Sejak saat itu, aku jadi sering mampir ke rumahnya mbak Nining sepulang kerja, cuma sekedar menjenguk, bawain martabak manis, atau mentransfer energi padanya sebagai 'terapi pasca trauma'. Cuma setengah jam atau satu jam aku berada disana, karena kadang Dita juga memintaku datang kerumahnya. Niatku cuma satu, yaitu agar mbak Nining kembali pulih seperti sedia kala. 

 Dita udah mengetahui ini, aku selalu cerita padanya, dan dia nggak ngerasa keberatan. Aku juga beberapa kali mengajak Dita ke rumah mbak Nining, dan mereka langsung akrab aja. Jadi setidaknya nggak membawa masalah buatku dan Dita. Karena memang niat awal aku cuma mau membantu.

 Aku juga sering bertemu nenek, dia sudah tampak tua, jadi seringnya cuma rebahan di kamarnya. Kadang dia bercerita banyak hal padaku, dan aku mendengarkan sambil memijit kakinya. Dia tampaknya senang dengan pijitanku, jadi setiap kali aku datang dia malah minta dipijit. Aku sih senang aja, karena membahagiakan orang tua itu termasuk suatu pahala juga.

 Selama dua minggu mbak Nining belum masuk kerja juga, dan selama itu pula aku sering ke rumahnya, meskipun nggak tiap hari juga karena kadang kuluangkan waktu buat Dita. Kami jadi sangat dekat seakan nggak ada jarak lagi, aku sudah menganggapnya sebagai kakak yang belum pernah aku punyai. 

 Usia kami memang cuma terpaut tiga tahunan jadi pas buat dianggap kakak beradik. Sudah biasa aku memasuki kamarnya begitu aja meskipun ada papa-mamanya. Tapi kedekatan kami itu ternyata membawa masalah lain, suatu masalah yang nggak pernah terpikirkan olehku.

 Sore itu seperti biasa, sepulang kerja aku mampir di tempat penjual martabak dan membeli yang manis buat mbak Nining, lalu bersama Salma dan Amrita aku gas menuju ke rumahnya mbak Nining. Ada papa mamanya juga di ruang tamu, tapi aku malah disuruh langsung masuk begitu aja. Maka kubuka pintu kamar itu, dan aku tertegun.

 Mbak Nining berdiri di depan lemari pakaian dan sedang memilih hb dan dc. Saat itu mbak Nining belum memakai apa-apa hingga aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Sempat kudengar jeritan kagetnya. Dengan segera aku balik badan dan mau keluar. Untung pintu itu sempat kututup tadi. Rasa nggak enak segera merayapi, aku ngerasa malu banget.



 Mbak Nining mulai memakan martabak itu dikit demi sedikit. Kami ngobrol lagi seolah insiden tadi nggak pernah terjadi. Biarpun begitu aku masih aja canggung dan kikuk. Amrita mendekati mbak Nining, dia mengamati wajah mbak Nining dari jarak sangat dekat. Lalu Amrita geleng-geleng. Aku nggak tau apa artinya gelengan itu.



 Kini semua jadi masuk akal buatku, entah udah berapa lama si manajer deketin mbak Nining dan nggak pernah berhasil. Dan saat itu sampe si manajer berhasil membujuk mbak Nining buat meminum jus jeruk itu, berarti sebelumnya mbak Nining udah mulai terpengaruh pengasihannya. 

 Berarti memang sebelumnya udah ada yang nggak beres dengan diri mbak Nining, jiwanya labil karena ditinggal cowok yang udah berjanji menikahinya. Jiwa yang labil akan sangat mudah terpengaruh oleh ilmu pengasihan, apalagi kalo lewat minuman, tentu efeknya jauh lebih kuat. Aku bersyukur waktu itu kuikuti kata hatiku buat menuju ke ruangan desain itu.



 Tangan kiri ini kayak nggak bisa kukendalikan buat membelai rambutnya, dan hal itu berakibat fatal buatku. Tangan kananku dipegangnya dan diletakkan di perutnya. Terdengar hembusan napas panjangnya yang membuatku jadi waspada. Tawa jahat dari Amrita makin keras terdengar. Aku harus mengakhiri semua.



 Suasana jadi hening sesaat. Mbak Nining malah memejamkan mata, tapi tangannya masih mengelus tangan kananku di atas perutnya.. Kami malah kaya orang pacaran. Sial bener.. kenapa hal ini selalu terjadi? Nenek kemana ya.. kenapa nggak muncul-muncul..? Semua pemikiran bergulat diotakku. Aku tau ada setan yang berusaha masuk ke otak, jadi kusibukkan otakku dengan memikirkan hal lain.

 Kulihat mbak Nining masih merem dengan tenang, dan lagi-lagi aku nggak bisa tegas. Saat itulah kulihat ada sesuatu yang kecil menyembul dari kaos ketatnya di bagian dada, mbak Nining nggak memakai kevlarnya! Setan jadi gampang masuk kalo kayak gini. Tapi untunglah Salma mendekat dan berbisik.



 Tawa cekikikan Amrita makin keras. Aku kayak diapit setan dan malaikat yang sama-sama membujukku.   Nggak nyangka aja, turunan dari raja itu masih aja membawa masalah buatku. Mungkin benar kata Salma, aku harus pergi dari sini. Tapi ngelihat betapa damainya mbak Nining, lagi-lagi telah ngebuatku jadi nggak tega.

 Mbak Nining membuka matanya dan menatapku dengan sendu. Tangan kirinya masih mengelus tangan kananku, dan mendadak aja tangan kanannya merangkul leherku, nggak cukup sampe disitu, dia menarik kepalaku mendekati wajahnya, hingga akhirnya dua bibir bertemu sekejap. Aku terkejut setengah mati, kutarik kembali kepalaku, sementara wajah mbak Nining udah memerah sangat. Kejadian itu nggak sampe satu detik, tapi udah membuatku terhenyak, aku telah mencium bosku sendiri!



 Aku menghela napas panjang, cewek yang belum pernah ngerasain hasrat, dan begitu ngerasain langsung meledak-ledak, tentunya nggak akan bisa lupa begitu saja. Aku malah kasihan sama mbak Nining. Cewek lugu yang mulai terpengaruh gara-gara ulah si bandot tua laknat itu. Kalo aku bisa membunuh si bandot, tentu udah kubunuh dia saat itu juga.

 Mbak Nining pejamkan mata kembali, suasana jadi hening kembali, saat kayak ginilah serangan setan dimulai. Dan benar saja. Tangan kananku yang ada di perutnya itu dituntunnya ke atas, sampai menyentuh puncak gunung itu, hembusan nafas jadi terdengar keras. 

 Bulu kudukku merinding. Badanku terasa panas dingin seperti terserang demam, aku bahkan nggak berani menggerakkan jari tanganku. Dalam hati terus meyakinkan diri, aku udah punya Dita, dan mbak Nining adalah bosku. Entah berapa lama kejadian itu berlangsung, tapi kemudian aku memutuskan untuk pulang.



 Aku keluar rumah itu dengan gundah gulana. Kenapa selalu berakhir seperti ini? Warisan raja sialan itu selalu aja memakan korban, dan entah sampai kapan akan terus memakan korban. Sepertinya aku emang harus mengubur diri biar nggak ketemu manusia. Benar-benar godaan dan cobaan yang sangat berat ya Allah.. aku beristighfar terus menerus dalam hati.

 Mungkin sebaiknya aku nggak membantu orang lagi, biar nggak ada kejadian seperti ini lagi. Entahlah.. aku bingung sendiri. Sepanjang perjalanan pulang itu otakku terus berputar. Salma sepertinya mengetahui jalan pikiranku, dia cuma siam aja, dan sesekali masih kudengar suara Amrita ngomongin masalah tadi, tentunya diselingi tawa jahatnya.

 Kenapa niat awal yang baik selalu aja dikotori oleh dosa semacam itu? Niat awalku adalah membantunya, terapi pasca trauma, dan semua berakhir dengan satu hal yang selalu sama. Mungkin sudah saatnya aku hentikan terapi itu, mbak Nining udah pulih seperti sedia kala, mungkin ini adalah kali terakhirku mengunjungi rumah itu. Terapi itu kuanggap udah selesai.. Semoga Allah masih meridhoi niat baikku, dan semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami..