- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 01:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
25K
Kutip
308
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
benbela
#66
Quote:
Bab 5 : Amin
Pak Wardoyo lanjut bercerita tentang apa yang mereka alami saat hendak pulang. Untaian demi untaian kata yang terucap dari bibirnya membuatku maupun Galih merasa resah.
"Sebenarnya aku dan ibu masih ingin istirahat barang satu atau dua hari lagi. Bagaimana pun juga kami masih kelelahan setelah perjalanan panjang kemaren. Namun, Retno mendesak ingin segera pulang."
Selanjutnya, adegen demi adegan yang ia ceritakan membuatku terhanyut, seolah aku turut menyaksikan.
Sekitar pukul 10.00 pagi, pak Wardoyo tengah menikmati kopi sembari merokok bersama haji Barkat, si pemilik kontrakan. Memang sudah kebiasaan pak Wardoyo untuk bangun pagi meski tidur selarut apapun. Setelah itu ia akan tidur siang jika merasa tidurnya belum cukup.
Kala itu mereka mengobrol panjang lebar, dari hal remeh temeh yang sifatnya basa basi hingga ke pembicaraan serius terkait apa yang dialami Retno. Mereka bercengkrama di tengah berisiknya suara kicauan dari gedung sarang burung walet milik haji Barkat yang ada di samping rumah. Singkong goreng serta aneka wadai juga terhidang di depan mereka.
"Sewaktu pertama kali ngontrak di sini, Retno itu baik-baik saja. Ia bersikap normal, tidak ada yang aneh. Layaknya anak gadis yang baru diterima kerja, ceria dan penuh semangat. Setahun setelah itu, barulah Retno mengalami kejadian yang agak ganjil.
Suatu sore, saat adzan magrib berkumandang, Retno mendadak histeris di kamarnya. Ia menjerit, merasa panas. Awalnya, kukira hanya kapidaraan biasa. Ketempelan mahluk halus yang tak terlalu serius. Entah karena kepuhunan atau manyaranta. Tidak sengaja membuang air panas sembarangan atau mematahkan ranting pohon, sehingga ada kambe hai yang merasa terusik."
"Kambe hai?" tanya pak Wardoyo.
"Bangsa jin," sahut haji Barkat, "Setelah dipercik air doa, ia mulai mereda. Namun, aku sadar ada yang tak beres ketika kejadian serupa berulang. Aku tak bisa berbuat banyak, karena ilmuku kalah tuha. Hanya semampunya saja."
Haji Barkat menuturkan, ia sebenarnya curiga karena Retno acap kali mendadak demam tatkala hendak pulang kampung. Bahkan, Retno pernah sudah tiba di bandara di Banjarmasin, tapi keesokan hari sudah kembali ke kontrakan.
"Aku tidak berani ikut campur terlalu jauh, lantaran kukira ada masalah keluarga. Biasanya, ketempelan mahluk halus akan semakin menjadi apabila ada masalah keluarga atau sedang sakit. Selain itu, Retno menjalani hari dengan sikap normal, tetap bekerja seperti biasa. Ia juga pintar membaur, bahkan sudah bisa bahasa daerah sini. Karena itu, kukira ia memang tidak berniat pulang kampung."
"Pak haji, terima kasih banyak, sudah turut membantu menjaga Retno selama ini," ujar Pak Wardoyo seraya menatap haji Barkat dengan serius.
"Hanya saja, dulu sempat ada seorang lelaki yang kadang mampir ke kontrakannya usai jam kerja. Persis beberapa bulan sebelum putrimu sakit-sakitan. Lelaki itu naksir berat dengan Retno. Namun, anak gadismu menolak. Katanya, lelaki itu sudah beristri."
"Seorang lelaki? Siapa?" buru pak Wardoyo.
"Atasannya. Lelaki itu kepala cabang tempat Retno bekerja."
Mendengar cerita pak Wardoyo dadaku bergemuruh. Emosiku menggelegak seketika. Dapat kurasakan darahku mendidih karena amarah.
"Kurang ajar! Pak, akan kucari lelaki itu. Akan kuhajar dia. Akan kubuat dia menyesal karena telah mencelakai Retno!" sentakku penuh emosi.
Galih bergegas mencengkram kedua pundakku, lalu menatapku tajam. "Dibyo, tenang! Jangan sembarang menuduh kalau tak ada bukti."
"Aku tidak peduli. Siapapun yang mencelakai Retno akan berhadapan denganku."
"Sst… pelankan suaramu. Kita jadi perhatian orang."
Dengan kasar kutepis cengkramannya. Kutinggal ia dan pak Wardoyo, lalu mendekat ke arah Retno yang masih terbaring dengan perasaan kesal. Keluarga pasien lainnya terheran melihat tingkahku, sementara Galih masih lanjut ngobrol dengan pak Wardoyo. Sejurus kemudian, Galih tampak menelpon seseorang.
Dihadapanku, Retno masih terlelap. Napasnya pelan teratur sementara dadanya bergerak naik turun. Entah kenapa hatiku terasa sakit. Tak kusangka, perjalanan cinta kami akan serumit ini. Kuraih tangannya, memperhatikan bekas luka gores yang membengkak.
"Tadi ia kerasukan," ujar bu Lastri lirih. Kulihat matanya sembab dan wajahnya pucat.
"Kerasukan?"
Bu Lastri mengangguk pelan.
"Tadi, sewaktu bapak mengobrol di luar bersama pemilik kontrakan, Retno tiba-tiba membangunkanku yang tidur di sebelahnya. Saat membuka mata, kulihat Retno sudah dalam keadaan panik. Ia memaksa pulang ke Jawa hari ini juga. Tapi, dalam perjalanan ia tiba-tiba mengamuk. Hampir saja kami celaka."
"Hampir celaka?"
Bu Lastri sekali lagi mengangguk. Katanya, mereka pergi terburu-buru atas permintaan Retno. Retno saat itu juga langsung menelpon travel dan memesan tiga tiket tujuan Banjarmasin.
"Tapi, Ret. Dibyo ada di sini. Dia jauh-jauh datang dari Jawa demi menjemputmu. Apa kau…"
"Wes, buk. Aku ora kenal karo sing jenenge Dibyo. Aku benar-benar gak kenal dia, dan gak mau berurusan dengannya. Pokoknya hari ini juga kita pulang, buk. Retno rindu sama bapak sama ibu. Retno rindu sama rumah, sama adik. Retno takut, buk. Retno takut, hu..hu..hu…"
Kata bu Lastri, Retno mulai menangis dan memeluknya sangat erat. Tangisan Retno tak ubah tangisan anak kecil yang merengek pada ibunya. Tangisan anak kecil yang takut ditinggal pergi orang tuanya. Batin bu Lastri trenyuh, melihat sang anak begitu menderita.
"Karena itu, Dib, aku dan bapak sepakat tak mengabarimu. Rencananya, kami akan langsung memberitahumu begitu tiba di Jawa. Semua demi Retno. Karena itu juga, ibu minta dicarikan orang pintar. Terlalu banyak hal janggal yang dialami Retno. Hal yang tak bisa dijelaskan oleh medis."
Bu Lastri menatapku dengan pandangan sayu. Ada rasa bersalah sekaligus kesedihan dari sorot matanya. Sorot mata seorang ibu yang begitu mencintai anaknya.
"Ya bu, nggak apa-apa. Saya bisa ngerti, bu."
"Makasih ya, Dib. Semoga Retno bisa lekas membaik, dan kalian bisa bersatu jadi suami istri."
Aku mengangguk lalu tersenyum. Senyum tulus dari seorang calon menantu.
"Bu, ini, tangan Retno. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku lagi.
Bu Lastri tidak langsung menjawab. Ia mencondongkan badan, mengecup mesra kening Retno dengan penuh kasih sayang. Jari-jari kurusnya yang mulai keriput menyisir rambut sang anak penuh kelembutan. Sudut matanya mulai berair, menyimpan kesedihan yang mendalam.
Ia kembali duduk, pandangannya menerawang. Terbata-bata ia kembali menceritakan apa yang telah terjadi.
"Awalnya, semua berjalan lancar. Tidak banyak barang yang dibawa Retno, kecuali beberapa lembar pakaian dan barang penting lainnya. Rencananya, sisa barang akan dikirim pemilik kontrakan setelah kami tiba di Jawa. Barang yang tak bisa dikirim, akan dijual selakunya. Termasuk sepeda motornya.
Ternyata, belum terlalu jauh kami meninggalkan kota ini, Retno mendadak merasa pusing. Padahal, baru sekitar 100 meter selepas jembatan Barito. Kukira ia hanya mabuk darat biasa, tapi semakin lama semakin janggal. Ia mengeluh kepanasan padahal AC sudah sangat dingin. Aku saja sampai menggigil saking dinginnya."
Aku menghela napas. Apa yang disampaikan bu Lastri selanjutnya membuatku bergidik ngeri. Katanya, keringat mulai membasahi tubuh Retno. Bu Lastri yang kebingungan mencoba menyentuh dahi anaknya, alangkah terkejutnya dia. Badan Retno terasa sangat dingin. Sedingin menggenggam es batu.
Retno juga mulai sesak napas seolah ada yang mencekik lehernya. Matanya bahkan melotot hingga hampir lepas. Bu Lastri dan pak Wardoyo pun panik. Keduanya meminta sopir untuk berhenti. Belum sempat sopir menepi, Retno mendadak tertawa kencang. Rambutnya sudah acak-acakan sedangkan sorot matanya liar.
Penumpang lainnya juga mulai cemas, melihat tingkah Retno yang ganjil. Tanpa diduga, Retno tiba-tiba mengamuk. Dengan beringas ia mencekik leher sopir yang persis ada di depannya. Mobil yang tadinya sudah hampir berhenti mendadak melaju cepat.
Mobil bergerak liar kesana kemari, ban berdecit hebat di atas aspal. Penumpang menjerit, Retno makin kesetanan. Seorang penumpang yang duduk di samping supir berusaha mengendalikan mobil yang melaku semakin kencang. Pak Wardoyo serta penumpang lainnya berusaha memegang Retno sekuat tenaga.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah warung setelah tiga orang berjibaku memegang lengannya.
"Sopir yang emosi langsung keluar dari mobil dan hendak memarahi Retno. Namun, ia langsung mundur ketakutan demi melihat tampang Retno yang menyeramkan. Hingga beberapa saat kemudian Retno terkulai tak berdaya.
Penumpang lainnya berhamburan keluar, takut Retno akan kembali membahayakan keselamatan mereka. Orang-orang kampung berkerumun, ingin tahu apa yang terjadi.
Setelah berunding, aku dan bapak sepakat untuk membatalkan kepulangan ke Jawa. Kami mencegat mobil lewat, dan meminta tolong mengantarkan ke rumah sakit."
Selama beberapa detik aku membisu. Aku seolah kehilangan kata-kata. Selang beberapa saat, Pak Wardoyo dan Galih sudah di samping.
"Sebaiknya kita berdoa, memohon keselamatan bagi Retno," ajak Pak Wardoyo.
Kami semua sepakat, lalu mengatur posisi di samping ranjang Retno. Pak Wardoyo membuka handphonenya, mencari doa perlindungan di google.
Kuraih kalung rosario, menautkan jemari dengan kedua sikut bertopang pada ranjang. Kami semua tertunduk penuh khidmat tatkala pak Wardoyo mulai mengucapkan doa.
"Santo Mikael, Malaikat Agung. Belalah kami pada hari pertempuran. Jadilah pelindung kami. Melawan kejahatan dan jebakan si jahat. Dengan rendah hati kami mohon, kiranya Allah menghardiknya."
"Aamiin.." .
Kami tersentak, tiba-tiba ada suara tak dikenal menyahut. Suara lirih, serak dan berat. Suara yang bikin bulu kuduk merinding. Suara berdesis yang terdengar sangat jelas di telinga.
Saat itulah kami tersadar, Retno telah duduk dengan rambut acak-acakan. Kepalanya bergoyang pelan sedangkan bola matanya berputar hingga hitam sempurna. Aku bergidik, wajahnya terlihat seram. Ia menatap pak Wardoyo dengan seringai mengerikan.
"Aamiin," ucapnya sekali lagi.
… bersambung…
jenggalasunyi dan 31 lainnya memberi reputasi
32
Kutip
Balas
Tutup