

TS
ekka4shiki
[Orifict-Oneshot] Salingers Post-War Diary
Iseng-iseng bikin lagi ... 
Ini adalah cerita dari Salinger, seorang survivor perang yang dianggap pahlawan.
And, it's a serious stuff, no comedy here ...
Feel free to leave a comment
Hai namaku Salinger dan semua orang menganggapku pahlawan. Tatapan bangga sekaligus kagum terpeta jelas dimata mereka saat memandang kearahku. Keingintahuan pun selalu tersirat di setiap kata kata mereka ketika mengajakku bicara. Ingin tahu tentang bagaimana aku menghadapi tentara musuh kejam dengan aksi yang heroik . Ingin tahu tentang bagaimana rasa nasionalismeku yang tinggi mengungguli niat jahat tak bermoral dari tentara musuh. Ingin tahu tentang cerita sewaktu para petinggi memberiku medali sebagai tanda penghargaan atas pengabdianku pada negara ini. Ya, aku punya sebuah medali, tapi apa itu membuatku menjadi seorang pahlawan ?
Orang orang jelas berpikir begitu. Mereka selalu menyambut gembira orang-orang yang kembali dengan medan perang dengan suka cita, apalagi yang memiliki medali. Aku suka menyebut keadaan ini dengan nama Post-War Syndrome. Tapi aku bisa mengerti. Mungkin dikepala mereka sudah muncul bayangan bahwa apa yang aku lakukan itu seperti apa yang terjadi di adegan film film dimana protagonistnya selalu bersikap heroik dan siap berkorban demi bangsa dan negaranya. Sesuatu yang pada keadaan sebenarnya terjadi biasa saja, bisa menjadi sangat berlebihan dibayangan mereka. Itu tidak aneh, karena mereka meninggikan nilai dari kata pahlawan itu sendiri sehingga mereka juga secara otomatis membayangkan sesuatu yang flashyyang sesuai dengan image itu.
Tapi realitas itu tidaklah indah, setidaknya dari apa yang terjadi padaku. Karena aku tidak sehebat dan sesuci yang mereka kira. Mereka tidak pernah berada di medan perang, mereka tidak tahu keburukan-keburukan apa yang bisa terjadi di kancah peperangan yang busuk itu. Mereka tidak tahu.
Ini semua berawal ketika mereka yang memerintah tidak bisa menyelasaikan masalah yang mereka mulai sendiri dan memilih untuk menggunakan cara kasar seperti perang, alih-alih dengan cara diplomatik yang seharusnya mereka ahli dalam hal itu. Untuk kepentingan mereka, orang-orang sepertiku dipanggil dengan embel-embel untuk menjalankan kewajiban untuk melayani negara.
Oh, tapi mereka pintar tentu saja. Mereka mengisi pikiran pikiran yang positif pada kami para tentara, meyakinkan bahwa apa yang kami lakukan adalah untuk menyelamatkan negara ini, untuk mengakhiri teror yang meresahkan selama ini. Lawan api dengan api itu perlu katanya, meski kedengarannya kasar.
Dan seperti yang kubilang mereka pintar, dengan sedikit propaganda bahwa pihak musuh itu adalah pihak yang 100% salah dan kitalah pihak yang 100% benar. Itu sudah cukup untuk membuat semacam mentalitas Kita vs Mereka ,Putih vs Hitam, Kebaikan vs Kejahatan. Dimana mentalitas itu membuat kami para tentara lebih nyaman dalam menarik pelatuk senjata kami.
Dan aku pikir mungkin faktor mentalitas ini jugalah yang secara tidak langsung membentuk persepsi masyarakat tentang perang dan mungkin juga ikut berkontribusi membentuk Post-War syndrome yang terjadi sekarang. Ini adalah perang untuk kebenaran, sudah pasti yang berperang juga pembela kebenaran, mungkin seperti itu. Lagipula dimasa konflik seperti itu pasti media juga akan mengikuti arah dari pihak yang memerintah. Bagaimana tidak? Mereka tidak punya pilihan. Dengan adanya mentalitas yang dibuat tadi, menjadi tidak ada tempat untuk opini lain, yang tidak sama berarti tidak punya nasionalisme atau bahkan pengkhianat.
Tentu saja itu perkara mudah bagi media untuk memotret pihak musuh secara negatif, bahwa mereka adalah pencuri tidak tahu malu yang harus diberi pelajaran. Dan tentunya juga mudah bagi media untuk membuat image bagaimana tentara musuh itu adalah tentara kejam, tak punya perasaan dan merupakan mesin pembunuh yang bengis, tidak seperti tentara pihak kami yang bertarung atas dasar cinta tanah air dan pencari kedamaian.
Nah itu sebenarnya tidak terbukti ketika aku menjejakan kakiku di medan peperangan. Tidak kalau kau satu kelompok dengan seorang yang bernama Tom Cleverley. Aku memang tidak akrab dengannya, bicara saja jarang, karena ya jujur saja aku ini seorang penyendiri. Tapi aku selalu mengamati , oh ya aku suka mengamati. Tom memang orang yang menarik perhatianku ketika pertama bertemu, dan yang membuatku tertarik adalah : Sikapnya yang enggan berperang.
Mengamati Tom berarti harus siap dengan ide ide negatif. Ia suka mengeluh. Ketika bangun pagi ia mengeluh tentang bagaimana ia terseret ke dalam perang yang tak ia inginkan. Ketika menjelang siang ia mengeluh tentang bagaimana ia lelah kalau harus ditembaki oleh orang-orang yang ia sama sekali tidak kenal. Sebelum tidur ia mengeluh tentang bagaimana nyawanya yang cuma satu itu tidak akan cukup dan ia tidak sudi untuk memberikannya secara cuma - cuma.
Orang yang aneh Tom, kau tidak akan menemukan nasionalisme dalam dirinya seperti bayangan ideal orang-orang, satu tetes pun tidak. Tapi entah kenapa sikap Tom yang seperti itu terasa begitu wajar, begitu normal. Dan itu membuatku berpikir, bagaimana kalau dilubuk hati yang terdalam semua tentara disini juga seperti itu? Cuma mereka tidak punya keteguhan hati seorang Tom dalam bersikap sehingga lebih memilih untuk menutupi itu dengan sikap heroisme untuk menenangkan hati? Ya pasti lebih mudah begitu, lebih mudah punya pikiran kalau mati berarti mati mulia karena untuk membela negara daripada punya pikiran kalo mati ya selesai sudah, mati sia-sia.

Ini adalah cerita dari Salinger, seorang survivor perang yang dianggap pahlawan.
And, it's a serious stuff, no comedy here ...

Feel free to leave a comment

Spoiler for Part 1:
Hai namaku Salinger dan semua orang menganggapku pahlawan. Tatapan bangga sekaligus kagum terpeta jelas dimata mereka saat memandang kearahku. Keingintahuan pun selalu tersirat di setiap kata kata mereka ketika mengajakku bicara. Ingin tahu tentang bagaimana aku menghadapi tentara musuh kejam dengan aksi yang heroik . Ingin tahu tentang bagaimana rasa nasionalismeku yang tinggi mengungguli niat jahat tak bermoral dari tentara musuh. Ingin tahu tentang cerita sewaktu para petinggi memberiku medali sebagai tanda penghargaan atas pengabdianku pada negara ini. Ya, aku punya sebuah medali, tapi apa itu membuatku menjadi seorang pahlawan ?
Orang orang jelas berpikir begitu. Mereka selalu menyambut gembira orang-orang yang kembali dengan medan perang dengan suka cita, apalagi yang memiliki medali. Aku suka menyebut keadaan ini dengan nama Post-War Syndrome. Tapi aku bisa mengerti. Mungkin dikepala mereka sudah muncul bayangan bahwa apa yang aku lakukan itu seperti apa yang terjadi di adegan film film dimana protagonistnya selalu bersikap heroik dan siap berkorban demi bangsa dan negaranya. Sesuatu yang pada keadaan sebenarnya terjadi biasa saja, bisa menjadi sangat berlebihan dibayangan mereka. Itu tidak aneh, karena mereka meninggikan nilai dari kata pahlawan itu sendiri sehingga mereka juga secara otomatis membayangkan sesuatu yang flashyyang sesuai dengan image itu.
Tapi realitas itu tidaklah indah, setidaknya dari apa yang terjadi padaku. Karena aku tidak sehebat dan sesuci yang mereka kira. Mereka tidak pernah berada di medan perang, mereka tidak tahu keburukan-keburukan apa yang bisa terjadi di kancah peperangan yang busuk itu. Mereka tidak tahu.
Ini semua berawal ketika mereka yang memerintah tidak bisa menyelasaikan masalah yang mereka mulai sendiri dan memilih untuk menggunakan cara kasar seperti perang, alih-alih dengan cara diplomatik yang seharusnya mereka ahli dalam hal itu. Untuk kepentingan mereka, orang-orang sepertiku dipanggil dengan embel-embel untuk menjalankan kewajiban untuk melayani negara.
Oh, tapi mereka pintar tentu saja. Mereka mengisi pikiran pikiran yang positif pada kami para tentara, meyakinkan bahwa apa yang kami lakukan adalah untuk menyelamatkan negara ini, untuk mengakhiri teror yang meresahkan selama ini. Lawan api dengan api itu perlu katanya, meski kedengarannya kasar.
Dan seperti yang kubilang mereka pintar, dengan sedikit propaganda bahwa pihak musuh itu adalah pihak yang 100% salah dan kitalah pihak yang 100% benar. Itu sudah cukup untuk membuat semacam mentalitas Kita vs Mereka ,Putih vs Hitam, Kebaikan vs Kejahatan. Dimana mentalitas itu membuat kami para tentara lebih nyaman dalam menarik pelatuk senjata kami.
Dan aku pikir mungkin faktor mentalitas ini jugalah yang secara tidak langsung membentuk persepsi masyarakat tentang perang dan mungkin juga ikut berkontribusi membentuk Post-War syndrome yang terjadi sekarang. Ini adalah perang untuk kebenaran, sudah pasti yang berperang juga pembela kebenaran, mungkin seperti itu. Lagipula dimasa konflik seperti itu pasti media juga akan mengikuti arah dari pihak yang memerintah. Bagaimana tidak? Mereka tidak punya pilihan. Dengan adanya mentalitas yang dibuat tadi, menjadi tidak ada tempat untuk opini lain, yang tidak sama berarti tidak punya nasionalisme atau bahkan pengkhianat.
Tentu saja itu perkara mudah bagi media untuk memotret pihak musuh secara negatif, bahwa mereka adalah pencuri tidak tahu malu yang harus diberi pelajaran. Dan tentunya juga mudah bagi media untuk membuat image bagaimana tentara musuh itu adalah tentara kejam, tak punya perasaan dan merupakan mesin pembunuh yang bengis, tidak seperti tentara pihak kami yang bertarung atas dasar cinta tanah air dan pencari kedamaian.
Nah itu sebenarnya tidak terbukti ketika aku menjejakan kakiku di medan peperangan. Tidak kalau kau satu kelompok dengan seorang yang bernama Tom Cleverley. Aku memang tidak akrab dengannya, bicara saja jarang, karena ya jujur saja aku ini seorang penyendiri. Tapi aku selalu mengamati , oh ya aku suka mengamati. Tom memang orang yang menarik perhatianku ketika pertama bertemu, dan yang membuatku tertarik adalah : Sikapnya yang enggan berperang.
Mengamati Tom berarti harus siap dengan ide ide negatif. Ia suka mengeluh. Ketika bangun pagi ia mengeluh tentang bagaimana ia terseret ke dalam perang yang tak ia inginkan. Ketika menjelang siang ia mengeluh tentang bagaimana ia lelah kalau harus ditembaki oleh orang-orang yang ia sama sekali tidak kenal. Sebelum tidur ia mengeluh tentang bagaimana nyawanya yang cuma satu itu tidak akan cukup dan ia tidak sudi untuk memberikannya secara cuma - cuma.
Orang yang aneh Tom, kau tidak akan menemukan nasionalisme dalam dirinya seperti bayangan ideal orang-orang, satu tetes pun tidak. Tapi entah kenapa sikap Tom yang seperti itu terasa begitu wajar, begitu normal. Dan itu membuatku berpikir, bagaimana kalau dilubuk hati yang terdalam semua tentara disini juga seperti itu? Cuma mereka tidak punya keteguhan hati seorang Tom dalam bersikap sehingga lebih memilih untuk menutupi itu dengan sikap heroisme untuk menenangkan hati? Ya pasti lebih mudah begitu, lebih mudah punya pikiran kalau mati berarti mati mulia karena untuk membela negara daripada punya pikiran kalo mati ya selesai sudah, mati sia-sia.
0
1.8K
Kutip
10
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan