Gua berniat melanjutkan tidur begitu selesai bicara dengan Marshall melalui sambungan ponsel. Tapi, karena banyak pikiran yang berseliweran di kepala, mata ini rasanya enggan terpejam. Gua bangkit, melipat selimut dan merapikan ranjang, sesuatu yang jarang sekali gua lakukan. Selesai beres-beres ...
“Mah” sapa Marshall sambil berdiri, diam, mematung. Sementara pandangannya ia arahkan ke arah nyokapnya. “Baru bangun?” Tanya nyokapnya yang lantas menerobos, mendekat ke arah anaknya itu. Ia lalu berjinjit dan mengecup kedua pipinya. Sementara bokapnya ikut di belakangnya, nggak mendek...
Sepagi ini, di awal hari, hati terasa berat dan gelisah saat tau bahwa Marshall akan bertemu dengan Tata. Rasanya campur aduk, dan sulit dijelaskan; ada perasaan sakit layaknya ratusan jarum menusuk ke dalam hati, menciptakan rasa cemburu yang tak terbendung. Ya walaupun gua lah yang mengusulkan ...
“Lo pikir gampang?” Tanyanya. Aku menggelengkan kepala. “... Kalo gampang, mungkin gua udah mengikhlaskan lo sejak dulu, Ta” Tambahnya. Aku mematikan rokok, dengan menekan puntungnya pada asbak di atas meja, kemudian berdiri. ‘Jika, lebih lama di sini, di sisinya, bisa-bisa bakal pecah ...
Ponselku berdering, layarnya menampilkan nama Poppy. “Halo…” Sapaku, menjawab panggilan sambil berjalan ke arah agen sembako. “Kalian ngobrol apa aja?” Ia langsung bertanya tanpa menjawab sapaanku. “Kenapa nggak tanya Marshall aja? Aku yakin kok abis ini dia pasti telpon kamu…” Uc...
“Sal…” “Ya, Tan…” “Kalau memang mungkin, coba berikan kesempatan sekali lagi Tata untuk mencoba. Tapi, seandainya kemungkinan itu sudah sama sekali nggak ada. Tolong bantu dia keluar dari rasa sesalnya…” Ucap Bunda. “Saya nggak bisa janji Tan, tapi bakal tetap saya usahakan”...
Aku baru saja selesai meminum obat saat tiba-tiba ponselku bergetar, aku melirik ke arah layar ponsel yang menampilkan pesan dari Marshall. Sambil tersenyum, kuraih ponsel dan mulai membaca pesan darinya; ‘Ta, besok ada waktu sebentar?’ ‘Kenapa?’ Balasku. ‘Mau ngobrol, bisa?’ Marshall...
Setengah jam berikutnya, gua sudah berada di area stasiun Pondok Ranji. Jam menunjukkan hampir pukul 6 sore. Suasana ramai dan riuh memenuhi udara. Terlihat lebih banyak penumpang berjalan keluar dari peron; sepertinya para pekerja yang baru saja pulang dari kantornya di Jakarta. Sementara, sisi ...
Gua nggak menjawab, hanya terdiam lalu meraih bungkusan rokok miliknya yang berada di atas meja, meraihnya sebatang, kemudian menyulutnya. Nggak mendapat jawaban dari gua, Tata kembali bertanya; “Udah lama?” “Lumayan, ada kali sejaman” jawab gua. “Hah!?” Tata terlihat terkejut, kemudi...
Poppy berjalan di depan gua sambil tangannya meniti railing pembatas jembatan penyeberangan menuju ke stasiun. Dengan kemeja hijau, tas selempang dan rambut yang diikat ke atas ia terlihat cantik walau dari belakang. Ia berbalik. Bagaikan adegan slow motion pada film-film romansa, ia menatap gua da
Begitu tiba di rumah, terlihat Ketu tengah ngobrol berdua dengan Nina di teras depan rumah. “Kak..” Sapa Nina sambil mengangguk begitu melihat kehadiran gua. Gua balas mengangguk dan tersenyum, kemudian masuk meninggalkan mereka berdua. Ketu menyusul gua masuk ke dalam dan mengikuti gua hingg...
“Paling nggak nginep lah, Sal. Mamah kan masih kangen” Pinta nyokap sambil memeluk lengan gua. Ia lalu berpaling ke arah Poppy. “… Poppy juga nginep aja. Mau ya ya?” Tanyanya, masih dengan menggunakan nada bicara yang sama. Mendapat pertanyaan seperti itu Poppy langsung menatap gua, s...
Sosoknya nyaris nggak berubah, ia masih nampak seperti wanita yang gua ingat; Mamah. Matanya mulai basah, dan tanpa bicara ia langsung berlari ke arah gua dan memberikan pelukan, tangisnya pun pecah. Ragu, gua balas memeluknya. Namun, begitu kami berdua sudah berpelukan ada rasa haru yang luar bi...
Sementara tangan kanannya menyeka sisa air mata, tangan kirinya ia gunakan untuk membelai rambut rambut gua. Untuk pertama kalinya lagi, gua merasakan kenyamanan yang luar biasa yang nggak pernah gua rasakan sebelumnya. Menangis sepuasnya, tanpa harus merasa malu, lalu tenggelam di dalam pelukannya
Kereta yang membawa kami tiba di stasiun Palmerah. Gua meraih tangan dan mengajaknya keluar dari gerbong kereta. Barulah setelah kondisi dirasa cukup aman dan kondusif, gua melepas genggaman tangan. Bukan, bukan gua nggak mau terus menggenggam tangannya. Hanya takut jika ia merasa nggak nyaman ata
Gua menatapnya saat memberi jawaban. Ekspresinya tenang dan datar, seakan tanpa sudah terbiasa menghadapi kejadian tadi. Menyadari hal tersebut gua lantas kembali memukulnya. Marshall berhenti makan, dan menatap gua sambil mengernyitkan dahi; bingung kenapa gua memukulnya. “Lo udah biasa?” Ta...
Gua berjalan ke sisi peron, turun dan mulai menyeberangi rel. Sementara, Marshall terlihat masih berdiri, pandangannya ia turunkan ke bawah, menatap ke arah rel kereta api. Saat gua mendekat, barulah ia berpaling menatap ke arah gua. Kini, dari posisi sedekat ini, gua dapat melihat luka-luka di wa
Menyadari kehadiran gua disana, seluruh kru dan si fotografer seketika langsung berhenti bercanda. Mereka diam dan langsung fokus kembali ke pekerjaan. “Screen test ya!” Seru perempuan berlanyard biru seraya membimbing gua ke tengah-tengah set. Salah seorang kru, berjalan mendekat ke arah gua...