TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
Tidak pernah ada yang benar-benar tahu, apa yang sebenarnya terjadi di malam itu. Bagaimana Yuli bisa lolos dari dalam kamar yang terkunci rapat dan kemana dia pergi setelahnya, semuanya seakan tertutup kabut yang samar.
Satu-satunya nama yang seharusnya bisa menjadi saksi kunci, Joyo, pingsan tak sadarkan diri. Hal terakhir yang bisa tukang kebun itu ingat hanyalah suara langkah kaki diseret, sentuhan lembut di tengkuk dan suara berbisik milik perempuan yang memanggil namanya.
Perkara sentuhan dan suara berbisik itu bisa saja tak lebih dari sekadar halusinasi yang disebabkan oleh naiknya adrenalin dan ketakutan Joyo sendiri. Pengakuan itu masih bisa diperdebatkan validitasnya. Tapi untuk suara langkah kaki yang diseret, ada saksi lain yang mengkonfirmasinya. Dia adalah Dedi; si pengecut yang lari begitu saja meninggalkan Joyo dalam kondisi sawanen.
Saksi ketiga adalah Samsul; yang pulang terlebih dulu setelah mengantar Ibu Sari ke Gereja Kota. Dia adalah orang pertama yang menemukan Joyo tergeletak tak sadarkan diri dan kondisi kamar Yuli yang sudah terbuka tak berpenghuni. Bingung harus berbuat apa, Dedi hanya mondar mandir di depan tubuh sahabatnya itu. Tak berani dia menyentuh Joyo karena sempat mengira bahwa Joyo sudah dalam kondisi tak bernyawa.
Di tengah kekalutan itulah, Dedi mengaku sempat merasa ada seseorang mengintip dan mengawasinya. Perlu diperjelas; hanya merasa, bukan memergoki atau melihat dengan mata kepalanya sendiri. Seperti semacam perasaan tidak nyaman yang timbul karena insting bahwa di Panti itu ada seseorang lain yang sedang mengamatinya dari kejauhan, tanpa bisa membuktikan apakah si pengintai itu benar-benar ada atau tidak.
Perasaan itu bahkan sampai bisa membuat gentar seorang Dedi yang dikenal sebagai si nyali besar di lingkungannya. Setelah terjepit dalam sebuah dilema antara pergi menjauh dari tempat yang membuatnya tidak nyaman itu atau menolong Joyo terlebih dulu, Dedi akhirnya memutuskan untuk lari ke pagar depan dan menunggu rombongan Ibu Sari dan orang dari Gereja, yang kita semua tahu, datang tak lama kemudian dengan mobil berwarna putih. Lalu disusul oleh Dokter Herlambang sekitar setengah jam setelahnya.
Maka, mari kita kembali ke pertanyaan paling awal; Kemana Yuli? Bagaimana dia bisa keluar dari pintu yang terkunci dari luar? Apakah memang benar ada campur tangan dari sesuatu tak kasat mata yang terlibat dalam hilangnya Yuli malam itu seperti persepsi Joyo dan Dedi? Atau, ada hal lain yang mereka dan kita tidak ketahui sebelumnya?
Quote:
“Aduh, malah semaput (pingsan)!!” Sesosok figur yang tubuhnya tertutup jaket parka hitam dengan tudung yang dinaikkan ke kepala itu berlutut tepat di samping tubuh Joyo yang jatuh dari kursinya ke permukaan tanah. Tampak dia sempat berusaha mengguncang-guncang tubuh si tukang kebun itu. Berharap dia segera sadar, walaupun tentu saja cara itu berujung kesia-siaan.
“Gawat ini, gawat!” Seakan berbicara pada dirinya sendiri, sesosok misterius itu kemudian berdiri dan mondar-mandir kesana kemari. Beberapa kali dia tampak membenarkan posisi tudung jaket seakan ingin memastikan wajahnya masih terlindung dari cahaya lampu.
Sesaat, sempat muncul pikiran untuk membatalkan niatnya datang kesini dan segera kabur sebelum teman Joyo yang tadi sempat lari ketakutan itu tiba-tiba saja kembali ke tempat ini. Belum lagi, bagaimana jika Joyo tiba-tiba sadar dan melihat keberadaannya di sini? Siapa bisa menjamin dia akan tutup mulut? Siapa yang tahu dia ada di pihak yang mana?
Ah, tidak bisa! Aku sudah terlanjur sampai di tempat ini. Sudah terlalu terlambat untuk kembali dengan tangan kosong! Buru-buru dia buang jauh pikiran itu sambil memutar pandangan ke arah samping. Berjarak tak lebih dari tiga langkah kaki di sebelah kiri tempatnya berdiri saat ini, pintu yang menjadi tujuan utamanya itu tampak tertutup dengan rapat. Entah terkunci atau tidak; itu sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah.
Dia cukup yakin kuncinya dibawa oleh Joyo, mungkin dimasukkan di saku jaket parasut dengan merk sepeda motor yang tertulis besar-besar di bagian punggung itu. Atau kalau dugaan itu ternyata salah, dia bisa mengambil kunci cadangan di ruang kerja yang berada di lantai dua gedung tengah Panti.
Yang jelas, akhir dari tujuannya sudah berada di depan mata. Sudah terlalu dekat untuk mengurungkan niat. Lagipula di sisi lain malam semakin gelap, yang mana artinya waktu yang ia miliki juga makin terpangkas. Dia harus bergerak cepat! Jangan ada waktu yang terbuang lebih banyak lagi!
Dia, sang sosok misterius berjaket hitam itu, kemudian kembali berjongkok di dekat tubuh Joyo. Kedua tangannya lincah bergerak merogoh saku kanan dan kiri jaket milik Joyo. Memeriksa apakah benda yang dicarinya ada di sana. Tapi sayang hasilnya nihil. Hanya ada sebungkus rokok, korek dan beberapa kupon togel yang dilipat dengan rapi.
Tapi menyerah bukanlah pilihan. Sasarannya berpindah ke saku celana. Tapi kali ini dia lebih berhat-hati, takut kalau tangannya masuk terlalu dalam ke saku celana Joyo dan tanpa sengaja menyentuh sesuatu yang sama sekali tak seharusnya dia sentuh.
Dan...eurekaa! Nyaris saja si misterius ini melompat kegirangan ketika benda yang dia cari benar-benar berada di sana; di kantong celana sebelah kanan. Kunci kamar dengan gantungan bertuliskan YAYASAN SOSIAL KASIH BUNDA, yang dengan cepat berpindah tempat ke genggaman tangannya.
Satu masalah telah selesai! Batinnya sambil berdiri dan melangkah mendekat ke pintu kamar itu. Tak ia pedulikan lagi rasa lengket yang tidak nyaman di tubuh akibat keringat yang terus mengucur di balik jaket tebal itu.
Besi kunci sudah dimasukkan ke lubang pintu. Tinggal memutarnya dua kali, dan pintu akan terbuka. Tapi...
Sesaat Si Misterius ini malah terdiam. Tangannya tak jua bergerak. Nyanyian nyaring jangkrik yang saling bersahutan seakan menjadi pengiring atas betapa senyapnya tempat ini sekarang. Senyap, yang kemudian membuat pikirannya melayang ke belakang. Teringat bagaimana pernah ada darah yang tertumpah dan ada akal sehat yang terenggut di balik pintu ini.
Ingatan itu, mau tak mau, menyalakan kembali geram dan amarah yang menghangatkan dada. Matanya berubah tajam, tangannya terkepal erat sampai sedikit gemetar. Kau, yang ada di balik pintu ini, datang dan kemudian menghancurkan kedamaian serta kehangatan tempat ini. Kau melukai, memberi ketakutan dan bahkan merusak hubungan orang-orang yang dulunya pernah saling menyayangi!
Aku tak takut kepadamu! Si Misterius menarik turun tudung jaket parkanya, membuat rambut panjang lepek dan wajah berkilauan keringat itu kini terbuka sepenuhnya. Tersinari oleh cahaya lampu yang menyinari sepanjang lorong Panti ini.
Kunci diputar dua kali. Klik, klik! Dan pintu di dorong ke arah dalam. Membuatnya kini berada dalam posisi terbuka sepenuhnya.
“Teko tenan kowe...” (Beneran datang kamu...)
Di dalam sana, si penghuni kamar sedang duduk di tepian ranjang dengan kedua tangan yang mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Kepalanya miring menatap lurus ke arah Si Misterius itu, sambil memberikan seulas senyum yang mengerikan. Seakan-akan, dia sudah menunggu kedatangan seseorang dari tadi.
"Kowe ora goreh to, Rissa? Aku ora lali, kowe pernah janji arep ngewangi nggenepi lakonku..." (Kamu enggak lupa kan, Rissa? Aku masih ingat, kamu pernah janji akan membantu untuk menggenapi peranku...)
Spoiler for Note:
BAGI YANG SUDAH LUPA BAGIAN TENTANG JANI RISSA INI, BISA DIBACA SEKILAS DI BAGIAN AWAL EPISODE 24.1
Quote:
Mari kita mundurkan alur sedikit, di delapan jam sebelumnya, dimana jam dinding besar yang tergantung di atas kepala para resepsionis rumah sakit itu masih menunjukkan pukul setengah sebelas nyaris tengah hari.
Sedangkan di salah satu sudut dari ruang tunggu yang cukup luas itu, tampak seorang perempuan muda duduk termangu di kursi kayu panjang . Matanya menerawang, melamun dengan dagu tertopang. Suara berisik televisi yang sedang menyiarkan berita gosip murahan itu tak dipedulikannya sama sekali. Mungkin karena sudah terlanjur tenggelam jauh dalam kegamangannya sendiri.
Perempuan muda itu adalah Rissa. Dan saat itu dia sedang tidak baik-baik saja. Kepalanya terasa berat, menanggung sesal yang kian waktu kian membesar. Sebuah sesal yang berasal dari keputusan yang dia ambil sendiri pagi tadi; menelepon Dokter Herlambang dan mengabarinya tentang keadaan di Panti.
Ya, harus dia akui bahwa keputusan itu diambil Rissa dalam keadaan lelah, emosional dan kurang pertimbangan. Yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana cara menyingkirkan Yuli dari Panti. Semuanya sudah terlampau kacau balau; Amsal kehilangan dua ruas jari, dan Ibu Sari kehilangan seluruh akal sehat. Kalau dibiarkan terus, bukan tidak mungkin akan lebih banyak hal yang direnggut oleh perempuan gila itu.
Sampai di satu titik, tak ada nama lain yang muncul di kepala Rissa untuk dijadikan sekutu kecuali Dokter Herlambang. Maka, dengan terburu-buru dan tanpa berpikir panjang, dia menghubungi dokter muda itu dengan telepon umum Rumah Sakit.
Tapi seusai telepon itu ditutup dan percakapan antara mereka berdua usai, pikiran Rissa lambat laun mulai berubah arah. Pertanyaan-pertanyaan seperti'apa keputusan yang aku ambil ini sudah benar?' sampai 'bagaimana kalau membiarkan Dokter Herlambang tahu malah membuat semuanya makin runyam?' terus berseliweran di kepala Rissa.
Lalu, prasangka-prasangka itu kian menjalar, membesar dan membengkokkan persepsi Rissa sendiri. Apa yang ada dipikiranku sampai meminta bantuan kepada seseorang yang belum jelas berada di pihak siapa?? Ratap Rissa dengan pedih, sambil memukul-mukul pahanya sendiri karena tak tahu harus kemana dia melampiaskan perasaan yang menyiksa itu.
Tidak! Dia mengusap air mata dengan lengannya. Dokter Herlambang tidak bisa dipercaya! Bahkan sebenarnya, tidak ada satupun yang bisa dipercaya dalam situasi segenting ini! Rissa kemudian bangkit dan berjalan dengan langkah cepat menuju kamar tempat Amsal dirawat.
Di sana, sejenak kaki Rissa terhenti di depan pintu. Matanya nanar, menyaksikan Si gendut itu sedang asyik bercanda dengan Nuel dan Maria, seakan lupa bahwa dia baru saja kehilangan dua jarinya. Pemandangan itu membuat hati Rissa teriris-iris. Perih sekali memang, tapi rasa sakit itu malah makin membakar niat dan keberanian Rissa.
"Amsal sayang, kowe dikancani (kamu ditemani) Nuel sama Maria dulu ya, le? Mbak Rissa mau ngambil sesuatu di Panti." Setelah masuk ke dalam dan membelai lembut rambut Amsal, Rissa pamit sambil memberikan alasan. Matanya melirik jam dinding di atas pintu yang menunjukkan pukul tiga sore lebih sepuluh menit.
Setelah ketiga anak itu menganggukkan kepala, Rissa langsung menyambar kunci mobil di atas meja dan jaket parka hitam yang tergantung di punggung kursi. Tak lupa dia berikan kecupan manis di kening Amsal, Nuel dan Maria secara bergantian, sebelum benar-benar meninggalkan mereka yang kembali saling melempar canda dengan riang gembira.
Kalau mau menyelesaikan masalah, maka aku harus menyelesaikannya sendiri! Rissa telah mengambil keputusan. Dan di setiap jengkal langkah yang dia ambil menyusuri jalan keluar menuju parkiran mobil, rencana-rencana mulai tumbuh subur di kepalanya seperti jamur di musim hujan.
Quote:
Lalu, bagaimana bisa Rissa menyusup ke dalam Panti tanpa ketahuan?
Dua tahun lalu, Amsal pernah hilang dari kamarnya. Seluruh Panti dibuat geger, bahkan warga sekitar ikut dilibatkan untuk mencari si anak gendut itu. Setelah dibagi dalam beberapa kelompok, semua relawan disebar ke berbagai titik. Kebetulan, Rissa termasuk dalam kelompok yang bertugas menyisir bagian hutan di belakang Panti.
Dia menjadi satu-satunya perempuan di antara lima warga sekitar yang kesemuanya adalah laki-laki. Yang berjalan paling depan, Mas Purbo namanya, adalah pemimpin kelompok itu. Alasannya valid; karena Mas Purbo adalah orang yang paling hafal medan. Dia terbiasa keluar masuk hutan untuk mencari kayu.
Di akhir cerita, memang bukan kelompok Mas Purbo yang berhasil menemukan Amsal (yang ternyata hanya pergi main ke rumah salah seorang anak sekitar dan tidak pamit kepada siapapun). Tapi ingatan Rissa masih cukup kuat untuk mengingat medan yang pernah Mas Purbo tunjukkan kepadanya.
Hutan di belakang Panti itu hanya terlihat lebat dan rapat dari kejauhan saja. Tapi setelah masuk ke dalam, terbentang sebuah jalan tanah selebar satu meter. Jalan setapak itu bisa dimasuki dari jalan aspal, tepat di belakang warung bambu yang jaraknya dua kilometer di sebelah timur Panti. Kata Mas Purbo, jalur ini jarang dilalui kecuali oleh sedikit warga yang masih mencari kayu di dalam hutan.
Di kemudian hari, ketika waktunya cukup luang dan pekerjaan di Panti tidak terlalu padat, Rissa sering menghabiskan waktu dengan jogging ringan di jalan setapak itu. Pemandangan berupa pohon pinus yang berderet dan udara pegunungan yang sejuk, menjadi pelarian baginya untuk melepas penat sambil mencari keringat.
Sampai pernah sekali, Rissa masuk jalur terlalu dalam. Dan untuk pertama kali, dia menemukan ternyata jalan setapak itu bercabang ke kanan dan ke kiri. Yang kanan memiliki trek menurun menuju aliran sungai di bawah, sedang yang kiri menanjak dan berakhir tepat di pagar belakang Panti.
Dari sanalah rencana Rissa dimulai! Setelah memaksakan mobil milik Ibu Sari masuk dan memarkirkannya di titik yang ia rasa tak lagi terlihat dari pinggir jalan aspal, dia kemudian mempersiapkan semuanya. Mesin dan lampu dimatikan, jaket parka hitam dia kenakan, dan doa-doa keselamatan dia lantunkan.
Tuhan bersamaku, Tuhan memberkatiku!Ucapnya dalam hati di langkah pertama, yang kemudian disusul oleh langkah-langkah berikutnya. Sedang sore sudah semakin tua, mungkin sudah lewat pukul lima. Tak butuh waktu lama bagi Rissa untuk menemukan titik cabang dari jalur ini, sebelum kemudian dia membelokkan langkah ke kanan dan mempercepat langkah.
Selain rasa pegal di paha yang mulai terasa karena jalur menanjak dan cahaya matahari yang mulai meredup, tak ada kendala lain yang berarti bagi Rissa. Yang lebih menganggu pikirannya adalah; dia tidak tahu bagaimana kondisi Panti sekarang. Ada berapa orang di sana? Apakah Ibu Sari ada di Panti atau tidak? Jika ada, dimana dia berada? Apakah di kamar Yuli atau di tempat lain?
Sama seperti isi pikirannya, makin lama nafas Rissa juga makin berat. Dia terengah, menapaki jalur yang kian menanjak menuju pagar belakang Panti yang mulai terlihat di balik rimbun dan rapatnya deretan pepohonan.
Tak lebih dari lima menit berlalu, Rissa telah sampai di titik tujuannya. Tembok setinggi dua kali tubuh manusia dewasa itu dibangun membentuk huruf U mengitari seluruh area Panti dengan cat berwarna kuning pudar. Kelelahan, Rissa kemudian langsung menjatuhkan punggungnya di sisi barat tembok. Susah payah dia atur nafas, jantung dan otak sambil bersiap untuk memulai pengintaian.
Lima belas menit kemudian berlalu begitu saja tanpa ada apapun yang terjadi. Tapi Rissa masih berada di sana. Menunggu dengan sabar sembari terus menjaga asa bahwa akan ada celah. Pasti ada celah. Walau itu hanya setitik, Rissa akan memanfaatkannya dengan baik.
Kemudian...
"Joyooo!!" Itu suara Ibu Sari, memanggil si tukang kebun dengan nada yang cukup jelas terdengar sampai di tempat Rissa sedang mengintai. Seperti tertimpa durian runtuh, Rissa bangkit dengan semangat baru dan mendekat dengan kaki yang berjinjit ke sisi tembok yang lebih dekat dengan sumber suara.
"Bilang sama Samsul, saya minta tolong antar ke Gereja Kota sebentar saja. Kamu bawa motor, to?"
Ini waktuku untuk menyusup ke dalam! Rissa berteriak girang di dalam hati. Merasa bahwa Tuhan memudahkan jalannya, membuat Rissa makin yakin bahwa keputusannya adalah keputusan yang benar.
Quote:
Tapi sekarang, Rissa mulai ragu dengan cara yang dipilihnya sendiri. Awalnya dia pikir akan mudah menculik Yuli dan membawanya pergi dari sini. Tinggal paksa dia jalan melewati jalur yang sama dengan jalur dimana dia berangkat tadi, memasukkannya ke dalam mobil dan kemudian menyuruhnya turun di pinggir jalan yang jauh dari Panti.
Hingga Rissa menyadari bahwa yang dihadapinya adalah seseorang dengan kondisi kejiwaan yang tidak tertebak. Bahkan, alih-alih dalam kondisi tertidur seperti yang dia harapkan sebelumnya, Yuli malah duduk manis dengan ringisan senyum penuh kegilaan seperti ini. Seakan sudah menunggu dan menduga akan kedatangan Rissa.
"Ayo, Rissa...ndang budhal. Kowe wis janji lho karo aku..." (Ayo, Rissa...kita berangkat. Kamu sudah janji lho sama aku...)
Kalimat itu diucapkan Yuli dengan nada yang terdengar tidak nyaman dan mengerikan di telinga. Membuat niat dan nyali yang tadi begitu menggebu-gebu itu perlahan mulai rontok ke tanah. Bulu kuduknya seketika berdiri, ketika dia menyadari bahwa kedua tangan Yuli sudah terbebas dari tali pengaman dan jarak di antara mereka terbilang cukup dekat andai dia tiba-tiba saja melompat dan menyerang Rissa. Sama seperti yang dia lakukan kepada Amsal.
Merasa ngeri sendiri, kaki kanan Rissa refleks mundur satu langkah ke belakang. Rencana yang sudah ia susun sedemikian matang, termasuk perjuangan menyusuri jalan setapak di hutan belakang yang melelahkan itu tak lagi Rissa pedulikan. Saat ini, detik ini, yang ada di kepalanya hanyalah tentang pergi dari sini dan kembali ke rumah sakit. Kembali berkumpul dengan anak-anak yang saat ini mungkin sudah merindukan kehadirannya.
"Tai, salah langkah aku!" Dia mendesis, memaki diri sendiri setelah sadar separah apa kebodohan yang sudah ia perbuat. Dengan sisa-sisa keberanian yang masih ada, Rissa memutuskan berbalik badan dan berjalan cepat menjauhi kamar itu.
Tapi, nasib sial sepertinya belum mau menjauh. Belum juga dia melewati tubuh Joyo yang masih tergeletak , telinganya menangkap sebuah suara yang makin membuatnya kalang kabut. Kali ini, benar-benar kalang kabut. “Asuuuu!! Bangsaaaaatt!!”
Suara sepeda motor jelas mengarah ke tempat ini. Seketika otak Rissa membeku, tak bisa diajak bekerja. Satu-satunya kenyataan yang dia sadari hanyalah bahwa kini semuanya sudah terlambat. Seseorang datang mendekat ke tempat ini, pintu yang seharusnya terkunci kini terbuka, dan satu-satunya penjaga tergeletak di atas tanah dalam keadaan pingsan.
Kacau, kacau!! Wajah Rissa membiru. Dan semakin suara motor itu terdengar semakin mendekat, Rissa sudah berada di titik pasrah dimana dia merasa bahwa jatuh pingsan seperti Joyo jauh lebih baik untuknya saat ini.
Ayo Rissa, cepet pingsan! Cepet pingsan!Dia memaksa dirinya sendiri sambil memejamkan mata. Tapi bukannya hilang kesadaran, Rissa malah merasa lengannya disentuh oleh seseorang dari belakang. Sentuhan itu terasa dingin, lembut namun mencengkeram dengan erat. Seketika dia menoleh, dan tepat di belakangnya Yuli sudah berdiri entah sejak kapan. Senyuman mengerikan itu bahkan belum hilang terulas di bibirnya yang kering dan menghitam.
"Arep nyandi, Rissa? Aku ojo ditinggal dewe..." (Mau kemana, Rissa? Aku jangan ditinggal sendirian...)