TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
Sebelum TS memulai cerita, ijinkan TS terlebih dahulu menyampaikan terima kasih kepada seorang perempuan bijaksana yang telah dengan senang hati meluangkan waktunya untuk berbagi kisah dengan kita semua.
TS tidak bisa menyebutkan nama beliau, dimana beliau tinggal dan bagaimana masa lalu yang membuat beliau kemudian bersinggungan dengan cerita ini. Tapi, berawal dari penuturan Mas Adil, TS kemudian berkenalan dan memutuskan untuk mengorek sudut pandang yang beliau alami di masa-masa itu.
Dengan umur yang sudah sepuh dan daya ingat yang semakin menurun, seringkali beliau dibantu oleh "putrinya" yang juga menjadi saksi akan banyak hal. Beliau bertutur dengan terbata-bata, sambil berusaha keras mengingat kembali agar cerita yang beliau sampaikan bisa dengan jelas TS tulis ulang. Dan tak lupa dia berpesan untuk menjaga privasi beliau dan Yayasan yang beliau kelola. Karena walaupun Yayasan tersebut sudah berhenti berjalan sejak 2017 lalu, namun menurut beliau masih sangat mudah orang untuk mengingatnya jika nama Yayasan kembali disebut.
Jadi, untuk mengawali, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu atas ceritanya yang luar biasa. TS doakan semoga Ibu selalu sehat dan diberi umur panjang. TS tahu Ibu orang baik, dan apa yang terjadi dahulu biarlah menjadi kenangan tanpa harus terus-menerus menyalahkan diri sendiri.
LAGU FAVORIT BELIAU
Quote:
Sebuah perjalanan menebas jarak 90 kilometer menuju utara. Menyusuri jalanan panjang yang seakan tak berujung, dengan rasa lelah dan luka yang menggelayuti tubuh.
Seharusnya, hanya butuh waktu dua jam saja untuk sampai ke lokasi yang menjadi tujuan mereka. Sebuah tempat, yang menurut Melia, adalah tempat yang paling aman untuk Yuli saat ini. Atau setidaknya, karena memang mereka tidak punya opsi lain selain tempat itu.
Dan seharusnya, mereka sudah sampai di sana siang ini juga. Tapi nyatanya, rombongan ini harus menepi sebanyak lima kali. Di setiap pemberhentian, mereka menghabiskan dua jam atau lebih untuk beristirahat sambil memastikan mesin mobil rentalan ini tidak mengalami overheat. Dan yang terpenting adalah, membeli perban dan obat-obatan untuk luka di kaki Melia.
"Aku tag nyang mburi seg. Yuli ning mobil ditunggoni Imas!" (Aku ke belakang dulu. Yuli di mobil ditungguin Imas!)
Adil, yang duduk di teras sebuah minimarket bersama Melia, menganggukkan kepala kepada Eko yang tampak berjalan terburu-buru dengan wajah memerah dan tangan yang terus memegangi perut. Seusainya, kembali ia alihkan perhatian ke botol alkohol 100% dan gulungan perban yang tergeletak di meja. Bersiap untuk merawat luka yang kini warnanya mulai menghitam di betis perempuan paling cantik di mata Adil itu.
"Aduh!" Melia mendesis, sepertinya tidak siap dengan rasa perih yang langsung menusuk akibat efek dari cairan alkohol di atas luka yang terbuka itu. "Pelan-pelan aja, please!!"
Adil mendongakkan kepala ke atas, menatap Melia sambil tersenyum lembut. "Iya, tahan bentar. Ben cepet kering lukamu, Mel..."
Ini mungkin adalah momen terindah dalam hidup Adil. Terlepas dari kenyataan bahwa di dalam mobil yang terparkir di depan mereka itu masih ada seseorang dengan urusan yang tinggal selangkah lagi terselesaikan, Adil merasa bahwa petulangan gila ini telah mendekatkannya kembali dengan Melia.
Ah, rasanya memang semesta merestuiku! Pikir Adil. Kenapa juga malam itu hanya Melia yang ada di pikirannya? Dan kenapa juga esoknya dia nekat datang ke fakultas psikologi dan kemudian memaksa perempuan itu untuk ikut bersamanya ke Srigati? Mungkin memang begitulah cara takdir bekerja. Menyatukan kembali dua hati yang telah terpisah sekian lama karena ego dan emosi sesaat saja.
Dengan sabar dan telaten, tangan Adil memutar gulungan perban di kaki Melia sebanyak dua kali. Mengusahakan ikatannya benar-benar kuat dan rapi, agar luka ini cepat mengering.
"Dil..." Suara Melia yang memanggil namanya itu terdengar begitu lembut merasuk di dinding-dinding telinga Adil, tepat setelah ia selesai memasang perban dan kembali berdiri. "Thanks, ya? Buat semua yang udah lo lakuin ke gue."
Senyum Adil pecah di bibir. Bunga-bunga mekar di dalam hatinya. "Thanks juga, kamu udah mau percaya sama aku. Tinggal sedikit lagi, semuanya bakal selesai Mel..."
Melia mengangguk, sambil memandang jauh ke arah senja yang mulai memerah memenuhi seisi langit. "Kayaknya kita bakal sampai sana pas tengah malem, deh..."
Ya, sepertinya begitu. Adil setuju. Kota tempat tujuan mereka masih cukup dari tempat mereka beristirahat saat ini. Sebuah kota yang terletak di tengah-tengah Provinsi. Terkenal sebagai titik transit, kota itu tak bisa dibilang besar kalau dibandingkan dengan dua kota tetangga yang mengapit di sebelah utara dan selatannya. Tapi justru itulah sisi yang menarik dari kota itu. Tidak terlalu padat dan menawarkan nuansa sejuk dan tenang karena letaknya yang berada di dataran tinggi.
Adil sendiri akrab dengan Kota itu. Setidaknya, setiap kali dia bersama teman-temannya berangkat untuk mendaki gunung M******u atau A*****g, kota ini pasti dilewati Adil. Ah, tiba-tiba saja sebuah ide cemerlang tercetus di kepala! Sebuah ide yang sepertinya akan menarik perhatian Melia.
Eh Mel, habis semua ini beres aku mau ngajakin kamu buat naik gunung M*******u. Dan kamu harus mau! Aku pengin kasih lihat ke kamu gimana rasanya menginjakkan kaki di atas awan, sambil menikmati senja dan secangkir kopi berdua. Menghabiskan waktu dengan obrolan-obrolan tentang apapun yang kamu suka. Aku berani bertaruh, kamu bakal menyesali nyinyiran-nyinyiranmu dulu atas hobi naik gunungku setelah kamu mengalami dan merasakannya sendiri.
Kalimat itu tertata sedemikian rapi di kepala Adil, dan siap meluncur bagaikan rentetan peluru yang meledak dari moncong sebuah mitraliur.
Tapi...
...ponsel Melia yang tergeletak di meja itu lebih dahulu berdering. Dengan cepat, sigap dan (Adil menyadarinya) sedikit panik, Melia meraih ponsel itu dan berjalan menjauh dari tempat mereka berdua duduk.
Melia, dengan kaki dibalut perban, memaksakan diri untuk berjalan dengan langkah terpincang...
...hanya untuk mengangkat telepon?
Seketika wajah Adil membeku. Senyum di bibirnya hilang, bunga-bunga yang sempat mekar di hatinya menjadi layu.
"Heh, ngopo rupamu nekuk-nekuk ngono? Ayo ndang mlaku meneh selak tambah bengi. Iki ganti jatahmu sing nyetir!" (Heh, kenapa mukamu kusut begitu? Ayo cepat jalan lagi keburu makin malam. Sekarang gantian kamu yang nyetir!)
Eko muncul dari belakang sambil melemparkan kunci mobil yang jatuh tepat di pangkuan Adil. Tapi alih-alih menjawab, menolehkan kepalapun tidak Adil lakukan. Dia terlanjur tenggelam dalam perasaannya sendiri yang begitu cepat berubah menjadi sekacau balau ini.
Karena...mata Adil terlanjur menangkap nama yang muncul di layar ponsel, sebelum Melia meraih dan membawanya menjauh.
Mine.
Ya, hanya sesingkat itu. Nama yang muncul hanya sesingkat itu. Tapi bagi Adil, nama itu memiliki arti yang sudah cukup jelas.
Jadi, apa arti pelukan, air mata dan ciuman yang Melia berikan ketika dia keluar dari hutan laknat itu? Apa??
Quote:
Ketika telepon di rumahnya berdering, Sari sedang khusyuk menghirup teh hijau hangat dari cangkir berbahan keramik dengan iringan sebuah langgam keroncong berbahasa Belanda yang mengalun syahdu dari gramofon warisan Papanya. Cahaya rembulan yang membias oleh kabut, menyusup masuk dari balik jendela besar di ruang tengah yang dibiarkan terbuka. Menjadi tempias di dalam ruangan yang penuh dengan foto-foto tergantung di tembok; gambar mendiang suaminya dan sepasang bocah lelaki dan perempuan yang kini telah beranjak dewasa dan usai memilih jalan hidup mereka masing-masing. Yang sulung, Benny, menikah dan memutuskan hidup bersama keluarganya di Bali. Sedang si bungsu, Laika, memilih meneruskan pendidikan S-1 di Belanda. Tanah dimana kakek dan leluhurnya dilahirkan.
Sesekali, Sari merasa nelangsa. Kalau dipikir lagi, umurnya belum terlalu tua. Masih 57 tahun. Tapi kenapa rasanya hidupnya sudah sedemikian sepi? Tinggal di sebuah rumah yang cukup besar di pinggiran kota kecil yang sejuk, dengan hanya ditemani seorang gadis muda yatim piatu dari Yayasan Sosial milik keluarga besar yang kini Sari kelola seorang diri.
Namanya Rissa. Sari menyebutnya Si Keras Kepala, Si Bebal dan Si Naif. Ditinggalkan seseorang di selokan dekat Pasar Sapi dalam keadaan tali pusar belum dipotong, sebelum ditemukan oleh beberapa pedagang dan dibawa ke depan pintu masuk yayasan. Yang terjadi kemudian, 17 tahun berlalu dan sudah tak terhitung berapa kali penolakan yang diberikan Rissa kepada keluarga-keluarga yang berniat mengadopsinya. Alasannya macam-macam; mulai dari tidak cocok sampai dia punya firasat kalau mereka bakal memperlakukannya dengan buruk.
Tapi Sari tahu anak ini berbohong. Rissa hanya merasa berhutang budi padanya dan Yayasan. Atau seringkali, Sari melihat ketakutan di matanya. Rissa takut dia tak bisa mendapatkan kasih sayang sebesar yang telah Sari berikan kepadanya.
"Saya ngurus adik-adik saja, Bu. Daripada Ibu bayar orang lain yang ndak jelas. Saya juga bisa ngurus rumah, nemenin Ibu ngobrol, masak dan nyuci." Ucap Rissa suatu hari di ruang sekretariat Yayasan, tepat setelah Laika terbang ke Belanda. Waktu itu, Sari dengan tegas menolak. Meminta Rissa untuk melanjutkan pendidikannya. Atau kalau tidak, mencari kerja di luar sana. Intinya, Rissa sudah terlampau dewasa untuk tetap tinggal di Panti dan dia harus mulai membangun hidupnya sendiri.
Tapi setelah Sari pulang, dan menemukan bahwa rumahnya terasa begitu kosong setelah Laika pergi, dia kemudian menangis karena kesepian dan langsung menelepon Rissa di Panti. Berkata bahwa dia berubah pikiran dan mengabulkan permintaan yang beberapa jam lalu dia tolak mentah-mentah.
Dan beginilah akhirnya. Hari demi hari yang Sari lewati, tak pernah lepas dari berbagai urusan Yayasan dengan Rissa yang berada di sisinya. Tak hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan perempuan, bahkan Rissa dengan cepat belajar menyetir mobil dan kemudian menjelma menjadi sopir pribadi yang selalu siap sedia mengantarkan kemanapun Sari pergi ketika dia malas menyetir sendiri.
Termasuk malam ini, Sari yang tak bisa tidur menelepon Rissa untuk datang menemaninya di rumah. Jarak dari Panti tak begitu jauh, hanya sekitar lima belas menit perjalanan. Dan tepat pukul delapan malam, Rissa sudah berada di depan pintu itu sambil menenteng teh hijau favorit Sari.
"Tumben Bu, ndak bisa sare?" Tanya Rissa tadi sambil meletakkan teh hijau di atas meja. Sari hanya mendesah sambil mengangkat bahu. Memang tidak biasanya seperti ini, tapi sejak sore tadi perasaan hatinya tidak enak. Sampai-sampai dia menelepon Benny dan Laika. Menanyakan kabar keduanya dengan perasaan cemas, yang ternyata mereka baik-baik saja.
Jadi, darimana sumber debar hati yang membuat tidak nyaman ini?
Belum juga ia menemukan jawaban, Sari dibuat tersentak oleh suara telepon yangberdering. Dia kemudian bangkit, dan berjalan ke arah telepon yang ada di atas meja di pojok sana. Tapi ternyata, Rissa lebih gesit. Gagang telepon bergaya klasik itu sudah terlebih dulu menempel di telinganya. Tapi tak lama, setelah menyebut satu nama dengan dahi berkerut, Rissa berikan gagang telepon kepada Sari.
"Dari Melia, katanya mau ngomong sama Ibu..."
Melia? Kini dahi Sari ikut-ikutan berkerut. Melia siapa? Melia yang mana? Tanpa buang waktu, Sari segera menyambut panggilan itu.
"Ini Melia, Bu Sari. Kita pernah ketemu di kota S****** sebelumnya waktu ibu menjadi pembicara di seminar Jurusan Psikologi. Saya asdosnya Pak Muharram kalau ibu masih ingat." Suara diseberang terdengar begitu lemas dan sedikit cemas. "Bisa ketemu malam ini bu? Saya mohon, saya butuh bantuan..."
Sari melirik jam dinding. Sudah nyaris pukul sembilan malam. Tentu saja, dia enggan menerima tamu selarut ini. Apalagi dia tidak terlalu kenal dan cara bicara perempuan ini tampak sedikit mencurigakan.
Tapi sebelum Sari sempat melemparkan penolakan, suara Melia terlebih dulu menyahut di seberang telepon. "Saya habis mengevakuasi ODGJ yang dipasung di daerah G********. Korbannya perempuan dan sekarang butuh tempat untuk dirawat. Saya mohon bu, di kepala saya sudah enggak ada nama lain yang tepat selain Ibu Sari."
Quote:
Spoiler for Panti :
PENTING: FOTO INI BUKAN LOKASI ASLI, TAPI MENURUT NARASUMBER ADALAH CONTOH YANG PALING MIRIP DENGAN BENTUK DAN NUANSA PANTI SOSIAL TERKAIT DI DALAM CERITA
Yayasan Kasih Bunda berdiri dan diresmikam di pertengahan tahun 1995. Kepemilikan oleh Keluarga Bergen dan kini dikelola oleh generasi ketiga dari keluarga tersebut; Maria Hapsari Bergen.
Tapi sebelum berdiri tahun 1995, Yayasan Kasih Bunda adalah sebuah bangunan bekas Motel kecil terbengkalai yang berdiri di tengah area pegunungan. Selanjutnya, pemilik motel diduga kolaps dan meninggalkan aset berupa tanah dan bangunan itu begitu saja. Lalu, Frankie Bergen datang. Lelaki tua asal Belanda yang menikah dengan perempuan pribumi itu lantas membeli tanah serta bangunan, dan mengalihfungsikannya menjadi sebuah panto sosial.
Maka tak heran, jika dilihat dari luar pagar, panti ini tampak berdiri di atas sebuah taman dengan pemandangan hutan khas pegunungan di sekelilingnya. Bangunan tua khas Belanda memanjang berbentuk Letter U dengan taman yang cukup besar di bagian tengah. Diapit dua bangunan saling berhadapan, dimana berjejer kamar-kamar milik para penghuni Panti. Sebagian besar anak-anak yatim piatu, namun pernah juga dihuni penderita gangguan jiwa walau hanya satu dua.
Sedang bangunan yang menghadap pagar depan adalah satu-satunya bangunan yang memiliki dua lantai. Lantai satu dimanfaatkan untuk ruang menonton televisi, ruang makan bersama dan dapur umum. Sedang lantai dua adalah ruang kerja bagi pemilik dan pekerja Yayasan.
Tapi kini, suasana Yayasan Kasih Bunda sudah berbeda dengan dulu di masa-masa awal berdiri. Kamar-kamar itu mulai kosong setelah satu-persatu anak-anak mendapatkan keluarga baru dan sebagian lain sudah beranjak dewasa dan memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar sana.
Tempat ini menjadi makin sepi hari demi hari. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, ada pihak-pihak yang mengajukan tawaran untuk membeli Yayasan untuk diubah kembali menjadi losmen, hotel atau villa. Tapi Sari menolaknya. Selain karena warisan keluarga, dia percaya tempat ini akan dibutuhkan suatu saat nanti. Karena bagi Sari, mengelola Yayasan bukan hanya tanggung jawab kepada kakek dan Papanya atau wujud belas kasih terhadap sesama manusia. Tapi lebih dari itu, Sari merasa bahwa keberadaan Yayasan ini adalah caranya mengabdi kepada Tuhan. Karena Tuhan suka kepada umatNya yang menolong sesama; entah dia yatim piatu atau bahkan penderita gangguan jiwa sekalipun.
Itulah alasan utama kenapa dia akhirnya mempersilakan Melia datang ke Yayasan, bahkan di tengah malam seperti ini. Walaupun sepanjang perjalanan dari rumah menuju Panti, Rissa tak hentinya melayangkan protes kepadanya.
"Ini kan panti asuhan, bukan rumah sakit jiwa! Kalau anak-anak takut gimana?" Walau dengan nada pelan dan seakan berbicara kepada dirinya sendiri, Sari tahu Rissa sedang mengomel separuh menyindir.
Tapi yang disindir hanya tersenyum sambil membalas dengan sebaris kalimat yang ia kutip dari Kitab. "Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Mas Joyo sudah kamu pesenin buat buka pagar, Nit?"
"Harusnya sih udah, Bu..." Rissa menjawab masih dengan nada mengomel, bebarengan dengan mobil yang berbelok masuk ke dalam pagar yang ternyata memang sudah terbuka.
Quote:
Jakarta, di malam yang sama...
Hendardi menutup sambungan telepon dan meletakkannya di atas meja. Dia mendeham, sebelum menatap dua orang lain yang duduk di sofa di depannya. Wajah mereka terlihat panik dan seakan menunggu apapun yang akan Hendardi katakan. Berharap bahwa yang keluar adalah kabar baik, walau mereka semua yang ada di ruang tamu ini sama-sama tahu bahwa kemungkinan besar kabar buruklah yang akan mereka dengar.
"Gunardi baru saja mengabari. Perempuan itu hilang. Dibawa kabur sama orang tidak dikenal."
Benar saja. Kedua orang itu terlihat makin pucat. Kecemasan dan kemarahan campur aduk menjadi satu.
"Terus gimana Mas Hendardi? Ini pasti akan berpengaruh ke bisnis kita!" Satu orang angkat bicara.
"Iya, betul! Harusnya dari awal kita enggak percayain semua sama orang-orang kampung itu!" Satunya ikut meluapkan amarah dengan nada yang sedikit tinggi. Membuat Hendardi sedikit tersulut emosi dan menudingkan jari telunjuknya ke wajah orang itu.
"Anak istriku sedang tidur di atas! Kalau kamu enggak bisa tenang, mending kamu keluar dari sini!" Yang ditunjuk kemudian menundukkan kepala. Tak lagi berani memandang ke arah Hendardi.
Ada jeda tercipta beberapa detik, sebelum Hendardi melanjutkan kalimatnya. "Tapi ada kabar baik. Gunardi bilang masih ada waktu buat kita mencarinya, sebelum upacara dilaksanakan."
Orang yang menundukkan kepala tadi, seketika menemukan kembali rasa percaya dirinya. Dia angkat kepalanya dengan sebuah senyum penuh keyakinan. "Kalau gitu biar orang saya yang urus! Dia udah profesional kalau perkara nyari-nyari orang!"
Hendardi berpikir sejenak, kemudian menganggukkan kepala. "Pastikan dia bakal nyari sampai ketemu. Bahkan kalau harus ke neraka paling dasar sekalipun!"
Orang itu tersenyum lebar. Dia acungkan jempol kepada Hendardi, sambil menempelkan ponselnya ke telinga. "Halo, Theo? Ada kerjaan buat kamu..."