- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 01:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
24.8K
Kutip
308
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
benbela
#86
Quote:
Bab 7 : Perempuan Berambut Darah
"Dibyo, jangan macam-macam!"
Galih mencengkram erat tanganku yang memegang pisau dan merangkulku dari samping.
"Dibyo, apapun yang kau pikirkan, sebaiknya kau hentikan."
Aku tak menghiraukan. Emosiku sudah terlanjur menggelegak dan tak bisa ditahan lagi.
"Dibyo, percaya sama aku, semua akan baik-baik saja. Jangan sampai perjuanganmu sia-sia karena masuk penjara," bisik Galih di telinga.
Aku tersentak. Kata-kata Galih seketika menyadarkanku. Ia perlahan merebut pisau dari genggamanku dan melemparnya begitu saja, lalu mendudukanku di pinggiran beton taman selasar. Taman yang tak terurus.
"Pisau itu, mengupas buah aja tidak mempan," sindirnya.
Kulihat kedua tanganku telah basah dengan keringat dan gemetar hebat.
Puji Tuhan, ucapku dalam hati.
Aku mengucap syukur berkali-kali, aku masih waras. Aku masih belum terjebak dalam bujuk rayu setan. Kuraih kalung rosario dan kugenggam erat di tangan. Aku bersedekap, menundukan wajah lalu memanjatkan doa pengampunan dengan khidmat.
Ya Allah, kasihanilah aku. Di dalam nama Yesus Kristus, Juru Selamatku yang telah menderita sengsara dan wafat bagiku, aku telah meminta ampun.
"Nih, minum!"
Galih menyodorkan sebotol air mineral padaku. Kutenggak air dengan pelan hingga dahagaku perlahan menghilang.
"Bang Dibyo?"
Aku menengadah, rupanya lelaki tadi. Galih bergerak cepat, duduk di sebelah kanan lalu memegang lenganku sangat kencang.
"Bang, aku turut prihatin. Aku baru mengenalnya sekitar enam bulan. Tapi, aku sudah bisa menilai bahwa kinerja Retno memang bagus," ucapnya seraya duduk di sebelah kiri.
Galih yang duduk di samping semakin erat mencengkram lenganku hingga aku meringis.
"Enam bulan?" Aku menatap wajah lelaki ini, meminta penegasan.
"Iya, enam bulan. Aku baru menjabat sekitar enam bulan di kantor cabang ini. Sebelumnya di kabupaten lain. Aku menggantikan kepala cabang sebelumnya yang meninggal dunia."
Galih melepaskan cengkramannya dari tanganku setelah mendengar penuturan lelaki ini. Ia menarik lepas lega, sementara aku bersikap biasa saja. Sekedar basa-basi, aku kembali bertanya.
"Kalau boleh tahu, ia meninggal karena apa?"
Lelaki itu menarik napas pelan, seolah ada kesedihan di garis wajahnya yang bersih dan terawat.
"Entahlah…kematian beliau agak janggal."
"Agak janggal?" Kali ini Galih yang sepertinya tertarik.
"Iya, agak janggal. Almarhum pak Riza tewas tenggelam. Padahal, beliau pernah jadi atlet renang pelajar sewaktu SMP dan SMA. Beliau meninggal saat memancing. Sampan mereka mendadak terbalik walau tak ada arus deras. Dua orang korban lainnya berhasil selamat saat berenang ke pinggir.
Sedangkan pak Reza, ia mendadak tenggelam saat berenang. Seolah ada sesuatu yang menarik tubuhnya dari dasar sungai. Jasadnya ditemukan seminggu kemudian dengan kondisi mengenaskan. Itupun setelah diadakan ritual oleh tetua kampung. Ritual ganti badan dengan mengurbankan babi yang dihanyutkan di sungai."
Aku duduk terpaku mendengar ceritanya. Apakah ada hubungannya dengan kasus yang menimpa Retno atau hanya kebetulan, aku belum bisa menyimpulkan.
Tatkala melihat rekan kerja Retno lainnya keluar ruangan, lelaki itu lantas berdiri. la menyalamiku dan Galih bergantian kemudian pamit. Aku menatap punggung mereka yang berjalan menjauh.
"Untung saja kau tidak gegabah. Hampir saja kau membuat semua orang repot," ujar Galih.
Aku tersenyum dan menepuk pundaknya.
"Bang Dibyo, sebentar."
Seorang perempuan berambut sebahu memanggilku dari ujung lorong. Perempuan yang tadi bersama kawan Retno lainnya. Aku bergegas menghampiri, meninggalkan Galih dan Pak Wardoyo yang baru saja keluar ruangan.
"Ada apa, mbak?"
"Bang, Retno pernah cerita…"
Ia memiringkan bahu, mengintip ke balik punggungku. Rupanya Pak Wardoyo dan Galih mendekat. Entah kenapa perempuan ini mendadak menghentikan kalimatnya dengan wajah cemas.
"Bang, waspadalah dengan orang sekitarmu."
Ia balik badan kemudian melangkah cepat, menyusul kawannya yang lain.
"Ada apa? Apa yang ia sampaikan?" selidik pak Wardoyo.
"Entahlah, gak jelas," sahutku sekedarnya.
Kulirik, pak Wardoyo menatap tajam ke arah perempuan itu. Entah apa yang ia pikirkan, aku tidak berani menduga-duga.
*****
Aku melangkah pelan, mengikuti pak Wardoyo dan Galih yang berjalan di depan. Begitu menapakan kaki di ruang rawat, aku menghentikan langkah. Kulihat Retno tengah menikmati buah-buahan yang disuapi bu Lastri.
Namun, sikapnya mendadak berubah demi melihatku di depan pintu. Wajahnya yang tadi sudah ceria kini berubah penuh amarah.
Tanpa aba-aba, Retno membanting piring yang dipegang bu Lastri. Piring itu terlempar dan menghantam lantai. Bunyi dentingan piring pecah cumiakkan telinga. Pecahannya berhamburan dan terlempar kesana kemari.
Bu Lastri terperanjat dan keluarga pasien lainnya kaget.
Retno mengeram bak anjing liar, lidahnya terjulur dan meneteskan liur. Matanya melotot, hitam sempurna dan giginya bergemelutuk.
Ranjang bergemeretak dan berdecit, lantaran kedua tangannya mencengkram erat kedua sisi ranjang yang terbuat dari besi.
Aku merinding, Retno mendadak menunjukku dengan tatapan marah.
"Peergii…! Retno ayungkuh…Retno matei…matei…"
Keluarga pasien lainnya menjerit, bu Lastri menangis. Galih menarik tanganku, membawaku keluar ruangan.
"Ia tak suka kehadiranmu," kata Galih lirih, "kau tunggu di sini saja."
Sejurus kemudian, ruang rawat kembali hening. Retno sudah kembali tak sadarkan diri setelah dipeluk ayahnya. Dengan menahan isak, bu Lastri mengumpulkan serpihan piring yang pecah. Seorang perawat tampak tergesa berjalan ke dalam ruangan, lalu pak Wardoyo dan Galih keluar melewati pintu dengan menenteng beberapa tas.
*****
Sekitar pukul 9 malam, kami meluncur ke kontrakan Retno. Saat malam hari, kota kecil ini semakin sepi sedangkan lampu penerang jalan banyak yang tidak menyala. Selain itu,
toko dan warung banyak yang sudah tutup, hanya ada beberapa warung lalapan yang masih setia menunggu dagangannya habis.
Aku tak menyangka, di kota pelosok ini juga banyak orang dari Jawa yang mengadu nasib. Para pedagang lalapan ini kebanyakan dari Jawa Timur, sedangkan pedagang bakso sebagian besar dari Jawa Tengah.
Kami memesan tiga bungkus lalapan, karena yang kami beli sebelumnya sengaja ditinggal di rumah sakit. Di jalan yang tidak terlalu lebar,
beberapa pengendara motor melesat dengan kecepatan tinggi. Knalpot brong terdengar kencang menusuk telinga.
Setelah pesanan kami dibungkus, perjalanan kami lanjutkan menuju kontrakan Retno. Kurang dari 10 menit, kami sampai di tujuan.
Setelah meminjam kunci dari haji Barkat, kami memasukan tas dan barang bawaan lainnya milik pak Wardoyo, bu Lastri dan Retno ke dalam kontrakan.
Kontrakan ini meski sederhana tapi lumayan mewah. Terdapat ruang tamu, kamar tidur ber AC, dapur, serta kamar mandi dalam. Juga disediakan tempat cuci dan jemur pakaian di belakang dan tertutup tembok. Mirip kos-kosan S2 di Jogja.
Layaknya kosan perempuan, kontrakan Retno ini bersih dan rapi. Terdapat beberapa pigura, foto dan aksesoris lainnya yang membuat kontrakan ini menjadi asri dan nyaman. Selain itu, sebuah sepeda motor berstandar ganda terparkir di ruang tamu.
Aku dan pak Wardoyo menyusuri tiap sudut kontrakan untuk mencari benda yang mencurigakan, sedangkan Galih menuju mobil. Pak Wardoyo mencari di dalam kamar anaknya, sementara aku menelusuri tiap jengkal ruang tamu. Tiap sudut kucari, mulai dari pojokan televisi, karpet, hingga celah jendela dan ventilasi. Pak Wardoyo beberap kali memanggilku, yang kujawab aku di ruang tamu.
Upayaku terhenti sewaktu Galih masuk membawa tiga bungkus lalapan dan air mineral.
"Makan dulu, dari tadi kita belum makan," ajak Galih seraya melangkah menuju dapur.
Pak Wardoyo datang membawa tiga piring dan gelas, rupanya beliau juga sudah sangat lapar. Namun ada yang janggal, wajahnya pucat dan nafasnya ngos-ngosan, sementara tangannya yang memegang piring gemetaran.
"Pak, jenengan kenapa?" tanyaku.
Beliau menggeleng dan berucap pelan, "tidak apa-apa. Hanya lapar saja."
Kami duduk lesehan di dapur, sudah tak sabar ingin mengganjal perut yang keroncongan. Namun, kami mendadak terperangah. Begitu dibuka, nasi dan lauk yang kami bawa mengeluarkan aroma busuk yang menyengat. Semilir bau anyir langsung menyeruak ke seluruh penjuru ruang tamu.
Nasi yang kami bawa mengeluarkan lendir, sedangkan ayam dan ikan mengeluarkan belatung. Mahluk menjijikan itu menggeliat, keluar satu persatu dari bolongan-bolongan kecil di daging yang membusuk.
Tak kuat menahan mual, aku berhamburan keluar. Aku muntah di ujung teras dalam kondisi berjongkok dan memegang perut. Perutku rasanya dikocok dan mataku sampai berair. Beberapa meter di samping, Galih juga dalam kondisi yang sama.
Pak Wardoyo mencanting lalapan sambil memencet hidung dan membuangnya ke dalam bak sampah.
"Pedagang sialan! Bisa-bisanya menipu! Bisa-bisanya menjual makanan basi! Podo jawane kok tetap wae nipu" Galih memaki sejadinya.
"Bukan…bukan makanan basi. Pedagang itu tidak menipu. Kalian kan lihat sendiri makanan itu tadi masih segar sebelum dibungkus," sahut Pak Wardoyo seraya menyerahkan air mineral pada kami.
Galih terdiam. Apa yang disampaikan pak Wardoyo memang benar. Tadi kami menyaksikan sendiri pedagang itu menggoreng ikan dan ayam yang masih segar. Nasinya juga masih hangat saat dibungkus.
"Lalu, kenapa bisa busuk, pak?" Aku menatap pak Wardoyo yang sedang menerawang.
"Ada mahluk halus. Bila makanan tiba-tiba basi, biasanya ada mahluk tak kasat mata yang lebih dahulu memakannya. Mereka pasti duduk di samping kita. Sewaktu kita membuka bungkusnya, mereka berebutan menyantapnya terlebih dahulu."
Aku memegang tengkuk yang mulai merinding, sedangkan Galih tidak bisa menyembunyikan ketakutan dari wajahnya.
"Pak, jenengan bercanda, kan?" ujar Galih.
Pak Wardoyo menggeleng, "Aku sempat melihatnya. Dia hampir membuatku celaka."
Kata pak Wardoyo, tadi ia mencari benda yang mencurigakan di dalam kamar mandi. Sewaktu mencari di celah ventilasi, ia merasa ada yang mengawasi di antara baju dan handuk yang tergantung di balik pintu. Namun, ia membiarkan karena menganggap hanya perasaannya saja.
Ia mulai merasa ada yang tak beres saat tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. Ia segera berbalik, karena mengira aku yang menepuk. Ketika melihat tidak ada siapa-siapa, pak Wardoyo berniat kembali melanjutkan aktifitasnya.
Ia tanpa sengaja menengok ke arah dapur. Ia sempat melihat ada seseorang sedang duduk di atas kompor. Sosok itu terlihat samar, tidak jelas apakah laki-laki atau perempuan. Hanya berupa siluet yang tak jelas.
"Awalnya aku tidak kaget, karena kukira itu kamu, Dib. Meski aku sempat heran, ngapain kamu jongkok di atas kompor. Ketika kudekati, ternyata tidak ada siapapun di atas kompor. Saat melihat ke ruang tamu, ternyata kamu di situ, Dib. Makanya, aku sempat memanggilmu beberapa kali tadi."
Aku bergidik ngeri, sementara Galih justru semakin penasaran.
"Pak, jenengan yakin tidak sedang berhalusinasi?"
"Lih, aku memang sudah kakek-kakek, tapi aku belum pikun. Aku tahu apa yang kulihat. Apa lagi saat mencari di kamar Retno, bulu kudukku benar-benar berdiri," tambah pak Wardoyo.
Aku yakin apa yang disampaikan pak Wardoyo bukanlah halusinasi. Sebagai juragan batik yang sukses, beliau tidak mungkin ngelantur. Katanya, setelah melihat tidak ada siapa-siapa di dapur, ia kemudian masuk ke dalam kamar Retno.
Ia mencari di tiap sudut kamar, mulai dari pojok lemari hingga di bawah kasur. Namun, apa yang ia cari tetap tidak ketemu. Ia kemudian terdiam, merasa ada yang meniup tengkuknya. Tengkuknya terasa sangat dingin bagai di siram es. Apalagi ia mendengar suara lirih, seperti suara perempuan yang memanggil-manggil ayah.
Sadar keadaan semakin menakutkan, ia bergegas hendak keluar kamar. Namun, belum sempat ia melangkah ia langsung terdiam. Ia melihat di cermin ada seorang perempun di belakangnya. Perempuan itu mirip Retno, hanya saja wajahnya pucat dan matanya sendu. Bahkan, pakaiannya pun mirip yang dikenakan Retno. Ia berdiri hanya dua jengkal di belakang dengan senyum misterius.
"Saat itu aku benar-benar tidak berkutik. Ingin lari, tapi kakiku tak bisa digerakan. Yang lebih mengerikan, batok kepalanya yang retak ketika mengeluarkan darah. Darahnya terus merembes hingga membasahi seluruh rambutnya. Darahnya bahkan membasahi pakaiannya hingga bagian dada. Aku baru tersadar ketika mendengar suara Galih di ruang tamu."
"Pak, aku tak peduli apakah setan atau manusia. Jila ia ingin mencelakai Retno, maka akan kubuat ia menyesal," timpalku serius.
Praang…!
Kami semua kaget, namun tak berani bersuara. Terdengar suara benda jatuh dari arah dapur. Seperti suara panci atau piring yang dilempar. Kami semua terdiam dan saling lirik, tak ada seorang pun yang berani angkat bicara.
Kriing…!
Kami lagi-lagi kaget, lalu menarik napas lega. Ternyata suara dering handphone pak Wardoyo. Ia pun bergegas mengangkat, rupanya panggilan dari bu Lastri. Wajahnya berubah tegang dan panggilan telpon langsung ditutup.
"Kita harus ke rumah sakit, sekarang!" sentak pak Wardoyo panik.
"Ada apa, pak?" tanyaku cemas.
Dengan terbata-bata pak Wardoyo berucap, "Retno hilang."
Deg!
Jantungku rasanya melorot.
…bersambung…
Lanjur bawah...
jenggalasunyi dan 26 lainnya memberi reputasi
27
Kutip
Balas
Tutup