![raivac](https://s.kaskus.id/user/avatar/2010/04/15/avatar1596446_1.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
raivac
[Orifict] Bulan Biru
tugas tugas yang menumpuk cuma bikin stress aja. karena itu mari kita menulis untuk merefresh otak ![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
fict ini saya buat sebagai kelanjutan dari salah satu trit kumcergal saya World of Failed Stories yang judulnya Bulan Biru.
karena ini bukan one shot tapi merupakan seri jadi saya pisah tritnya. dan ini bikinnya pake niat gak kayak cerita2 lain di trit itu![Hammer (S) emoticon-Hammer (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/hammers.gif)
Genre: misteri, komedi, horor, tragedi, drama
yak, langsung saja. ini episode 1 yang singkat saja
:
“Baiklah, Tuan Moren. Terima kasih atas kerja samanya,”
“Sama-sama Pak Thomas. Terima kasih juga untuk kopi hangatnya,”
Pria paruh baya yang bernama Thomas itu menyalamiku lalu mengantar aku keluar kantor. Yang kumaksud bukan kantor sebuah firma, apalagi kantor pos. Bukan main-main, ini adalah kantor polisi! Maksudku, aku baru saja bercakap-cakap (lebih tepatnya memberikan keterangan) dengan seorang inspektur sesungguhnya yang mana benar-benar mirip dengan salah satu adegan cerita misteri yang pernah kubuat!
“Nah, sekarang aku akan mengantarmu sampai..,”
Kalimat petugas polisi itu belum selesai ketika sekerumunan orang mengelilingi kami begitu Pak Thomas membuka pintu. Orang-orang itu bukanlah penodong atau kawanan mafia, karena tidak ada penjahat yang menggunakan tape recorder dan kamera untuk merampok. Mereka, menurut analisaku, adalah pers. Pemburu berita yang haus kehebohan.
“Tuan Moren, apakah benar pelakunya adalah seorang teman lama anda?”
“Bagaimana cara penjahat menembus sistem keamanan berganda?”
“Apa benar ia melakukannya atas nama membela lingkungan?”
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengalir deras diiringi hujanan lampu kilat. Sesaat aku merasa seperti seorang peyanyi yang baru mendapat platinum, dan yang kuketahui seorang artis akan sangat keren jika mengabaikan wartawan. Jadi sekarang aku mencoba hal serupa, berusaha terus berjalan dan mengabaikan para jurnalis itu.
“Kudengar pelaku yang bernama Verde itu adalah pasangan gay-mu saat SMA, benarkah itu?”
Cetar! Kurasakan ada sebuah aliran energi yang menghunus jantungku, tepat dari belakang. Dengan sigap kuacungkan jari telunjuk ke udara, dan sedetik kemudian kuacungkan jari itu ke belakang. Tepat ke arah suara vonis itu berasal.
“Jaga-mulutmu-baik-baik-wartawan,” ucapku kata demi kata.
“Hahaha, memangnya kenapa? Kau takut aibmu terbongkar, ya?”
Entah hanya perasaanku saja atau memang benar bahwa para wartawan lain tiba-tiba menutup mulutnya, membiarkan aku dan jurnalis sembarangan itu berduel. Ini harus diselesaikan secepat mungkin, begitu pikirku. Hup, aku melompat dengan cepat ke belakang, membuat mataku dapat menemukan siapa yang berani berbicara seenak itu.
“Perkenalkan dirimu secara jantan, wartawan,” ujarku menantang orang itu, yang ternyata hanyalah seorang pemuda pendek dengan wajah kemerahan.
“Huh, baiklah. Dengarkan baik-baik karena tidak akan ada siaran ulang,” ujarnya sambil melepas jaket.
“Aku adalah Luis! Jurnalis muda terhebat di kota ini!” ia berseru dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi, pikirku. Beberapa wartawan mulai saling berbisik sementara beberapa lagi ada yang memutuskan pulang karena tidak sanggup melihat.
“Lebih baik kita pulang sekarang, tak baik berurusan dengan jurnalis. Mereka selalu berlindung di balik undang-undang kebebasan pers,” bisik Pak Thomas. Tidak, aku tak bisa membiarkan harga diriku terinak-injak oleh anak muda itu. Akan kutunjukkan apa itu kebebasanversiku.
“Hebat? Kau 100 tahun terlalu muda untuk mengatakan itu! Kau hanyalah tukang jual gosip, itu terbukti dari pertanyaanmu tadi!” seruku kepadanya, masih diliputi emosi.
“Huh! Tidak percaya? Kau tidak akan bertahan menghadapi pertanyaan-pertanyaanku!” jawabnya lantang sebelum berlari ke arahku.
Dengan cepat ia mengambil kameranya dan mengarahkan fokus ke wajahku. Sial, takkan kubiarkan dia mengekspos diriku dan mendapat keuntungan dari situ. Aku melompat menghindar sambil mengangkat mantel untuk melindungi wajahku dari serbuat lampu kilatnya.
“Cklik-Cklik-Cklik!”
“Berhenti mengambil gambarku!” teriakku sambil melempar mantel cokelatku ke arahnya. Ukuran tubuhnya yang relatif kecil membuatnya mampu terselimuti secara total oleh mantel kesayanganku. Bagus, sekarang dia benar-benar tidak berdaya. Kuhampiri dia dan menyibakkan mantel itu. Aneh, yang kutemukan hanyalah sebuah sobekan kertas dengan sebuah goresan tinta biru.
“Ini kalimat pembuka di artikelku: tidak ada yang menyangka jika Moren, lulusan terburuk di SMA-nya dulu..,” aku membaca kertas itu dalam hati sebelum kemudian menjadi sangat marah.
“Beraninya kau! Aku adalah siswa terbaik di angkatan! Tiga besar selama enam semester berturut-turut dan tujuh penghargaan di bidang menulis!” teriakku dengan kesal sambil merobek kertas itu.
“Oh, kalau begitu kau harusnya sekarang menjadi penulis besar terkenal dong, bukan seorang pengangguran,” terdengar suara yang menjengkelkan itu lagi dari belakang.
Pengangguran. Itu adalah sebuah kata tabu bagiku. Sebuah kata yang tidak pernah ada dalam kamusku sejak aku lulus dari sekolah menengah. Aku pasti menjadi penulis besar. Itulah yang selalu kupikirkan saat itu.
“Biar kujelaskan padamu, nak. Aku memang belum terkenal, tapi aku bukanlah pengangguran. Cerita pendekku sudah di muat di tiga edisi koran lokal,” ujarku lebih tenang sambil menatap langit.
Kulihat bulan malam ini bersinar sangat terang, namun terkesan sedih karena warnanya kebiruan. Oh, itu mungkin karena efek mataku yang berair. Seperti mengatakan sebuah cermin rusak ketika melihat pantulan wajahmu jelek.
“Dan kau juga perlu tahu bahwa impianku tidak akan berhenti hanya karena ceritaku belum dapat diterima publik!” ujarku lantang sambil menatap mata pemuda itu.
“Aku, Moren, akan membuat sebuah maha karya sehingga aku tidak merasa berdosa dengan pilihan hidupku!” itulah kalimat terakhirku padanya disertai dengan acungan jari telunjuk, sama seperti sebelumnya.
“Bagus sekali,” wartawan muda tersenyum penuh arti ke arahku.
Ia mengeluarkan tape recorder dari sakunya dan menekan tombol merah, seperti tanda bahwa sebuah wawancara telah berakhir.
“Terima kasih telah memberiku berita yang sangat bagus, Tuan Moren. Kau mendapat apresisasi yang tinggi dariku, hahaha,” ia tertawa sebelum berlari ke arah kegelapan.
Mataku terus memperhatikan ke arah ia pergi sampai akhirnya disadarkan oleh Pak Thomas. “Ayo kita pulang sekarang, wartawan lainnya juga sudah meninggalkan tempat ini,” ujarnya mengingatkanku. Benar juga katanya, orang-orang yang mencari berita itu benar-benar tak tersisa satu pun. Seakan sebuah badai telah menyapu bersih mereka selagi aku berhadapan dengan anak muda tadi.
“Aneh, bukannya tadi mereka semangat mewawancaraiku?”
“Ya, tentu saja mereka pulang. Tak ada gunanya bagi mereka untuk membuat berita dari Yang-Telah-Memiliki-Tanda,”
Aku mengernyitkan dahi mendengar jawaban inspektur itu sampai kemudian ia menatap tangan kananku. Sekilas tanganku tampak biasa saja sampai aku membuka telapak tanganku. Sebuah tanda yang tak lain huruf Alpha berwarna biru tercetak di situ. Bagaimana bisa? Apakah tanda itu tertempel saat aku merobek kertas jebakan darinya?
“Apa yang akan terjadi kepada Yang-Telah-Memiliki-Tanda?” tanyaku penasaran.
“Berita tentang mereka dipastikan akan muncul di halaman pertama setiap media, dan semua berita itu hanya memiliki satu sumber. Luis si Tinta Biru,” jawab Pak Thomas menutup perbincangan kami malam itu.
Bagi kebanyakan orang, menjadi berita utama di koran pastilah menyenangkan. Namun untuk pada kasus ini, aku merasa berbeda. Aku yang bermimpi mencapai langit justru menjadi pijakan orang lain yang hampir atau bahkan telah menembus langit. Terlebih lagi dalam bidang yang nyaris sama. Dipecundangi. Tidak, ini jauh lebih dari itu. Luis, kau akan menjadikanku target beritamu sekali lagi. Tapi di saat itu, kau akan memuat berita bagaimana seekor naga telah kembali ke langit.
![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
fict ini saya buat sebagai kelanjutan dari salah satu trit kumcergal saya World of Failed Stories yang judulnya Bulan Biru.
karena ini bukan one shot tapi merupakan seri jadi saya pisah tritnya. dan ini bikinnya pake niat gak kayak cerita2 lain di trit itu
![Hammer (S) emoticon-Hammer (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/hammers.gif)
Genre: misteri, komedi, horor, tragedi, drama
yak, langsung saja. ini episode 1 yang singkat saja
![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
Spoiler for ep. 1 part 1:
Perlombaan Menuju Langit
“Baiklah, Tuan Moren. Terima kasih atas kerja samanya,”
“Sama-sama Pak Thomas. Terima kasih juga untuk kopi hangatnya,”
Pria paruh baya yang bernama Thomas itu menyalamiku lalu mengantar aku keluar kantor. Yang kumaksud bukan kantor sebuah firma, apalagi kantor pos. Bukan main-main, ini adalah kantor polisi! Maksudku, aku baru saja bercakap-cakap (lebih tepatnya memberikan keterangan) dengan seorang inspektur sesungguhnya yang mana benar-benar mirip dengan salah satu adegan cerita misteri yang pernah kubuat!
“Nah, sekarang aku akan mengantarmu sampai..,”
Kalimat petugas polisi itu belum selesai ketika sekerumunan orang mengelilingi kami begitu Pak Thomas membuka pintu. Orang-orang itu bukanlah penodong atau kawanan mafia, karena tidak ada penjahat yang menggunakan tape recorder dan kamera untuk merampok. Mereka, menurut analisaku, adalah pers. Pemburu berita yang haus kehebohan.
“Tuan Moren, apakah benar pelakunya adalah seorang teman lama anda?”
“Bagaimana cara penjahat menembus sistem keamanan berganda?”
“Apa benar ia melakukannya atas nama membela lingkungan?”
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengalir deras diiringi hujanan lampu kilat. Sesaat aku merasa seperti seorang peyanyi yang baru mendapat platinum, dan yang kuketahui seorang artis akan sangat keren jika mengabaikan wartawan. Jadi sekarang aku mencoba hal serupa, berusaha terus berjalan dan mengabaikan para jurnalis itu.
“Kudengar pelaku yang bernama Verde itu adalah pasangan gay-mu saat SMA, benarkah itu?”
Cetar! Kurasakan ada sebuah aliran energi yang menghunus jantungku, tepat dari belakang. Dengan sigap kuacungkan jari telunjuk ke udara, dan sedetik kemudian kuacungkan jari itu ke belakang. Tepat ke arah suara vonis itu berasal.
“Jaga-mulutmu-baik-baik-wartawan,” ucapku kata demi kata.
“Hahaha, memangnya kenapa? Kau takut aibmu terbongkar, ya?”
Entah hanya perasaanku saja atau memang benar bahwa para wartawan lain tiba-tiba menutup mulutnya, membiarkan aku dan jurnalis sembarangan itu berduel. Ini harus diselesaikan secepat mungkin, begitu pikirku. Hup, aku melompat dengan cepat ke belakang, membuat mataku dapat menemukan siapa yang berani berbicara seenak itu.
“Perkenalkan dirimu secara jantan, wartawan,” ujarku menantang orang itu, yang ternyata hanyalah seorang pemuda pendek dengan wajah kemerahan.
“Huh, baiklah. Dengarkan baik-baik karena tidak akan ada siaran ulang,” ujarnya sambil melepas jaket.
“Aku adalah Luis! Jurnalis muda terhebat di kota ini!” ia berseru dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi, pikirku. Beberapa wartawan mulai saling berbisik sementara beberapa lagi ada yang memutuskan pulang karena tidak sanggup melihat.
“Lebih baik kita pulang sekarang, tak baik berurusan dengan jurnalis. Mereka selalu berlindung di balik undang-undang kebebasan pers,” bisik Pak Thomas. Tidak, aku tak bisa membiarkan harga diriku terinak-injak oleh anak muda itu. Akan kutunjukkan apa itu kebebasanversiku.
“Hebat? Kau 100 tahun terlalu muda untuk mengatakan itu! Kau hanyalah tukang jual gosip, itu terbukti dari pertanyaanmu tadi!” seruku kepadanya, masih diliputi emosi.
“Huh! Tidak percaya? Kau tidak akan bertahan menghadapi pertanyaan-pertanyaanku!” jawabnya lantang sebelum berlari ke arahku.
Dengan cepat ia mengambil kameranya dan mengarahkan fokus ke wajahku. Sial, takkan kubiarkan dia mengekspos diriku dan mendapat keuntungan dari situ. Aku melompat menghindar sambil mengangkat mantel untuk melindungi wajahku dari serbuat lampu kilatnya.
Spoiler for ep. 1 part 2:
“Cklik-Cklik-Cklik!”
“Berhenti mengambil gambarku!” teriakku sambil melempar mantel cokelatku ke arahnya. Ukuran tubuhnya yang relatif kecil membuatnya mampu terselimuti secara total oleh mantel kesayanganku. Bagus, sekarang dia benar-benar tidak berdaya. Kuhampiri dia dan menyibakkan mantel itu. Aneh, yang kutemukan hanyalah sebuah sobekan kertas dengan sebuah goresan tinta biru.
“Ini kalimat pembuka di artikelku: tidak ada yang menyangka jika Moren, lulusan terburuk di SMA-nya dulu..,” aku membaca kertas itu dalam hati sebelum kemudian menjadi sangat marah.
“Beraninya kau! Aku adalah siswa terbaik di angkatan! Tiga besar selama enam semester berturut-turut dan tujuh penghargaan di bidang menulis!” teriakku dengan kesal sambil merobek kertas itu.
“Oh, kalau begitu kau harusnya sekarang menjadi penulis besar terkenal dong, bukan seorang pengangguran,” terdengar suara yang menjengkelkan itu lagi dari belakang.
Pengangguran. Itu adalah sebuah kata tabu bagiku. Sebuah kata yang tidak pernah ada dalam kamusku sejak aku lulus dari sekolah menengah. Aku pasti menjadi penulis besar. Itulah yang selalu kupikirkan saat itu.
“Biar kujelaskan padamu, nak. Aku memang belum terkenal, tapi aku bukanlah pengangguran. Cerita pendekku sudah di muat di tiga edisi koran lokal,” ujarku lebih tenang sambil menatap langit.
Kulihat bulan malam ini bersinar sangat terang, namun terkesan sedih karena warnanya kebiruan. Oh, itu mungkin karena efek mataku yang berair. Seperti mengatakan sebuah cermin rusak ketika melihat pantulan wajahmu jelek.
“Dan kau juga perlu tahu bahwa impianku tidak akan berhenti hanya karena ceritaku belum dapat diterima publik!” ujarku lantang sambil menatap mata pemuda itu.
“Aku, Moren, akan membuat sebuah maha karya sehingga aku tidak merasa berdosa dengan pilihan hidupku!” itulah kalimat terakhirku padanya disertai dengan acungan jari telunjuk, sama seperti sebelumnya.
“Bagus sekali,” wartawan muda tersenyum penuh arti ke arahku.
Ia mengeluarkan tape recorder dari sakunya dan menekan tombol merah, seperti tanda bahwa sebuah wawancara telah berakhir.
“Terima kasih telah memberiku berita yang sangat bagus, Tuan Moren. Kau mendapat apresisasi yang tinggi dariku, hahaha,” ia tertawa sebelum berlari ke arah kegelapan.
Mataku terus memperhatikan ke arah ia pergi sampai akhirnya disadarkan oleh Pak Thomas. “Ayo kita pulang sekarang, wartawan lainnya juga sudah meninggalkan tempat ini,” ujarnya mengingatkanku. Benar juga katanya, orang-orang yang mencari berita itu benar-benar tak tersisa satu pun. Seakan sebuah badai telah menyapu bersih mereka selagi aku berhadapan dengan anak muda tadi.
“Aneh, bukannya tadi mereka semangat mewawancaraiku?”
“Ya, tentu saja mereka pulang. Tak ada gunanya bagi mereka untuk membuat berita dari Yang-Telah-Memiliki-Tanda,”
Aku mengernyitkan dahi mendengar jawaban inspektur itu sampai kemudian ia menatap tangan kananku. Sekilas tanganku tampak biasa saja sampai aku membuka telapak tanganku. Sebuah tanda yang tak lain huruf Alpha berwarna biru tercetak di situ. Bagaimana bisa? Apakah tanda itu tertempel saat aku merobek kertas jebakan darinya?
“Apa yang akan terjadi kepada Yang-Telah-Memiliki-Tanda?” tanyaku penasaran.
“Berita tentang mereka dipastikan akan muncul di halaman pertama setiap media, dan semua berita itu hanya memiliki satu sumber. Luis si Tinta Biru,” jawab Pak Thomas menutup perbincangan kami malam itu.
Bagi kebanyakan orang, menjadi berita utama di koran pastilah menyenangkan. Namun untuk pada kasus ini, aku merasa berbeda. Aku yang bermimpi mencapai langit justru menjadi pijakan orang lain yang hampir atau bahkan telah menembus langit. Terlebih lagi dalam bidang yang nyaris sama. Dipecundangi. Tidak, ini jauh lebih dari itu. Luis, kau akan menjadikanku target beritamu sekali lagi. Tapi di saat itu, kau akan memuat berita bagaimana seekor naga telah kembali ke langit.
Diubah oleh raivac 05-02-2013 11:16
0
1.3K
Kutip
11
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan