari bawah kakinya sendiri. Asap itu berkumpul dan membentuk tubuh manusia, secara perlahan mulai jelas. Itu aku?!
Ya itu aku!!
Sosok yang terbentuk dari asap itu berwajah persis seperti diriku. Bahkan baju yang ia kenakan saat itu berwarna mirip dengan milikku. Aku seolah tak sadar mendekatinya. Sosok itu juga melakukan sama dengan apa yang aku lakukan. Kami saling mendekat hingga jarak kami satu meter. Perasaan ini, aku seperti bercermin.
"Ayi! Leupaskeun!"
("Ayi! Lepaskan!")
Bentak Ki Lawuh yang sontak membuatku tersadar. Aku mundur menjauh dengan cepat kembali masuk ke dalam rumah.
Sementara sosok itu hanya tertawa, anehnya meski itu aku. Suara tawanya adalah suara tawa seorang perempuan!
"kiik kiik kiikk...meuni ulah wae Ki kawula ngaheureuyan."
("Saya hanya bercanda saja Ki.")
Ucap sosok itu sambil menutup mulutnya. Ia mirip denganku, tapi tingkah lakunya seperti perempuan.
"heug! Karep sia! Anggeuskeun tah!"
("Ya! Terserahmu! Selesaikan tuh!")
Ki Lawuh menunjuk Mang Arya yang sedang menari-nari.
"HEHEHE... Ulah cabut ucap sia ki."
("Jangan cabut katamu Ki.")
Kini suaranya mirip laki-laki namun sangat berat dibanding suaraku. Aneh rasanya ada sosok yang mirip denganku tapi bersuara yang tidak mirip dengan diriku.
Sosok itu lalu memukul Mang Arya dengan keras, menamparnya, membantingnya, memukul setiap sendi-sendi tubuh Mang Arya hingga mengeluarkan suara-suara yang membuatku ngilu. Ia melakukan itu cukup lama.
'Bugh! Krak! Bugh bugh! Krek!'
Aku yang melihatnya tersenyum puas. Seolah yang memukul mang Arya itu benar-benar diriku.
Hingga tubuh mang Arya tergeletak dengan kaki dan tangan yang terkulai patah ke arah sebaliknya, sosok itu berhenti. Meski begitu, Mang Arya masih dengan wajah tersenyum, tertawa bahagia sambil bergerak kayaknya menari.
"Alungkeun ka walungan kulon!"
("Lemparkan ke sungai barat!")
Sontak aku melihat ke arah ki Lawuh dengan cepat saat ia memberi perintahnya.
Sosok yang mirip diriku itu kini tersenyum lebar. Sangat amat lebar. Senyum lebarnya tidak normal sama sekali. Sunggingan senyumnya melintang dari telinga satu ke telinga yang lain. Menampilkan giginya yang sama tidak normalnya.
"HEHEHE HAHAHAHA aing tiheula ari kitu mah. Heh sia!"
Sosok itu menunjuk ke arahku.
Aku menelan ludahku dengan susah payah dan berusaha menjawabnya kemudian.
"Muhun abi?"
("Ya saya?")
Aku ketakutan entah kenapa.
"Mun boga deui hakaneun deui, bawa ka walungan kulon! HAHAHA!"
("Jika punya makanan lagi, bawa ke sungai barat!")
Teh Yuyun memukul kepala sosok itu dengan tongkat bambunya.
"baik sia! Hayang dihakan sia ku aing?!"
("Kau mau aku makan?")
Sosok itu marah terhadap apa yang teh Yuyun lakukan.
"Ayi!! Balik sia!"
("Ayi!! Pulang kau!")
Kini perintah ki Lawuh terdengar.
Ia kemudian menyeret kaki mang Arya menjauh sambil terus tertawa tanpa henti. Seolah malam itu hanya tawa dari sosok yang dipanggil Ayi yang menggema.
Dengan perginya ia, aku mengerti. Hal ini telah berakhir. Teh Yuyun melemparkan tongkat bambunya ke arahku yang segera aku tangkap. Ia mendengus sebelum akhirnya pergi meninggalkanku dalam keheranan.
"Hahahaha..silaing ngaganggu ajian Yuyun bieu. Eta bambu teu bisa deui dipake ku si Yuyun. Mun bisa mawana, kop urus."
("Kamu mengganggu ajian Yuyun barusan. Itu bambu tidak lagi bisa dipakai oleh si Yuyun. Jika bisa menanggungnya, silahkan urus.")
Ki Lawuh lalu melangkah pergi.
Aku memperhatikan apa yang aneh dari tongkat bambu ini. Saat kulihat Ki Lawuh lagi, ia telah menghilang. Padahal aku memalingkan pandanganku hanya beberapa detik, tapi ia benar-benar tak lagi aku lihat.
Aku menutup pintu rumah, seperti tanda bahwa semua apa yang terjadi telah benar-benar selesai.
Ibu, bapak, Nia keluar dari kamar.
"Rengse Jang?"
("Selesai nak?")
Tanya bapak saat melihatku mengunci pintu.
"Muhun pak, tos rengse. Ngan ieu dipasihan awi ku muridna Ki Lawuh."
("Iya Pak, sudah selesai. Hanya saja ini diberikan bambu oleh muridnya ki Lawuh.")
Aku menunjukkan tongkat itu pada bapak.
"Keun, urang gawean isukan."
("Sudah biarkan, kita akan mengerjakan itu besok.")
Kata-kata bapak seolah pertanda untuk kami beristirahat.
Aku mengerti, kami pun masuk ke kamar masing-masing dan mengistirahatkan diri. Hanya saja pikiranku menerawang. Kenapa ada orang yang berani mengambil ajian pelet Puputon?
Meski efeknya kuat, namun ajian ini mengambil nyawa dari kedua pasangannya. Jika salahsatunya mati, maka yang lain akan mengikuti.
Kenapa mang Arya begitu nekat melakukannya pada Nia?
Entah obsesi atau sudah dibutakan oleh perasaan cintanya, aku sungguh tak ingin menyelami pemikiran orang yang pikirannya sakit.
Esoknya, kampung kami geger karena penemuan mayat tanpa identitas di sungai barat. Mayat itu ditemukan dengan wajah yang tersenyum, mata yang terbalik. Namun jika diperhatikan, wajah mayat itu seperti ketakutan meski bibirnya membentuk senyuman. Ustadz Imran yang melihat mayat itu mengepalkan tangannya kesal. Kulihat bibirnya bergumam mengucap nama Ki Lawuh dengan gemetar.
Saat mata kami bertemu, ia memancarkan aura kebencian. Bahkan saat ia berjalan melewatiku dengan sengaja ia menabrakkan bahunya padaku. Aku tak melawan, kubiarkan. Karena aku sadar, jika kejadian yang aku alami menimpanya, mungkin saja ia akan melakukan hal yang sama.
Kabar juga beredar, bahwa masing-masing dari mereka melihat sosok yang menyeret seseorang. Tapi saat dilihat, siapapun yang mengintip sosok itu malah melihat dirinya yang sedang menyeret seseorang sambil terus tertawa.
Akhirnya tak ada yang berani menegur, karena mereka tahu, apapun yang mereka lihat, itu bukanlah manusia.
Sementara tongkat bambu yang tempo hari dilemparkan oleh murid ki Lawuh, bapak buat kentungan kecil yang digantung di depan rumah, sisa bambunya dibuat anyaman
bakulsebesar kepalan tangan yang disimpan di lemari kamar Nia. Sejak saat itu, di malam-malam tertentu kadang ada seorang kakeuk tua yang menyalakan api di halaman depan rumah dari ranting-ranting kering. Apabila ada yang sedang melihatnya lalu ditanya, kakek itu akan menjawab:
"Nuju ngahaneutan, sakantenan ngajagi bilih aya nu bade ngawur kadieu. Ku Abah tiasa dicarek."
("Sedang menghangatkan diri sekalian menjaga jika ada yang ingin menabur kesini, abah bisa memarahinya.")
Entah siapapun itu, atau apapun itu, selama tidak mengusik Nia atau keluargaku, aku biarkan.
Dan semenjak kejadian Mang Arya, Nia dikirim ke kota, ke rumah uwa (kakak dari pihak ibu), dan mengambil kursus menjahit seperti yang ia inginkan. Kebetulan uwa punya usaha konveksi rumahan, jadi Nia setelahnya dapat bekerja disana.
Pun denganku, saat bapak mendapat warisan dari kakek suatu hari. Aku meminjamnya dan membangun usaha. Setelah berkali-kali gagal dalam kurun waktu yang tak sebentar, akhirnya aku memutuskan untuk membuka usaha warung di kota dimana Nia juga tinggal.