- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
eambiguous206 dan 261 lainnya memberi reputasi
240
308.5K
Kutip
2.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#727
BAGIAN 14
Quote:
"Ayo cepet, Ko! Mlayu sak bantere!!" (Ayo cepet, Ko! Lari sekencangnya!!)
Tanpa harus diberitahu-pun, Eko sudah tahu kalau dia harus segera pergi dari tempat jahanam ini. Dengan terburu-buru, dia mengemas gergaji mesin, memasukkannya ke dalam tas dan berlari kencang keluar dari gubuk. Sedang tepat di belakang, Adil mengikuti dengan langkah yang tentu saja tak bisa secepat Eko. Beban yang dibawanya jauh lebih berat; Yuli.
"Ojo banter-banter mlayumu, kethek ki!!" (Jangan kenceng-kenceng larimu, monyet!!)
Eko menghela nafas panjang. Menyesal, kenapa mereka bisa lupa membahas perkara teknis seperti tentang bagaimana dan dengan cara apa nantinya Yuli dievakuasi dari gubuk menuju mobil. Karena sejujurnya, Eko tidak pernah membayangkan mereka berdua harus membelah belantara di tengah malam sambil menggendong perempuan yang bau prengus setengah mati serta tak henti terkekeh dengan cara yang lama-lama membuat bulu kuduk berdiri seperti ini.
Dan dia hamil. Di balik daster panjang kumal yang membalut tubuh kurusnya itu, perut Yuli tampak membesar. Eko memperkirakan, mungkin usia kehamilannya tujuh atau menjelang delapan bulan.
"baik!" Eko menghentikan larinya sambil mendesiskan makian untuk diri sendiri. Sudah tak terhitung berapa kali mengevakuasi orang dengan gangguan mental, tapi tak pernah sekalipun dia terjebak dalam keadaan yang lebih buruk dari mimpi buruk seperti ini. Dia kemudian menoleh ke belakang, terlihat Adil berpacu dengan nafasnya sendiri dengan Yuli yang berada dalam gendongannya.
"Yo wis, kamu duluan aja biar aku yang di belakang. Cepet! Keburu warga balik ke sini!"
Adil tersenyum sambil maju ke depan dengan langkah paling cepat yang bisa ia lakukan. Sedangkan Eko, memilih agak menjaga jarak untuk menghindari bau dari tubuh Yuli yang membuatnya mual, sebelum dia menyusul Adil di depan. Tak lama, keduanya benar-benar hilang di balik gelapnya hutan jati Dusun Srigati. Meninggalkan gubuk yang kini kosong tak berisi.
Tanpa harus diberitahu-pun, Eko sudah tahu kalau dia harus segera pergi dari tempat jahanam ini. Dengan terburu-buru, dia mengemas gergaji mesin, memasukkannya ke dalam tas dan berlari kencang keluar dari gubuk. Sedang tepat di belakang, Adil mengikuti dengan langkah yang tentu saja tak bisa secepat Eko. Beban yang dibawanya jauh lebih berat; Yuli.
"Ojo banter-banter mlayumu, kethek ki!!" (Jangan kenceng-kenceng larimu, monyet!!)
Eko menghela nafas panjang. Menyesal, kenapa mereka bisa lupa membahas perkara teknis seperti tentang bagaimana dan dengan cara apa nantinya Yuli dievakuasi dari gubuk menuju mobil. Karena sejujurnya, Eko tidak pernah membayangkan mereka berdua harus membelah belantara di tengah malam sambil menggendong perempuan yang bau prengus setengah mati serta tak henti terkekeh dengan cara yang lama-lama membuat bulu kuduk berdiri seperti ini.
Dan dia hamil. Di balik daster panjang kumal yang membalut tubuh kurusnya itu, perut Yuli tampak membesar. Eko memperkirakan, mungkin usia kehamilannya tujuh atau menjelang delapan bulan.
"baik!" Eko menghentikan larinya sambil mendesiskan makian untuk diri sendiri. Sudah tak terhitung berapa kali mengevakuasi orang dengan gangguan mental, tapi tak pernah sekalipun dia terjebak dalam keadaan yang lebih buruk dari mimpi buruk seperti ini. Dia kemudian menoleh ke belakang, terlihat Adil berpacu dengan nafasnya sendiri dengan Yuli yang berada dalam gendongannya.
"Yo wis, kamu duluan aja biar aku yang di belakang. Cepet! Keburu warga balik ke sini!"
Adil tersenyum sambil maju ke depan dengan langkah paling cepat yang bisa ia lakukan. Sedangkan Eko, memilih agak menjaga jarak untuk menghindari bau dari tubuh Yuli yang membuatnya mual, sebelum dia menyusul Adil di depan. Tak lama, keduanya benar-benar hilang di balik gelapnya hutan jati Dusun Srigati. Meninggalkan gubuk yang kini kosong tak berisi.
Quote:
Hihihi...Hahaha...Hehehe...
Sebenarnya Adil cukup terganggu dengan Yuli yang terus menerus tertawa cekikikan seperti ini. Tapi dia tak mau mengeluh, atau menyuruh perempuan ini untuk tutup mulut. Adil merasa malu. Karena jika mau membandingkan, penderitaanya sekarang tak lebih dari kotoran di ujung jari jika dibandingkan dengan apa yang telah dialami Yuli.
Sambil terus berjalan cepat menuju titik dimana Imas dan Melia menunggu mereka, Adil membayangkan betapa tragisnya nasib Yuli. Sisi kemanusiaan Adil tersayat-sayat. Keadaannya ketika ditemukan di dalam gubuk tadi benar-benar tak bisa diterima oleh akal sehat manusia manapun. Menderita gangguan jiwa, dipasung di kandang kambing yang bau luar biasa...
...dan HAMIL!
Iblis macam apa yang sampai hati melakukan hal sekotor ini?? Adil menggeram dalam hati. Dia berjanji, bahwa setelah ini semua selesai dan Yuli sudah berada di tempat yang tepat, dia akan memastikan bahwa semua yang terlibat akan berurusan dengan polisi.
"Cepet sithik, Dil! Ono suara motor nyedhak nyang arah gubuk!!" (Cepat sedikit, Dil! Ada suara motor mendekat ke arah gubuk!!)
Adil mendengar Eko berteriak dari belakang dengan sedikit panik. Membuatnya terpaksa mempercepat langkah walaupun kedua lututnya sudah mulai terasa sakit. Deretan pohon demi pohon ia lewati dengan susah payah. Ditambah lagi suasana yang gelap dan suara cekikikan yang tak henti meluncur dari mulut Yuli, membuat Adil makin kepayahan. Bahkan nafas hangat perempuan ini bisa Adil rasakan menghembus di tengkuknya. Tapi ia tak peduli. Tak ada lagi kesempatan untuk menyerah dan mundur ke belakang sejak ia dan Eko mendobrak masuk ke gubuk itu dan membawa Yuli pergi.
Jadi, Adil terus berlari ke depan. Tenaga yang tinggal sisa-sisa itu dia gunakan seluruhnya, walaupun sendi-sendi kaki mulai terasa panas dan nyeri.
Tapi tunggu...
Seakan sadar akan sesuatu, Adil tiba-tiba berhenti. Nafasnya terengah, dan matanya beredar di sekelilingnya.
"Ngopo malah mandeg, ki?" (Kok malah berhenti?)
Suara motor yang tadi terdengar, kini tinggal sayup-sayup. Menandakan bahwa mereka kini sudah jauh masuk ke dalam hutan. Adil memandang Eko, yang tampaknya masih belum mengerti apa yang sedang terjadi.
"Iki bukane wis mlebu adoh ya? Terus Melia karo Imas neng ngendi?" (Ini bukannya sudah masuk jauh ya? Terus Melia sama Imas dimana?)
Sekarang, Eko ikut-ikutan memandang ke sekeliling. Berusaha mengingat-ingat, dimana titik terakhir mereka meninggalkan Imas dan Melia. Apakah sudah terlewat, atau malah masih di depan sana? Tapi sia-sia, di mata mereka setiap sudut di hutan ini tampak tak ada bedanya. Hanya ada pepohonan jati yang berderet di sana sini. Sedang keremangan malam dan tawa Yuli menambah parah keadaan fisik dan mental mereka berdua.
“Modar! Terus iki piye, Dil?? Asuuuu!!” (Mampus! Terus gimana ini, Dil?? Anjiiiing!!)
Tak mampu lagi menjawab Eko yang mulai kalang kabut, Adil merasakan dirinya sendiri hilang. Tenaga yang dia miliki benar-benar sudah di ambang batas. Dan tanpa bisa dicegah lagi, kedua kaki Adil kehilangan daya dan rubuh ke tanah. Kedua lututnya tenggelam di antara daun-daun jati yang kering berguguran.
Bahkan, dia sampai lupa bahwa dia masih menggendong Yuli. Nyaris saja kepalanya membentur batang pohon andai Eko tak sigap meraih tangan perempuan itu dan menariknya menjauh dari Adil.
"HAHAHAHA...bodoh!" Kalimat pertama yang meluncur dari mulut Yuli, sepertinya bukan kalimat yang diharapkan oleh Adil; mengbodoh-bodohan dirinya yang sudah susah payah bertaruh nyawa membebaskan Yuli dari pasungan dan menggendongnya masuk ke dalam hutan.
"Dil, ojo mati seg to! Ealaaaah, mosok aku ameh mbok tinggal ning tengah alas karo Yuli ngene??" (Dil, jangan mati dulu! Masak aku mau kamu tinggal di tengah hutan sama Yuli begini??)
Semua terdengar samar di telinga Adil. Tapi masih ada seberkas kesadaran bahwa dirinya tak boleh pingsan. Tidak sekarang, tidak di tempat ini. Sambil menampari pipinya sendiri berkali-kali agar kesadarannya kembali, Adil berusaha berdiri dengan bertumpu pada batang pohon besar yang ada di dekatnya.
"Yuli digondeli terus lho, Ko! Mengko yen nganti deknen kabur iso tambah ruwet keadaane..." (Yuli dipegangi terus, Ko! Nanti kalau sampai kabur bisa tambah rumit keadaannya)
Adil berujar setelah merasa keadaannya membaik dan cukup mampu untuk melanjutkan perjalanan. Tapi tentu saja; tidak dengan posisi menggendong Yuli lagi. Dia mendongakkan kepala, sambil menatap Eko yang wajahnya kini tampak begitu masam dengan Yuli yang sudah berpindah posisi ke punggungnya.
"Wis mendingan, Dil? Ayo ndang mlaku meneh, awakedewe isih kudu nggoleki bojoku karo Melia." (Udah mendingan, Dil? Ayo cepet jalan lagi, kita masih harus nyari istriku dan Melia.)
Adil mengangguk dan mempersilakan Eko jalan terlebih dulu. Aturannya masih sama seperti tadi; siapa yang menggendong Yuli, dia yang berjalan di depan.Tapi baru dua langkah mereka ambil, sebuah suara perempuan dari arah belakang membuat Adil dan Eko terkejut setengah mati.
"Emang podo ngerti dalan bali neg ora enek aku?" (Emang kalian tahu jalan balik kalau enggak ada aku?)
Dari arah sana, sesosok perempuan berdiri dan memandang ke arah Adil dan Eko.
Itu Imas, benar-benar Imas, yang kemudian mendekat ke arah mereka dengan senyum lebar.
"Jancuk!" Bisik Adil memaki dengan sebuah senyum merekah di bibirnya. Perasaan kaget dan lega bercampur jadi satu. Apalagi Eko, yang tak hentinya mengucap syukur kepada Tuhan melihat istrinya muncul tanpa kurang suatu apapun juga.
Tapi bagi Adil, kelegaan itu tak lantas bertahan lama. Seiring kesadarannya yang kian membaik, dia merasakan ada dua hal yang mengganjal di sini:
Pertama, dimana Melia?
"Maaf ya Mas, aku tadi kepaksa nganter Melia keluar hutan dulu. Biar dia nunggu di mobil aja. Kasian kalau di sini apalagi dengan kondisi kaki kayak gitu." Ujar Imas sambil lalu, seakan-akan dia tahu apa yang mengganggu di hati Adil.
Tapi, masih ada satu hal lagi yang dirasa janggal. Bahkan yang satu ini sampai membuatnya mulai ketakutan.
Eko sepertinya tidak menyadari, mungkin karena dia terlampau bahagia karena ternyata istrinya baik-baik saja. Tapi jelas ada yang aneh dengan Yuli dan kemunculan Imas. Tawa cekikikan yang tak pernah berhenti dari tadi, seketika hilang dari mulutnya. Bahkan wajahnya berubah seperti orang ketakutan. Bibirnya bergetar dan kepalanya terus menunduk. Seakan dia tak berani memandang ke arah Imas.
"Ayo lewat sini, Mas..." Bak seorang pemimpin, Imas langsung mengambil posisi paling depan di barisan tanpa meminta persetujuan siapapun terlebih dulu. Dengan mantab dia melangkah maju, membawa yang lain berjalan masuk ke sisi hutan yang jauh lebih dalam.
Jauh lebih gelap.
Sebenarnya Adil cukup terganggu dengan Yuli yang terus menerus tertawa cekikikan seperti ini. Tapi dia tak mau mengeluh, atau menyuruh perempuan ini untuk tutup mulut. Adil merasa malu. Karena jika mau membandingkan, penderitaanya sekarang tak lebih dari kotoran di ujung jari jika dibandingkan dengan apa yang telah dialami Yuli.
Sambil terus berjalan cepat menuju titik dimana Imas dan Melia menunggu mereka, Adil membayangkan betapa tragisnya nasib Yuli. Sisi kemanusiaan Adil tersayat-sayat. Keadaannya ketika ditemukan di dalam gubuk tadi benar-benar tak bisa diterima oleh akal sehat manusia manapun. Menderita gangguan jiwa, dipasung di kandang kambing yang bau luar biasa...
...dan HAMIL!
Iblis macam apa yang sampai hati melakukan hal sekotor ini?? Adil menggeram dalam hati. Dia berjanji, bahwa setelah ini semua selesai dan Yuli sudah berada di tempat yang tepat, dia akan memastikan bahwa semua yang terlibat akan berurusan dengan polisi.
"Cepet sithik, Dil! Ono suara motor nyedhak nyang arah gubuk!!" (Cepat sedikit, Dil! Ada suara motor mendekat ke arah gubuk!!)
Adil mendengar Eko berteriak dari belakang dengan sedikit panik. Membuatnya terpaksa mempercepat langkah walaupun kedua lututnya sudah mulai terasa sakit. Deretan pohon demi pohon ia lewati dengan susah payah. Ditambah lagi suasana yang gelap dan suara cekikikan yang tak henti meluncur dari mulut Yuli, membuat Adil makin kepayahan. Bahkan nafas hangat perempuan ini bisa Adil rasakan menghembus di tengkuknya. Tapi ia tak peduli. Tak ada lagi kesempatan untuk menyerah dan mundur ke belakang sejak ia dan Eko mendobrak masuk ke gubuk itu dan membawa Yuli pergi.
Jadi, Adil terus berlari ke depan. Tenaga yang tinggal sisa-sisa itu dia gunakan seluruhnya, walaupun sendi-sendi kaki mulai terasa panas dan nyeri.
Tapi tunggu...
Seakan sadar akan sesuatu, Adil tiba-tiba berhenti. Nafasnya terengah, dan matanya beredar di sekelilingnya.
"Ngopo malah mandeg, ki?" (Kok malah berhenti?)
Suara motor yang tadi terdengar, kini tinggal sayup-sayup. Menandakan bahwa mereka kini sudah jauh masuk ke dalam hutan. Adil memandang Eko, yang tampaknya masih belum mengerti apa yang sedang terjadi.
"Iki bukane wis mlebu adoh ya? Terus Melia karo Imas neng ngendi?" (Ini bukannya sudah masuk jauh ya? Terus Melia sama Imas dimana?)
Sekarang, Eko ikut-ikutan memandang ke sekeliling. Berusaha mengingat-ingat, dimana titik terakhir mereka meninggalkan Imas dan Melia. Apakah sudah terlewat, atau malah masih di depan sana? Tapi sia-sia, di mata mereka setiap sudut di hutan ini tampak tak ada bedanya. Hanya ada pepohonan jati yang berderet di sana sini. Sedang keremangan malam dan tawa Yuli menambah parah keadaan fisik dan mental mereka berdua.
“Modar! Terus iki piye, Dil?? Asuuuu!!” (Mampus! Terus gimana ini, Dil?? Anjiiiing!!)
Tak mampu lagi menjawab Eko yang mulai kalang kabut, Adil merasakan dirinya sendiri hilang. Tenaga yang dia miliki benar-benar sudah di ambang batas. Dan tanpa bisa dicegah lagi, kedua kaki Adil kehilangan daya dan rubuh ke tanah. Kedua lututnya tenggelam di antara daun-daun jati yang kering berguguran.
Bahkan, dia sampai lupa bahwa dia masih menggendong Yuli. Nyaris saja kepalanya membentur batang pohon andai Eko tak sigap meraih tangan perempuan itu dan menariknya menjauh dari Adil.
"HAHAHAHA...bodoh!" Kalimat pertama yang meluncur dari mulut Yuli, sepertinya bukan kalimat yang diharapkan oleh Adil; mengbodoh-bodohan dirinya yang sudah susah payah bertaruh nyawa membebaskan Yuli dari pasungan dan menggendongnya masuk ke dalam hutan.
"Dil, ojo mati seg to! Ealaaaah, mosok aku ameh mbok tinggal ning tengah alas karo Yuli ngene??" (Dil, jangan mati dulu! Masak aku mau kamu tinggal di tengah hutan sama Yuli begini??)
Semua terdengar samar di telinga Adil. Tapi masih ada seberkas kesadaran bahwa dirinya tak boleh pingsan. Tidak sekarang, tidak di tempat ini. Sambil menampari pipinya sendiri berkali-kali agar kesadarannya kembali, Adil berusaha berdiri dengan bertumpu pada batang pohon besar yang ada di dekatnya.
"Yuli digondeli terus lho, Ko! Mengko yen nganti deknen kabur iso tambah ruwet keadaane..." (Yuli dipegangi terus, Ko! Nanti kalau sampai kabur bisa tambah rumit keadaannya)
Adil berujar setelah merasa keadaannya membaik dan cukup mampu untuk melanjutkan perjalanan. Tapi tentu saja; tidak dengan posisi menggendong Yuli lagi. Dia mendongakkan kepala, sambil menatap Eko yang wajahnya kini tampak begitu masam dengan Yuli yang sudah berpindah posisi ke punggungnya.
"Wis mendingan, Dil? Ayo ndang mlaku meneh, awakedewe isih kudu nggoleki bojoku karo Melia." (Udah mendingan, Dil? Ayo cepet jalan lagi, kita masih harus nyari istriku dan Melia.)
Adil mengangguk dan mempersilakan Eko jalan terlebih dulu. Aturannya masih sama seperti tadi; siapa yang menggendong Yuli, dia yang berjalan di depan.Tapi baru dua langkah mereka ambil, sebuah suara perempuan dari arah belakang membuat Adil dan Eko terkejut setengah mati.
"Emang podo ngerti dalan bali neg ora enek aku?" (Emang kalian tahu jalan balik kalau enggak ada aku?)
Dari arah sana, sesosok perempuan berdiri dan memandang ke arah Adil dan Eko.
Itu Imas, benar-benar Imas, yang kemudian mendekat ke arah mereka dengan senyum lebar.
"Jancuk!" Bisik Adil memaki dengan sebuah senyum merekah di bibirnya. Perasaan kaget dan lega bercampur jadi satu. Apalagi Eko, yang tak hentinya mengucap syukur kepada Tuhan melihat istrinya muncul tanpa kurang suatu apapun juga.
Tapi bagi Adil, kelegaan itu tak lantas bertahan lama. Seiring kesadarannya yang kian membaik, dia merasakan ada dua hal yang mengganjal di sini:
Pertama, dimana Melia?
"Maaf ya Mas, aku tadi kepaksa nganter Melia keluar hutan dulu. Biar dia nunggu di mobil aja. Kasian kalau di sini apalagi dengan kondisi kaki kayak gitu." Ujar Imas sambil lalu, seakan-akan dia tahu apa yang mengganggu di hati Adil.
Tapi, masih ada satu hal lagi yang dirasa janggal. Bahkan yang satu ini sampai membuatnya mulai ketakutan.
Eko sepertinya tidak menyadari, mungkin karena dia terlampau bahagia karena ternyata istrinya baik-baik saja. Tapi jelas ada yang aneh dengan Yuli dan kemunculan Imas. Tawa cekikikan yang tak pernah berhenti dari tadi, seketika hilang dari mulutnya. Bahkan wajahnya berubah seperti orang ketakutan. Bibirnya bergetar dan kepalanya terus menunduk. Seakan dia tak berani memandang ke arah Imas.
"Ayo lewat sini, Mas..." Bak seorang pemimpin, Imas langsung mengambil posisi paling depan di barisan tanpa meminta persetujuan siapapun terlebih dulu. Dengan mantab dia melangkah maju, membawa yang lain berjalan masuk ke sisi hutan yang jauh lebih dalam.
Jauh lebih gelap.
Quote:
Setengah jam sebelumnya...
Selagi para pria berjuang membebaskan Yuli dari belenggu, tugas Imas cuma satu; menjaga agar Melia tidak sampai tertidur.
Wajah perempuan berkacamata ini pucat. Bibirnya mengering dan tampak kesulitan meneguk air putih ke dalam tenggorokan. Walaupun berulang kali Melia berkata bahwa dia baik-baik saja, tapi Imas tahu kenyataannya tidak seperti itu. Luka di betisnya memang sudah diikat seerat mungkin dengan jaket agar darah tidak terus keluar. Tapi bagaimanapun ini cuma Jaket, bukan perban atau sesuatu yang lebih layak. Darah tentu masih merembes keluar. Imas khawatir kalau ada sesuatu yang tertinggal di daging Melia yang terbuka. Entah serpihan kayu atau duri, bisa saja terjadi infeksi di luka itu.
"Harusnya aku tadi pakai celana panjang sih, Mbak..." Dari balik keremangan malam, Imas dapat melihat wajah Melia yang masih bisa memaksakan sebuah senyuman. Berusaha melempar canda, walau tak bisa ditutupi bahwa dia makin kepayahan.
"Sabar ya Mbak Melia, bentar lagi mereka sampai kok." Entah berapa kali Imas mengucapkan kalimat tersebut. Memberi harapan agar Melia tetap tenang dan tidak kehilangan semangat. Sambil terus melantunkan doa-doa keselamatan di dalam hati, Imas berkali-kali menoleh ke belakang. Berharap suaminya akan segera datang.
Rembulan begitu purnama. Cahayanya meremang, jatuh di sela-sela deretan pohon jati yang meranggas. Dalam kekalutannya sendiri, Imas memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam. Membiarkan tajamnya udara malam ini menghambur masuk ke tubuhnya, bersama kenangan-kenangan masa kecil yang tercecer di Srigati. Kenangan-kenangan yang sembilan tahun terakhir coba Imas bunuh dan kubur dengan cara apapun. Tapi semakin keras dia berusaha, semakin keras pula kenangan itu melawan untuk tetap hidup di sudut-sudut ingatan. Tak bisa hilang. Tak bisa mati. Mendera Imas dalam dosa dan rasa bersalah yang tak berkesudahan.
Mungkin, mungkin mempertemukanku dengan Adil dan Melia adalah cara Tuhan untuk menunjukkan jalan penebusan yang harus kujalani.Itulah yang Imas percayai sejak pertama kali Melia dan Adil datang kerumahnya dan menyebut nama Srigati pagi tadi.
"Imaaass!"
Tetiba, di tengah keputusasaan, kepedihan dan rasa frustasi yang melanda, telinga Imas menangkap sebuah suara yang sayup-sayup terdengar. Matanya kemudian terbuka, senyum merekah di bibirnya dan wajah yang sedari tadi begitu sayu seketika berubah cerah penuh kelegaan.
Dia mengenali suara itu. Dia sangat mengenali suara itu.
"Imaaass! Aku wis teko!!" (Imaaaass! Aku sudah datang!!)
Suara itu terdengar kian dekat. Dia menoleh ke arah Melia yang masih tersandar tak berdaya di batang pohon. "Mbak Melia, itu Mas Eko sama Mas Adil udah sampai! Ayo siap-siap, kita pulang biar Mbak Melia bisa segera ke rumah sakit!"
Melia hanya mengangguk dan pasrah saja ketika Imas membantunya berdiri dan bersiap untuk memapahnya pergi dari hutan sialan ini. Tapi ketika Imas menoleh ke arah sumber suara , dia hanya melihat seorang saja yang berjalan perlahan ke arahnya. Sosok tubuhnya yang membayang dihujani cahaya rembulan itu sama sekali tak asing di mata Imas.
Tapi, kenapa hanya suaminya sendiri yang datang?
"Mas Adil kemana?"
Tapi alih-alih menjawab pertanyaan itu, Eko malah menghentikan langkahnya tiba-tiba. Kini mereka berdua saling berhadapan, hanya berjarak tak lebih dari sepuluh meter.
Mungkin dia kurang mendengar suaraku. Pikir Imas sambil bersiap melangkah maju, mendekat ke arah Eko. Tapi bersamaan, dia merasakan lengan Melia yang melingkar di bahunya, mencengkeram Imas dengan kuat. Seakan menahannya untuk mendekat barang selangkahpun.
Imas sedikit kaget. Refleks, dia toleh Melia untuk meminta penjelasan. Tapi di sinilah dia baru menyadari bahwa sambil menahan sakit di kakinya, wajah Melia tampak benar-benar seperti orang ketakutan. Kedua matanya tajam menatap ke satu titik di depan sana.
"Mbak Imas...jangan..."
Mau tak mau, Imas mengikuti arah pandangan Melia. Butuh waktu baginya untuk menyesuaikan indera penglihatan dalam gelap. Agar Imas bisa melihat apa yang Melia lihat. Agar Imas mengerti kenapa Melia mencegahnya untuk maju mendekat.
Itu adalah suaminya. Itu memang benar Mas Eko. Jaket hiking warna abu, celana jeans hitam dan sepatu kets yang Imas hadiahkan untuk ulang tahunnya tiga tahun lalu. Semuanya sama. Itulah yang Eko pakai malam ini, karena Imas sendiri yang menyiapkannya di rumah mereka siang tadi.
Tapi suamiku...
...kenapa mata suamiku seluruhnya menjadi putih...
...dan lidahnya menjulur keluar hingga nyaris menyentuh tanah!
"Imas, reneo cah ayu..." (Imas, sini anak cantik...)
Mulut Imas menganga. Seakan dia ingin berteriak tapi suaranya tertahan di kerongkongan. Kedua lututnya kehilangan daya, nyaris saja Imas kehilangan kendali andai Melia yang masih berada dalam papahannya separuh berteriak dan menarik Imas kembali ke kesadaran.
"Mbak, ayo lari!"
Tak ada pilihan lain sekarang kecuali memikirkan keselamatan dirinya sendiri dan Melia. Dia memutar badan dan menjauh dari sosok menyerupai suaminya itu sambil memapah Melia. Walau susah payah dan beberapa kali tersandung akar pohon, Imas tak peduli. Yang ada di kepalanya hanya terus berlari sekuat yang dia bisa. Keluar dari hutan ini dan kembali ke mobil mereka. Entah bagaimanapun caranya.
Tapi Imas lupa jalan kembali. Dalam kepanikan dan rasa takut yang yang menyeruak, tanpa sadar dia malah membawa dirinya sendiri dan Melia menjauhi jalur yang seharusnya mereka lewati untuk kembali.
Spoiler for quote:
JANGAN SEKALI-KALI MEMPERCAYAI APA YANG KAU LIHAT DAN KAU DENGAR DI DALAM HUTAN...
mahapatih17 dan 43 lainnya memberi reputasi
44
Kutip
Balas
Tutup