- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kids jaman now lebih perfeksionis, kids jaman old setuju?


TS
kangjati
Kids jaman now lebih perfeksionis, kids jaman old setuju?

Wow Kidz jaman now atau generasi milenial punya kecenderungan menjadi perfeksionis loh gansist ketimbang generasi muda sebelumnya, dan tuntutan itu mengikis kesehatan mental kaum dewasa muda.



Ilustrasi perfeksionis.
© Pathdoc /Shutterstock
Quote:
Generasi langgas--yang lahirdalam kurun waktu akhir '70-an sampai pertengahan '90-an--kerap dilabeli produk budaya yang manja dan tak berambisi. Di satu sisi, kaum dewasa muda ini berhadapan dengan tekanan yang begitu besar.
Generasi langgas dituntut untuk berhasil di bidang pendidikan, kondisi ekonomi seolah memastikan hanya mereka yang beruntung lah yang kelak bisa hidup enak. Belum lagi budaya swafoto yang mengganggu citra tubuh dan kesehatan mental sebagian milenial.
Sembari menghadapi itu semua, milenial juga dibombardir dengan pernyataan-pernyataan yang sebenarnya merupakan motivasi, namun bagai bumerang bisa balik menyerang. "Kamu bisa jadi siapapun yang kamu mau!"
Jadi, tak mengherankan bila para dewasa muda merasa harus selalu jadi yang terbaik di segala bidang dalam hidup ini. Hal tersebut tercermin lewat riset terbaru yang dipublikasikan di jurnal Psychological Bulletin.
Studi yang dilakukan oleh University of Bath dan York St John University ini adalah yang pertama membandingkan perbedaan generasional dalam hal perfeksionisme. Temuan-temuan itu menunjukkan betapa besar tekanan yang diberikan generasi langgas terhadap diri mereka sendiri dan orang lain.
Science Daily melansir, temuan ini berasal dari analisis data terhadap lebih dari 40 ribu mahasiswa Amerika, Kanada dan Inggris yang merampungkan sebuah tes.
Tes itu mengukur tiga jenis perfeksionisme: keinginan irasional untuk menjadi sempurna, merasakan tekanan dari orang lain untuk menjadi sempurna, dan memiliki harapan yang tidak realistis dari orang lain.
Studi ini menilai perubahan perfeksionisme dari waktu ke waktu, dari tahun 1980 sampai 2016.
Peneliti menemukan skor mahasiswa jauh lebih tinggi dalam segala bentuk perfeksionisme pada beberapa tahun terakhir, daripada tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai contoh, skor yang menunjukkan keinginan irasional untuk menjadi sempurna--juga disebut perfeksionisme yang ditimbulkan diri sendiri--melonjak 10 persen antara tahun 1989 dan 2016.
Pada masa ini, skor tekanan eksternal untuk menjadi sempurna meningkat 33 persen, dan nilai untuk harapan akan orang lain yang tidak realistis melonjak 16 persen.
Menurut penulis penelitian, beberapa faktor pendorong dapat membantu menjelaskan melonjaknya perfeksionisme di kalangan generasi langgas.
Kecenderungan tersebut mungkin ada hubungannya dengan media sosial. Sebab, media sosial dapat menyebabkan milenial semakin membandingkan diri dengan orang lain. Hal ini kemudian dapat menyebabkan masalah citra tubuh dan isolasi sosial.
Psikiater Monika Roots, Vice President of Health Services and Senior Medical Director of Behavioral Health di Teladoc, berpendapat temuan ini sebenarnya tidak mengejutkan.
"Perfeksionisme adalah sifat umum di antara pasien saya yang milenial," kata Roots dinukil Bustle. Ia juga setuju bahwa milenial cenderung lebih sadar secara sosial.
Akibatnya, perfeksionisme yang berorientasi pada diri sendiri membuat para milenial mencoba memperlihatkan kepada orang lain bahwa mereka menjalani kehidupan yang sempurna.
Entah itu dengan konten media sosial yang dibuat dengan hati-hati atau menyunting status Twitter untuk memastikan tidak ada konten apapun yang mungkin mencerminkan hal negatif tentang mereka.
Perfeksionisme di kalangan dewasa muda juga dikaitkan dengan keinginan untuk menaikkan jenjang sosial dan ekonomi, mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari rekan-rekan mereka, menjadi lebih terdidik dan mencapai tujuan karier.
"Meritokrasi menempatkan kebutuhan yang kuat bagi kaum muda untuk berusaha, berbuat dan mencapai sesuatu dalam kehidupan modern," kata penulis studi Thomas Curran, dari University of Bath.
Curran menambahkan, generasi langgas merespons dengan melaporkan harapan pendidikan dan profesional yang tidak realistis untuk diri mereka sendiri. "Akibatnya, perfeksionisme meningkat di kalangan milenial," imbuhnya.
Menurut Curran, pada tahun 1976, sekitar 50 persen siswa SMA diharapkan lulus dari perguruan tinggi. Pada tahun 2008, lebih dari 80 persen diantisipasi mendapatkan gelar sarjana.
Namun, kesenjangan antara siswa yang berharap untuk masuk perguruan tinggi dan mereka yang benar-benar lulus melebar. Ini dapat menyebabkan tingkat depresi, kegelisahan dan pemikiran bunuh diri yang lebih tinggi.
"Temuan ini menunjukkan bahwa generasi mahasiswa kini memiliki harapan yang lebih tinggi terhadap diri mereka dan orang lain daripada generasi sebelumnya," kata Curran.
Tambahnya, "Anak-anak muda sekarang bersaing satu sama lain untuk memenuhi tekanan masyarakat agar berhasil, dan mereka merasa perfeksionisme diperlukan untuk merasa aman, terhubung secara sosial dan layak."
Sebenarnya sikap perfeksionisme tak selamanya buruk. Beberapa psikolog meyakini ada yang namanya perfeksionisme sehat. Yakni semacam dorongan internal yang intens yang bisa mengantar seseorang pada prestasi tinggi.
Namun, ada pula risiko yang dapat membuat seseorang merasa terperangkap dalam lingkaran ekspektasi yang tidak dapat dicapai, dan evaluasi diri yang terlalu kritis.
Saat seseorang kehilangan pegangan, mereka tak mengenali rasa puas yang datang bersama kesuksesan. Akibatnya bisa berujung pada depresi klinis, anoreksia, juga kematian dini.
Generasi langgas dituntut untuk berhasil di bidang pendidikan, kondisi ekonomi seolah memastikan hanya mereka yang beruntung lah yang kelak bisa hidup enak. Belum lagi budaya swafoto yang mengganggu citra tubuh dan kesehatan mental sebagian milenial.
Sembari menghadapi itu semua, milenial juga dibombardir dengan pernyataan-pernyataan yang sebenarnya merupakan motivasi, namun bagai bumerang bisa balik menyerang. "Kamu bisa jadi siapapun yang kamu mau!"
Jadi, tak mengherankan bila para dewasa muda merasa harus selalu jadi yang terbaik di segala bidang dalam hidup ini. Hal tersebut tercermin lewat riset terbaru yang dipublikasikan di jurnal Psychological Bulletin.
Studi yang dilakukan oleh University of Bath dan York St John University ini adalah yang pertama membandingkan perbedaan generasional dalam hal perfeksionisme. Temuan-temuan itu menunjukkan betapa besar tekanan yang diberikan generasi langgas terhadap diri mereka sendiri dan orang lain.
Science Daily melansir, temuan ini berasal dari analisis data terhadap lebih dari 40 ribu mahasiswa Amerika, Kanada dan Inggris yang merampungkan sebuah tes.
Tes itu mengukur tiga jenis perfeksionisme: keinginan irasional untuk menjadi sempurna, merasakan tekanan dari orang lain untuk menjadi sempurna, dan memiliki harapan yang tidak realistis dari orang lain.
Studi ini menilai perubahan perfeksionisme dari waktu ke waktu, dari tahun 1980 sampai 2016.
Peneliti menemukan skor mahasiswa jauh lebih tinggi dalam segala bentuk perfeksionisme pada beberapa tahun terakhir, daripada tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai contoh, skor yang menunjukkan keinginan irasional untuk menjadi sempurna--juga disebut perfeksionisme yang ditimbulkan diri sendiri--melonjak 10 persen antara tahun 1989 dan 2016.
Pada masa ini, skor tekanan eksternal untuk menjadi sempurna meningkat 33 persen, dan nilai untuk harapan akan orang lain yang tidak realistis melonjak 16 persen.
Menurut penulis penelitian, beberapa faktor pendorong dapat membantu menjelaskan melonjaknya perfeksionisme di kalangan generasi langgas.
Kecenderungan tersebut mungkin ada hubungannya dengan media sosial. Sebab, media sosial dapat menyebabkan milenial semakin membandingkan diri dengan orang lain. Hal ini kemudian dapat menyebabkan masalah citra tubuh dan isolasi sosial.
Psikiater Monika Roots, Vice President of Health Services and Senior Medical Director of Behavioral Health di Teladoc, berpendapat temuan ini sebenarnya tidak mengejutkan.
"Perfeksionisme adalah sifat umum di antara pasien saya yang milenial," kata Roots dinukil Bustle. Ia juga setuju bahwa milenial cenderung lebih sadar secara sosial.
Akibatnya, perfeksionisme yang berorientasi pada diri sendiri membuat para milenial mencoba memperlihatkan kepada orang lain bahwa mereka menjalani kehidupan yang sempurna.
Entah itu dengan konten media sosial yang dibuat dengan hati-hati atau menyunting status Twitter untuk memastikan tidak ada konten apapun yang mungkin mencerminkan hal negatif tentang mereka.
Perfeksionisme di kalangan dewasa muda juga dikaitkan dengan keinginan untuk menaikkan jenjang sosial dan ekonomi, mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari rekan-rekan mereka, menjadi lebih terdidik dan mencapai tujuan karier.
"Meritokrasi menempatkan kebutuhan yang kuat bagi kaum muda untuk berusaha, berbuat dan mencapai sesuatu dalam kehidupan modern," kata penulis studi Thomas Curran, dari University of Bath.
Curran menambahkan, generasi langgas merespons dengan melaporkan harapan pendidikan dan profesional yang tidak realistis untuk diri mereka sendiri. "Akibatnya, perfeksionisme meningkat di kalangan milenial," imbuhnya.
Menurut Curran, pada tahun 1976, sekitar 50 persen siswa SMA diharapkan lulus dari perguruan tinggi. Pada tahun 2008, lebih dari 80 persen diantisipasi mendapatkan gelar sarjana.
Namun, kesenjangan antara siswa yang berharap untuk masuk perguruan tinggi dan mereka yang benar-benar lulus melebar. Ini dapat menyebabkan tingkat depresi, kegelisahan dan pemikiran bunuh diri yang lebih tinggi.
"Temuan ini menunjukkan bahwa generasi mahasiswa kini memiliki harapan yang lebih tinggi terhadap diri mereka dan orang lain daripada generasi sebelumnya," kata Curran.
Tambahnya, "Anak-anak muda sekarang bersaing satu sama lain untuk memenuhi tekanan masyarakat agar berhasil, dan mereka merasa perfeksionisme diperlukan untuk merasa aman, terhubung secara sosial dan layak."
Sebenarnya sikap perfeksionisme tak selamanya buruk. Beberapa psikolog meyakini ada yang namanya perfeksionisme sehat. Yakni semacam dorongan internal yang intens yang bisa mengantar seseorang pada prestasi tinggi.
Namun, ada pula risiko yang dapat membuat seseorang merasa terperangkap dalam lingkaran ekspektasi yang tidak dapat dicapai, dan evaluasi diri yang terlalu kritis.
Saat seseorang kehilangan pegangan, mereka tak mengenali rasa puas yang datang bersama kesuksesan. Akibatnya bisa berujung pada depresi klinis, anoreksia, juga kematian dini.

Gimana anak jam old setuju gak ? kids jaman now dan kids jaman old dipersilahakan pendapatnya di kolom komentar




Quote:


Jangan lupa rate bintang 5, tinggalin komentar dan bersedekah sedikit cendol buat ane dan ane doain agan makin ganteng dan cantik deh

SUMUR:
Beritagar.id
Jangan lupa kunjungi thread ane yang lain gan 

Quote:
7 Ponsel yang bakalan menggebrak tahun 2018 ini, siap - siap ngiler gan!
Empat penemuan besar Tiongkok yang mengubah dunia
Engga cuma untuk berenti rokok, Plester dapat membakar lemak juga gan!
[WOW] Seorang penggemar mengklaim dibelikan rumah oleh Taylor Swift
[BINCANG] The Sacred Riana: Usia aku 190 tahun
[FAKTA+] Astronaut bisa 16 kali merayakan tahun baruan di ruang angkasa gan!
Ternyata ini sejarah perbedaan sumpit China, Jepang, dan Korea!
3 Fenomena langka ini bakal nemenin agan di awal tahun. Salah satunya malam ini!
Film Hollywood paling di tunggu pada 2018, ente mau nonton yang mana gan?
Liburan mewah ala princess Syahrini, mau coba cin?
Ahok jadi inspirasi nama spesies cecak baru gansist!
5 makanan khas Bandung yang melegenda hingga sekarang, mana yang paling disukai?
Kenapa pas baik kepala kita miring ke kanan?
WHO tetapkan kecanduan game sebagai gangguan mental
Aku sahabat Bukan Makanan!

0
2.1K
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan