------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mobil dengan kemudi otomatis mungkin menjadi salah satu terobosan yang akan menghiasi jalanan pada masa depan. Beberapa manufaktur mobil bahkan perusahaan teknologi
seperti Googletelah serius terjun untuk meningkatkan performa mobil tanpa pengemudi.
Namun moral kemanusiaan masih menjadi faktor yang belum bisa diwujudkan. Contohnya ketika mobil akan menabrak dua orang penyeberang jalan; orang dewasa dan anak-anak, yang sulit dihindari.
Bayangkan jika mobil swakemudi yang terlibat dalam situasi itu, apa yang akan terjadi, dan korban mana yang akan ditabrak?
Kasus seperti ini yang hingga sekarang menjadi penghalang untuk mewujudkan mobil tanpa kendali manusia seutuhnya. Maklum sejumlah kasus masih membutuhkan keputusan moral dan etiket yang hanya dimiliki oleh manusia.
"Kita berada pada titik di mana kita perlu menemukan jawaban yang setidaknya dapat diterima oleh mayoritas, sehingga kita dapat memiliki sistem pengambilan keputusan etis di dalam mobil,"
kata Leon Sutfeld, asisten peneliti dan Kandidat Doktor di Institute of Cognitive Science Universitas Osnabruck, Niedersachsen, Jerman.
Sutfeld dan rekan-rekannya seperti Gordon Pipa, Richard Gast, dan Peter Konigalso telah menerbitkan studi mereka di jurnal
Frontiers in Behavioral Neuroscience.
Dalam melakukan penelitian tersebut, Sutfeld dan Pipa meminta 105 orang untuk memakai headset realitas maya (VR) dan kemudian merespons berbagai skenario lalu lintas di jalan pinggiran kota yang menjadi simulasi.
Saat mengemudi di dunia maya dengan kondisi berkabut, dua rintangan akan muncul di layar dan menghalangi pengemudi. Mereka hanya memiliki waktu satu hingga empat detik untuk memilih jalur dan menentukan objek mana yang akan ditabrak.
Ada 17 hambatan yang berbeda dari tiga kategori; manusia (anak-anak dan orang dewasa), hewan (misalnya seekor anjing), dan benda mati.
Selanjutnya, para peneliti menggunakan hasil ini untuk menguji tiga model berbeda yang memprediksi pengambilan keputusan. Yang pertama meramalkan bahwa keputusan moral dapat dijelaskan oleh model nilai kehidupan yang sederhana, sebuah istilah statistik yang mengukur manfaat pencegahan kematian.
Model kedua mengasumsikan bahwa karakteristik masing-masing hambatan, seperti usia seseorang, berperan dalam proses pengambilan keputusan. Terakhir, model ketiga memperkirakan bahwa peserta cenderung tidak membuat pilihan etis saat harus merespons dengan cepat.
Setelah membandingkan hasil analisis, tim menemukan bahwa model pertama paling akurat menggambarkan pilihan etis para peserta. Artinya mobil tanpa pengemudi dan mesin otomatis lainnya dapat membuat pilihan moral seperti manusia dengan menggunakan algoritma yang relatif sederhana.
Misalnya, kelompok ini menganggap rusa lebih berharga dibanding kambing. Semua faktor lainnya sama, mobil tanpa pengemudi yang menggunakan model ini akan menabrak seekor kambing untuk menyelamatkan seekor rusa.
Lalu berlanjut jika anjing lebih berharga daripada rusa, dan manusia lebih berharga daripada hewan. Anak-anak juga dianggap lebih berharga daripada orang dewasa, meskipun perbedaannya marjinal dan tidak signifikan secara statistik.
"Pada prinsipnya, faktor lain seperti peluang cedera atau kematian yang berbeda, juga bisa disertakan dalam model, tapi itu tidak termasuk dalam ruang lingkup penelitian ini," jelas Sutfeld.
Kementerian Transportasi dan Infrastruktur Federal Jerman baru-baru ini mendefinisikan
20 prinsip etiket (berkas PDF berbahasa Jerman) untuk mobil dengan kemudi otomatis (swakemudi). Namun prinsip tersebut dirumuskan berdasarkan asumsi bahwa moralitas manusia tidak dapat dimodelkan.
Mereka juga membuat beberapa penegasan tentang bagaimana mobil harus bertindak. Misal alasan anak yang berlari ke jalan akan kurang "memenuhi syarat" untuk diselamatkan daripada orang dewasa yang berdiri di jalan setapak.
Ini semua lantaran anak tersebut menciptakan risikonya. Meski logis, namun keputusan tersebut belum tentu mencerminkan bagaimana manusia akan menanggapi situasi yang sama.
Studi ini tidak berusaha mencari kesimpulan yang pasti, kecuali hanya untuk menunjukkan ada kemungkinan untuk membuat model pengambilan keputusan etis dan moral dalam mobil tanpa pengemudi. Dasarnya adalah dengan menggunakan petunjuk bagaimana manusia bertindak. Peneliti mencoba meletakkan dasar untuk studi tambahan dan perdebatan lebih lanjut.
"Pertanyaannya adalah bagaimana kita sebagai masyarakat menginginkan mobil menangani situasi seperti ini, dan bagaimana hukum harus ditulis. Apa yang harus diizinkan dan apa yang seharusnya tidak?" ujar Sutfeld dikutip
Raw Story (5/7).
"Untuk mendapatkan pendapat yang tepat, tentu sangat berguna untuk mengetahui bagaimana manusia benar-benar berperilaku saat menghadapi keputusan semacam itu."
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------