[GULING KELINCI] Sudah sejak SMP kupendam perasaanku padanya . . .
1 | Cinta Pertama
Jatuh cinta pada pandangan pertama?
Klise, bukan?
Itulah yang terjadi pada Verlice, seorang gadis SMP kelas 8. Selama ini dia hanya tertarik pada dua hal: belajar dan membaca novel. Dia belum pernah tertarik pada lawan jenis sebelumnya.
Hingga suatu hari di suasana sekolah yang ramai, Verlice tengah asyik menikmati novel barunya sambil berjalan menuju taman. Bahkan ketika ia sedang menaiki tangga, ia tetap fokus dengan novel yang sedang dibacanya, dasar bandel! Tiba-tiba terjadilah kejadian yang tidak diinginkan, Verlice tersandung dan hampir terjatuh. Untungnya, seorang siswa berhasil menahannya dari belakang dan menyelamatkannya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya cowok itu dengan lembut.
"Aku baik-baik saja—" jawab Verlice, lalu perlahan ia melihat wajah cowok yang menyelamatkannya. Wajah cowok tersebut sangatlah . . . tampan! Matanya yang indah, ditambah senyumnya yang ramah, juga posturnya yang tinggi dan atletis untuk anak seusianya.
Mata mereka saling bertemu. Jantung Verlice tiba-tiba berdetak kencang dan pipinya merah bak kepiting rebus!
"Hati-hati ya lain kali." Kata cowok itu sambil tersenyum.
"Terima kasih, Kak."
Wah, itulah Verlice pertama kalinya merasakan jatuh cinta: pada pandangan pertama! Sejak saat itu, Verlice sulit melupakan wajah cowok itu. Wajahnya selalu terbayang-bayang dalam pikirannya. Saat makan, tidur, atau belajar, wajah cowok itu selalu saja muncul di benaknya.
"Nama cowok itu Nelven Algoris! Dia siswa kelas 9, kakak kelas kita," kata Lori Acasia, sahabat Verlice. "Hampir seluruh gadis di sekolah ini tergila-gila padanya. Lo kemana aja?"
"Termasuk lo donk?" ledek Verlice.
"Gua mah sadar diri, Verlice. Yakali cowok seganteng Nelven mau ama gua!" Verlice merasa seperti seluruh dunia berputar di sekitar Nelven. Dia merasa gelisah dan tidak sabar untuk melihatnya lagi.
Beberapa minggu kemudian, Verlice melihat seorang ibu cleaning service yang sudah tua sedang membersihkan halaman, tapi anak-anak nakal menyenggolnya hingga jatuh lalu kabur sambil cekikikan. Verlice berniat menolong ibu tua itu, tapi ternyata seorang anak lain sudah membantunya duluan.
"Ibu nggak apa?" tanya Nelven ramah sambil membantunya berdiri. Nelven memang anak yang baik dan ramah terhadap siapa saja. Verlice semakin jatuh cinta. Ia berharap suatu hari akan ada lagi kesempatan emas buat bisa berkenalan dengannya.
Namun, selain tampan dan baik hati, Nelven juga anak yang unik. Verlice pernah tak sengaja melihatnya saat acara camping sekolah, Nelven sedang dijewer oleh Pak Guru karena bersikeras membawa guling pribadinya: guling biru dengan gambar kelinci.
"Camping kok bawa guling!" Pak Guru menjewer kuping Nelven.
"Saya nggak bisa tidur tanpa guling ini, Pak!" Nelven bersikeras.
Sahabat-sahabat Nelven mentertawakannya, tapi Nelven cuek.
"Saya dan guling ini satu kesatuan, Pak! Kita nggak akan bisa dipisahkan!"
"Ya sudah, suka-sukamu lah nak! Aneh-aneh bae, dasar!" Pak Guru hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Verlice yang mengintip dari jauh di balik pohon tersenyum melihat kejadian itu.
Lalu beberapa saat kemudian ketika tahun pelajaran berakhir, Nelven lulus SMP lalu pindah ke sekolah SMA. Tentu saja Verlice sedih karena nggak akan pernah bisa melihat Nelven lagi di sekolah itu. Bulan-bulan awal kelas 9, semangat Verlice belajar menurun.
Suatu hari sewaktu ada acara keluar sekolah, dari dalam bus Verlice kebetulan melihat Nelven keluar dari sekolah SMA Mutiara Bangsa. Ah! Ternyata sekarang Nelven bersekolah di sana. Verlice memutuskan nanti akan bersekolah di sana juga.
Tapi ternyata untuk masuk ke SMA swasta tersebut sangatlah ketat dan susah. Sekolah tersebut terkenal akan syarat akademiknya cukup tinggi. Karena itu, Verlice membulatkan tekad untuk belajar mati-matian agar bisa diterima di SMA tersebut. Nelven menjadi motivasi belajar Verlice.
"Jangan terlalu dipaksain, Ver!" kata ibu Verlice. "Masuk sekolah lain juga nggak masalah kan?"
Beliau tidak tega melihat Verlice belajar siang dan malam hanya demi masuk ke SMA Mutiara Bangsa.
"Nggak, Ma! Pokoknya aku harus masuk ke sekolah itu. Mama dukung Verlice dong harusnya!"
"Iya Mama mah pasti dukung kamu, Verlice. Mama bikinin susu coklat ya!"
"Makasih, Ma!"
Tahun 2017, Verlice lulus SMP dan akhirnya berhasil masuk ke SMA Mutiara Bangsa.
Verlice sangat senang hari pertama dia masuk SMA kelas X, yang berarti Nelven saat ini kelas XI. Verlice berharap suatu hari dia akan mendapat kesempatan emas untuk berkenalan dengan Nelven.
Di mana ya Nelven? Pingin sekali Verlice melihat Nelven. Sudah lama sekali. Seperti apa rupanya sekarang. Beberapa saat kemudian ia akhirnya melihat Nelven di lapangan basket. Wah ternyata Nelven makin tinggi . . . dan makin tampan!
Cewek-cewek terlihat histeris melihat Nelven memainkan bola basket tersebut. Nelven sangat populer. Bahkan sampai dibentuklah NFC alias Nelven Fans Club, saking banyaknya cewek yang tergila-gila padanya.
Bahkan Verlice baru mengetahui info dari sahabatnya, Lori, bahwa ternyata Nelven selain aktif di klub basket, dia juga adalah ketua OSIS! Mengetahui semua hal itu Verlice jadi semakin tidak percaya diri untuk berkenalan dengannya.
Beberapa bulan setelah Verlice masuk ke sekolah itu, ada buku novel yang sedang populer kala itu. Judulnya Solstice, karya Skyga Elnix. Verlice nggak sabar membacanya, lalu dia bergegas menuju ke perpustakaan sepulang sekolah.
Ah, akhirnya Verlice menemukan buku novel tersebut, Solstice! Ketika dia hendak meraih buku itu, tidak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan siswa lain yang juga hendak meraih buku itu, yang tak lain dan tak bukan: Nelven Algoris.
"Ah maaf," kata Verlice malu-malu.
"Tidak apa," kata Nelven lembut. "Kamu juga mau baca buku ini? Solstice?" Verlice mengangguk.
"Ah sayang sekali novelnya hanya ada satu. Kalo gitu kamu baca aja duluan, aku nggak buru-buru kok." kata Nelven lagi.
Verlice malu sekali, selalu berbicara menunduk. Dia tidak berani melihat wajah Nelven yang ganteng itu, saking naksirnya.
"Ah a-aku juga tidak mendesak kok, Kak! Kakak aja yang baca, maaf sekali lagi." Verlice terlihat kikuk, mukanya merah seperti kepiting rebus. Saking nggak kuatnya dia malu, Verlice buru-buru pamit dan kabur. "Aku ada urusan. Selamat membaca, kak!"
"Hahahaha!" Lori Acasia, sahabat Verlice ketawa cekikikan mendengar cerita konyol itu. Berbeda dengan Verlice yang hobi membaca novel, Lori ini hobinya memasak. Dia sering banget eksperimen makanan, dan Verlice adalah pencicip setianya.
"Ngakak! Verlice, oh Verlice. Lo sadar gak sih, lo tuh cewek paling cantik satu sekolah! Semua cowok bilang demikian!" kata Lori berusaha menyemangati Verlice yang terlihat lesu, sambil menyuguhkan pudding fla kesukaan Verlice. "Kenapa lo segitunya nggak pede sih? Heran!"
"Bego lo, Verlice! Padahal tadi dapat kesempatan emas, harusnya lo bisa bergantian baca tuh novel bareng dia. Lo bisa sekalian minta nomornya!"
"Ah! Jadi gua nggak bakal ada kesempatan buat kenal dia lagi?" Verlice tampak putus asa, nafsu makannya menjadi hilang meski ada makanan favorit ada di depan mata.
"Ya kalo lo mau, lo ajak kenalan dia langsung lah!"
"Hey, ini sudah tahun 2017, zaman kesetaraan gender! Apa salahnya cewek ngajak kenalan cowok duluan!"
"Bwee, dasar feminazi!" ledek Verlice.
"Biarin!" Lori mencubit pipi Verlice. "Buruan abisin tuh pudding gua!"
Beberapa bulan kemudian, kesempatan emas itu tak kunjung datang. Nelven sangat sibuk dengan segala kegiatannya. Lori terus membujuk dan memaksa Verlice untuk menyatakan perasannya pada Nelven.
"Nanti keburu dia lulus, tau rasa lo! Udah buruan jadian biar lo bisa bahagia menjalani kehidupan SMA bersama pangeran Nelven! Ceilehh!!!
"Iya iya iya, kasih gua waktu deh!" balas Verlice. "Janji nggak lama lagi gua temuin tuh Nelven. Kasih gua beberapa hari untuk mengumpulkan keberanian."
"Beneran ye! Jangan lama-lama!"
Lalu suatu hari, Verlice sudah membulatkan tekad akan menyatakan perasaannya pada Nelven hari itu juga. Verlice sudah mempersiapkan segalanya beberapa hari sebelumnya. Mulai dari ke salon untuk facial dan juga creambath, lalu cari parfum terbaik biar wangi. Pakai anting dan kalung yang cantik.
"Kasih blush on dikit biar pipi lo cantik!" Tambah Lori di toilet wanita. Verlice berusaha menolak.
"Nanti kalau gua dibilang menor gimana! Uda nggak usah!"
"Dikit aja!" Lori memaksa."Nah! Done!"
Verlice menatap diri di cermin.
"Cantik kali lo Verlice. Nelven dijamin auto jatuh cinta!"
Lalu siang itu sewaktu jam istirahat sekolah, Lori memberanikan diri menghampiri Nelven di ruang OSIS. Waktu itu Nelven lagi sendirian di sana.
"Kak Nelven, maaf ganggu. Boleh minta waktunya sebentar?"
"Ada apa ya?"
"Ada temenku yang pingin banget ngomong sama kakak, please? Lima menit aja kok."
"Hmm sepulang sekolah aja gimana? tanya Nelven. "Lagi banyak yang harus dikerjakan sekarang."
"Baiklah, sepulang sekolah ya Kak. Di taman belakang gimana?"
"Ok, pulang sekolah di taman belakang ya," kata Nelven.
"Sendirian ya kak! Jangan ajak siapa-siapa. Penting!"
"Okay!"
Lalu siang itu, Nelven menunggu di taman kecil belakang sekolah, tidak ada siapa-siapa di situ hanya dia sendirian.
Lori sibuk menghalangi beberapa siswa yang hendak ke taman, tidak boleh ada penganggu.
"Tuh Nelven udah nungguin di sana. Nunggu apalagi? Buruan gih!"
Jantung Verlice berdetak kencang.
Dug . . . Dug . . . Dug . . . Dug . . .
"Ah please Lori! Apa boleh lain kali aja? Gua nggak siap, please!" wajah Verlice merah dan sangat panik.
"Nelven marah lah nanti! Kan udah janji, ayolah! Ini kesempatan emas, lo mau sia-siain lagi?"
Wajah Verlice makin memerah.
"Ka-kalo gitu, temenin gua, Lori. Please! Gua nggak mungkin melakukannya sendirian. Jantung gua udah mau copot nih, liat!"
"Bego! Mana ada nyatain cinta berdua. Ada-ada aja nih anak! Ok lah gua temenin lo sampe ke gerbang doang!"
Lalu Lori menyeret Verlice sampe ke gerbang.
"Dah, good luck!"
"Eh eh eh gua nggak siap!" kata Verlice makin panik.
Lalu Lori mendorong Verlice keras hingga maju beberapa langkah dan Nelven langsung melihatnya dari jauh.
"Oh tidak, Nelven melihatku!" Teriak Verlice dalam hati. Lalu sambil malu-malu Verlice perlahan berjalan mendekat ke arah Nelven.
"Ah, kamu yang di perpustakaan kapan hari kan?"
"Iya bener, kak—"
"Yang memanggilku kemari itu kamu kah?"
Verlice mengangguk. Jantungnya berdetak sangat kencang.
Dug . . . Dug . . . Dug . . . Dug . . .
"I-iya . . . Aku mau ngomong sesuatu sama kakak."
Nelven menatap Verlice dan menunggu. Verlice dengan wajah memerah, melanjutkan . . .
tiap baca bergenre romance pasti nama2 karakternya nama2 eropa, apa sengaja biar imajinasi pembaca menuju ke negara tersebut, atau ini cerita terjemahan?
"Aku akan ikut pertukaran pelajar beberapa bulan lagi," Nelven terlihat ragu menjelaskannya. "Jadi, aku nggak mungkin bisa berpacaran karena aku sekarang lagi sibuk untuk mempersiapkan itu, ditambah lagi banyak kegiatan OSIS, jadi—"
Tak kuasa menahan air mata, Verlice menangis lalu pergi meninggalkan Nelven.
Malam itu Verlice menangis dalam pelukan Lori.
"Padahal pertukaran pelajar itu hanya setahun. Gua mau kok nunggu. Tapi dia nolak gua gitu aja. Hiks. Bahkan dia nggak kasih tau bagaimana perasaannya ke gua?" Verlice sesenggukan.
Lori menepuk-nepuk Verlice.
"Iya sabar-sabar. Mungkin aja dia beneran lagi sibuk. Kalau emang jodoh, suatu hari kalian pasti bersama kok. Sabar ya—". Lori jadi nggak tega melihat Verlice.
Baru kali ini Verlice merasakan sakitnya ditolak cowok. Hatinya hancur. Pertukaran pelajar atau apapun alasannya, tetap aja sangat menyakitkan.
Sejak saat itu, tiap kali Verlice melihat Nelven di sekolah, dia selalu menghindar karena malu. Verlice berusaha keras melupakan cintanya pada Nelven walau sulit. Dia sibuk membaca novel dan belajar, tapi tetap aja Nelven selalui menghantui hidupnya.
Hingga suatu hari, tepatnya 10 Desember pertukaran pelajar itu terjadi. Nelven akan berangkat ke Taiwan sore itu.
Verlice sedang membaca novel di kasurnya siang itu.
Tiba-tiba ada telpon masuk ke ponsel Verlice, yang ternyata Lori, lalu dia mengangkatnya.
"Heh! Lo nggak balas chat gua seharian ye! Bikin khawatir aja!" seru Lori. "Lo nggak kenapa kenapa kan?"
"Nggak apa, Lor. Gua lagi asik baca novel aja. Jangan khawatir, gua kaga kenapa-napa kok."
"Lo tau kan hari ini hari apa?"
"Ya, gua tau. Hari ini Nelven berangkat ke Taiwan. Beneran gua nggak kenapa kok. Justru malah bagus kan kalo jarak kita semakin jauh. Berarti gua nggak bakal liat dia lagi di sekolah, jadi makin cepet gua bisa ngelupain dia."
"Lo cantik, Verlice. Banyak sekali cogan-cogan lainnya di sekolah yang ngejar-ngejar lo, malah lo tolakin semua. Coba lah lo buka hati ke salah satu dari mereka."
"Iya Lor, hati gua blum siap."
"Ya gua tau, hati lo emang susah banget ya move on dari Nelven. Gua percaya kok lo pasti bisa melalui semua ini, okay?"
"Iya siaap. Tenang aja Lor! Gua sekarang sibuk baca buku untuk mengusir rasa cinta nggak jelas ini hehe."
"iya ah f**k love! Masih banyak cara lain untuk kita bahagia...!"
"Misalnya?"
"Pudding party!!!"
"Hahaha ayok."
"Aseek. F**k love! Teriakin donk bareng-bareng!"
"F**k love!!!" Verlice dan Lori berteriak bersamaan, lalu cekikikan. "Hahaha!"
"Gua ke sana ya?" tanya Lori. "Tadi pagi gua bikinin pudding fla sukaan lo ini! Yok lah kita habisin sambil ngegosip bareng!"
"Serius lo buatin tuh pudding lagi? Padahal kemarenan gua udah mohon-mohon lo nya selalu mager!"
"Hahaha, demi elo nih! Ya uda gua ke sana. Tunggu yak!"
"Siap!! Buruan!"
Verlice tersenyum . Baiklah, katanya dalam hati. Nggak boleh sedih lagi. Hari ini kami harus bahagia. F**k love! Banyak cara untuk bahagia.
Satu jam berlalu, Verlice malah keasyikan baca novel sampe lupa mandi. Dia jadi nggak sabar nungguin Lori dateng. "Uda sejam kok ngga datang-datang. Niat ga sih, Lori?"
Verlice menghubungi Lori, tapi tidak diangkat-angkat juga.
Ding! Dong!
Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Ada suara mobil menunggu di luar.
Ding! Dong!
"Iya sebentar!" Verlice buru-buru ke bawah. "Lama banget lo asli, udah sejam!"
Verlice membuka pintu dan terkejut melihat . . . Nelven sedang berdiri di depan pagar!?
"H-hai," balas Verlice kikuk dan mukanya langsung memerah. Lalu dengan menunduk dia berjalan ke arah pintu pagar.
'Ada apa ini. Kenapa Nelven kemari? Mana aku belum mandi pula?' kata Verlice dalam hati sambil membuka pintu pagar.
"Ah sorry. Apa aku mengganggu?" tanya Nelven.
"Nggak, Kak! Kok Kakak bisa tau rumahku ya?"
"Ah, temen kamu Lori yang ngasih tau alamat kamu."
"Oh—" Verlice masih tersipu malu. Ternyata ini ulah Lori. "J-jadi ada apa, Kak?"
"Aku mau menuju ke bandara sekarang. Sore ini aku brangkat ke Taiwan."
"Ah iya Kak. Good luck ya, Kak Nelven!"
"Ah, terima kasih." Nelven tampak malu-malu juga. Terjadi keheningan sesaat.
"Umm, semoga selamat di tujuan, Kak," Verlice terlihat bingung mau ngomong apa. "Ohya, soal kapan hari, maaf. Aku—"
"Aku juga suka kamu, Verlice—" kata Nelven.
"Ha—?" Verlice kaget.
"Bahkan sudah sejak lama. Sejak SMP."
"Se-sejak SMP?" Verlice makin bingung.
"Pertama kali aku melihatmu waktu SMP. Kamu duduk di kantin membaca buku. Kamu cantik sekali. Aku sudah sejak lama pingin ngajak kamu kenalan, tapi aku nggak brani. Aku ini pemalu. Aku terus mengumpulkan keberanian. Hingga suatu hari aku bertekad untuk ngajak kenalan kamu."
Verlice makin gugup mendengar semua pernyataan itu. Lalu Nelven melanjutkan.
"Kamu inget waktu pertama kali di SMP kita bertemu, di tangga sekolah?"
"Ha—? Kak Nelven inget itu?"
"Waktu itu aku mengikutimu dari belakang sambil masih memikirkan kata-kata apa yang pas untuk berkenalan denganmu. Tapi tiba-tiba kamu tersandung dan aku langsung reflek menahanmu."
Verlice tidak bisa berkata apa-apa. Nelven tersenyum, lalu melanjutkan.
"Aku ingin kenalan lebih lanjut waktu itu. Tapi ternyata aku nggak berani nanya lebih. Jadi hari itu aku pamit." Nelven menggaruk kepalanya tersipu malu. "Lalu nggak lama kemudian, aku lulus SMP. Aku sedih waktu harus meninggalkan SMP dan nggak pernah bisa lihat kamu lagi. Aku menyesal karena tidak berani ngajak kamu kenalan sebelumnya."
"Lalu suatu hari waktu aku kelas XI. Aku kaget banget liat kamu di sekolah! Waktu itu kamu sedang berjalan menuju ke perpustakaan. Aku langsung mengikutimu dan ingin mengajakmu ngobrol."
"Ah, dan waktu itu Kak Nelven lagi cari novel Solstice?"
"Itu hanya alasanku saja
"Itu hanya alasanku saja. Aku sengaja pilih buku yang sama denganmu biar bisa ngobrol. Aku senang sekali waktu akhirnya kita bisa ngobrol hari itu." Nelven tiba-tiba menunduk. "Tapi kamu malah terburu-buru pergi meninggalkanku. Aku kira kamu nggak suka aku."
"A-aku malu sekali waktu itu, Kak Nelven, maafkan aku."
"Hahaha, jadi kita sama-sama pemalu ya." Nelven tertawa. "Bagaimana novel itu? Kamu sudah habis baca?"
"Ah, Solstice? Sudah, Kak!"
"Bagus banget ya ceritanya. Gara-gara kamu aku jadi penasaran. Aku hari itu beneran pinjem tuh novel. Seharian aku baca sampe kelar."
"Ah. Begitu ternyata." Verlice masih terlihat canggung.
Keduanya hening sejenak.
"Ah, dan soal siang itu. Waktu teman kamu Lori nyuruh aku ke taman sepulang sekolah." Nelven menjelaskan. "Aku awalnya nggak tau kalo dia teman kamu. Aku kaget waktu kamu tiba-tiba muncul menghampiriku. Aku malu banget dan nggak siap."
Nelven menatapku dengan wajah memelas.
"Aku jadi panik, kacau. Bingung bagaimana harus merespons pernyataan kamu. Jadinya aku malah salah ngomong, terkesan nolak kamu. Aku nggak bermaksud—"
"Maaf banget sudah bikin Kakak nggak nyaman hari itu." balas Verlice.
"Aku yang minta maaf, Verlice. Dan biarkan aku yang menjawab pernyataanmu hari itu sekarang, sekali lagi."
Nelven memandang wajah Verlice dengan lembut. "Aku suka kamu."
Verlice meneteskan air mata.
"Tunggu aku, Verlice. Setahun lagi aku akan kembali dari Taiwan. Lalu saat itu, aku akan resmi nembak kamu. Kita akan pacaran, bagaimana?"
Verlice tak kuasa membendung air matanya, dia menangis, dan mengangguk.
Nelven ingin sekali memeluk Verlice rasanya, tapi nggak berani.
"Jangan nangis Verlice—"
Verlice menggelengkan kepalanya. Lalu tersenyum.
"Aku akan nunggu Kak Nelven."
DING DING!
Mobil Nelven membunyikan klakson-nya.
"Iya Pa, aku ke sana!" teriak Nelven.
Tiba-tiba ada anak kecil turun dari mobil.
"Kak, buruan nanti pesawatnya terlambat kata Mama!"
"Hahaha," Verlice yang awalnya menangis jadi ketawa melihat tingkah laku anak tersebut. "Wah cakep sekali, itu adik kamu?"
"Iya, namanya Higo. Dia masih SD. Pasti gedenya ganteng tuh kayak aku haha!" canda Nelven, lalu dia menoleh ke arah Higo.
"Iya dek, Kakak segera ke sana, ya?" Nelven memberi isyarat Higo untuk kembali masuk ke dalam mobil. Lalu Nelven kembali menatap Verlice sambil tersenyum.
"Ah Cholilah. Aku jalan dulu ya, Verlice."
Verlice mengangguk.
"Jaga dirimu baik-baik," kata Nelven lembut.
"Kakak juga. Baik-baik di sana. Sampai ketemu lagi."
"Sampai ketemu lagi."
Nelven mengangguk terseyum, lalu perlahan berjalan pergi ke arah mobil. Dari pagar, Verlice menahan air matanya memandang Nelven, rasanya tak ingin berpisah. Nelven sudah semakin dekat dengan mobilnya, tiba-tiba Verlice memberanikan diri memanggilnya.
"Kak!"
"Ya?" Nelven menoleh.
Verlice berlari dan memeluknya. Tak kuasa menahan bendungan air mata, dia menangis di pelukan Nelven. Lalu mereka bertangis-tangisan.
"Terima kasih Verlice, sudah suka sama Kakak."
Verlice mengangguk.
"Ah iya tunggu sebentar, Verlice!" ujar Nelven.
Nelven menghampiri mobilnya, dan mengeluarkan guling kelinci favoritnya.
"Verlice, guling ini adalah harta karunku, pemberian almarhum kakek. Aku belum pernah sekalipun berpisah dengannya, kemana-mana aku selalu membawa guling ini tanpa malu. Guling ini adalah salah satu benda terpenting di hidupku. Bisakah aku titipkan ini ke kamu?"
"Ta-tapi. Ini terlalu berharga—"
"—Ini bukti bahwa aku serius padamu. Aku akan kembali padamu. Guling ini adalah aku. Tolong jaga dia baik-baik ya?" pinta Nelven.
Verlice mengangguk, menerima guling itu dan memeluknya. "Pasti, kak."
Lalu sore itu Nelven terbang ke Taiwan. Verlice tidur sambil memeluk erat guling kelinci tersebut, malam itu dia tersenyum bahagia.
Satu tahun berlalu. Lori ngajak Verlice ke bioskop untuk nonton film Solstice yang lagi viral tahun itu.
"Nelven seharian nggak ada kabar. Sebel!" Kata Verlice sambil memasuki ruang bioskop bersama Lori.
"Wah nggak ada orang?" kata Lori. "Kita yang pertama datang deh ini. Haha!"
"Gapapa sih daripada terlambat."
Lalu mereka menghampiri kursi tengah lalu duduk.
"Eh bentar gua ke toilet dulu." kata Lori tiba-tiba
"Lah ikut!" pinta Verlice. "Masa gua sendirian di sini?"
"Gua bentar doank. Lo jagain lah belanjaan kita bentar. Ribet!"
"Okay okay!"
Lalu Verlice menunggu Lori sambil memainkan ponsel.
Tiba-tiba terdengar langkah laki dari arah belakang kursinya, menurunin tangga perlahan.
Verlice panik, lah tadi bukannya masih kosong? Verlice mencoba memastikan dan menoleh perlahan. Lalu dia melihat sosok itu, seorang pria berdiri membawa buket bunga mawar putih.
Verlice menitikkan air matanya dan langsung berlari memeluk pria tersebut.
"I miss you, Verlice." kata pria tersebut.
"I miss you too, Kak Nelven."
Rupanya Nelven menyewa satu studio bioskop tersebut dan sejak tadi bersembunyi di kursi belakang. Lalu hari itu mereka resmi jadian, hari-hari yang bahagia akan mereka lalui bersama.
Delapan tahun kemudian, suatu peristiwa besar akan menguji cinta mereka. Kisah Verlice dan Nelven akan berlanjut di novel: TIME TRAP!
See you there! Thanks sudah membaca hingga akhir.
Aku menatap sosok seorang pria yang sangat sempurna . . . , di depan cermin!
Ya itulah diriku, seorang pemuda tampan berusia 25 tahun. Tak bosan-bosannya aku mengagumi kesempurnaan diriku di depan cermin. Kupandang tubuh atletis yang sudah lama kupahat, juga parasku yang jauh di atas rata-rata. Aku jadi jatuh cinta pada diriku sendiri!
Oh iya, namaku Lunario, biasa dipanggil Luno.
Selain fisik yang sempurna, aku sudah menjadi miliarder sejak usia 16 tahun. Aku sangat populer. Semua orang ingin menjadi sahabatku, para wanita tergila-gila padaku. Aku adalah definisi dari pria sempurna.
Malam itu kuletakkan secuil kertas LSD (Lysergic Acid Diethylamide / narkotika golongan satu) di bawah lidah lalu kupuaskan diriku dengan berhalusinasi. Ah, sungguh hidup yang menyenangkan! Kuambil gepokan uang di laci lalu menghempaskannya ke angkasa dari balkon kondominium mewahku.
Aku senang sekali membuang-buang uang. Uang adalah sesuatu yang terlalu mudah kudapatkan, apa salahnya kubuang-buang sesuka hatiku? Mau kubuang kek, mau kubakar kek. Uang-uangku, suka-sukaku, kan?
Aku melemparkan lagi gepokan demi gepokan uang ke udara. Ini adalah hobi yang hanya bisa dilakukan oleh milyarder sepertiku. Tanpa terasa puluhan juta telah kubuang begitu saja. Ribuan lembar seratus ribuan rupiah melayang-layang di angkasa.
Hujan uang! Yeaaah! Akulah Dewa Uang, kuhadiahi kalian wahai para manusia hujan uang dari langit! Pastilah nanti para rakyat jelata akan memungutnya dengan sangat bahagia. Hahaha!
Harta, Tahta, Rupa, Wanita.
Aku punya segalanya! Hahaha!
Ini semua berkat kemampuan superku untuk memainkan waktu: aku bisa mengembalikan diriku ke masa lalu sesuka hatiku, tanpa batas. Karena itulah aku bisa mendapatkan hampir apapun yang aku inginkan. Sangat menyenangkan bukan?
Tapi di tengah kesempurnaan hidupku, hanya ada satu momok masalah yang harus kuhadapi: seorang wanita cantik misterius yang terus-terusan berusaha membunuhku.
Siapa sebenarnya psikopat gila ini? Kenapa dia tak henti-hentinya memburuku dari waktu ke waktu?
"Ka-Kamu ini makhluk apa sebenarnya!?"
Mari kita mulai segala kegilaan kisahku ini dari awal. Kisah ini terjadi di masa depan, kira-kira 20 tahun mendatang dimana aku masih belum punya kekuatan mengulang waktu. Waktu itu aku masih berusia 45 tahun, sosok pria dewasa pramuriadang dengan hidup yang menyedihkan. Masa dimana aku menyerah dengan kejamnya kehidupan dan memutuskan untuk mengakhiri hidupku.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.