Kaskus

Story

chiiammu02Avatar border
TS
chiiammu02
Villa Berdarah
Villa BerdarahDokpri

Villa Berdarah

Penulis : Chii Ammu

Cerita Fiksi
Kategori : Mistery, Pembunuhan
Cerpen


Prolog

”Ayah ... Ibu, Aku—” Suara gadis itu terhenti. Di lihatnya darah di mana-mana, hingga pelipisnya terciprat darah segar dari seseorang lelaki menyuruhnya untuk pergi. Kakaknya mati tepat di depan matanya langsung.

”Tangkap gadis itu!”

Tubuh gadis itu terpaku, sorotan matanya berubah menghitam. Sementara pembunuh kakaknya itu sudah mulai beberapa langkah mendekat.

”Bagus! Bila kamu tidak takut mati. Aku sangat senang mengantar nyawamu menyusul ayah, ibu dan kakakmu itu.”

Pria dengan kumis tipis mulai melayangkan pisau ke arah leher gadis berusia 12 tahun yang menghadangnya.

”Apa?” Pria itu terkejut saat pisaunya di tahan oleh lengan gadis itu.

Dan darah pun mengalir di sela kulit lengannya akibat menahan pisau. ”Bukan aku yang akan mati tapi kalianlah!”

***

Dua belas tahun kemudian.

”Laura, besok kau ikutlah bersama kami liburan semester kali ini? Kita ke puncak menginap di villa,” Ajak Lila.

”Hmm ... ” Laura hanya berdehem berpikir ulang.

”Ayolah, Laura kita liburan! Refressing otak, belajar terus mumet dah!” Rayu Fika dengan wajah manis di depan Laura.

”Ayolah… Laura nggak mungkin kita bertiga? Kan kalo ada kamu, ada yang jagain kita,” senggol Chaca.

”Lah di kira saptam kali, jagain kalian?” gerutu Laura di ajak untuk sekedar jagain mereka bertiga.

”Please ...!!” Ucap ketiga remaja itu sambil menatap Laura berwajah manis. Seperti kucing yang membulatkan iris matanya.

Laura yang baru menyedot orange juice jadi menahan minuman segar itu ke tenggorakan karena melihat tingkah ketiga temannya yang selalu kompak merayu.

”Hmm, baiklah besok aku ikut kalian menginap di villa. Kompak sekali kalian merayuku,” jawab Laura sedikit terpaksa. Padahal dia tak ingin pergi ke mana-mana selama liburan.

”Yeey, besok janjian di rumahku yah!” Senang Lila berhasil membuat Laura ikut ke Villa.

”Oke deh!” jawab Fika ajungkan jempol.

Laura pun kembali melanjutkan menyedot orange juice yang baru saja di pesan untuk menyegarkan tenggorokan yang kering dari tadi. Dia baru saja lari dari mimpi buruk. Suara panggilan itu terus menganggu kehidupannya.

***

Hari yang di tunggu telah tiba semua berkumpul di rumah Lila. Perlengkapan paling ramai si Fika.

”Fik, ngapain pula kau bawa boneka dolpin?” tanya Chaca.

“Biar ada tambahan bahan tidur,” balas Fika memeluk dolpin nama si boneka lumba-lumba birunya.

”Bilang aja kalo takut bisa peluk boneka, iya kan? Udah bilang aja takut kan kalo di tinggal sendirian,” celetuk Lila.

”Apaan sih! Lila. Awas aja kalo kerjain ....”

”Kalian ini, kadang kompak kadang berubah kucing dan tikus,” Laura memotong percakapan mereka berdua. ”Kapan jalannya kalo begini terus, Lila, Fika.”

Lila dan Fika hanya nyengir melihat Laura sudah jenuh lihat mereka berdua bertengkar mulut.

“Ayo, sepertinya mobilnya sudah di bersihin sama Pak Karjo.” Lila pun keluar membawa perlengkapan di susul Fika, Laura dan Chaca di belakang.

“Non, mobilnya sudah bersih silakan di pakai,” Pak Karjo mepersilakan Lila dan teman-temanya masuk ke dalam mobil.

“Curang nih pada! Masa aku yang nyetir sih?” keluh Lila yang kalah cepat masuk mobil.

“Mobilnya siapa?” tanya Chaca melongo keluar.

“Seharusnya yang punya mobil duduk manis, kalian yang nyetir,” kata Lila manyun.

“Itu mah maunya, nyetir aja kalo capek gantian,” sambung Fika.

Lila menghela napas dan terpaksa harus mengemudikan mobil. “Oya, Pak karjo nanti bilang ayah sama ibu yah, aku sudah jalan bareng teman-teman. Terima kasih,” Lila tak lupa untuk berpesan pada sopir pribadi ayahnya sebelum melajukan mobil.

Butuh 4 jam perjalanan menuju Villa yang sudah di sewa Lila seminggu yang lalu untuk liburan bersama ketiga temannya. Lembayung mulai tampak di langit senja menghantar mereka tiba di Villa. Laura terkejut saat tiba di Villa yang telah di sewa temannya itu.

“Lila, bagaimana Villa ini bisa kau temukan?” tanya Laura.

“Bagus ya? Beruntung aku duluan dari pada yang lain, pamanku membelinya.” Lila tersenyum bangga karena bisa merayu pamannya untuk mengizinkan menepati Villanya.

“Selamat datang nona-nona, aku penjaga Villa ini. Saya Friska, jika ada bantuan silakan panggil saya,” sambut Friska si penjaga Villa.

Lila membalas sambutan Friska. “Ou, baiklah mbak Friska. Terima kasih.”

Semua pun masuk ke dalam Villa yang lumayan besar. Laura menengok ke sudut ruangan yang menyimpan rahasia. Langkahnya perlahan mendekati pintu kamar yang menarik perhatiannya. Di depan pintu tangan seorang memegang pundaknya. Laura menengok ke samping di mana pundaknya ke pegang.

”Laura itu bukan kamar untuk kita, kamar kita ada di atas, yuk!” kata Lila mengajak Laura untuk ikut ke atas.

“Oya ..., pamanmu itu bagaimana bisa membeli Villa ini?” tanya Laura penasaran.

“Pertanyaanmu Laura, penasaran saja. Villa ini di tinggal pemiliknya dan karena itu pengacara keluarga pemilik Villa ini menjualnya, sebab daripada telantar, gitu deh cerita kudengar,“ Lila menjelaskan tentang Villa ini bisa di beli Pamannya.

Suara deritan di atas terdengar mengilukan di gendang telinga. Laura dan Lila mempercepat langkah menaiki anak tangga. Terlihat salah satu pintu kamar terbuka lebar, Lila mendekati kamar tersebut.

Hening. Tidak ada seorang di kamar, udaranya dingin serta tercium aroma bunga mawar mengelilingi ruangan.

“Perasaanku kok jadi nggak enak, yah?“ bisik Lila.
“Fika sama Chaca kemana? Kok nggak kelihatan?“

“Kyaa ....!!“ Suara teriakan menggema seisi Villa.

“Itu suara teriakan Fika, kan?” tunjuk Laura lalu bergegas lari.

Fika memeluk boneka Dolpin dengan mata terpejam dan meringkuk di sudut ruangan tengah. Tubuhnya menggigil ketakutan.

“Fika, buka matamu! Apa yang terjadi?“ kata Laura menemukan Fika meringkuk di dekat guci besar ruangan tengah.

“Laura, Lila ...” Fika bangkit memeluk lengan Laura, dolpin pun terlepas. “Aku takut sekali! Tadi ada han--tu di sini, Chaca juga hilang tiba-tiba,” terang Fika masih ketakutan.

“Maaf, ada apa? Barusan saya dengar suara teriakan dari sini,” tanya Friska mendengar keributan.

“Teman kami habis lihat hantu tadi,” Jelas Lila.

“Han-tu?”

”Mbak Friska lihat teman kami yang agak sedikit tomboy?”

”Sepertinya saya lihat, dia ke ke luar barusan.”

Tiba-tiba lampu ruangan padam.

”Aaa ..., Laura.” Fika mmengeras pegangan di lengan Laura.

“Ini kenapa lampunya mati? Padahal sudah bayar listrik. Biar saya cek dulu di luar ya nona,” kata Friska lalu melangkah keluar.

“Laura, itu apa putih-putih?” Bibir Fika gemetar, matanya fokus pada satu titik.

“Putih-putih apa? Kamu lihat apa sih Fika?” tanya Lila greget karena membuatnya ikut merinding.

“Di belakang!”

Laura dan Lila saling menatap sebelum menoleh ke belakang. Lalu perlahan-lahan geserkan kepala mereka ke arah belakang untuk melihat apa yang Fika bicarakan.

HUAAA!! ... Suara lengkingan membelah kegelapan.

“Aaargh!“ Lila dan Fika teriak histeris.

Laura ikut terkejut namun suaranya terkunci beda dengan reaksi kedua temannya yang bisa mengeluarkan kekagetannya. Ada yang janggal, Laura kemudian mencoba menatap lekat-lekat sosok putih di depannya. Seketika itu lampu kembali menyala.

“Chaca,“ panggil Laura menebak.

“Bukan Chaca!“ balasnya.

Lila pun melempar bantal sofa ke sosok di depannya saat Laura menebak siapa yang sembunyi di kain putih itu, “Sial lo Cha! Takutin kita! Bikin jantungan,“ geram Lila.

”Aduh ....” rintih Chaca.

Fika pun tak mau kalah, dia pun melempar dolpinnya, “Kebangetan! Jadi anak, kalo aku pingsan gimana?“

Chaca membuka kain putih yang menutupinya lalu menunjukkan deretan giginya.

“Mana ada hantu nampakin kaki bagusnya?” papar Laura saat melihat sosok hantu kakinya tampak ke tanah.

“Ekh, kamu juga yang buka pintu kamar atas?“ tuduh Lila.

“Iya, Cari kain ini untuk nakutin kalian. Haha ... Ekh si Laura tahu aja kalo aku hantunya,“ gelak tawa Chaca berhasil menakutin teman-temannya.

“Tapi, ... aku cium aroma bunga mawar di kamar itu. Chaca kan nggak pernah pake parfum bunga mawar,” pikir Lila sambil mengarahkan jari telunjuknya ke sisi dahinya.

“Mungkin ada tanaman bunga mawar di halaman belakang Villa,” kata Laura.

“Sudah akh, Lila jangan cerita-cerita! Kita tidur aja, Yuk!” gerutu Fika mulai merasa takut.

“Belum jam malam kali!” cetus Chaca.

“Tau akh!“ kesal Fika memalingkan muka lalu pergi.

“Mau kemana? Emangnya berani jalan sendirian?”
Laura dan Lila menatap langkah Fika yang melangkah meninggalkan mereka bertiga. Saat itu juga Fika berhenti ketika di tanya Chaca serta melihat sesuatu yang mengalir di sisi tembok berwarna merah tua.

“Li--la apa tembok Villa ini luntur?” tanya Fika tidak masuk akal.

“Tanya apaan sih, Fik?“ balik tanya Chaca aneh.

Laura ... Laura ... Laura.

Suara itu kembali terdengar di telinga Laura dan sangat jelas. Suara yang terus menganggu hari-harinya. Di Villa inilah suara itu berasal dan membawa ke bayangan masa tragedi itu terjadi.

“Lampunya udah nyala lagi, maaf ya.” Suara Friska dari arah pintu dapur membuyarkan suasana tegang.

“Mbak Friska, Apa tembok ini modelnya … Kok pada—” Cat merah tua yang luntur itu tiba-tiba hilang saat dilihat kembali di suasana terang.

“Iya, kenapa ya nona?“

“Tuh, kan! Gara-gara kamu, Cha. Fika jadi berilusi horor gitu tuh?“ celetuk Lila menyalahkan Chaca.

“Oya, nona-nona tadi listriknya turun karena itu mati lampu.”

“Iya, mbak. Itu kerjaannya teman kita satu ini! Iseng nakutin kita, maaf ya.” Lila menunjukan jarinya ke Chaca.

“Ouh, iya nggak apa-apa. Saya kembali ke kamar, jika ada bantuan ke kamar saya saja," ujar Friska pamit.

“Iya, terima kasih ya mbak.”

***

Laura terpaku di ambang pintu rumahnya. Darah tercecer di lantai teras tepat dia berdiri.

”Aaaargh ...!!” Suara teriakan terdengar dari dalam rumah. Laura segera membuka lebar pintu di depannya setelah mendengar teriakan seorang. Deg! Jantungnya berhenti sesaat. Suaranya tertelan dan matanya tak bisa dipercayai. Gadis cantik yang sekian lama dia tunggu, yang begitu menyayangi kini menjadi monster di mata Laura.

Gadis yang memiliki hubungan darah itu telah membuat dinding-dinding rumah penuh darah dan menghunjam pisau berkali-kali di dada pamannya sendiri.

“Laura,”

Laura meremas rambutnya, “Tidak! Tidak! Tidaaakk mungkin!”

“Laura … Laura.”

”Tidaaak!!”

Napas Laura tersengal-sengal seperti bak lari maraton. Bayangan itu datang lagi dalam mimpinya.

Laura ... Laura ... Laura. Suara itu lagi-lagi menggema di gendang telinganya. Laura mengikuti suara panggilan itu hingga berdiri di depan kamar yang menarik perhatiannya. Kamar itu terkunci.

'Nggak bisa di buka.' batin Laura.

”Kyaaa ...!!”

”Aaargh ...!!”

Suara keributan di pagi buta mengalihkan penasaran Laura pada kamar itu dan berlari ke asal di belakang halaman yang di duga suara kedua temannya Fika dan Lila.

“Fika, Lila,” panggil Laura mencari temannya.

Bau amis tercium. Tangan Laura tak sengaja menyentuh dinding untuk meraba mencari panel menyalakan lampu ruangan. Tangannya terasa lengket dan bau anyir darah.

“Apa ini? Darah? Dindingnya berdarah?” kejut Laura.

”Laura ... ” panggil Chaca.

“Dinding Villa ini berdarah dan ... Lila, Fika hilang!”

“Kita harus mencarinya!” sergah Laura memeriksa seisi ruangan bersama Chaca.

Laura melihat jejak darah di lantai dapur seakan ada yang menyeret sesuatu ke halaman belakang Villa. Lalu Laura mengikuti jejak darah itu.

”Lila ... Bangun Lila,” rintih Fika merangkul Lila.
”Fika,” panggil Laura menemukan mereka yang luka-luka serta berlumur darah. ”Apa yang tengah terjadi?” tanya Laura terkejut.

”Lila, apa yang terjadi padanya?” tanya Chaca sama terkejut melihat kedua temannya penuh luka.

Laura memeriksa denyut nadi Lila.

”Friska, Fris–kalah yang lakukan semua ini. Dia berusaha membunuh kita! Namun, ada seseorang ... Aku tak mengenalinya terlihat menyeramkan membawa Friska ke dalam Villa setelah memukulnya,” cerita Fika dengan nada lemah.

”Kita harus membawa Lila ke rumah sakit dan kamu juga Fika harus di obati!”

Laura dan Chaca menggopoh Lila ke dalam mobil Fika menyusul di belakang. Tanpa di sadari seorang perempuan berlumur darah memperhatikan mereka dari dalam Villa.

”Laura,” lirih perempuan itu.

Di rumah sakit. Laura dan Chaca penuh kegelisahan melihat kondisi Lila yang terluka parah. Fika pun sudah di obati, kening dan kaki kanannya di perban untuk menghentikan pendarahan.

”Aku tak tahu bagaimana lagi? mungkin saja aku dan Lila akan mati di sana bila seseorang itu tak menolong,” cerita Fika akan kejadian di Villa.

”Berarti di Villa ada orang selain kita dan apa maksud tujuan Mbak Friska itu membunuh?” selidik Chaca.

”Mungkin sulit untuk di percaya, ... Seharusnya dari awal kita tidak menginap Villa berdarah itu,” Laura angkat bicara melihat kejadian pada kedua temannya.

Chaca menatap Laura yang merunduk bersalah. Dia tak tahu maksud ucapan temannya. Sama hal dengan Fika yang tak paham yang di bicarakan Laura.

”Aku tak mengerti apa yang kamu bicarakan, Laura? Apa ... dari awal kamu tahu tentang Villa kita tempati?” tanya Chaca.

”Jadi, Kamu tahu Villa itu berdarah? Memakan korban? Dan, ... Jadi, waktu malam itu ketika Chaca menakuti-nakuti, aku tak salah lihat dinding Villa berdarah?”

Laura tak menjawab pertanyaan kedua temannya. Dia membisu. Berat untuk menceritakan dua belas tahun silam, kenangan yang mengerikan sepanjang hidupnya. Tapi, dia tak bisa terus mendiamkan pertanyaan kedua temannya itu apalagi Fika yang terluka.

“Villa itu dulu ... Rumahku. Sebelum pembunuhan itu terjadi, sebelum orang tuaku, kakak dan pamanku terbunuh.” Laura mulai bercerita tentang tragedi dua belas tahun lalu. “Darah di mana-mana dinding pun tak luput menjadi wadah cipratan darah mereka yang terbunuh. Aku yang saat itu berusia delapan tahun menjadi saksi mengerikan itu dan lari meninggalkan rumah serta kakakku menjadi monster di sana.”

”Kakak?” tanya Fika.

Terlintas suatu bayangan di pikiran Laura tentang kakaknya. Tanpa bicara sekata pun Laura bangun dari duduknya dan melangkah pergi.

”Laura, kamu mau kemana?” tanya Chaca.

Laura mengabaikan pertanyaan Chaca. Dorongan dalam dirinya untuk kembali ke Villa mencari perempuan yang di ceritakan Fika. Laura menduga perempuan itu adalah kakaknya. Laura ingin mengetahui semua maksud tujuannya melakukan pembunuhan keluarganya sendiri.

”Laura!”

”Ada sesuatu yang harus di selesaikan,” jawab Laura melangkah keluar ruangan.

”Cha, hentikan Laura!” kata Fika tiba-tiba. ”Dia pasti mau ke Villa itu!” Duga Fika ketika mendengar kata 'di selesaikan' dalam jawaban Laura.

”Apa?”

”Aku yakin Laura akan ke sana untuk menyelesaikan sesuatu yang terjadi pada Villa itu. Mencari jawaban,” Terka Fika.

Mendengar penjelasan Fika, Chaca bergegas mengejar Laura. Tapi, Chaca tertinggal jauh. Laura sudah naik ojek untuk ke Villa.

Bayangan itu memanggil dirinya untuk kembali ke Villa. Setiba di Villa, Laura memasuki ruangan tengah keluarga. Terutama kamar di bawah tangga yang awal datang menarik penasaran. Apa sebenarnya di balik kamar terkunci itu. Bau anyir begitu menyengat di penciumannya, kakinya terasa lengket. Genangan darah kental tepat di bawa kakinya. Laura melangkah mundur, menatap darah kental di lantai.

”Aku tahu kau ada di sana!”

”Laura.”

”Kenapa? Kenapa kau lakukannya?!”
Pintu kamar itu pun terbuka, sosok perempuan berlumur darah berdiri di depannya.

“Laura, adikku ...” lirih perempuan.

”Jangan sebut aku adik! Kau bukan kakakku! Tak sudi menjadi adik pembunuh keluarga sendiri dan ... Seorang baru saja di bunuh,” cetus Laura dengan sorotan mata benci.

”Perempuan itu pantas di bunuh! Dia berusaha membunuh kedua temanmu, Laura,” jawabnya menjelaskan sebenarnya terjadi.

”Lalu, mengapa membunuh Ayah, Ibu, kak Lauren dan serta paman Bara? Apa salah mereka?!”

”Kakak hanya membunuh orang yang telah membunuh kedua orang tua kita dan kak Lauren.”

Laura terdiam mendengar jawaban perempuan itu. Tak sangka selama ini penglihatannya salah tentang peristiwa dua belas tahun silam karena melihat Lusia menusuk Paman Bara.

“Sejak kau pergi meninggalkan kakak dan menghilang. Kakak tak tahu harus kemana dan bagaimana mencarimu. Kakak mengurung diri di kamar ini. Terus menunggu, berharap kau kembali ke rumah. Kakak sayang sekali padamu, Laura. Dan hanya kamu satu-satunya kakak punya. Kakak terus menunggu kamu hingga pengacara paman Bara datang dan menjual rumah kita, namun pengacara itu telah menawarkan pada orang yang salah hingga mati di bunuh oleh pria itu.”

Laura tak percaya apa yang di ceritakan kakaknya itu. Tidak mungkin paman Lila melakukan hal itu, membunuh pengacara paman Bara dan mendapatkan rumahnya tanpa bayar.

”Laura, kau harus tahu. Perempuan kakak bunuh adalah suruhan paman temanmu untuk membunuh kalian, terutama temanmu bernama Lila agar anaknya mendapat harta warisan satu-satunya dari kakeknya.”

”Apa?” kaget Laura mendengar penjelasan itu.

”Iya. Laura ketahuilah teman pamanmulah di balik rencana pembunuhan itu dan ... Bukan kakak tapi Paman Bara serta rekannya membunuh keluarga kita. Dan, kakak sudah membalasnya, membunuh mereka semua.” Terang Lusia menyunggingkan senyum puas telah membunuh semua para pembunuh itu

Laura tak bisa berkata apa-apa. Lisannya seakan terkunci rapat untuk bicara. Jawaban Lusia telah membungkam pertanyaan terus menghantui hidupnya. Laura terpaku menatap Lusia yang sudah dua belas tahun terakhir tak pernah di lihatnya.

“Laura, kakak senang melihatmu kembali. Kau jauh lebih cantik dan berani dan di kelilingi teman-teman yang menyayangimu. Jadi, kakak tak perlu khawatir. Tapi ... Bolehkah kakak memelukmu untuk terakhirnya?” Lusia membuka tangannya hingga membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan hangat seorang yang ditunggu-tunggu.

Chaca melihat dan mendengar semua pembicaraan itu di ambang pintu. Laura sedang berhadapan dengan perempuan yang tampak menyeramkan, rambut yang agak mengembang dan tak tertata rapi sedang merangkul temannya.

“Kini, kau sudah tahu jawabannya tentang semua yang terjadi.” Perempuan itu memeluk Laura dengan mata berlinang. Namun, matanya tersorot kegelapan dan kosong.

”Kakak sayang kamu, Laura.”

Chaca tiba-tiba melepas pelukan perempuan itu dari Laura.

”Chaca!” kaget Laura.

”Laura, perempuan itu ....”

”Tolong bawa pergi adikku! Dan bakar rumah ini!” Pinta Lusia dan mengunci kamar.

Chaca menarik Laura keluar Villa yang sudah mulai di penuhi darah-darah dan bau anyir menusuk hidung.

”Chaca, kakakku masih di sana,” Laura berusaha melepas diri dari tangan Chaca.

”Tidak Laura, kita harus pergi! Dia sudah bukan kakak yang menyayangimu, dia Pembu-nuh!”

”Tapi kuharus ....”

”Kau tak dengar, Laura?! Aku harus membawamu pergi! Dan membakar Villa itu, kau dengar, kan!” teriak Chaca menghentikan Laura yang berontak.

Laura menjadi diam mendengar hal itu. Sebagian diri Lusia sudah menjadi berdarah dingin yang ingin membunuh. Ada jiwa lain yang merasuki ke tubuh Lusia sejak pembunuhan itu terjadi.

Baca juga Cerpen Horor : Bayangan Hujan

~ Tamat~


Hello readers... Makasih sudah mau baca karya tulisku😗 original dan asli.

Ditunggu Krisan dan kritik di kolom komentar 🤗
Diubah oleh chiiammu02 16-06-2020 15:10
noorman.arta.wAvatar border
nitajungAvatar border
081364246972Avatar border
081364246972 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
2.7K
18
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan