Gelap Hanya pendar lampu baca yang temaram menemani duduk bersimpuh gua malam ini. Setelah tunai dua rakaat Tahajud di sepertiga malam yang terakhir, gua mulai berdoa, memohon kepada Allah untuk dimudahkan segala usaha, khususnya urusan perkara Marcella. Kepada yang Maha Memiliki. Pagi itu, sete
Yaloooooohhh fatih udh punya adek blm bang? 😆 Maminya ogah, satu aja ngga bisa diem, kayak belatung nangka
“Dimakan rip…” Bang Boi kembali mempersilakan gua menyantap pisang goreng yang baru saja dihidangkan oleh istrinya; Sofia. Gua mengangguk, lalu menyambar sepotong pisang berbalut tepung berwarna kuning keemasan, samar masih terlihat uap panas dipermukaannya. “Panas bang…” Gua mengelu...
bang booooonnnn.... ya ampun akhirnya lanjut lagi ceritanya. dari gw masih punya anak atu ampe skrg udah 2 bang nungguin kelanjutan cerita ini. 😍😍😍 Buset
Coba konsep garden party aja kalau mau simpel. Undangan cukup keluarga besar. Cari resto yang ada garden/mini hallnya, beli paket untuk sekian ratus orang. Udah beres. Itu dengan catatan kita gak mengharap "amplop" dari tamu undangan, karena yg diundang terbatas. Ini kalo kata bokap gua
Mendengar ucapan Marcella membuat perasaan gua nggak menentu. Sesuatu yang sudah sangat lama kita berdua abaikan. Siap nggak siap, Mau nggak mau, kita berdua sama-sama tau bahwa kita akan sampai kesini, ke titik ini. Pikiran gua mulai melayang, membayangkan ujung dari percakapan ini. Perkataan B...
Jarak dari tempat kost Marcella ke gedung tempat kami ber-kantor nggak begitu jauh. Ya kira-kira 7 menit-an kalo naek motor, jika ditempuh dengan berjalan kaki, mungkin bisa memakan waktu 2 kali lipatnya. Bisa jadi 4 kali lipatnya kalo pake mampir ke tukang nasi uduk yang memang banyak bertebara...
Ketiga ujung jemari gua tak merasakan adanya denyut di nadi Opa, suara parau menyerupai dengkuran yang sebelumnya keluar dari bibirnya pun perlahan menghilang. Gua menjatuhkan diri dilantai, disebelah ranjang tempat gua merebahkan tubuhnya. “Inna Lillahi wa inna ilayhi raji’un” gua mengguma...
“Cakep gak rif?..” Marcella bertanya sambil melangkah kedepan. Ia lalu memandang kearah layar laptop yang menampilkan dirinya tengah berpose dengan menggunakan mukena. “Cakep..cakep..” gua menjawab kalem, mencoba terlihat cool namun gagal. Karena nggak lagi sanggup menahan ekspresi kegir...
Saat tengah menyiapkan lampu, yang ternyata tak semudah kelihatannya. Marcella datang mendekat, ia berlutut disebelah gua dan berkata; “Ada yang bisa dibantai?” emang bener, dibantai bon..... pa dibantu.... Dibantu, cuma diplesetin jadi ,dibantai
Gua duduk disebuah sofa berbahan kulit sintetis berwarna hitam, didalam ruang studio berukuran 4x6m. Sofa panjang yang gua duduki berada disalah satu sudutnya, sejajar dengan pintu yang merupakan satu-satunya akses keluar-masuk studio ini. Marcella duduk disebelah gua, matanya yang sipit memanda...
“Gimana bang menurut lu?” Gua bertanya setelah menjelaskan masalah hubungan gua dengan Marcella. Bang Boi nggak langsung menjawab. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian melemparkan puntungnya keluar, ke balkon melalui sela-sela jendela yang terbuka. Di balkon sempit, yang biasa digunaka...