- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
siapa yang meneruskan pertanian indonesia, kalo anak-anak petani saja tidak mau????


TS
abma.lanank
siapa yang meneruskan pertanian indonesia, kalo anak-anak petani saja tidak mau????

Sebelum kita bahas, Sekiranya Agan-agan dapat terlebih Dahulu untuk

Dan Jangan Lupa!

Spoiler for no reepost:
ane jamin no reepost soalnya ini hasil ketikan tangan ane sendiri
sesuai dengan judul diatas "siapa yang meneruskan pertanian indonesia, kalo anak-anak petani saja tidak mau????" langsung aja gan silahkan disimak!
Quote:
ane disini cuma mau ungkapin apa yang selama ini ane fikiran,
ane gak ada maksud apa2, sekedar berbagi aja apa yang ada di otak ane ini.
sebelumnya ane mau cirita dikit gan,
ane dilahirin dilingkungan keluarga yang kebanyakan profesinya sebagai petani. didesa ane kebanyakan masyarakatnya emang mata pencariannya sebagai petani.
nah permasalahannya kebanyakan anak2 petani didaerah ane, dan ane yakin didaerah lain juga sama, anak2 petani tidak mau menjadi petani.
TERUS SIAPA YANG NANTINYA YANG AKAN MELANJUTKAN PERTANIAN INDONESIA INI????
agan2 pasti taulah kalo indonesia negara agraris dengan jumlah petani terbanyak.
fakta yang ada didaerah ane, mulai dari angkatan ane (yang lahirnya skitar taon 1992) sudah tidak ada lagi yang mau melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai petani.
jujur ane sendiri juga tidak mau menjadi petani, dengan alasan yang agan2 sendiri sudah taulah bagaimana nasib petani indonesia sekarang ini.
bahkan orang tua kita (kita=anak2 petani yang seusia dg ane) pun tidak menginginkan anaknya menjadi petani, dengan alasan mereka ingin menjadikan kita orang yang lebih enak hidupnya kelak.
miris emang gan kalo ane renungin, tapi mau bagaimana lagi, ane juga kagak mau munafik dong, ane juga pengen ekonomi hidup ane dan keluarga ane kelak bisa lebih baik dari orang tua ane, dan bertani bukan solusi kalo ane mau sukses dengan keadaan seperti sekarang ini.
hasil panen selalu tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan petani untuk menggarap sawahnya.
terkadang ane juga mikir, jangankan anak petani, bahkan para sarjana pertanian di Indonesia yang notabene sebagai orang yang pastinya lebih tau tentang keilmuan di bidang pertanian, jarang sekali bahkan bisa dihitung dengan jari yang mau bertani,atau paling tidak membagi ilmunya kepada para petani di desa agar pertanian bisa lebih maju. bahkan meraka ada yang lebih memilih bekerja di bank yang sangat jauh keilmuaanya dengan apa yang mereka pelajari ketika masih di bangku kuliah. para petani di desa kebanyakan hanya mengandalkan ilmu dari nenek moyang tentang bagaimana cara bertani yang benar, apa yang diajarkan nenek moyang kan tidak semuanya benar dan sesuai dengan keilmuan di bidang pertanian.
tapi ane disini juga tidak mau menyalahkan para sarjana pertanian yang tidak mau terjun langsung menjadi seorang petani karena mereka pasti juga tidak mau munafik dan realistis bagaimana nasib mereka seandainya mereka menjadi petani.
ada beberapa tambahan yang ane ambil dari berbagai sumber
Quote:
ANAK MUDA INDONESIA OGAH JADI PETANI KARENA TAKUT MISKIN
Saat ini 40 juta warga Indonesia berprofesi sebagai petani. Namun sayangnya para petani itu sudah tak muda lagi berusia sekitar 40 tahun-50 tahun. Anak muda Indonesia sekarang ogah menjadi petani. Kenapa ya?.
Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan mengaku dalam sejumlah pertemuan internasional dirinya kerap kali ditanyakan kenapa anak muda di Indonesia tak mau menjadi petani.
"Profesi petani hanya dipilih sebagai solusi terakhir daripada tidak dapat kerja. Anak petani tidak mau jadi petani, karena dia berpikir kalau jadi petani saya harus siap miskin," ungkapnya kepada Liputan6.com.
Faktor lain yang menyebabkan anak muda malas menjadi petani yaitu penampilan petani yang identik lusuh dan kotor. "Petani itu lusuh, pakai singlet bolong-bolong, pakai kolor. Gadis desa mana ada yang mau," ungkapnya.
Rendahnya minat anak muda untuk menjadi petani, menurut Rusman, tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga Malaysia dan Jepang. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan. Pasalnya jika tidak ada generasi penerus, maka siapa yang akan mengelola lahan pertanian ke depan.
sumber
ane tambahin juga sebuah cerita yang buat ane miris dengan keadaan pertanian di Indonesia kedepannya gan
Quote:
Di sebuah Taman Kanak-kanak di sebuah kota di Indonesia seorang guru TK yang biasa dipanggil Bu Guru Ellen bertanya kepada anak-anak asuhnya.
Bu Guru, “Toni, kalau kamu besar nanti ingin menjadi apa?”
Toni, “Saya ingin menjadi pilot, Bu.”
Bu Guru,”Kamu Gatot, ingin jadi apa?”
Gatot, “Jadi dokter, Bu.”
Bu Guru,”Anni anak manis, kamu ingin jadi apa?”
Anni,”Saya ingin jadi hakim, Bu.”
Bu Guru, “Arman, kalau kamu?”
Arman, “Jadi dosen, Bu Guru.”
Bu Guru,”Kalau kamu, Eren?”
Eren, “Saya ingin jadi Jaksa, Bu.”
Bu Guru, “Agung kamu ingin jadi apa, Nak?”
Agung,”Jadi pegawai bank, Bu Guru.”
Bu Guru,”Kalau kamu Dewi, ingin jadi apa ya?”
Dewi, “Saya ingin jadi menteri, Bu.”
“Bagus. Semua bagus, Anak-anak…! Untuk mencapai cita-cita itu semua, kalian harus rajin belajar, dan jangan lupa berdoa. Dan kalian jangan lupa sebelum ke sekolah sarapan pagi dengan menu bergizi agar kita tumbuh sehat.
“Iya, Bu Guru…!!!” anak-anak megiyakan serentak.
Ya, gambaran situasi keinginan dan cita-cita anak-anak di TK di atas adalah potret profesi yang di dalam benak anak-anak sebagai profesi yang terhormat dan “cool,” serta pantas untuk diraih dengan belajar yang benar, rajin dan disertai doa. Tentu saja semuanya boleh saja “siapa menjadi apa.” Tapi, jika tak ada jawaban dari anak-anak “saya ingin menjadi petani, Bu Guru Ellen,” padahal kita semua hidup di negara agraris ini pasti ada suatu yang tidak beres.
Sekali lagi, boleh Anda coba di rumah jika Anda mempunyai anak yang baru masuk TK, tanyakan kepada mereka, adakah anak itu ingin menjadi petani? Saya pastikan tidak ada yang ingin menjadi petani. Padahal sehari tiga kali, sarapan pagi, makan siang, dan makan malam kita berhadapan dengan makanan yang notabene adalah produk petani untuk kita santap. Beras, sayuran, ikan, daging, susu, tempe, tahu semua itu adalah produksi petani dan itu penting bagi kehidupan keseharian kita, sejak kita di buaian sampai ajal kita.
Pertanian itu meliputi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan perkebunan. Orang yang mengusahakan cakupan pertanian itu disebut petani (dan buruh tani). Petani adalah sebuah profesi yang ditinggalkan oleh kita. Bukti secara statistik mengatakan seperti itu. Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat dan mengungkap September 2013 rumah tangga petani berjumlah 26.13 juta orang. Padahal, tahun 2003 jumlah rumah tangga petani adalah 31.17 juta, jadi berkurang sebesar minimal 5.07 juta selama 10 tahun atau mengalami penurunan 1.75 persen per tahun. Rumah tangga petani adalah setiap rumah tangga yang minimal satu orang anggotanya mengusahakan kegiatan pertanian. Penyebabnya tentu saja bermacam-macam seperti petani meninggal dunia, pindah pekerjaan ke sektor lain yang lebih menguntungkan dan memberikan kesejahteraan. Tetapi fakta Survei Angkatan Kerja Nasional oleh BPS yang diadakan setahun setiap Pebruari dan Agustus menyatakan bahwa mutasi pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor yang lain diperkirakan tidak kurang dari 200ribu orang per tahunnya.
Lantas kenapa sebagai profesi menjadi petani tidak disukai bahkan dijauhi oleh kita? Setidaknya ada beberapa alasan yang bisa kita sebut adalah:
1. Petani identik dengan kemiskinan (struktural)
a. BPS mengungkap Maret 2012, 63 persen dari 29.13 juta penduduk miskin di Indonesia tingal di pedesaan, hal ini secara otomatis dipahami bahwa itu adalah petani dan buruh tani.
b. Profesor Sajogyo mengungkap bahwa kepemilikan lahan petani gurem di Indonesia adalah rata-rata kurang dari 0.5 hektar, dan setiap tahun meningkat sebesar 1.5% per tahun, dan jumlah buruh tani meningkat dengan laju 5% per tahun. Penguasaan lahan oleh Pemerintah lebih banyak diberikan kepada “masyarakat kota” dibanding kepada “masyarakat pedesaan.” Setiap tahun puluhan ribu hektar lahan sawah berubah fungsi menjadi pemukiman, kawasan industri/pabrik-pabrik, kota mandiri, dan bahkan tempat bermain golf.
2. Petani identik dengan rendahnya pendidikan
Sebagai akibat poin-1 di atas, generasi yang lebih berpendidikan tidak akan memilih profesi petani, sehingga profesi petani adalah pilihan yang terpaksa untuk yang berpendidikan rendah dan orang tua-orang tua. Data BPS berdasarkan Sensus Pertanian 2003) mengungkap bahwa 80 persen dari petani kita hanya menamatkan pendidikan paing tinggi setingkat sekolah dasar (SD). Tingkat pendidikan yang tinggi berkorelasi positif dengan tingkat produktivitas yang tinggi dengan aplikasi teknologi pertanian yang tepat guna.
3. Kita Suka Yang Instan dan Gampang
Kebijakan pembangunan ekonomi mulai meninggalkan sektor pertanian dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan yang penuh ketergantungan pada impor. Ini adalah kebijakan yang mudah dengan mengimpor kita tak perlu bekerja keras untuk memproduksi sendiri kebutuhan keseharian kita. Mengimpor berarti membeli, tidak punya uang ya kita hutang. Ini pakem pemerintah kita sejak runtuhnya Orde Baru. Negara kita lebih suka mengimpor beras, kedelai, gula, sayuran, daging, padahal kita mempunyai sumber daya alam yang luar biasa banyak, demikian juga luas lahannya. Dan lebih buruknya kita menyadari akan melimpahnya sumberdaya alam yang kita miliki ini. Kita malas saja tidak mengerjakannya dengan berbagai alasan.
Krisis ekonomi yang terjadi berkali-kali menunjukkan dan membuktikan bahwa sektor pertanianlah sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap krisis ekonomi yang terjadi di banding dengan sektor-sektor lain. Tapi, kita menganak-tirikan sektor pertanian ini. Jika tak diperbaiki dengan semangat kerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri, sebentar lagi kita tidak hanya mengimpor produk pertanian, bahkan juga akan mengimpor petani untuk memproduksi kebutuhan kita. Dan akhirnya petani asli Indonesia akan menjadi kenangan. Asyik diceritakan saat kita makan.
sumber
Bu Guru, “Toni, kalau kamu besar nanti ingin menjadi apa?”
Toni, “Saya ingin menjadi pilot, Bu.”
Bu Guru,”Kamu Gatot, ingin jadi apa?”
Gatot, “Jadi dokter, Bu.”
Bu Guru,”Anni anak manis, kamu ingin jadi apa?”
Anni,”Saya ingin jadi hakim, Bu.”
Bu Guru, “Arman, kalau kamu?”
Arman, “Jadi dosen, Bu Guru.”
Bu Guru,”Kalau kamu, Eren?”
Eren, “Saya ingin jadi Jaksa, Bu.”
Bu Guru, “Agung kamu ingin jadi apa, Nak?”
Agung,”Jadi pegawai bank, Bu Guru.”
Bu Guru,”Kalau kamu Dewi, ingin jadi apa ya?”
Dewi, “Saya ingin jadi menteri, Bu.”
“Bagus. Semua bagus, Anak-anak…! Untuk mencapai cita-cita itu semua, kalian harus rajin belajar, dan jangan lupa berdoa. Dan kalian jangan lupa sebelum ke sekolah sarapan pagi dengan menu bergizi agar kita tumbuh sehat.
“Iya, Bu Guru…!!!” anak-anak megiyakan serentak.
Ya, gambaran situasi keinginan dan cita-cita anak-anak di TK di atas adalah potret profesi yang di dalam benak anak-anak sebagai profesi yang terhormat dan “cool,” serta pantas untuk diraih dengan belajar yang benar, rajin dan disertai doa. Tentu saja semuanya boleh saja “siapa menjadi apa.” Tapi, jika tak ada jawaban dari anak-anak “saya ingin menjadi petani, Bu Guru Ellen,” padahal kita semua hidup di negara agraris ini pasti ada suatu yang tidak beres.
Sekali lagi, boleh Anda coba di rumah jika Anda mempunyai anak yang baru masuk TK, tanyakan kepada mereka, adakah anak itu ingin menjadi petani? Saya pastikan tidak ada yang ingin menjadi petani. Padahal sehari tiga kali, sarapan pagi, makan siang, dan makan malam kita berhadapan dengan makanan yang notabene adalah produk petani untuk kita santap. Beras, sayuran, ikan, daging, susu, tempe, tahu semua itu adalah produksi petani dan itu penting bagi kehidupan keseharian kita, sejak kita di buaian sampai ajal kita.
Pertanian itu meliputi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan perkebunan. Orang yang mengusahakan cakupan pertanian itu disebut petani (dan buruh tani). Petani adalah sebuah profesi yang ditinggalkan oleh kita. Bukti secara statistik mengatakan seperti itu. Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat dan mengungkap September 2013 rumah tangga petani berjumlah 26.13 juta orang. Padahal, tahun 2003 jumlah rumah tangga petani adalah 31.17 juta, jadi berkurang sebesar minimal 5.07 juta selama 10 tahun atau mengalami penurunan 1.75 persen per tahun. Rumah tangga petani adalah setiap rumah tangga yang minimal satu orang anggotanya mengusahakan kegiatan pertanian. Penyebabnya tentu saja bermacam-macam seperti petani meninggal dunia, pindah pekerjaan ke sektor lain yang lebih menguntungkan dan memberikan kesejahteraan. Tetapi fakta Survei Angkatan Kerja Nasional oleh BPS yang diadakan setahun setiap Pebruari dan Agustus menyatakan bahwa mutasi pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor yang lain diperkirakan tidak kurang dari 200ribu orang per tahunnya.
Lantas kenapa sebagai profesi menjadi petani tidak disukai bahkan dijauhi oleh kita? Setidaknya ada beberapa alasan yang bisa kita sebut adalah:
1. Petani identik dengan kemiskinan (struktural)
a. BPS mengungkap Maret 2012, 63 persen dari 29.13 juta penduduk miskin di Indonesia tingal di pedesaan, hal ini secara otomatis dipahami bahwa itu adalah petani dan buruh tani.
b. Profesor Sajogyo mengungkap bahwa kepemilikan lahan petani gurem di Indonesia adalah rata-rata kurang dari 0.5 hektar, dan setiap tahun meningkat sebesar 1.5% per tahun, dan jumlah buruh tani meningkat dengan laju 5% per tahun. Penguasaan lahan oleh Pemerintah lebih banyak diberikan kepada “masyarakat kota” dibanding kepada “masyarakat pedesaan.” Setiap tahun puluhan ribu hektar lahan sawah berubah fungsi menjadi pemukiman, kawasan industri/pabrik-pabrik, kota mandiri, dan bahkan tempat bermain golf.
2. Petani identik dengan rendahnya pendidikan
Sebagai akibat poin-1 di atas, generasi yang lebih berpendidikan tidak akan memilih profesi petani, sehingga profesi petani adalah pilihan yang terpaksa untuk yang berpendidikan rendah dan orang tua-orang tua. Data BPS berdasarkan Sensus Pertanian 2003) mengungkap bahwa 80 persen dari petani kita hanya menamatkan pendidikan paing tinggi setingkat sekolah dasar (SD). Tingkat pendidikan yang tinggi berkorelasi positif dengan tingkat produktivitas yang tinggi dengan aplikasi teknologi pertanian yang tepat guna.
3. Kita Suka Yang Instan dan Gampang
Kebijakan pembangunan ekonomi mulai meninggalkan sektor pertanian dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan yang penuh ketergantungan pada impor. Ini adalah kebijakan yang mudah dengan mengimpor kita tak perlu bekerja keras untuk memproduksi sendiri kebutuhan keseharian kita. Mengimpor berarti membeli, tidak punya uang ya kita hutang. Ini pakem pemerintah kita sejak runtuhnya Orde Baru. Negara kita lebih suka mengimpor beras, kedelai, gula, sayuran, daging, padahal kita mempunyai sumber daya alam yang luar biasa banyak, demikian juga luas lahannya. Dan lebih buruknya kita menyadari akan melimpahnya sumberdaya alam yang kita miliki ini. Kita malas saja tidak mengerjakannya dengan berbagai alasan.
Krisis ekonomi yang terjadi berkali-kali menunjukkan dan membuktikan bahwa sektor pertanianlah sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap krisis ekonomi yang terjadi di banding dengan sektor-sektor lain. Tapi, kita menganak-tirikan sektor pertanian ini. Jika tak diperbaiki dengan semangat kerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri, sebentar lagi kita tidak hanya mengimpor produk pertanian, bahkan juga akan mengimpor petani untuk memproduksi kebutuhan kita. Dan akhirnya petani asli Indonesia akan menjadi kenangan. Asyik diceritakan saat kita makan.
sumber
tambahan yang lain gan
Quote:
Pada awal tahun 1980 hingga tahun 1990an, banyak pakar mengatakan jika jumlah mayoritas penduduk di Indonesia dikatakan mayoritas berprofesi sebagai seorang petani.
Namun berdasarkan pengamatan saya dan logika berfikir saya, data tersebut diatas harus perlu direvisi dan terus diperbaiki. Karena menurut saya jumlah petani di Indonesia dari tahun ke tahun dipastikan terus menurun.
Memang saya tidak bisa memberikan data kongkritnya terkait penurunan jumlah petani di Indonesia. Tapi secara logika berfikir saya dan pengamatan yang terjadi, maka sangat mudah bagi kita untuk mengetahui jika jumlah petani di Indonesia dari tahun ke tahun dipastikan terus dan akan terus menurun.
Beberapa bukti dan logika berfikir yang saya maksud diantaranya yaitu semakin berubahnya fungsi lahan persawahan dibangun menjadi rumah, industri, pabrik, ruko, dan yang lainya.
Terkait kondisi tersebut pasti di sekitar anda juga bisa anda lihat secara nyata bukan?
Kita sering melihat sawah-sawah yang dahulu kita lihat setiap pinggiran jalan, kini sawah-sawah tersebut sudah berubah menjadi bangunan rumah, ruko, pabrik, dan lainya.
Dengan hilangnya dan berubahnya lahan yang tadinya sawah kemudian berubah menjadi rumah, pabrik, ruko, dan lainya, itu berarti petani yang tadinya mengolah sawah tersebut entah beralih profesi jadi apa kita tidak tahu.
Bukti lain jika jumlah petani memang dari tahun ke tahun memang selalu menurun yaitu banyaknya anak petani yang tidak mau jadi petani.
Jumlah anak petani yang kemudian mau jadi petani bisa dipastikan anak petani tersebut pasti merupakan anak petani yang memiliki lahan banyak dan luas saja. Sedangkan petani-petani yang memiliki lahan pertanian sedikit bisa dipastikan malas untuk melanjutkan profesi sebagai petani melanjutkan profesi orang tua yang berprofesi sebagai petani.
Dari dua data dan fakta dari kondisi tersebut sudah bisa memberikan gambaran kepada kita bahwa jumlah petani semakin lama semakin menurun.
Jika kita ingin menyebut penyebab dari kondisi tersebut diatas tentunya terlalu banyak. Tapi dari banyaknya penyebab tersebut, yang paling sangat disepakati yaitu terkait tidak adanya jaminan kesejahteraan terhadap profesi petani.
Hingga detik ini, kesejahteraan profesi petani masih menjadi urutan dibawah dibandingkan dengan profesi yang lain.
Jika profesi, guru, PNS, Buruh, Karyawan kantor, Dokter, dan profesi-profesi yang lain semuanya memiliki aturan dan jaminan yang lebih jelas dibandingkan dengan petani.
Berbeda dengan petani yang kesejahteraanya hanya ditentukan oleh para petani itu sendiri. Selebihnya, kesejahteraan petani hanyalah sebatas wacana dan selalu jadi alat kampanye politik yang strategis untuk mencari simpatik.
Lihatlah saat para politikus-politikus busuk berkampanye, pasti didalamnya tidak pernah lepas selalu dan selalu melibatkan janji ingin mensejahterakan petani.
Tapi lihatlah fakta, berkali-kali kampanye diadakan dan terpilih berganti-ganti presiden, tapi berkali-kali pula jaminan kesejahteraan untuk petani tetap mimpi.
Saya sendiri termasuk anak yang terlahir dari seorang anak petani dan keturunan petani, dan saya merasakan bagaimana rasanya menderitanya menjadi seorang anak petani.
Hal itu kenapa yang kemudian saya tidak ingin menjadi petani dan justru ingin belajar tentang TI (Teknologi Informasi). Alasanya sederhana, saya ingin merubah saya dan keluarga saya menjadi lebih baik. Dan cara yang paling sederhana yaitu dengan cara tidak menjadi seorang petani.
Selama pemerintah negeri ini khususnya mereka para menteri yang menangani bidang pertanian dan perdagangan merupakan orang-orang yang “bodoh” dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan para petani bahkan malah sibuk membuat kebijakan import pangan dan import sapi bahkan sampai korupsi, maka selamanya pula tidak akan ada lagi kisah anak petani yang ingin menjadi petani.
Jika negeri kita merupakan lahan yang tandus dan gersang seperti padang pasir, mungkin wajar semua produk-produk pertanian dan pangan kita import. Tapi jika negeri ini teramat sangat subur tapi kok masih tetap import produk pangan dan produk pertanian, tidakkah itu “KEBODOHAN” yang nyata dari para pengelola negara?
[URL="http://aribicara.blogdetik..com/ketika-anak-petani-tidak-mau-jadi-petani"]sumber[/URL]
Namun berdasarkan pengamatan saya dan logika berfikir saya, data tersebut diatas harus perlu direvisi dan terus diperbaiki. Karena menurut saya jumlah petani di Indonesia dari tahun ke tahun dipastikan terus menurun.
Memang saya tidak bisa memberikan data kongkritnya terkait penurunan jumlah petani di Indonesia. Tapi secara logika berfikir saya dan pengamatan yang terjadi, maka sangat mudah bagi kita untuk mengetahui jika jumlah petani di Indonesia dari tahun ke tahun dipastikan terus dan akan terus menurun.
Beberapa bukti dan logika berfikir yang saya maksud diantaranya yaitu semakin berubahnya fungsi lahan persawahan dibangun menjadi rumah, industri, pabrik, ruko, dan yang lainya.
Terkait kondisi tersebut pasti di sekitar anda juga bisa anda lihat secara nyata bukan?
Kita sering melihat sawah-sawah yang dahulu kita lihat setiap pinggiran jalan, kini sawah-sawah tersebut sudah berubah menjadi bangunan rumah, ruko, pabrik, dan lainya.
Dengan hilangnya dan berubahnya lahan yang tadinya sawah kemudian berubah menjadi rumah, pabrik, ruko, dan lainya, itu berarti petani yang tadinya mengolah sawah tersebut entah beralih profesi jadi apa kita tidak tahu.
Bukti lain jika jumlah petani memang dari tahun ke tahun memang selalu menurun yaitu banyaknya anak petani yang tidak mau jadi petani.
Jumlah anak petani yang kemudian mau jadi petani bisa dipastikan anak petani tersebut pasti merupakan anak petani yang memiliki lahan banyak dan luas saja. Sedangkan petani-petani yang memiliki lahan pertanian sedikit bisa dipastikan malas untuk melanjutkan profesi sebagai petani melanjutkan profesi orang tua yang berprofesi sebagai petani.
Dari dua data dan fakta dari kondisi tersebut sudah bisa memberikan gambaran kepada kita bahwa jumlah petani semakin lama semakin menurun.
Jika kita ingin menyebut penyebab dari kondisi tersebut diatas tentunya terlalu banyak. Tapi dari banyaknya penyebab tersebut, yang paling sangat disepakati yaitu terkait tidak adanya jaminan kesejahteraan terhadap profesi petani.
Hingga detik ini, kesejahteraan profesi petani masih menjadi urutan dibawah dibandingkan dengan profesi yang lain.
Jika profesi, guru, PNS, Buruh, Karyawan kantor, Dokter, dan profesi-profesi yang lain semuanya memiliki aturan dan jaminan yang lebih jelas dibandingkan dengan petani.
Berbeda dengan petani yang kesejahteraanya hanya ditentukan oleh para petani itu sendiri. Selebihnya, kesejahteraan petani hanyalah sebatas wacana dan selalu jadi alat kampanye politik yang strategis untuk mencari simpatik.
Lihatlah saat para politikus-politikus busuk berkampanye, pasti didalamnya tidak pernah lepas selalu dan selalu melibatkan janji ingin mensejahterakan petani.
Tapi lihatlah fakta, berkali-kali kampanye diadakan dan terpilih berganti-ganti presiden, tapi berkali-kali pula jaminan kesejahteraan untuk petani tetap mimpi.
Saya sendiri termasuk anak yang terlahir dari seorang anak petani dan keturunan petani, dan saya merasakan bagaimana rasanya menderitanya menjadi seorang anak petani.
Hal itu kenapa yang kemudian saya tidak ingin menjadi petani dan justru ingin belajar tentang TI (Teknologi Informasi). Alasanya sederhana, saya ingin merubah saya dan keluarga saya menjadi lebih baik. Dan cara yang paling sederhana yaitu dengan cara tidak menjadi seorang petani.
Selama pemerintah negeri ini khususnya mereka para menteri yang menangani bidang pertanian dan perdagangan merupakan orang-orang yang “bodoh” dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan para petani bahkan malah sibuk membuat kebijakan import pangan dan import sapi bahkan sampai korupsi, maka selamanya pula tidak akan ada lagi kisah anak petani yang ingin menjadi petani.
Jika negeri kita merupakan lahan yang tandus dan gersang seperti padang pasir, mungkin wajar semua produk-produk pertanian dan pangan kita import. Tapi jika negeri ini teramat sangat subur tapi kok masih tetap import produk pangan dan produk pertanian, tidakkah itu “KEBODOHAN” yang nyata dari para pengelola negara?
[URL="http://aribicara.blogdetik..com/ketika-anak-petani-tidak-mau-jadi-petani"]sumber[/URL]
Quote:
itu semua yang selama ini ane renungin gan, sebagai seorang anak petani desa ane sendiri juga bingung harus gimna nyikapinya gan?
ane butuh pendapat2 dari kaskuser yang tentunya lebih luas pemikirannya dari ane, yang hanya anak kampung dan miskin pengetahuan ini.
ane juga minta maaf kalo ada tulisan yang kurang berkenan, dan tulisannya masih acak kadul kagak karuan.
ane butuh pendapat2 dari kaskuser yang tentunya lebih luas pemikirannya dari ane, yang hanya anak kampung dan miskin pengetahuan ini.
ane juga minta maaf kalo ada tulisan yang kurang berkenan, dan tulisannya masih acak kadul kagak karuan.
Seperti biasa gan, belum afdol kalau Picture di bawah ini tidak di Gubris










Quote:
KUNJUNGI JUGA THREAD ANE YANG LAIN GAN!!!
Hukuman untuk Koruptor di Berbagai Negara yang Membuat Koruptor Jera
ORANG MISKIN DI CINA VS ORANG MISKIN DI INDONESIA
20 Penemuan benda-benda sederhana yang sangat berguna, cekidot gan!
Selamat senja pak karuptor yang budiman nan bajingan,,,
Patung Pancoran Dan Kisah Sedih Dibalik Pembuatannya
Tokoh-tokoh Yang Seharusnya Dicontoh Pejabat Indonesia
Hukuman untuk Koruptor di Berbagai Negara yang Membuat Koruptor Jera
ORANG MISKIN DI CINA VS ORANG MISKIN DI INDONESIA
20 Penemuan benda-benda sederhana yang sangat berguna, cekidot gan!
Selamat senja pak karuptor yang budiman nan bajingan,,,
Patung Pancoran Dan Kisah Sedih Dibalik Pembuatannya
Tokoh-tokoh Yang Seharusnya Dicontoh Pejabat Indonesia
Diubah oleh abma.lanank 06-04-2014 20:59
0
17.8K
Kutip
167
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan