- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
winehsuka dan 262 lainnya memberi reputasi
241
310K
Kutip
2.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#700
BAGIAN 12
Semoga masih pada inget ceritanya ya?
Quote:
Semalam Eko bermimpi buruk.
Rumahnya dimasuki ular weling. Istrinya menjerit, dan Eko berusaha mengusir ular itu dengan sapu. Tapi bukannya takut dan pergi, si ular malah makin menjadi. Dengan lincah, dia menghindari setiap gerakan gagang kayu dari sapu yang diayun. Dan di akhir cerita, ular itu melompat dan kedua taringnya tertancap di kaki Eko.
Kemudian ia terbangun. Benar-benar terbangun dengan kaget, kepala pening dan sensasi tidak mengenakkan akibat mimpi barusan.
"Wah, ciloko iki!" (Wah, gawat ini!)
Tiba-tiba saja Eko teringat sesuatu; kata orang-orang tua dulu bahwa jika bermimpi seekor ular masuk ke dalam rumah, itu bisa berarti akan ada masalah yang datang menghampiri. Apalagi ini, ularnya sampai menggigit kaki. Sambil berkali-kali mengusap muka agar rasa kantuk hilang sepenuhnya, Eko mencoba menerka-nerka. Andaikan tafsir mimpi simbah-simbah jaman dulu itu memang valid adanya, masalah macam apa yang akan mampir ke rumahnya hari ini?
Belum juga otaknya bekerja dan menemukan jawaban, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Mata Eko langsung teralih ke arah sana, dimana dari balik pintu tubuh langsing istrinya yang terbalut daster dan masih bau bumbu dapur itu menghambur masuk ke dalam. Wajahnya jelas tampak kebingungan dan matanya berkali-kali melihat ke arah pintu depan. Bahkan spatula yang mungkin tadi dipakai untuk mengaduk lauk sarapan masih tergenggam di tangan kanan.
"Mas, ada tamu..."
Sang istri berujar sedikit khawatir, menambah tegang suasana hati Eko. Tamu? Eko langsung melirik ke arah jam dinding di tembok kamar. Masih pukul setengah enam pagi. Siapa orang yang bertamu sepagi ini? Atau jangan-jangan...
"Opo iki masalah kreditan motor ya, Im?" (Apa masalah kreditan motor ya, Im?)
Dugaan Eko langsung mengerucut ke permasalahan motornya yang sudah telat kredit nyaris dua bulan. Masa mimpiku jadi kenyataan secepat ini? Rintihnya dalam hati. Kalau benar yang saat ini sedang berdiri di depan pintu rumahnya itu adalah penagih hutang, mau kemana Eko harus mencari pinjaman uang?
Tapi Imas, nama istrinya, menggelengkan kepala. Sedikit melegakan hati Eko
"Dudu mas, mbuh kae ono wong loro lanang karo wadon. Jarene kancamu. Tapi aku durung pernah weruh." (Bukan mas, enggak tahu ada dua orang laki dan perempuan. Ngakunya temenmu. Tapi aku belum pernah tahu.)
Kini pantat Eko benar-benar terangkat dari atas ranjang. Jawaban Imas memang melegakan, tapi sisanya membuat tambah kebingungan. Teman? Datang ke rumahnya pagi-pagi buta? Dan istrinya belum pernah bertemu dengan mereka?
Tempat tinggal Eko sekarang, sebuah rumah kontrakan berukuran sedang yang letaknya sedikit masuk ke dalam gang sempit di daerah Rejowinangun itu, tak pernah luput dari kunjungan teman-temannya. Baik teman kuliah dulu, maupun teman dari organisasi LSM yang digelutinya sekarang ini. Apalagi semenjak dia diangkat menjadi koordinator wilayah provinsi J, makin seringlah rumahnya menerima orang bertandang. Walau LSM-nya punya kantor sendiri, tapi Eko tak pernah keberatan mereka datang bermain kemari. Entah hanya sekadar minum kopi atau berdiskusi tentang kegiatan organisasi.
Tapi belum pernah sekalipun ada salah satu dari mereka yang datang sepagi ini, dan Imas mengaku belum pernah bertemu sama sekali. Jadi siapa tamu itu sebenarnya? Didera rasa penasaran, Eko langsung mengganti sarung dengan celana pendek, kemudian meluncur melewati tubuh Imas yang masih berdiri di depan pintu kamar.
Dan di sanalah, sepasang lelaki dan perempuan yang dimaksud Imas itu duduk di ruang tamu. Wajah sang perempuan yang memakai kacamata besar itu memang benar asing bagi Eko. Tapi pria di sampingnya begitu akrab di pandangan.
"Adil?" Eko spontak menyebut nama pria itu. Matanya masih memandang tak percaya, apalagi melihat penampilan Adil yang seperti belum mandi dua hari.
"Eko..." Adil membalas, menebar senyum yang dipaksakan melengkung dari bibir yang kering dan tampak begitu letih itu sambil berdiri mendekat ke arah Eko. "...Aku butuh bantuanmu."
Rumahnya dimasuki ular weling. Istrinya menjerit, dan Eko berusaha mengusir ular itu dengan sapu. Tapi bukannya takut dan pergi, si ular malah makin menjadi. Dengan lincah, dia menghindari setiap gerakan gagang kayu dari sapu yang diayun. Dan di akhir cerita, ular itu melompat dan kedua taringnya tertancap di kaki Eko.
Kemudian ia terbangun. Benar-benar terbangun dengan kaget, kepala pening dan sensasi tidak mengenakkan akibat mimpi barusan.
"Wah, ciloko iki!" (Wah, gawat ini!)
Tiba-tiba saja Eko teringat sesuatu; kata orang-orang tua dulu bahwa jika bermimpi seekor ular masuk ke dalam rumah, itu bisa berarti akan ada masalah yang datang menghampiri. Apalagi ini, ularnya sampai menggigit kaki. Sambil berkali-kali mengusap muka agar rasa kantuk hilang sepenuhnya, Eko mencoba menerka-nerka. Andaikan tafsir mimpi simbah-simbah jaman dulu itu memang valid adanya, masalah macam apa yang akan mampir ke rumahnya hari ini?
Belum juga otaknya bekerja dan menemukan jawaban, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Mata Eko langsung teralih ke arah sana, dimana dari balik pintu tubuh langsing istrinya yang terbalut daster dan masih bau bumbu dapur itu menghambur masuk ke dalam. Wajahnya jelas tampak kebingungan dan matanya berkali-kali melihat ke arah pintu depan. Bahkan spatula yang mungkin tadi dipakai untuk mengaduk lauk sarapan masih tergenggam di tangan kanan.
"Mas, ada tamu..."
Sang istri berujar sedikit khawatir, menambah tegang suasana hati Eko. Tamu? Eko langsung melirik ke arah jam dinding di tembok kamar. Masih pukul setengah enam pagi. Siapa orang yang bertamu sepagi ini? Atau jangan-jangan...
"Opo iki masalah kreditan motor ya, Im?" (Apa masalah kreditan motor ya, Im?)
Dugaan Eko langsung mengerucut ke permasalahan motornya yang sudah telat kredit nyaris dua bulan. Masa mimpiku jadi kenyataan secepat ini? Rintihnya dalam hati. Kalau benar yang saat ini sedang berdiri di depan pintu rumahnya itu adalah penagih hutang, mau kemana Eko harus mencari pinjaman uang?
Tapi Imas, nama istrinya, menggelengkan kepala. Sedikit melegakan hati Eko
"Dudu mas, mbuh kae ono wong loro lanang karo wadon. Jarene kancamu. Tapi aku durung pernah weruh." (Bukan mas, enggak tahu ada dua orang laki dan perempuan. Ngakunya temenmu. Tapi aku belum pernah tahu.)
Kini pantat Eko benar-benar terangkat dari atas ranjang. Jawaban Imas memang melegakan, tapi sisanya membuat tambah kebingungan. Teman? Datang ke rumahnya pagi-pagi buta? Dan istrinya belum pernah bertemu dengan mereka?
Tempat tinggal Eko sekarang, sebuah rumah kontrakan berukuran sedang yang letaknya sedikit masuk ke dalam gang sempit di daerah Rejowinangun itu, tak pernah luput dari kunjungan teman-temannya. Baik teman kuliah dulu, maupun teman dari organisasi LSM yang digelutinya sekarang ini. Apalagi semenjak dia diangkat menjadi koordinator wilayah provinsi J, makin seringlah rumahnya menerima orang bertandang. Walau LSM-nya punya kantor sendiri, tapi Eko tak pernah keberatan mereka datang bermain kemari. Entah hanya sekadar minum kopi atau berdiskusi tentang kegiatan organisasi.
Tapi belum pernah sekalipun ada salah satu dari mereka yang datang sepagi ini, dan Imas mengaku belum pernah bertemu sama sekali. Jadi siapa tamu itu sebenarnya? Didera rasa penasaran, Eko langsung mengganti sarung dengan celana pendek, kemudian meluncur melewati tubuh Imas yang masih berdiri di depan pintu kamar.
Dan di sanalah, sepasang lelaki dan perempuan yang dimaksud Imas itu duduk di ruang tamu. Wajah sang perempuan yang memakai kacamata besar itu memang benar asing bagi Eko. Tapi pria di sampingnya begitu akrab di pandangan.
"Adil?" Eko spontak menyebut nama pria itu. Matanya masih memandang tak percaya, apalagi melihat penampilan Adil yang seperti belum mandi dua hari.
"Eko..." Adil membalas, menebar senyum yang dipaksakan melengkung dari bibir yang kering dan tampak begitu letih itu sambil berdiri mendekat ke arah Eko. "...Aku butuh bantuanmu."
Quote:
Matahari kian menghangat, cahayanya menerobos masuk ke jendela. Lima belas menit berlalu, tiga gelas teh hangat yang tersaji di atas meja ruang tamu kini tinggal separuh. Awalnya, Eko menyambut Adil dengan hangat bak sahabat lama yang dipersatukan oleh idealisme tentang kemanusiaan dan solidaritas. Tapi, ketika pria ini membuka percakapan dan menjelaskan maksud kedatangannya, Eko langsung menjaga jaraknya.
"Aku bubar soko Jatiasih, Ko. Aku marani bocah-bocah KKN sing tag ceritakne menyang kowe mbiyen kae. Perkoro ODGJ ning dusun Srigati kui. Mulane aku mertamu mrene esuk-esuk. Ceritane dowo." (Aku dari Jatiasih, Ko. Aku menemui anak-anak KKN yang aku ceritakan ke kamu dulu itu. Masalah ODGJ di dusun Srigati itu juga. Makanya aku bertamu kesini pagi buta. Ceritanya panjang.)
Eko tak langsung menjawab. Pandangannya ia alihkan dari Adil. Ada rasa kecewa yang membuncah, kenapa Adil harus datang kesini membawa cerita itu? Jadi, memang benar apa kata orang-orang tua itu tentang arti mimpi ular masuk ke rumah; masalah akan datang menyambangi. Dan ternyata, Adil-lah yang membawa masalah itu.
"Aku kan wis jelasne menyang kowe, to? Aku wegah ikut campur!" (Aku kan sudah menjelaskan ke kamu, kan? Aku enggak mau ikut campur!)
Eko menggariskan batas yang tegas. Walau dalam hati, dia merasa tak tega harus berkata setajam ini.
Ah, Adil.
Eko sebenarnya tak benar-benar mengenal pria dari Kota sebelah itu. Berawal kenal dari gathering organisasi kemanusiaan enam bulan lalu, mereka lalu menjadi sering saling berkontak satu sama lain. Kebanyakan untuk urusan koordinasi antar area dan sebagian lain hanya mengobrol ringan saja. Orangnya baik, supel, suka bercanda namun memiliki empati yang tinggi dan keras kepala jika sudah menyangkut urusan kemanusiaan. Tak heran kalau dia lalu menjadi koordinator organisasi untuk regional kota S********.
Yang paling Eko kenang tentang Adil, tentu saja adalah cerita tentang bagaimana dia dengan keras kepala melanjutkan program bantuan tandon air di sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa dua bulan lalu itu. Tak peduli walau situasi di sana sedang membara karena konflik horizontal yang disebabkan pemilihan kepala desa, Adil tetap menyewa sebuah truck untuk mengangkut dua buah tandon yang ia kemudikan sendiri sejauh 100 Km karena kabarnya semua anggota yang lain mundur dari proyek karena intimidasi dari preman setempat.
Tapi Adil tak gentar sedikitpun. Dia nekat masuk dengan truck itu seorang diri, dan ajaibnya bisa keluar walau setelahnya dia terus menerus mendapatkan intimidasi. Teleponnya terus menerus menerima SMS ancaman dan panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Bahkan Adil sempat terpaksa tak masuk kantor selama dua minggu setelah ada laporan bahwa ada beberapa orang asing mencurigakan yang mondar mandir di depan kantor.
"Arep pemilihan opo ora, warga tetep butuh air bersih. Toh, sing dipilih karo dibelo nganti direwangi bacok-bacokan kae yo ora patio peduli karo warga kok!" (Mau pemilihan atau tidak, warga tetap butuh pasokan air bersih. Toh, yang mereka pilih dan bela sampai rela saling bacok itu juga enggak terlalu peduli dengan warga kok!)
Adil Sang Pemberani. Begitulah julukan itu menyebar di internal organisasi. Kisahnya menjadi inspirasi. Ia menjadi idola dan panutan bagi yang lain. Tapi di mata Eko, ia lebih tampak seperti orang keras kepala dan kadang tak realistis.
Bagi Eko, setiap perjuangan memiliki batas, dan itulah yang membedakan dirinya dengan Adil. Dia tahu batasan itu, sedangkan Adil tidak.
Perbedaan di antara mereka itulah yang membuat Eko menolak memberikan bantuan ketika beberapa waktu lalu, Adil meneleponnya. Meminta bantuan untuk mengevakuasi seorang yang diduga dipasung karena gangguan jiwa di sebuah dusun kecil bernama Srigati.
Tapi, seberlawanan apapun idealisme mereka berdua, Eko tetap menghormat Adil. Dan karena rasa hormat itulah, Eko membiarkannya terus bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi di sana. Dan setiap kali cerita itu meluncur, setiap kali itu pula Eko dibuat terperangah tak percaya.
Benar-benar tak percaya, bahwa Adil dan teman perempuannya ini yang mengenalkan diri sebagai Melia, telah mengambil tindakan yang terlalu jauh.
"Gara-gara kejadian yang dilakukan anak-anak KKN kemarin itu, sekarang Srigati dijaga ketat sama warga di sana. Kita enggak tahu lagi gimana cara untuk masuk dan mendekat ke lokasi tempat cewek itu dipasung. Karena jalan ke sana cuman satu, melewati hutan. Jadi kita berdua datang kesini buat minta tolong sama Mas Eko..."
Sekarang, giliran Melia yang bicara. Eko melirik sedikit ke arahnya. Tersenyum sinis.
"Kalian itu sok berani masuk ke daerah orang, padahal kalian ndak tahu apa yang sedang kalian hadapi..."
Eko berharap dengan perkataan itu, Adil dan Melia akan sadar dan memilih untuk menjauh dari Srigati. Karena memang benar adanya, bahwa dua orang ini tak tahu apa-apa. Tapi alih-alih gentar, Adil malah membalas ucapan itu dengan nada yang lebih keras.
"Terus ngopo?? Tujuanku mung siji, Ko! Evakuasi ODGJ sing dipasung ning kono! Bukane kui yo alasane dewe melu LSM iki?! Bukane iki yo sing selalu kita perjuangkan bersama?! Kemanusiaan, Ko! Jujur wae, rasa kemanusiaanku terusik nonton di jaman saiki isih enek orang yang harusnya entuk perawatan jiwa malah dipasung, diperlakukan koyo kewan!!" (Terus apa?? Tujuanku cuma satu, Ko! Mengevakuasi ODGJ yang dipasung di sana! Bukannya itu alasan kita berdua masuk di LSM ini?! Bukannya ini yang selalu kita perjuangkan bersama?! Kemanusiaan, Ko! Jujur aja, rasa kemanusiaanku terusik melihat di jaman sekarang masih ada orang yang harusnya mendapat perawatan kejiwaan tapi malah dipasung seperti hewan!)
Seketika Eko merasa ditampar kencang sekali. Dia tidak menduga Adil, dengan wajah seletih dan seberantakan itu masih memiliki tenaga untuk menembakkan kalimat yang melukai hatinya; namun harus Eko akui benar adanya.
Kali ini Eko yang balik diam. Tapi Adil belum berhenti.
"Saiki aku karo Melia ra ngerti opo-opo. Oke! Aku akui kita berdua ra ngerti opo-opo. Terus kowe kan sing mudeng segalanya?! Kowe kan sing nyekel daerah kene?! Miris aku Ko, wong soko kota sebelah sing ra mudeng opo-opo iki jebule sing bertindak cepat. Sedangkan sing mudeng Srigati koyo kowe malah meneng ae koyo gathel!!" (Sekarang aku dan Melia tidak tahu apa-apa. Oke! Aku akui kita berdua tidak ngerti apa-apa. Terus kamu kan yang paham segalanya?! Kamu kan yang pegang daerah ini?! Miris aku Ko, orang dari kota sebelah yang tak paham apa-apa ini ternyata yang bertindah cepat sedangkan yang paham Srigati kayak kamu malah diam saja brengsek!!!"
Tamparan kedua ini membuat Eko lepas kendali.
"Jaga mulutmu, bajingan!" Dia bangkit dari duduknya, dan langsung mencengkeram kerah baju Adil dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya mengepal, siap untuk melayang.
Hanya butuh beberapa detik, benar-benar hanya butuh beberapa detik, kepalan itu akan melayang dan perkelahian dua orang pria dewasa itu pasti pecah. Namun semua itu tak terjadi. Terhenti oleh sebuah teriakan dari belakang sana membuat semua mata yang ada di ruang tamu teralih.
"Cukup! Cukup bikin kacau di sini!!"
Itu adalah Imas, yang bahkan masih memakai daster dan membawa spatula di tangan kanan. Bibirnya bergetar. Bahunya naik turun menahan amarah yang begitu membara. Seketika cengkeraman Eko melemah, begitu juga dengan kedua lututnya. Dia jatuh terduduk di sofa. Tak berdaya. Ingin dia cegah istrinya mendekat dan masuk dalam urusan mereka bertiga. Tapi dia kenal Imas, dan Eko menyesal harus membiarkannya mendengar perselisihan ini.
"Mas Adil dan Mbak Melia, kalau lewat jalan yang biasa tidak mungkin kalian lolos dari perhatian warga sana. Bahkan kalau kalian belok ke kebun jagung, tetap saja tidak aman. Pasti ada yang jaga di gerbang masuk dusun. Tapi kalau kalian benar-benar mau melakukan evakuasi demi kemanusiaan, saya bisa tunjukkan jalur aman untuk bisa masuk ke lokasi tempat wanita itu dipasung tanpa ketahuan warga."
Adil menganga, Melia tampak lebih kaget lagi. Eko berdiri, mendekat ke arah Imas yang kini kedua matanya berkaca-kaca.
"Imas, ojo..." (Imas, jangan...)
Tapi Imas bergeming. Dia bahkan tak menatap Eko, dan terus menusukkan pandangan ke Adil dan Melia.
"Nama perempuan yang kalian maksud itu adalah Yuli. Saya bahkan kenal sama dia, karena saya lahir di Srigati. Orang tua saya asli dari sana. Tapi sembilan tahun lalu, sehabis saya lulus SMP, kami terpaksa pindah ke kota. Itulah kenapa suami saya ndak mau membantu Mas Adil untuk pergi ke sana. Karena dia tahu siapa saya dan darimana saya berasal..."
Imas menghela nafas panjang agar tangisnya tidak pecah.
"...Karena dulu sebelum menikah saya membuat Mas Eko berjanji untuk tidak pernah datang ke dusun laknat itu. Apapun yang terjadi."
"Aku bubar soko Jatiasih, Ko. Aku marani bocah-bocah KKN sing tag ceritakne menyang kowe mbiyen kae. Perkoro ODGJ ning dusun Srigati kui. Mulane aku mertamu mrene esuk-esuk. Ceritane dowo." (Aku dari Jatiasih, Ko. Aku menemui anak-anak KKN yang aku ceritakan ke kamu dulu itu. Masalah ODGJ di dusun Srigati itu juga. Makanya aku bertamu kesini pagi buta. Ceritanya panjang.)
Eko tak langsung menjawab. Pandangannya ia alihkan dari Adil. Ada rasa kecewa yang membuncah, kenapa Adil harus datang kesini membawa cerita itu? Jadi, memang benar apa kata orang-orang tua itu tentang arti mimpi ular masuk ke rumah; masalah akan datang menyambangi. Dan ternyata, Adil-lah yang membawa masalah itu.
"Aku kan wis jelasne menyang kowe, to? Aku wegah ikut campur!" (Aku kan sudah menjelaskan ke kamu, kan? Aku enggak mau ikut campur!)
Eko menggariskan batas yang tegas. Walau dalam hati, dia merasa tak tega harus berkata setajam ini.
Ah, Adil.
Eko sebenarnya tak benar-benar mengenal pria dari Kota sebelah itu. Berawal kenal dari gathering organisasi kemanusiaan enam bulan lalu, mereka lalu menjadi sering saling berkontak satu sama lain. Kebanyakan untuk urusan koordinasi antar area dan sebagian lain hanya mengobrol ringan saja. Orangnya baik, supel, suka bercanda namun memiliki empati yang tinggi dan keras kepala jika sudah menyangkut urusan kemanusiaan. Tak heran kalau dia lalu menjadi koordinator organisasi untuk regional kota S********.
Yang paling Eko kenang tentang Adil, tentu saja adalah cerita tentang bagaimana dia dengan keras kepala melanjutkan program bantuan tandon air di sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa dua bulan lalu itu. Tak peduli walau situasi di sana sedang membara karena konflik horizontal yang disebabkan pemilihan kepala desa, Adil tetap menyewa sebuah truck untuk mengangkut dua buah tandon yang ia kemudikan sendiri sejauh 100 Km karena kabarnya semua anggota yang lain mundur dari proyek karena intimidasi dari preman setempat.
Tapi Adil tak gentar sedikitpun. Dia nekat masuk dengan truck itu seorang diri, dan ajaibnya bisa keluar walau setelahnya dia terus menerus mendapatkan intimidasi. Teleponnya terus menerus menerima SMS ancaman dan panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Bahkan Adil sempat terpaksa tak masuk kantor selama dua minggu setelah ada laporan bahwa ada beberapa orang asing mencurigakan yang mondar mandir di depan kantor.
"Arep pemilihan opo ora, warga tetep butuh air bersih. Toh, sing dipilih karo dibelo nganti direwangi bacok-bacokan kae yo ora patio peduli karo warga kok!" (Mau pemilihan atau tidak, warga tetap butuh pasokan air bersih. Toh, yang mereka pilih dan bela sampai rela saling bacok itu juga enggak terlalu peduli dengan warga kok!)
Adil Sang Pemberani. Begitulah julukan itu menyebar di internal organisasi. Kisahnya menjadi inspirasi. Ia menjadi idola dan panutan bagi yang lain. Tapi di mata Eko, ia lebih tampak seperti orang keras kepala dan kadang tak realistis.
Bagi Eko, setiap perjuangan memiliki batas, dan itulah yang membedakan dirinya dengan Adil. Dia tahu batasan itu, sedangkan Adil tidak.
Perbedaan di antara mereka itulah yang membuat Eko menolak memberikan bantuan ketika beberapa waktu lalu, Adil meneleponnya. Meminta bantuan untuk mengevakuasi seorang yang diduga dipasung karena gangguan jiwa di sebuah dusun kecil bernama Srigati.
Tapi, seberlawanan apapun idealisme mereka berdua, Eko tetap menghormat Adil. Dan karena rasa hormat itulah, Eko membiarkannya terus bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi di sana. Dan setiap kali cerita itu meluncur, setiap kali itu pula Eko dibuat terperangah tak percaya.
Benar-benar tak percaya, bahwa Adil dan teman perempuannya ini yang mengenalkan diri sebagai Melia, telah mengambil tindakan yang terlalu jauh.
"Gara-gara kejadian yang dilakukan anak-anak KKN kemarin itu, sekarang Srigati dijaga ketat sama warga di sana. Kita enggak tahu lagi gimana cara untuk masuk dan mendekat ke lokasi tempat cewek itu dipasung. Karena jalan ke sana cuman satu, melewati hutan. Jadi kita berdua datang kesini buat minta tolong sama Mas Eko..."
Sekarang, giliran Melia yang bicara. Eko melirik sedikit ke arahnya. Tersenyum sinis.
"Kalian itu sok berani masuk ke daerah orang, padahal kalian ndak tahu apa yang sedang kalian hadapi..."
Eko berharap dengan perkataan itu, Adil dan Melia akan sadar dan memilih untuk menjauh dari Srigati. Karena memang benar adanya, bahwa dua orang ini tak tahu apa-apa. Tapi alih-alih gentar, Adil malah membalas ucapan itu dengan nada yang lebih keras.
"Terus ngopo?? Tujuanku mung siji, Ko! Evakuasi ODGJ sing dipasung ning kono! Bukane kui yo alasane dewe melu LSM iki?! Bukane iki yo sing selalu kita perjuangkan bersama?! Kemanusiaan, Ko! Jujur wae, rasa kemanusiaanku terusik nonton di jaman saiki isih enek orang yang harusnya entuk perawatan jiwa malah dipasung, diperlakukan koyo kewan!!" (Terus apa?? Tujuanku cuma satu, Ko! Mengevakuasi ODGJ yang dipasung di sana! Bukannya itu alasan kita berdua masuk di LSM ini?! Bukannya ini yang selalu kita perjuangkan bersama?! Kemanusiaan, Ko! Jujur aja, rasa kemanusiaanku terusik melihat di jaman sekarang masih ada orang yang harusnya mendapat perawatan kejiwaan tapi malah dipasung seperti hewan!)
Seketika Eko merasa ditampar kencang sekali. Dia tidak menduga Adil, dengan wajah seletih dan seberantakan itu masih memiliki tenaga untuk menembakkan kalimat yang melukai hatinya; namun harus Eko akui benar adanya.
Kali ini Eko yang balik diam. Tapi Adil belum berhenti.
"Saiki aku karo Melia ra ngerti opo-opo. Oke! Aku akui kita berdua ra ngerti opo-opo. Terus kowe kan sing mudeng segalanya?! Kowe kan sing nyekel daerah kene?! Miris aku Ko, wong soko kota sebelah sing ra mudeng opo-opo iki jebule sing bertindak cepat. Sedangkan sing mudeng Srigati koyo kowe malah meneng ae koyo gathel!!" (Sekarang aku dan Melia tidak tahu apa-apa. Oke! Aku akui kita berdua tidak ngerti apa-apa. Terus kamu kan yang paham segalanya?! Kamu kan yang pegang daerah ini?! Miris aku Ko, orang dari kota sebelah yang tak paham apa-apa ini ternyata yang bertindah cepat sedangkan yang paham Srigati kayak kamu malah diam saja brengsek!!!"
Tamparan kedua ini membuat Eko lepas kendali.
"Jaga mulutmu, bajingan!" Dia bangkit dari duduknya, dan langsung mencengkeram kerah baju Adil dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya mengepal, siap untuk melayang.
Hanya butuh beberapa detik, benar-benar hanya butuh beberapa detik, kepalan itu akan melayang dan perkelahian dua orang pria dewasa itu pasti pecah. Namun semua itu tak terjadi. Terhenti oleh sebuah teriakan dari belakang sana membuat semua mata yang ada di ruang tamu teralih.
"Cukup! Cukup bikin kacau di sini!!"
Itu adalah Imas, yang bahkan masih memakai daster dan membawa spatula di tangan kanan. Bibirnya bergetar. Bahunya naik turun menahan amarah yang begitu membara. Seketika cengkeraman Eko melemah, begitu juga dengan kedua lututnya. Dia jatuh terduduk di sofa. Tak berdaya. Ingin dia cegah istrinya mendekat dan masuk dalam urusan mereka bertiga. Tapi dia kenal Imas, dan Eko menyesal harus membiarkannya mendengar perselisihan ini.
"Mas Adil dan Mbak Melia, kalau lewat jalan yang biasa tidak mungkin kalian lolos dari perhatian warga sana. Bahkan kalau kalian belok ke kebun jagung, tetap saja tidak aman. Pasti ada yang jaga di gerbang masuk dusun. Tapi kalau kalian benar-benar mau melakukan evakuasi demi kemanusiaan, saya bisa tunjukkan jalur aman untuk bisa masuk ke lokasi tempat wanita itu dipasung tanpa ketahuan warga."
Adil menganga, Melia tampak lebih kaget lagi. Eko berdiri, mendekat ke arah Imas yang kini kedua matanya berkaca-kaca.
"Imas, ojo..." (Imas, jangan...)
Tapi Imas bergeming. Dia bahkan tak menatap Eko, dan terus menusukkan pandangan ke Adil dan Melia.
"Nama perempuan yang kalian maksud itu adalah Yuli. Saya bahkan kenal sama dia, karena saya lahir di Srigati. Orang tua saya asli dari sana. Tapi sembilan tahun lalu, sehabis saya lulus SMP, kami terpaksa pindah ke kota. Itulah kenapa suami saya ndak mau membantu Mas Adil untuk pergi ke sana. Karena dia tahu siapa saya dan darimana saya berasal..."
Imas menghela nafas panjang agar tangisnya tidak pecah.
"...Karena dulu sebelum menikah saya membuat Mas Eko berjanji untuk tidak pernah datang ke dusun laknat itu. Apapun yang terjadi."
Quote:
"Sak niki pitung sasi, Mbah. Sasi ngarep berarti sampun wolu. Sampun saged nggih ketingale umpami didadosne kemawon?" (Sekarang tujuh bulan. Bulan depan berarti sudah delapan. Sudah bisa kelihatannya seandainya dijadikan saja?)
Astria tidak bermaksud menguping. Dia kebetulan terbangun tengah malam, kebelet kencing dan keluar menuju kamar mandi ketika dia tanpa sengaja mendengar suara bapaknya di ruang tengah. Tapi dia tak mau ambil pusing. Astria tahu benar alasan dia harus pulang ke Srigati dan untuk yang lain dia tak mau tahu. Pun dengan siapa bapaknya berbincang, Astria sudah bisa menebaknya tanpa harus mengintip ke sana.
"Ojo ngawur kowe, Gun! Iki dudu dolanan. Kabeh ono pakem lan aturane!" (Jangan ngawur, Gun! Ini bukan mainan. Semua ada aturannya!)
Benar, kan! Suara tebal itu jelas suara milik Mbah Gondo. Astria mengenal suara itu, dan sewaktu dia masih di sini, tak jarang suara Mbah Gondo sering terdengar di waktu tengah malam. Mengobrol dengan bapak. Astria sendiri sangat jarang terlibat interaksi dengan si dukun tua yang kabarnya sakti mandraguna itu. Hanya seperlunya saja, kalau ada hal penting yang harus dibicarakan.
"Tapi kejadian wingi niku damel sedoyone dados ruwet, Mbah. Jenengan nggih ngertos, masalah niki mboten mung nyangkut Srigati mawon. Kathah pihak-pihak sing gadah kepentingan kalih gelar pendem. Wonten kekuasaan, bisnis, jabatan kang kudu dijogo. Termasuk pimpinan perusahaan panggenan Astria nyambut damel wonten Jakarta." (Tapi kejadian kemarin itu buat semuanya menjadi rumit, Mbah. Anda juga tahu, masalah ini tidak cuma menyangkut Srigati saja. Banyak pihak lain yang punya kepentingan dengan gelar pendem. Untuk menjaga kekuasaan, bisnis dan jabatan. Termasuk bos perusahaan tempat Astria bekerja di Jakarta.)
Ah, nama bosnya disebut juga! Batin Astria sambil membuka pintu kamar mandi.
"Hendardi, to? Kok iso wong-wong kui krungu kejadian wingi?" (Kok bisa orang-orang itu tahu kejadian kemarin?)
Astria tak mampu lagi mendengar obrolan dua orang itu, ketika dia nyalakan keran dan suara air deras memancar.
Di saat itu, pikiran Astria jauh melayang. Melewati masa-masa di belakang. Memutar rekaman memori atas apa yang telah terjadi. Jauh, makin jauh dan ingatannya terhenti di masa kecilnya. Bagaimana dulu, dia sering memergoki Sarmin mengintipnya mandi dari atas pohon jambu di belakang rumah. Lelaki itu naksir padanya. Sejak dulu. Dan Astria tahu itu.
Tak apa. Astria tak ada masalah dengan itu. Lagipula, Sarmin itu orang baik. Tulus. Pekerja keras. Dan kalau dipandang-pandang lagi, terlepas dari wajahnya yang lusuh dan tak terawat itu, Sarmin terhitung cukup tampan untuk ukuran pria dusun. Jambang yang tumbuh halus dan badan tinggi kekar. Andai dia hidup di Jakarta, Astria pikir Sarmin bakal laku dijual di arisan-arisan brondong.
Wkwkwkwk. Astria cekikikan sendiri jika teringat masa itu. Tapi tentu saja, Sarmin tak akan pernah bisa menyentuhnya sampai dia mati. Dan bagi Astria sendiri, tak ada harapan yang bisa dia berikan balik kepada pria itu. Apalagi sejak hidupnya berada di satu titik yang merubah hidupnya dan hidup bapaknya menjadi seperti sekarang. Tepat ketika Yuli diseret warga atas tuduhan memasak kepala bapaknya sendiri di dalam dandang itu, dan kemudian dipasung di dalam kandang kambing hingga hari ini, Astria yang dulu telah mati. Berganti menjadi Astria yang baru.
Astria yang sekarang.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, kasihan juga si Yuli. Tapi mau bagaimana lagi, daripada harus aku yang berada di posisi itu. Batinnya dalam hati.
Urusan buang hajat tuntas sudah. Keran air dimatikan. Suasana kembali lengang. Dan ketika Astria keluar dari dalam kamar mandi, dia baru menyadari sesuatu. Suara obrolan antara bapak dengan Mbah Gondo tak lagi terdengar. Berganti dengan suara lain. Suara ribut-ribut yang dia yakini berasal depan rumah.
Astria yang tadinya tak peduli, kini mau tak mau mendekat ke arah sana. Pintu depan rumah terbuka lebar. Beberapa warga membawa senter, berdiri dengan wajah tegang di hadapan bapaknya dan Mbah Gondo.
Sambil mengambil langkah mendekat, Astria sempat melirik jam dinding di ruang tamu. Pukul setengah satu lebih lima dini hari.
"Opo, to?! Ngomong sing jelas! Siji-siji!!" (Apaan, sih?! Ngomong yang jelas! Satu-satu!!)
Terdengar suara bapak mencoba menenangkan warga.
"Anu, Pak Gun...niku, Mas Supri..." (Anu, Pak Gun..itu, Mas Supri...)
Salah satu warga yang ketakutan mencoba memberi penjelasan dengan kalimat yang terbata. Sampai tiba-tiba saja, dari balik kerumunan, Astria melihat Sarmin muncul. Wajahnya pucat pasi. Dia menghadap bapak dan Mbah Gondo dengan kepala tertunduk
"Lha, Supri kan jogo ning kandange Yuli. Enek opo, Min?" (Supri kan berjaga di kandangnya Yuli. Ada apa, Min?)
Sarmin yang ditanya, tak langsung menjawab.
"Nggih Pak, Mas Supri wau jogo wonten mriko. Terus tirose sak klebat Lek Waskito, mas ipene, kaling rencange tigo moro kalih nggowo golok. Mas Supri tirose digacar kalih dibacoki..." (Betul Pak, Mas Supri tadi jaga di sana. Terus katanya tiba-tiba Pak Waskito, kakak iparnya, bersama tiga temannya datang sambil membawa golok. Mas Supri dikejar sambil terus dibacok...)
Otak Astria tiba-tiba seperti dihantam palu dengan sangat keras. Dia langsung lari ke arah bapaknya dan yang lain.
"Mas Sarmin, kandangnya Yuli siapa yang jaga sekarang?!"
Semuanya terdiam. Melongo. Menyadari bahwa kandang Yuli sekarang tanpa penjagaan.
Astria tidak bermaksud menguping. Dia kebetulan terbangun tengah malam, kebelet kencing dan keluar menuju kamar mandi ketika dia tanpa sengaja mendengar suara bapaknya di ruang tengah. Tapi dia tak mau ambil pusing. Astria tahu benar alasan dia harus pulang ke Srigati dan untuk yang lain dia tak mau tahu. Pun dengan siapa bapaknya berbincang, Astria sudah bisa menebaknya tanpa harus mengintip ke sana.
"Ojo ngawur kowe, Gun! Iki dudu dolanan. Kabeh ono pakem lan aturane!" (Jangan ngawur, Gun! Ini bukan mainan. Semua ada aturannya!)
Benar, kan! Suara tebal itu jelas suara milik Mbah Gondo. Astria mengenal suara itu, dan sewaktu dia masih di sini, tak jarang suara Mbah Gondo sering terdengar di waktu tengah malam. Mengobrol dengan bapak. Astria sendiri sangat jarang terlibat interaksi dengan si dukun tua yang kabarnya sakti mandraguna itu. Hanya seperlunya saja, kalau ada hal penting yang harus dibicarakan.
"Tapi kejadian wingi niku damel sedoyone dados ruwet, Mbah. Jenengan nggih ngertos, masalah niki mboten mung nyangkut Srigati mawon. Kathah pihak-pihak sing gadah kepentingan kalih gelar pendem. Wonten kekuasaan, bisnis, jabatan kang kudu dijogo. Termasuk pimpinan perusahaan panggenan Astria nyambut damel wonten Jakarta." (Tapi kejadian kemarin itu buat semuanya menjadi rumit, Mbah. Anda juga tahu, masalah ini tidak cuma menyangkut Srigati saja. Banyak pihak lain yang punya kepentingan dengan gelar pendem. Untuk menjaga kekuasaan, bisnis dan jabatan. Termasuk bos perusahaan tempat Astria bekerja di Jakarta.)
Ah, nama bosnya disebut juga! Batin Astria sambil membuka pintu kamar mandi.
"Hendardi, to? Kok iso wong-wong kui krungu kejadian wingi?" (Kok bisa orang-orang itu tahu kejadian kemarin?)
Astria tak mampu lagi mendengar obrolan dua orang itu, ketika dia nyalakan keran dan suara air deras memancar.
Di saat itu, pikiran Astria jauh melayang. Melewati masa-masa di belakang. Memutar rekaman memori atas apa yang telah terjadi. Jauh, makin jauh dan ingatannya terhenti di masa kecilnya. Bagaimana dulu, dia sering memergoki Sarmin mengintipnya mandi dari atas pohon jambu di belakang rumah. Lelaki itu naksir padanya. Sejak dulu. Dan Astria tahu itu.
Tak apa. Astria tak ada masalah dengan itu. Lagipula, Sarmin itu orang baik. Tulus. Pekerja keras. Dan kalau dipandang-pandang lagi, terlepas dari wajahnya yang lusuh dan tak terawat itu, Sarmin terhitung cukup tampan untuk ukuran pria dusun. Jambang yang tumbuh halus dan badan tinggi kekar. Andai dia hidup di Jakarta, Astria pikir Sarmin bakal laku dijual di arisan-arisan brondong.
Wkwkwkwk. Astria cekikikan sendiri jika teringat masa itu. Tapi tentu saja, Sarmin tak akan pernah bisa menyentuhnya sampai dia mati. Dan bagi Astria sendiri, tak ada harapan yang bisa dia berikan balik kepada pria itu. Apalagi sejak hidupnya berada di satu titik yang merubah hidupnya dan hidup bapaknya menjadi seperti sekarang. Tepat ketika Yuli diseret warga atas tuduhan memasak kepala bapaknya sendiri di dalam dandang itu, dan kemudian dipasung di dalam kandang kambing hingga hari ini, Astria yang dulu telah mati. Berganti menjadi Astria yang baru.
Astria yang sekarang.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, kasihan juga si Yuli. Tapi mau bagaimana lagi, daripada harus aku yang berada di posisi itu. Batinnya dalam hati.
Urusan buang hajat tuntas sudah. Keran air dimatikan. Suasana kembali lengang. Dan ketika Astria keluar dari dalam kamar mandi, dia baru menyadari sesuatu. Suara obrolan antara bapak dengan Mbah Gondo tak lagi terdengar. Berganti dengan suara lain. Suara ribut-ribut yang dia yakini berasal depan rumah.
Astria yang tadinya tak peduli, kini mau tak mau mendekat ke arah sana. Pintu depan rumah terbuka lebar. Beberapa warga membawa senter, berdiri dengan wajah tegang di hadapan bapaknya dan Mbah Gondo.
Sambil mengambil langkah mendekat, Astria sempat melirik jam dinding di ruang tamu. Pukul setengah satu lebih lima dini hari.
"Opo, to?! Ngomong sing jelas! Siji-siji!!" (Apaan, sih?! Ngomong yang jelas! Satu-satu!!)
Terdengar suara bapak mencoba menenangkan warga.
"Anu, Pak Gun...niku, Mas Supri..." (Anu, Pak Gun..itu, Mas Supri...)
Salah satu warga yang ketakutan mencoba memberi penjelasan dengan kalimat yang terbata. Sampai tiba-tiba saja, dari balik kerumunan, Astria melihat Sarmin muncul. Wajahnya pucat pasi. Dia menghadap bapak dan Mbah Gondo dengan kepala tertunduk
"Lha, Supri kan jogo ning kandange Yuli. Enek opo, Min?" (Supri kan berjaga di kandangnya Yuli. Ada apa, Min?)
Sarmin yang ditanya, tak langsung menjawab.
"Nggih Pak, Mas Supri wau jogo wonten mriko. Terus tirose sak klebat Lek Waskito, mas ipene, kaling rencange tigo moro kalih nggowo golok. Mas Supri tirose digacar kalih dibacoki..." (Betul Pak, Mas Supri tadi jaga di sana. Terus katanya tiba-tiba Pak Waskito, kakak iparnya, bersama tiga temannya datang sambil membawa golok. Mas Supri dikejar sambil terus dibacok...)
Otak Astria tiba-tiba seperti dihantam palu dengan sangat keras. Dia langsung lari ke arah bapaknya dan yang lain.
"Mas Sarmin, kandangnya Yuli siapa yang jaga sekarang?!"
Semuanya terdiam. Melongo. Menyadari bahwa kandang Yuli sekarang tanpa penjagaan.
wakazsurya77 dan 41 lainnya memberi reputasi
42
Kutip
Balas
Tutup