chiiammu02Avatar border
TS
chiiammu02
Bayangan hujan
Dokpri


Bayangan Hujan (Cerpen Fiksi)
Penulis : Chii Ammu
Kategori : Horror, Mistery, Pembunuhan.


Hari telah larut. Tanganku masih sibuk dengan pena. Menuangkan imajinasi ke dalam kertas. Kamar ini tak bisa mengajakku ke dunia mimpi pasalnya beda jauh dengan kamar kesayanganku di sana. Karena tugas ayah di pindahkan, kami pun ikut pindah rumah.

"Nila, kamu belum tidur?" Suara ibu yang tiba-tiba memecahkan keheningan, membuat pena ditanganku terjatuh. "Kau sedang apa, nak?" Sambung Ibu yang berdiri di ambang pintu.

"Ibu ngagetin saja, Nila nggak bisa tidur, ya ... Karena …," jawabku sambil memungut pena di lantai. Kuharap Ibu paham dengan kondisiku susah tidur pada suasana baru.

"Nanti juga biasa, cepat tidur! Besok 'kan Nila harus ke sekolah baru, nggak boleh terlambat," kata Ibu mengingatkan agar aku segera tidur.

"Iya, bu. Nila paksain tidur."

"Yauda, Ibu balik ke kamar, mimpi indah sayang."
Ibu kembali menutup pintu. Langkah kakinya terdengar sudah menjauh.

Aku memilih menetap duduk di kursi meja belajar, sesekali mengintip keluar jendela. Di luar hujan deras.

"Jam segini masih ada saja orang di luar, hujan-hujanan lagi," gumamku melihat sosok orang berjalan gontai membiarkan hujan membasahinya.

Aku menempelkan kulit pipi pada meja belajar, menikmati ritme hujan diluar.

***

"Nila bangun! Ayo , bangun ..." Seru Ibu membangunkanku.

"Hoaam …"

Semalam tanpa sadar aku tertidur karena lelah mencoret-coret kertas. Jiwa yang masih menggantung membuat aku memilih duduk di pinggir ranjang.

"Cepat mandi, habis itu sarapan," lanjut Ibu.

"Iya ..." Aku mengiyakan sambil melangkah gontai mencari handuk.

Setelah mandi dan berseragam. Aku berlari kecil ke ruang makan sambil menenteng ransel di pundak kiri. Ini hari pertamaku masuk sekolah baru.

"Siapa yang akan ngantar Nila ke sekolah? Harus beradaptasi lagi, deh!" Aku memandang Ayah dan Ibu yang sedang sarapan.

"Ibu yang akan ngantar," jawab ibu.

"Kamu ... Jangan nakal di sekolah baru nanti, jangan berkumpul sama anak-anak nakal, ya?!" Ujar Ayah mengingat apa yang pernah terjadi di sekolah dulu.

"Iya, yaah ..." jawabku. "Anak ayah ini kan anak baik-baik," senyumku manja.

"Yaudah, Ayah berangkat dulu, Bu ... Baik-baik ya sama Nila.” Selesai sarapan Ayah bergegas pergi pamit untuk jalan kerja. Seolah mengejar waktu. Seperti itu, Ayah selalu terburu-buru berangkat kerja tak boleh telat sedikit dengan jarum yang sudah ditentukan oleh arlojinya.

Ibu mengantarku ke sekolah baru dan mengurus berkas-berkas dataku di sekolah dulu.

"Pak, saya titip Nila di sekolah ini, sebelumnya saya mengucap terima kasih," tutur Ibu pada pria bertubuh tinggi dan tegap. Sebagian rambutnya memutih. "Nila, ibu hanya bisa temanimu sampai di sini, baik-baik ya di kelas baru," kata Ibu menyentuh pundakku dan tersenyum.

"Iya, bu. Ibu nggak usah khawatir, Nila kan udah besar," balasku dengan senyum dan yakin agar ibu tak begitu mengkhawatirkan diriku.

"Jangan buat ulah, ya?! Ibu dan ayah nggak mau dengar berita kenakalanmu, bila terjadi alat perlengkapanmu ibu berikan akan ibu tarik!" bisik ibu mengancam.

"Jangan, bu!" pintaku mengiba.

Ibu menatap tajam, "Jika begitu jangan bikin ulah?"

"Iya, bu."

Peristiwa itu membuat Ibu takut terulang kembali di sekolah baruku. Padahal bukan aku awal mulanya pertikaian itu terjadi. Aku benci di ganggu, gadis itulah mencari masalah hingga adu mulut terjadi dan berakhir di ruang Kepsek. Lagi, aku yang kena hukuman karena teman-teman gadis itu sengkokol menyudutkan aku yang salah. Cerita itu sudah berlalu ketika seminggu peristiwa itu terjadi ayahku di pindahkan ke kota lain. Kota yang asing untukku.

Aku mengikuti langkah Pak Heru nama Kepala Sekolah baruku menuju kelasku. Pintu pun di buka setengah, semua mata mengarah padaku. Pak Heru berbicara pada guru yang sedang mengajar kelas 2A.

"Nila, ini Pak Norman. Wali kelasmu serta guru sejarah, sekarang kamu bapak tinggal dengannya, semoga bisa adaptasi,” Papar Pak Heru mendoakan.

"Terima kasih, Pak." ucapku membungkuk.

"Nah, murid-murid kita kedatangan anak baru. Ayo, Nila perkenalkan dirimu," Ucap Pak Norman pada anak-anak di kelas.

Setelah pengenalan Pak Norman mempersilakanku duduk di bangku kosong.

"Hay, bolehkah aku duduk di sini?" sapaku pada gadis di sebelah bangku kosong.

"Pemilik bangku sebelahku sudah tiada, silahkan duduk," balasnya dingin.

Aku pun duduk dan meletakkan ransel ke pangkuan, mengeluarkan buku tulis ke meja. Masih berpikir arti perkataannya "Pemilik bangku sebelahku sudah tiada".

"Apa sebelumku, bangku ini ada yang tempati?" tanyaku.

"Kamu anak baru, dengarkan guru di sana, jangan ngobrol denganku," balasnya menatap ke depan memperhatikan pelajaran.

'Dingin sekali' batinku memandang ke depan perhatikan Pak Norman ceritakan sejarah para pahlawan.

***

"Aku Rey, mau istirahat bersama kami?" Seorang menghampiriku bersama ke empat temannya.

"Boleh," jawabku senang. Mataku melirik gadis disebelah yang bersifat sedingin es batu.

"Dia lebih suka berada di kelas daripada ke kantin bersama anak-anak.”

Belum kubicara salah satu teman Rey langsung bicarakan tentangnya.

"Apa ada yang ingin kau titipkan? Biar kubelikan," tawarku sebelum meninggalkannya.

"Terima kasih, aku nggak lapar.”

"Baiklah aku tinggal ke kantin." Aku pun melangkah pergi bersama mereka.

Di jalan kami mengobrol dan pengenalan untuk lebih akrab. Rey, Tasya, Kiran, Fay, dan Aurel. Mereka tampak sebuah genk girlies lalu pemimpinnya Rey.

"Sebaiknya kau pindah tempat duduk, deh? Jangan sebangku sama Natasya!" ujar Fay.

"Ouh, Natasya namanya," gumamku ketika Fay menyebut nama gadis di bangku sebelahku. "Kenapa, Fay?" tanyaku penasaran.

"Bisa jadi korban keduanya loh! Apalagi berteman denganya ... Ikh, nggak banget," kata Tasya berwajah bergidik.

"Karena kau masih baru, kita kasih tahu aja, jangan berteman dengan Natasya! Dia aneh tau!" Papar Rey melarang dekat dengan Natasya.

"Aneh kenapa?" Aku makin tak mengerti apa yang di bicarakan mereka berdua. Apa Natasya musuh mereka? Jika iya pantas reaksi mereka yang bersangkutan saling tidak suka dari sikap.

"Intinya jangan percaya sama yang dia ceritakan!" tegas Rey.

"Iya, lebih baik sama kita yang pasti lebih menyenangkan. Pulang sekolah bagaimana kita kumpul di rumahku? Kebetulan ayah ibuku pulangnya malam banget," ujar Fay mengajak semua kumpul dirumahnya.

"Hmm ... Maaf, aku tak bisa. Ibu akan menjemputku, lain kali aja," tolakku mengingat ini hari pertama di sekolah baru. Apalagi Ibu akan sendirian dirumah.

"Yaa ... Kan bisa bilang ke nyokap main sama kita, teman barumu?" ujar tasya.

"Bagaimana kalian yang main ke rumahku?" tawarku balik. Aku bisa kenalkan mereka pada Ibu.

"Ya ... Boleh," setuju Fay dan Rey.

"Maaf, kali ini aku nggak bisa ikut," Aurel angkat bicara. "Aku di hukum nggak boleh main sepulang sekolah," lanjutnya berekspresi sedih.

"Biasanya kau bisa melanggar?" tanya tasya heran.

"Uang jajanku akan di sita jika nggak nurut," jawab Aurel menunduk sedih.

"Nyokapnya nggak asyik nih! Yauda kita ..."

"Aku juga nggak bisa," potong Kiran.

"Sama juga?" tanya Rey.

"Ada acara keluarga."

"Yauda, kita bertiga saja kerumah Nila," kata Fay.

Bel istirahat telah habis. Semua murid di kantin bubar termasuk kami yang sudah selesai makan. Di kelas aku menemukan Natasya masih setia di bangku sambil memainkan pensil di lembaran buku. Aku pun duduk dan menoleh apa yang di goreskan Natasya.

"Kau suka gambar?" tanyaku melihat Natasya begitu serius menggambar secara detail.

Tak ada respon darinya. Suaraku seperti angin lewat saja.

"Namamu Natasya, kan?"

"Pasti tau dari mereka." Kali ini dia menjawab.

"Iya, Kenapa ..." kataku terhenti saat menyadari gambar yang di buatnya. Seperti menggambarkan apa yang kulihat semalam diluar jendela.

"Iya, kau ingin tanya apa?" sekarang Natasya yang bertanya balik.

"Apa yang kau gambar natasya?" tanyaku penasaran arti dalam gambarnya.

"Bukan apa-apa? Ini hanya iseng aja," jawabnya seakan sembunyikan sesuatu.

Aku tahu sosok yang Natasya gambar itu yang sempat kulihat semalam. Tapi, bagaimana bisa gambar itu serupa? Ada suatu hal yang aneh.

***

Di depan gerbang. Ibu sudah menunggu, wajahnya terlihat cemas.

"Teman-teman barumu, Nila?" tanya ibu melihat aku berjalan bersama Fay, Rey, dan Tasya.

"Iya, mereka mau main ke rumah, boleh kan, Bu?" jawabku memberikan senyum manis.

"Maaf, untuk saat ini nggak bisa. Bukannya nggak boleh, tapi ibu dapat kabar daerah kita terjadi pembunuhan anak sekolah, nantinya mereka pulang dengan siapa? Ibu takut kenapa-kenapa dengan mereka nanti pulang," papar ibu menjelaskan rasa kecemasan yang menghantuinya.

Pantas saja wajah raut ibu seperti tekanan batin. Senyumnya hilang saat menyambutku dengan teman-teman.

"Maaf, ya teman-teman. Mungkin di lain waktu berkunjungnya, sebaiknya kalian pulang ke rumah masing-masing, maaf banget yah?" ucapku merasa tak enak telah membuat rencana berantakan.

"Maaf ya, Tante nggak bisa terima tamu saat ini," sambung ibu ikut merasa tak enak.

"Iya, nggak apa tante? Mungkin di lain waktu," jawab Rey mengangguk mencoba mengerti.

Akhirnya, kami memutuskan pulang masing-masing.

"Bu, kapan kabar itu terjadi dan korbannya siapa?" tanyaku penasaran.

"Ibu dengar-dengar terjadinya semalam, dan kamu mulai sekarang jangan keluar malam-malam!"

"Kalo kerja kelompok gimana, bu?"

"Kan bisa sepulang sekolah, jangan bikin alasan lagi Nila!"

Tatapan tajam Ibu membuat aku membungkam. Kabar itu seakan membatasi keperluanku untuk keluar malam.

***

Malam ini hujan terus lagi disertai angin membasahi bumi dan pepohonan sekitar. Tirai jendela berkibar karena tiupan angin begitu kencang dan air pun masuk melunturkan tulisan di kertas. Memang salahku yang biarkan jendela terbuka untuk menikmati dinginnya malam tapi siapa sangka hujan turun dengan deras bersama angin. Segera kubangkit menutup jendela serta merapikan tirai yang tergeser. Saat merapatkan tirai hingga ujung, mataku menatap sosok yang sama seperti kemarin malam.

"Sudahlah, untuk apa juga aku ngurus hal ini?" gumamku langsung merapatkan tirai dan kembali menulis.

"Aa ..."

Sayup-sayup telingaku mendengar suara yang langsung memudar. Mendengar hal itu mataku melirik ke arah jendela dan mencoba mengintip memastikan tak ada apa-apa di luar sana.

"Mungkin suara angin?" pikirku lalu kembali duduk. Berita kematian anak sekolah itu perlahan membuat jiwaku sedikit paranoid.

"Aduh! ... Bagaimana bisa menulis, nih? Jika pikirannya begini?!" gerutuku melepaskan pena di tangan. Pikiranku jadi benang kusut karena pikiran tak diinginkan masuk.

Entah apa yang menarik diriku untuk melihat keluar? Lagi aku mengintip, kulihat sosok itu masih di sana memunggungi. Ada sesuatu yang di genggamnya, terlihat sebilah pedang. Segera kututup tirai dengan rapat dan berbalik badan.

“Oke, ini udah malam aku harus segera tidur.” Aku melangkah dan merebahkan diri di kasur. Namun mata terus terbuka dan memikirkan.

****

"Nila, ayo bangun!" Panggil ibu di ambang pintu.

"Ya, Bu. Udah bangun kok!" sahutku bangkit dari ranjang.

"Jangan lama-lama ya?"

Seperti biasa bila pagi datang, mandi, sarapan dan berangkat sekolah. Peristiwa malam membuatku kurang tidur. Seorang menatapku.

"Ibu yang akan ngantar kamu ke sekolah lagi," ujar Ibu menaruh nasi di piringku.

"Nila akan naik taksi sendiri, Nila sudah hafal jalan. Jangan khawatir, Bu. Nila akan baik-baik aja, kan jago taekwondo," kataku meneguk habis air minum di gelas. "Nila, berangkat ya Bu, Yah! Daah ..." ucapku lambaikan tangan lalu berlari keluar.

Kulihat ayah dan ibu hanya memandang bisu. Baru saja melangkah mencari taksi depan jalan raya sana, sebuah taksi kosong menghampiri.

"Taksi?" tawar sopir.

"Wah ... Kebetulan, ke sekolah, ya , pak?!" jawabku langsung buka pintu depan sopir.

Sekolahku cukup dikenal untuk seorang sopir taksi. Cukup lima menit jarak yang ditempuh ke sekolah swasta Dharmasraya.

"Terima kasih, pak," ucapku setelah membayar.

Sepanjang koridor, banyak siswa berbisik-bisik bak menyebarkan gosip hingga ke penjuru.

"Sungguh mengerikan, kematian siswa kelas ..."

"Siapa ya pelakunya?"

"Aku jadi takut keluar malam jadinya."

Tak sengaja kudengar pembicaraan mereka ketika melintas. Di kelas Natasya tak perlu di tanya, ia sudah ada di sana dengan lamunan.

"Apa kau tahu yang sedang di bicarakan mereka semua?" tanyaku setelah duduk.

Mendengar suaraku Natasya terbangun dari lamunannya dan menoleh.

"Dea, murid kelas ini meninggal dengan mengenaskan. Kau tak mengenalnya karena kemarin bertepatan kau jadi anak baru di kelas ini," jawabnya. "Dia mati di bunuh, kemarin siang di temukan dengan bekas sabetan sekujur tubuh, mulutnya di sekap, salah satu jarinya di potong dan di biarkan tergantung di tiang listrik persimpangan." Natasya menerangkan tentang kematian Dea yang kini menjadi bahan perbincangan di sekolah.

Kelas menjadi hening ketika pak Norman masuk. Wajahnya tertekuk, memandang muridnya seakan menahan rasa duka.

"Murid-murid kita dapat kabar duka dari kedua orang tua teman sekelas kita, Dea dan Aurel telah meninggal dunia. Dea sudah di makamkan kemarin sore dan Aurel akan di makamkan hari ini. Sepulang sekolah kita akan melayat bersama, sekian informasi dari bapak," ucap pak Norman mengumumkan berita duka.

Kelas menjadi gempar dengan kabar Aurel yang meninggal secara mendadak. Kemarin dia baik-baik saja, bagaimana bisa terdengar kabar mengejutkan itu?

"Kematian Aurel sama dengan peristiwa Dea. Di bunuh, sebab itu dia meninggal dengan cepat," papar Natasya melihat keterkejutan aku mendengar kabar kematian Aurel.

"Kau tahu?"

"Satu mulut bisa menyebar luas, hingga kabar itu bukan rahasia."

Sepulang sekolah kami melayat bersama ke pemakaman. Kabar kematian Aurel terkesan mengerikan, dengan wajah penuh sayatan dan mulut yang merobek. Sungguh sadis pembunuh itu. Apa motif pelaku itu melakukan tindakan sadis? Apakah ada hubungannya antara korban dan pelaku?

****

Hujan tiba-tiba turun dengan deras semua pun berlarian mencari tempat berlindung. Natasya menarik tanganku, mengajak meneduh di bawah pohon besar.

"Ini yang kukhawatirkan, tapi itu sebuah balasan," ucapnya tiba-tiba memandang derasnya hujan. "Dan aku berharap kamu jangan terlalu jauh berteman dengan mereka." Tatapnya menyarankan aku membatasi diri berteman dengan Rey, Fay, Tasya dan Kiran.

"Aku tak ngerti apa yang kau bicarakan, Natasya?" tanyaku bingung. Natasya seolah tahu sebab kematian Aurel.

"Hujan sudah berhenti, masih mau meneduh di pohon dekat makam?" Natasya melangkah jauh dari pohon.

Tanpa sadar hujan sudah berhenti. Hanya rintik-rintik kecil. Kali ini aku pulang bareng dengan Natasya. Ternyata rumah Natasya tidak jauh dari rumahku dekat persimpangan komplek.

"Mereka itu pembunuh."

"Aku tak mengerti, siapa kau sebut pembunuh?" Tanyaku bingung. Sepertinya otakku lagi tidak sinkron.

"Mereka yang mendekatimu adalah pembunuh." Langkahku terhenti dan memandang Natasya. Meminta penjelasan lebih lengkap atas ucapannya.

Namun, Natasya bergeming dan matanya fokus memandang kedepan. Raut wajahnya berubah jauh lebih serius, tiba-tiba melangkah cepat.

Sebuah potongan tangan yang darahnya masih tercium segar terserak di jalanan.

"Oh ... Tidak. Siapa korban kali ini?" Kejutku melihat sepotong tangan seorang. "Gelang itu ... " Benda yang tampak tak begitu asing dari ingatanku. "Tunggu itu gelangnya Rey, bukan? Gelang yang ada di tangan Rey!" Aku baru mengingat pemilik gelang tali.

"Hujan itu menghapus jejak darah yang netes, di mana tubuh korban lainnya?" Natasnya mengamati sekitar dengan tajam lalu mencari-cari. "Tubuh korban pasti tak jauh dari jalan ini?" gumamnya.

"Kenapa jalanan ini sangat sepi? Hingga terjadi pembunuhan di jalan ini?" pikirku memandang jalan yang sangat sepi dari orang berlalu lalang.

Natasya mendekati pohon besar di pinggir kali.
Aku tak sanggup melihat sosok di balik pohon itu, sungguh mengerikan.

"Rey menjadi korban hari ini. Dia akan terus membunuh, mengejar orang yang telah berlaku jahat padanya."

"Kita harus hentikan dia!" Ujarku tak kuat lagi melihat kematian anak sekolah akhir-akhir ini.

"Dia itu membunuh dalam hujan. Hujan akan menghapus jejaknya, kita tak bisa temukan dia,” papar Natasya.

"Jadi, kau biarkan dia membunuh teman kita lagi?"

"Itu ganjaran mereka."

Aku menatapnya penuh tanya. Lewat sorotan mata kuingin Natasya paham jika aku butuh informasi jelas apa maksud dari perkataannya itu?

"Mereka dulu membully murid yang lemah secara fisik dan aku tak bisa apa-apa, biarkan hal itu terjadi padahal aku adalah temannya. Sebulan lalu tak ada kabar tentangnya, terdengar kabarnya di persimpangan ini penuh banyak luka sekujur tubuhnya. Namun, ada kabar juga bahwa dia hilang selesai pemeriksaan," cerita Natasya tentang apa yang pernah terjadi sebelumnya. "Aku di ancam oleh mereka bila buka suara tentang bullyan mereka, sebab itu aku takut. Namun, peristiwa ini aku tak juga bisa diam."

Aku yang mendengarkan rahasia yang ditutup rapat oleh Natasya mengiris hati. Bagaimana bisa dia melalui hal ini, bukankah itu menyiksa batinnya?

"Mungkin aku akan jadi korban selanjutnya," tukasnya menunduk.

"Aku tak akan biarkan hal itu!" Pungkasku mencoba menghibur.

"Bagaimana bisa?" tanyanya berintonasi tinggi. "Kamu orang baru di sini, jangan melibatkan diri mengantarkan nyawamu.”

Meski aku tak tahu si pelaku itu bagaimana? Namun melihat kematian yang begitu mengerikan dalam penuntutan balas dendam mana bisa berdiam saja. Jika dibiarkan maka ada korban selanjutnya. Ini masalah nyawa seorang teman.

****
Kabar kematian Rey menjadi hantu untuk para murid. Gurat-gurat wajah ketakutan terlihat jelas pada seisi ruang kelas termasuk Natasya di sebelahku. Hujan pun ikut meramaikan suasana dengan deras serta angin. Awan kelabu benar-benar menambah mencekam pagi itu.

"Dia datang," ucap Natasya berbisik. "Dia menunggu seseorang keluar dari kelas ini."

Mataku mengawas sekitar hingga halaman luar sekolah tak kutemukan sosok mencurigakan.

"Aku tak melihatnya?" tanyaku setelah periksa.

Natasya tak menjawab. Matanya melirik bangku di sebelahku yang di duduki Tasya.

"Aduh ..., temanin ke toilet, yuk, Fay?" pinta Tasya.

"Hujan deras gini, segala mau ke toilet sih?" Gerutu Fay.

"Yaelah, nggak tahu aja, Yuk, ah!" Tasya menarik tangan Fay.

"Yuk, Kiran," ajak Fay menambah teman ke Toilet.

"Aku di sini aja yaa," tolak Kiran malas keluar.

"Yaudahlah ..."

Tasya dan Fay pun pergi. Aku pun bangun mencoba membuntuti, mungkin sosok itu tiba-tiba muncul untuk membunuh mereka. Saat itu juga tanganku di genggam Natasya.

"Jangan mencoba berada di dekat mereka," bisik Natasya memandangku.

Aku menjawab senyum dan melangkah mengikuti Tasya dan Fay. Tentunya jaga jarak jauh dari mereka dan berpura-pura ke arah lain. Ada hawa tak enak mengitariku.

"Jangan-jangan ..." pikirku lalu menyusul mereka berdua ke dalam toilet.
.
.
.
.

To Be continue ...

Part 2 [Ending)

Baca juga Gansis :Villa Berdarah
Diubah oleh chiiammu02 21-06-2020 00:27
sutanaksa
081364246972
AyraNFarzana91
AyraNFarzana91 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.6K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
chiiammu02Avatar border
TS
chiiammu02
#1
Bayangan hujan
Dokpri


Bayangan Hujan (Cerpen Fiksi)
Penulis : Chii Ammu
Kategori : Horror, Mistery, Pembunuhan.


Hari telah larut. Tanganku masih sibuk dengan pena. Menuangkan imajinasi ke dalam kertas. Kamar ini tak bisa mengajakku ke dunia mimpi pasalnya beda jauh dengan kamar kesayanganku di sana. Karena tugas ayah di pindahkan, kami pun ikut pindah rumah.

"Nila, kamu belum tidur?" Suara ibu yang tiba-tiba memecahkan keheningan, membuat pena ditanganku terjatuh. "Kau sedang apa, nak?" Sambung Ibu yang berdiri di ambang pintu.

"Ibu ngagetin saja, Nila nggak bisa tidur, ya ... Karena …," jawabku sambil memungut pena di lantai. Kuharap Ibu paham dengan kondisiku susah tidur pada suasana baru.

"Nanti juga biasa, cepat tidur! Besok 'kan Nila harus ke sekolah baru, nggak boleh terlambat," kata Ibu mengingatkan agar aku segera tidur.

"Iya, bu. Nila paksain tidur."

"Yauda, Ibu balik ke kamar, mimpi indah sayang."
Ibu kembali menutup pintu. Langkah kakinya terdengar sudah menjauh.

Aku memilih menetap duduk di kursi meja belajar, sesekali mengintip keluar jendela. Di luar hujan deras.

"Jam segini masih ada saja orang di luar, hujan-hujanan lagi," gumamku melihat sosok orang berjalan gontai membiarkan hujan membasahinya.

Aku menempelkan kulit pipi pada meja belajar, menikmati ritme hujan diluar.

***

"Nila bangun! Ayo , bangun ..." Seru Ibu membangunkanku.

"Hoaam …"

Semalam tanpa sadar aku tertidur karena lelah mencoret-coret kertas. Jiwa yang masih menggantung membuat aku memilih duduk di pinggir ranjang.

"Cepat mandi, habis itu sarapan," lanjut Ibu.

"Iya ..." Aku mengiyakan sambil melangkah gontai mencari handuk.

Setelah mandi dan berseragam. Aku berlari kecil ke ruang makan sambil menenteng ransel di pundak kiri. Ini hari pertamaku masuk sekolah baru.

"Siapa yang akan ngantar Nila ke sekolah? Harus beradaptasi lagi, deh!" Aku memandang Ayah dan Ibu yang sedang sarapan.

"Ibu yang akan ngantar," jawab ibu.

"Kamu ... Jangan nakal di sekolah baru nanti, jangan berkumpul sama anak-anak nakal, ya?!" Ujar Ayah mengingat apa yang pernah terjadi di sekolah dulu.

"Iya, yaah ..." jawabku. "Anak ayah ini kan anak baik-baik," senyumku manja.

"Yaudah, Ayah berangkat dulu, Bu ... Baik-baik ya sama Nila.” Selesai sarapan Ayah bergegas pergi pamit untuk jalan kerja. Seolah mengejar waktu. Seperti itu, Ayah selalu terburu-buru berangkat kerja tak boleh telat sedikit dengan jarum yang sudah ditentukan oleh arlojinya.

Ibu mengantarku ke sekolah baru dan mengurus berkas-berkas dataku di sekolah dulu.

"Pak, saya titip Nila di sekolah ini, sebelumnya saya mengucap terima kasih," tutur Ibu pada pria bertubuh tinggi dan tegap. Sebagian rambutnya memutih. "Nila, ibu hanya bisa temanimu sampai di sini, baik-baik ya di kelas baru," kata Ibu menyentuh pundakku dan tersenyum.

"Iya, bu. Ibu nggak usah khawatir, Nila kan udah besar," balasku dengan senyum dan yakin agar ibu tak begitu mengkhawatirkan diriku.

"Jangan buat ulah, ya?! Ibu dan ayah nggak mau dengar berita kenakalanmu, bila terjadi alat perlengkapanmu ibu berikan akan ibu tarik!" bisik ibu mengancam.

"Jangan, bu!" pintaku mengiba.

Ibu menatap tajam, "Jika begitu jangan bikin ulah?"

"Iya, bu."

Peristiwa itu membuat Ibu takut terulang kembali di sekolah baruku. Padahal bukan aku awal mulanya pertikaian itu terjadi. Aku benci di ganggu, gadis itulah mencari masalah hingga adu mulut terjadi dan berakhir di ruang Kepsek. Lagi, aku yang kena hukuman karena teman-teman gadis itu sengkokol menyudutkan aku yang salah. Cerita itu sudah berlalu ketika seminggu peristiwa itu terjadi ayahku di pindahkan ke kota lain. Kota yang asing untukku.

Aku mengikuti langkah Pak Heru nama Kepala Sekolah baruku menuju kelasku. Pintu pun di buka setengah, semua mata mengarah padaku. Pak Heru berbicara pada guru yang sedang mengajar kelas 2A.

"Nila, ini Pak Norman. Wali kelasmu serta guru sejarah, sekarang kamu bapak tinggal dengannya, semoga bisa adaptasi,” Papar Pak Heru mendoakan.

"Terima kasih, Pak." ucapku membungkuk.

"Nah, murid-murid kita kedatangan anak baru. Ayo, Nila perkenalkan dirimu," Ucap Pak Norman pada anak-anak di kelas.

Setelah pengenalan Pak Norman mempersilakanku duduk di bangku kosong.

"Hay, bolehkah aku duduk di sini?" sapaku pada gadis di sebelah bangku kosong.

"Pemilik bangku sebelahku sudah tiada, silahkan duduk," balasnya dingin.

Aku pun duduk dan meletakkan ransel ke pangkuan, mengeluarkan buku tulis ke meja. Masih berpikir arti perkataannya "Pemilik bangku sebelahku sudah tiada".

"Apa sebelumku, bangku ini ada yang tempati?" tanyaku.

"Kamu anak baru, dengarkan guru di sana, jangan ngobrol denganku," balasnya menatap ke depan memperhatikan pelajaran.

'Dingin sekali' batinku memandang ke depan perhatikan Pak Norman ceritakan sejarah para pahlawan.

***

"Aku Rey, mau istirahat bersama kami?" Seorang menghampiriku bersama ke empat temannya.

"Boleh," jawabku senang. Mataku melirik gadis disebelah yang bersifat sedingin es batu.

"Dia lebih suka berada di kelas daripada ke kantin bersama anak-anak.”

Belum kubicara salah satu teman Rey langsung bicarakan tentangnya.

"Apa ada yang ingin kau titipkan? Biar kubelikan," tawarku sebelum meninggalkannya.

"Terima kasih, aku nggak lapar.”

"Baiklah aku tinggal ke kantin." Aku pun melangkah pergi bersama mereka.

Di jalan kami mengobrol dan pengenalan untuk lebih akrab. Rey, Tasya, Kiran, Fay, dan Aurel. Mereka tampak sebuah genk girlies lalu pemimpinnya Rey.

"Sebaiknya kau pindah tempat duduk, deh? Jangan sebangku sama Natasya!" ujar Fay.

"Ouh, Natasya namanya," gumamku ketika Fay menyebut nama gadis di bangku sebelahku. "Kenapa, Fay?" tanyaku penasaran.

"Bisa jadi korban keduanya loh! Apalagi berteman denganya ... Ikh, nggak banget," kata Tasya berwajah bergidik.

"Karena kau masih baru, kita kasih tahu aja, jangan berteman dengan Natasya! Dia aneh tau!" Papar Rey melarang dekat dengan Natasya.

"Aneh kenapa?" Aku makin tak mengerti apa yang di bicarakan mereka berdua. Apa Natasya musuh mereka? Jika iya pantas reaksi mereka yang bersangkutan saling tidak suka dari sikap.

"Intinya jangan percaya sama yang dia ceritakan!" tegas Rey.

"Iya, lebih baik sama kita yang pasti lebih menyenangkan. Pulang sekolah bagaimana kita kumpul di rumahku? Kebetulan ayah ibuku pulangnya malam banget," ujar Fay mengajak semua kumpul dirumahnya.

"Hmm ... Maaf, aku tak bisa. Ibu akan menjemputku, lain kali aja," tolakku mengingat ini hari pertama di sekolah baru. Apalagi Ibu akan sendirian dirumah.

"Yaa ... Kan bisa bilang ke nyokap main sama kita, teman barumu?" ujar tasya.

"Bagaimana kalian yang main ke rumahku?" tawarku balik. Aku bisa kenalkan mereka pada Ibu.

"Ya ... Boleh," setuju Fay dan Rey.

"Maaf, kali ini aku nggak bisa ikut," Aurel angkat bicara. "Aku di hukum nggak boleh main sepulang sekolah," lanjutnya berekspresi sedih.

"Biasanya kau bisa melanggar?" tanya tasya heran.

"Uang jajanku akan di sita jika nggak nurut," jawab Aurel menunduk sedih.

"Nyokapnya nggak asyik nih! Yauda kita ..."

"Aku juga nggak bisa," potong Kiran.

"Sama juga?" tanya Rey.

"Ada acara keluarga."

"Yauda, kita bertiga saja kerumah Nila," kata Fay.

Bel istirahat telah habis. Semua murid di kantin bubar termasuk kami yang sudah selesai makan. Di kelas aku menemukan Natasya masih setia di bangku sambil memainkan pensil di lembaran buku. Aku pun duduk dan menoleh apa yang di goreskan Natasya.

"Kau suka gambar?" tanyaku melihat Natasya begitu serius menggambar secara detail.

Tak ada respon darinya. Suaraku seperti angin lewat saja.

"Namamu Natasya, kan?"

"Pasti tau dari mereka." Kali ini dia menjawab.

"Iya, Kenapa ..." kataku terhenti saat menyadari gambar yang di buatnya. Seperti menggambarkan apa yang kulihat semalam diluar jendela.

"Iya, kau ingin tanya apa?" sekarang Natasya yang bertanya balik.

"Apa yang kau gambar natasya?" tanyaku penasaran arti dalam gambarnya.

"Bukan apa-apa? Ini hanya iseng aja," jawabnya seakan sembunyikan sesuatu.

Aku tahu sosok yang Natasya gambar itu yang sempat kulihat semalam. Tapi, bagaimana bisa gambar itu serupa? Ada suatu hal yang aneh.

***

Di depan gerbang. Ibu sudah menunggu, wajahnya terlihat cemas.

"Teman-teman barumu, Nila?" tanya ibu melihat aku berjalan bersama Fay, Rey, dan Tasya.

"Iya, mereka mau main ke rumah, boleh kan, Bu?" jawabku memberikan senyum manis.

"Maaf, untuk saat ini nggak bisa. Bukannya nggak boleh, tapi ibu dapat kabar daerah kita terjadi pembunuhan anak sekolah, nantinya mereka pulang dengan siapa? Ibu takut kenapa-kenapa dengan mereka nanti pulang," papar ibu menjelaskan rasa kecemasan yang menghantuinya.

Pantas saja wajah raut ibu seperti tekanan batin. Senyumnya hilang saat menyambutku dengan teman-teman.

"Maaf, ya teman-teman. Mungkin di lain waktu berkunjungnya, sebaiknya kalian pulang ke rumah masing-masing, maaf banget yah?" ucapku merasa tak enak telah membuat rencana berantakan.

"Maaf ya, Tante nggak bisa terima tamu saat ini," sambung ibu ikut merasa tak enak.

"Iya, nggak apa tante? Mungkin di lain waktu," jawab Rey mengangguk mencoba mengerti.

Akhirnya, kami memutuskan pulang masing-masing.

"Bu, kapan kabar itu terjadi dan korbannya siapa?" tanyaku penasaran.

"Ibu dengar-dengar terjadinya semalam, dan kamu mulai sekarang jangan keluar malam-malam!"

"Kalo kerja kelompok gimana, bu?"

"Kan bisa sepulang sekolah, jangan bikin alasan lagi Nila!"

Tatapan tajam Ibu membuat aku membungkam. Kabar itu seakan membatasi keperluanku untuk keluar malam.

***

Malam ini hujan terus lagi disertai angin membasahi bumi dan pepohonan sekitar. Tirai jendela berkibar karena tiupan angin begitu kencang dan air pun masuk melunturkan tulisan di kertas. Memang salahku yang biarkan jendela terbuka untuk menikmati dinginnya malam tapi siapa sangka hujan turun dengan deras bersama angin. Segera kubangkit menutup jendela serta merapikan tirai yang tergeser. Saat merapatkan tirai hingga ujung, mataku menatap sosok yang sama seperti kemarin malam.

"Sudahlah, untuk apa juga aku ngurus hal ini?" gumamku langsung merapatkan tirai dan kembali menulis.

"Aa ..."

Sayup-sayup telingaku mendengar suara yang langsung memudar. Mendengar hal itu mataku melirik ke arah jendela dan mencoba mengintip memastikan tak ada apa-apa di luar sana.

"Mungkin suara angin?" pikirku lalu kembali duduk. Berita kematian anak sekolah itu perlahan membuat jiwaku sedikit paranoid.

"Aduh! ... Bagaimana bisa menulis, nih? Jika pikirannya begini?!" gerutuku melepaskan pena di tangan. Pikiranku jadi benang kusut karena pikiran tak diinginkan masuk.

Entah apa yang menarik diriku untuk melihat keluar? Lagi aku mengintip, kulihat sosok itu masih di sana memunggungi. Ada sesuatu yang di genggamnya, terlihat sebilah pedang. Segera kututup tirai dengan rapat dan berbalik badan.

“Oke, ini udah malam aku harus segera tidur.” Aku melangkah dan merebahkan diri di kasur. Namun mata terus terbuka dan memikirkan.

****

"Nila, ayo bangun!" Panggil ibu di ambang pintu.

"Ya, Bu. Udah bangun kok!" sahutku bangkit dari ranjang.

"Jangan lama-lama ya?"

Seperti biasa bila pagi datang, mandi, sarapan dan berangkat sekolah. Peristiwa malam membuatku kurang tidur. Seorang menatapku.

"Ibu yang akan ngantar kamu ke sekolah lagi," ujar Ibu menaruh nasi di piringku.

"Nila akan naik taksi sendiri, Nila sudah hafal jalan. Jangan khawatir, Bu. Nila akan baik-baik aja, kan jago taekwondo," kataku meneguk habis air minum di gelas. "Nila, berangkat ya Bu, Yah! Daah ..." ucapku lambaikan tangan lalu berlari keluar.

Kulihat ayah dan ibu hanya memandang bisu. Baru saja melangkah mencari taksi depan jalan raya sana, sebuah taksi kosong menghampiri.

"Taksi?" tawar sopir.

"Wah ... Kebetulan, ke sekolah, ya , pak?!" jawabku langsung buka pintu depan sopir.

Sekolahku cukup dikenal untuk seorang sopir taksi. Cukup lima menit jarak yang ditempuh ke sekolah swasta Dharmasraya.

"Terima kasih, pak," ucapku setelah membayar.

Sepanjang koridor, banyak siswa berbisik-bisik bak menyebarkan gosip hingga ke penjuru.

"Sungguh mengerikan, kematian siswa kelas ..."

"Siapa ya pelakunya?"

"Aku jadi takut keluar malam jadinya."

Tak sengaja kudengar pembicaraan mereka ketika melintas. Di kelas Natasya tak perlu di tanya, ia sudah ada di sana dengan lamunan.

"Apa kau tahu yang sedang di bicarakan mereka semua?" tanyaku setelah duduk.

Mendengar suaraku Natasya terbangun dari lamunannya dan menoleh.

"Dea, murid kelas ini meninggal dengan mengenaskan. Kau tak mengenalnya karena kemarin bertepatan kau jadi anak baru di kelas ini," jawabnya. "Dia mati di bunuh, kemarin siang di temukan dengan bekas sabetan sekujur tubuh, mulutnya di sekap, salah satu jarinya di potong dan di biarkan tergantung di tiang listrik persimpangan." Natasya menerangkan tentang kematian Dea yang kini menjadi bahan perbincangan di sekolah.

Kelas menjadi hening ketika pak Norman masuk. Wajahnya tertekuk, memandang muridnya seakan menahan rasa duka.

"Murid-murid kita dapat kabar duka dari kedua orang tua teman sekelas kita, Dea dan Aurel telah meninggal dunia. Dea sudah di makamkan kemarin sore dan Aurel akan di makamkan hari ini. Sepulang sekolah kita akan melayat bersama, sekian informasi dari bapak," ucap pak Norman mengumumkan berita duka.

Kelas menjadi gempar dengan kabar Aurel yang meninggal secara mendadak. Kemarin dia baik-baik saja, bagaimana bisa terdengar kabar mengejutkan itu?

"Kematian Aurel sama dengan peristiwa Dea. Di bunuh, sebab itu dia meninggal dengan cepat," papar Natasya melihat keterkejutan aku mendengar kabar kematian Aurel.

"Kau tahu?"

"Satu mulut bisa menyebar luas, hingga kabar itu bukan rahasia."

Sepulang sekolah kami melayat bersama ke pemakaman. Kabar kematian Aurel terkesan mengerikan, dengan wajah penuh sayatan dan mulut yang merobek. Sungguh sadis pembunuh itu. Apa motif pelaku itu melakukan tindakan sadis? Apakah ada hubungannya antara korban dan pelaku?

****

Hujan tiba-tiba turun dengan deras semua pun berlarian mencari tempat berlindung. Natasya menarik tanganku, mengajak meneduh di bawah pohon besar.

"Ini yang kukhawatirkan, tapi itu sebuah balasan," ucapnya tiba-tiba memandang derasnya hujan. "Dan aku berharap kamu jangan terlalu jauh berteman dengan mereka." Tatapnya menyarankan aku membatasi diri berteman dengan Rey, Fay, Tasya dan Kiran.

"Aku tak ngerti apa yang kau bicarakan, Natasya?" tanyaku bingung. Natasya seolah tahu sebab kematian Aurel.

"Hujan sudah berhenti, masih mau meneduh di pohon dekat makam?" Natasya melangkah jauh dari pohon.

Tanpa sadar hujan sudah berhenti. Hanya rintik-rintik kecil. Kali ini aku pulang bareng dengan Natasya. Ternyata rumah Natasya tidak jauh dari rumahku dekat persimpangan komplek.

"Mereka itu pembunuh."

"Aku tak mengerti, siapa kau sebut pembunuh?" Tanyaku bingung. Sepertinya otakku lagi tidak sinkron.

"Mereka yang mendekatimu adalah pembunuh." Langkahku terhenti dan memandang Natasya. Meminta penjelasan lebih lengkap atas ucapannya.

Namun, Natasya bergeming dan matanya fokus memandang kedepan. Raut wajahnya berubah jauh lebih serius, tiba-tiba melangkah cepat.

Sebuah potongan tangan yang darahnya masih tercium segar terserak di jalanan.

"Oh ... Tidak. Siapa korban kali ini?" Kejutku melihat sepotong tangan seorang. "Gelang itu ... " Benda yang tampak tak begitu asing dari ingatanku. "Tunggu itu gelangnya Rey, bukan? Gelang yang ada di tangan Rey!" Aku baru mengingat pemilik gelang tali.

"Hujan itu menghapus jejak darah yang netes, di mana tubuh korban lainnya?" Natasnya mengamati sekitar dengan tajam lalu mencari-cari. "Tubuh korban pasti tak jauh dari jalan ini?" gumamnya.

"Kenapa jalanan ini sangat sepi? Hingga terjadi pembunuhan di jalan ini?" pikirku memandang jalan yang sangat sepi dari orang berlalu lalang.

Natasya mendekati pohon besar di pinggir kali.
Aku tak sanggup melihat sosok di balik pohon itu, sungguh mengerikan.

"Rey menjadi korban hari ini. Dia akan terus membunuh, mengejar orang yang telah berlaku jahat padanya."

"Kita harus hentikan dia!" Ujarku tak kuat lagi melihat kematian anak sekolah akhir-akhir ini.

"Dia itu membunuh dalam hujan. Hujan akan menghapus jejaknya, kita tak bisa temukan dia,” papar Natasya.

"Jadi, kau biarkan dia membunuh teman kita lagi?"

"Itu ganjaran mereka."

Aku menatapnya penuh tanya. Lewat sorotan mata kuingin Natasya paham jika aku butuh informasi jelas apa maksud dari perkataannya itu?

"Mereka dulu membully murid yang lemah secara fisik dan aku tak bisa apa-apa, biarkan hal itu terjadi padahal aku adalah temannya. Sebulan lalu tak ada kabar tentangnya, terdengar kabarnya di persimpangan ini penuh banyak luka sekujur tubuhnya. Namun, ada kabar juga bahwa dia hilang selesai pemeriksaan," cerita Natasya tentang apa yang pernah terjadi sebelumnya. "Aku di ancam oleh mereka bila buka suara tentang bullyan mereka, sebab itu aku takut. Namun, peristiwa ini aku tak juga bisa diam."

Aku yang mendengarkan rahasia yang ditutup rapat oleh Natasya mengiris hati. Bagaimana bisa dia melalui hal ini, bukankah itu menyiksa batinnya?

"Mungkin aku akan jadi korban selanjutnya," tukasnya menunduk.

"Aku tak akan biarkan hal itu!" Pungkasku mencoba menghibur.

"Bagaimana bisa?" tanyanya berintonasi tinggi. "Kamu orang baru di sini, jangan melibatkan diri mengantarkan nyawamu.”

Meski aku tak tahu si pelaku itu bagaimana? Namun melihat kematian yang begitu mengerikan dalam penuntutan balas dendam mana bisa berdiam saja. Jika dibiarkan maka ada korban selanjutnya. Ini masalah nyawa seorang teman.

****
Kabar kematian Rey menjadi hantu untuk para murid. Gurat-gurat wajah ketakutan terlihat jelas pada seisi ruang kelas termasuk Natasya di sebelahku. Hujan pun ikut meramaikan suasana dengan deras serta angin. Awan kelabu benar-benar menambah mencekam pagi itu.

"Dia datang," ucap Natasya berbisik. "Dia menunggu seseorang keluar dari kelas ini."

Mataku mengawas sekitar hingga halaman luar sekolah tak kutemukan sosok mencurigakan.

"Aku tak melihatnya?" tanyaku setelah periksa.

Natasya tak menjawab. Matanya melirik bangku di sebelahku yang di duduki Tasya.

"Aduh ..., temanin ke toilet, yuk, Fay?" pinta Tasya.

"Hujan deras gini, segala mau ke toilet sih?" Gerutu Fay.

"Yaelah, nggak tahu aja, Yuk, ah!" Tasya menarik tangan Fay.

"Yuk, Kiran," ajak Fay menambah teman ke Toilet.

"Aku di sini aja yaa," tolak Kiran malas keluar.

"Yaudahlah ..."

Tasya dan Fay pun pergi. Aku pun bangun mencoba membuntuti, mungkin sosok itu tiba-tiba muncul untuk membunuh mereka. Saat itu juga tanganku di genggam Natasya.

"Jangan mencoba berada di dekat mereka," bisik Natasya memandangku.

Aku menjawab senyum dan melangkah mengikuti Tasya dan Fay. Tentunya jaga jarak jauh dari mereka dan berpura-pura ke arah lain. Ada hawa tak enak mengitariku.

"Jangan-jangan ..." pikirku lalu menyusul mereka berdua ke dalam toilet.
.
.
.
.

To Be continue ...

Part 2 [Ending)

Baca juga Gansis :Villa Berdarah
Diubah oleh chiiammu02 21-06-2020 00:27
0