Ilustrasi mi instan. | Edy Kasim /Shutterstock
Bisa mengurangi dan mengelola sampah plastik, sekaligus menghemat anggaran bahan bakar untuk memasak. Hal tersebut merupakan harapan dalam mengatasi masalah sampah plastik, setidaknya dalam ruang lingkup kecil seperti rumah tangga.
Dilansir dari
BBC Indonesia, Pandji Prawisudha, seorang pakar konversi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), sedang mengembangkan alat yang dapat mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak.
Dirinya memulai proyek penelitian ini karena ingin mengurangi sampah plastik. Apalagi, seperti dikutip dari
National Geographic, Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.
Ilmuwan tersebut memperlihatkan alat yang disebut dengan reaktor pirolisis yang masih berupa purwarupa (prototype) di Laboratorium Thermodinamika ITB.
Reaktor yang tampak sederhana itu terdiri dari tabung plastik berukuran dua liter, kondensor, pompa air akuarium,
thermocouple dan sebuah wadah plastik. Semua benda tersebut terhubung dengan pipa, tempat mengalirnya gas hasil pemanasan hingga berubah menjadi minyak.
Inilah yang disebut dengan mekanisme
pirolisis, proses memanaskan material mentah, dalam hal ini plastik, tanpa oksigen dalam temperatur tertentu, sehingga memecah struktur kimia menjadi gas.
Gas yang dihasilkan akan mengalir melalui pipa melewati kondensor, di mana gas tersebut akan didinginkan sehingga berubah menjadi minyak atau yang disebut dengan asap cair.
Minyak tersebut nantinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk kompor, juga lampu minyak.
Menurut Pandji, kalau melihat sejarahnya, plastik berasal dari minyak bumi. "Sebetulnya yang kita lakukan hanyalah mengonversi plastik ke asalnya, minyak bumi."
Ilmuwan yang menjabat Lektor di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung tersebut mengatakan bahwa dirinya menargetkan sampah-sampah plastik rumah tangga sebagai materialnya, seperti bungkus mi instan, bungkus kopi, maupun kemasan plastik berjenis polypropylene (PP) lain.
"Jenis plastiknya sebetulnya bisa apa saja," jelasnya. "Yang paling tidak disarankan adalah Polivinil Khlorida (PVC), karena PVC akan terlarut di dalam minyaknya. Tapi buat plastik-plastik yang tidak digunakan, seperti bungkus mi instan, bungkus kopi, kebanyakan polupropylene, dan itu relatif tidak sulit untuk diproses."
Reaktor pirolisis yang dikembangkan oleh doktor lulusan Fakultas Teknik Lingkungan dari Tokyo Institute of Technology ini, dapat mengubah 200 gram bungkus mi instan menjadi 120 mililiter minyak. Proses untuk memperoleh minyak tersebut berlangsung selama dua jam.
Dan ketika minyak hasil olahan itu diuji coba, ternyata dapat mendidihkan air sebanyak 200 mililiter dalam waktu kurang dari tiga menit. Minyak dari sampah plastik ini memang lebih cocok digunakan sebagai pengganti minyak tanah atau kerosin, daripada bensin, kata Pandji. Artinya, minyak ini lebih cocok digunakan untuk memasak, dan bukannya sebagai bahan bakar untuk kendaraan bermotor.
Menurutnya, minyak dari sampah plastik sudah tercampur dengan zat lain, sehingga berisiko bila digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Sementara dari segi ekonomi, harga minyak sampah plastik sulit bersaing dengan bensin dan solar yang disubsidi.
Akan tetapi, dengan harga minyak tanah yang saat ini mencapai Rp13 ribu per liter, minyak dari sampah plastik ini dapat menjadi pengganti minyak tanah yang ekonomis, karena dapat dijual dengan kisaran harga Rp5 ribu per liter.
Masih belum ada nama untuk reaktor pirolisis ini, namun alat ini memberikan manfaat ganda. Sampah plastik hilang, dan alih-alih menghasilkan minyak untuk menyalakan kompor.
Pandji berharap dapat merancang reaktor pirolisis ini dengan konsep yang portabel agar dapat dibawa-bawa, dan digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah yang sulit memperoleh bahan bakar minyak. Seperti di Kepulauan Seribu, atau daerah-daerah lain yang sering kesulitan memperoleh bahan bakar minyak, tetapi memiliki banyak sampah plastik sebagai dampak dari industri pariwisata.
Akan tetapi, kendati merakit reaktor pirolisis sebenarnya mudah, hampir sama dengan merakit kompor minyak, namun Pandji mengemukakan kemungkinan adanya kendala, baik dari sisi pemasaran maupun perilaku masyarakat.
"Karena ini teknologi baru, dari sisi komersial mungkin orang akan ragu-ragu, apakah layak membeli ini," ujar Pandji, memperkirakan. "Saya sekarang sudah bisa punya elpiji, punya kompor minyak tanah sendiri, kenapa saya harus mengeluarkan uang untuk mengolah plastik menjadi minyak?"
Namun, beberapa warga masyarakat, terutama pedagang makanan berskala kecil, berharap agar alat tersebut tidak berhenti sampai taraf uji coba saja. Seperti yang disampaikan pedagang jagung kukus Eman Sulaeman, dan Maman yang menjajakan gorengan kepada
detik.com.
Mereka menyambut baik apabila minyak sampah plastik dipasarkan, apalagi harganya hanya Rp5 ribu per liter. Harga tersebut lebih terjangkau apalagi jika dibandingkan dengan harga elpiji yang mencapai kisaran Rp18 ribu sampai Rp25 ribu.