Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)


Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II



Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.5K
902
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#199
Bab XLIII
Permainan Mulai Memasuki Babak Akhir


Hari berlalu dengan cepat, pasukan Rangga dan rakyat yang mengikutinya semakin lama, semakin dekat ke perbatasan Kademangan Jambangan.

Kesatuan militer Kadipaten Jambangan yang baru saja dibentuk, sudah dua hari lamanya dikerahkan menjaga perbatasan kadipaten. Tenda-tenda militer besar dan kecil menghiasi padang rumput yang menjadi pintu masuk ke Kadipaten Jambangan.

Umbul-umbul dan panji-panji yang menandakan baik kesatuan yang baru, maupun kesatuan-kesatuan yang lebih kecil di bawahnya, berkibar-kibar di berbagai lokasi, menandakan pasukan siapa yang berkemah di sana.

Di Kadipaten Serayu, di perbatasan paling selatan Kerajaan Watu Galuh, suasananya pun tidak kalah menegangkan. Beberapa hari yang lalu, gabungan pasukan para adipati yang mendukung Prabu Jayabhuanna bergerak mendekati perbatasan. Tanpa membuang waktu pasukan Kerajaan Watu Galuh pun bergerak menutup pergerakan mereka. Kedua pasukan berkemah berhadap-hadapan dengan jarak tak lebih dari satu kilometer jauhnya.

Hampir setiap hari kedua pasukan saling berhadapan dalam gelar perang terbuka.

Namun pasukan Adipati Gading Kencana tidak memulai penyerangan, dan pasukan Kerajaan Watu Galuh bersikap menunggu.

Benar-benar menguji mental dan disiplin para prajurit, ketika mereka harus selalu dalam keadaan siap berperang, sementara kapan mereka akan berperang tidak mereka ketahui. Sesekali beberapa senapati atau bekel akan maju ke depan dan saling menantang.

Pertarungan satu lawan satu terjadi di hadapan sekalian pasukan, menang dan kalahnya mereka ikut mempengaruhi moral pasukan. Sejauh ini kedua pihak sama-sama pernah menang, pernah juga kalah.

Tidak lagi bermalas-malasan di dalam tenda kebesarannya, setiap hari Prabu Jannapati turun sendiri ke medan pertempuran. Menyemangati pasukan, sesekali melontarkan tantangan perang satu lawan satu ke arah pasukan Adipati Gading Kencana, namun sejauh ini tidak ada yang berani menanggapi tantangannya.

Dengan sendirinya, hal ini membut moral pasukan Kerajaan Watu Galuh terjaga. Namun jika moral pasukan di tingkat bawah terjaga tinggi, tidak demikian keadaannya di tingkat atas. Setelah selesai berkeliling di depan garis pertahanan dan menyemangati pasukannya, Prabu Jannapati kembali ke dalam tenda kebesarannya.

Di dalam sana, jauh dari telinga prajurit-prajurit yang berjaga, ekspresi wajahnya berubah muram dan tegang. Patih Nandini, beberapa orang Tumenggung dan Senapati terlihat berkumpul di dalam tenda itu.

“Belum ada kabar, ke mana pasukan Rangga sekarang berada?”, tanya Prabu Jannapati dengan wajah keruh.

“Belum baginda, jejaknya sudah ditemukan mengarah ke pusat Kerajaan Watu Galuh, namun kemudian menghilang di tengah Alas Rawagantung.”, jawab senapati yang bertugas memimpin pasukan telik sandi.

“Bagaimana dengan jumlahnya? Kalian sudah punya gambaran yang lebih pasti?”, tanya Prabu Jannapati kemudian.

“Sudah gusti prabu, kami berhasil menemukan jejak-jejak tentang bagaimana mereka menghilang dari pasukan utama tanpa teramati oleh pasukan telik sandi kita, dan dari situ kami berhasil menghitung, setidaknya jumlah mereka mendekati 1000 orang, tapi tidak akan lebih dari 1000 orang prajurit.”, jawab senapati tersebut.

“Seribu orang... Hhh.... bagaimana seribu orang bisa menghilang begitu saja?”, geram Prabu Jannapati.

Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Prabu Jannapati itu. Patih Nandini juga terpekur memandangi peta besar yang digelar di atas meja, di tengah-tengah tenda pertemuan itu.

“Kita harus tahu ke mana mereka pergi. Saat ini pasukan Adipati Gading Kencana berani memasang gelar terbuka berhadapan dengan pasukan kita. Sudah tentu ada hubungannya dengan pasukan Raden Rangga yang menyusup ke dalam wilayah kita.”, kata Patih Nandini dengan serius.

Jika biasanya dalam keadaan apa pun Patih Nandini terlihat tenang, kali ini tidak. Kali ini Patih Nandini pun terlihat tegang. Setiap orang yang berada di dalam kemah pertemuan itu merasa tegang, seakan-akan ada bayangan yang tidak terlihat, sedang menodongkan pisau ke punggung mereka.

Seorang tumenggung ragu-ragu bertanya, “Apa perlu kita menarik mundur sebagian dari pasukan kita ke ibu kota?”

Sebelum Prabu Jannapati mendamprat tumenggung tersebut, buru-buru Patih Nandini menjawab, “Tidak perlu, jika hanya untuk mengamankan ibu kota dari serangan seribu orang prajurit. Kesatuan Darespati dan pasukan yang kita tinggalkan di ibu kota saat ini, sudah cukup untuk mempertahankan ibu kota.”

Prabu Jannapati menelan kemarahan yang sudah hampir terlontar, kemudian dia bertanya, “Bagaimana dengan pengiriman perbekalan makanan bulan ini? Kalian sudah pastikan semuanya aman?”

“Mereka sudah beberapa hari yang lalu meninggalkan Kadipaten Mager Asri, dalam hitungan hari mereka akan sampai. Hamba juga sudah mengirimkan seribu orang prajurit dari pasukan kita untuk membantu mengamankan perbekalan.”, jawab Patih Nandini.

Prabu Jannapati mengamati peta di atas meja, “Perintahkan mereka, hanya lakukan perjalanan di siang hari. Kemudian selalu pastikan pasukan pengintai memeriksa keadaan lebih dahulu sebelum mereka mulai bergerak. Lebih baik terlambat beberapa hari daripada terjadi sesuatu dengan mereka.”

“Siap baginda.”, jawab Patih Nandini.

Prabu Jannapati terlihat masih tak puas, “Dengar, pada saat ini hampir tidak ada target penting yang bisa jadi sasaran seribu orang pasukan Rangga itu, kecuali pengiriman perbekalan kita. Nandini apa perlu kita mengirimkan lebih banyak lagi pasukan untuk melindungi pengiriman perbekalan kita itu?”

Patih Nandini berpikir beberapa lama, kemudian menggelengkan kepala, “Sebelum kita menerima kabar menghilangnya pasukan Rangga, kita sudah menugaskan 800 orang prajurit untuk mengawal pengiriman perbekalan dari ibu kota menuju ke perbatasan. Kemudian setelah ada kita mendapatkan berita itu, dengan segera kita mengirim orang untuk memperingatkan mereka, sekaligus menyusul mengirimkan 1000 orang prajurit untuk membantu mengawal perbekalan.”

Setelah menguraikan apa yang sudah mereka lakukan sebelumnya, Patih Nandini melanjutkan, “Jika sekarang kita mengurangi lagi pasukan kita di perbatasan, maka justru kedudukan kita di sini yang berbahaya. Bagaimana kalau misalnya seribu orang pasukan Rangga itu sejatinya sedang bersembunyi dan menunggu untuk menyerang pasukan kita dari belakang, bersamaan dengan serangan dari pasukan Pangeran Adiyasa yang menyerang secara berterang dari depan?”

Melihat Prabu Jannapati masih menatap ke atas peta sambil mengerutkan alis, Patih Nandini kemudian menambahkan, “Baginda prabu jangan terlalu kuatir, 1800 orang prajurit kalau mengambil strategi bertahan, bisa manahan mereka cukup lama. Pada saat itu, jika benar 1000 orang prajurit Raden Rangga itu menyerang mereka, masih belum terlambat untuk mengirimkan pasukan untuk membantu mereka.”

Prabu Jannapati berdiri dengan tak sabar dan berjalan mondar-mandir, seperti seekor singa yang kelaparan, akhirnya dia menoleh ke arah Patih Nandini dan berkata, “Aku masih merasa tidak aman, Nandini, perintahkan pada Adipati Jalak Kenikir, untuk mengirimkan 1000 orang prajuritnya untuk memperkuat pengawalan perbekalan kita itu.”

Patih Nandini berpikir untuk beberapa saat, kemudian menjawab. “Baiklah, hamba akan pergi sendiri ke Kadipaten Jambangan untuk menyampaikan perintah itu.”

Prabu Jannapati mengangguk, “Bagus, katakan padanya, seribu orang prajurit Rangga yang paling berpengalaman sedang bergerak sembunyi-sembunyi dan bersiap untuk merebut perbekalan kita. Tidak ada alasan baginya untuk menolak permintaan kita ini. Kalau sampai pasukan kita di selatan ini harus mundur, toh kadipaten-nya juga akan terancam oleh keberadaan pasukan Adipati Gading Kencana.”

Patih Nandini mengangguk, “Hamba mengerti dan hamba yakin Adipati Jalak Kenikir juga bisa menghitung setiap kemungkinannya.”

--------

beberapa waktu kemudian, di hari itu juga, di Kadipaten Jambangan, di sebuah ruangan kecil yang asri, Patih Nandini sedang duduk dijamu langsung oleh Adipati Jalak Kenikir. Patih Nandini tersenyum kecut melihat Adipati Jalak Kenikir yang masih sempat-sempatnya menikmati kenyamanan dalam keadaan saat ini.

“Ki Adipati tentu sudah tahu tentang seribu orang prajurit Rangga yang diam-diam memisahkan diri dari pasukan utama.”, Patih Nandini tidak ingin membuang waktu dengan berputar-putar.

“Tentu, tentu.... Ki Patih tentunya juga mendengar bahwa Adipati Seroja dan Adipati Talitaman menggerakkan pasukan mereka dan sekarang berkemah tepat di luar perbatasan Kadipaten Jambangan.”, jawab Adipati Jalak Kenikir.

Patih Nandini meletakkan cangkir di tangannya, wedang jahe yang dihidangkan Adipati Jalak Kenikir, hatinya terlampau rusuh untuk merasakan nikmatnya wedang jahe hangat itu, “Ki Adipati jangan bercanda, jumlah pasukan gabungan yang berhadapan dengan pasukan kerajaan tidak banyak berubah. Artinya pasukan yang mengancam Kadipaten Jambangan, hanya ramai dan terlihat besar, padahal aslinya tidak demikian.”

“Atau sebaliknya, pasukan Adipati Gading Kencana yang mengancam pasukan kerajaan yang menampakkan diri mengerikan, padahal sebenarnya kosong.”, sahut Adipati Jalak Kenikir tak mau kalah.

Patih Nandini memejamkan mata, merasa lelah menghadapi Adipati Jalak Kenikir yang licin seperti belut ini.

“Ki Adipati, marilah kita berhenti bermain kata. Apa keuntungannya Adipati Gading Kencana membantu Raden Rangga merebut Kadipaten Jambangan? Jumlah pasukan Adipati Seroja dan Adipati Talitaman ditambah pasukan Raden Rangga tak akan cukup untuk merebut Kadipaten Jambangan yang bertahan di balik tembok kota dalam hitungan hari. Kemudian apa mungkin kami akan diam saja jika itu terjadi?”, tanya Patih Nandini pada Adipati Jalak Kenikir.

Melihat Adipati Jalak Kenikir masih terdiam, Patih Nandini menambahkan, “Tapi apabila perbekalan yang dikirimkan dari ibu kota, sampai gagal sampai pada kami. Mau tidak mau dalam hitungan minggu pasukan harus mundur kembali ke asalnya masing-masing.”

Adipati Jalak Kenikir dengan tenang mengisi kembali cangkir Patih Nandini yang sudah kosong, “Jadi... Prabu Jannapati meminta pasukan bantuan, tanpa ada tawaran apa-apa sebagai timbal balik?”

Patih Nandini menggertakkan rahangnya dengan keras, “Apa Ki Adipati sudah siap untuk kehilangan Kadipaten Jambangan?”

Adipati Jalak Kenikir tersenyum lebar, “Ya... kehilangan sebuah kadipaten tidak terlalu menyakitkan dibanding kehilangan satu kerajaan.”

“Apa yang Ki Adipati mau?”, tanya Patih Nandini dengan sorot mata tajam mengancam.

Adipati Jalak Kenikir menjawab dengan tenang, “Jangan marah Ki, kali ini aku tidak minta terlalu banyak. Kalian ingin aku mengirimkan seribu orang prajurit berkuda untuk cepat bergabung mengawal perbekalan. Aku akan sediakan prajuritnya, kalian yang menyediakan kudanya, dan setelah mereka selesai dengan tugas mengawal, mereka akan kembali ke Kadipaten Jambangan berikut dengan kudanya.”

Patih Nandini bangkit berdiri dan dengan suara menahan marah dia menjawab, “Baik, sekarang juga aku akan kirimkan. Aku ingin mereka berangkat hari ini juga dan bergabung dengan pengawal perbekalan secepat-cepatnya.”

“Siap terima perintah Ki Patih, tentu saja aku akan memerintahkan mereka secepatnya bergerak, kalau perlu tanpa istirahat. Perbekalan itu sangat penting bagi kita, aku pun tak ingin melihat pasukan kerajaan kita kelaparan karena pengiriman perbekalan yang bermasalah.”, jawab Adipati Jalak Kenikir dengan hormat sambil tersenyum simpul.

Patih Nandini mengebaskan lengan bajunya dan meninggalkan ruangan itu tanpa berpamitan.

-----

Sore harinya terlihat Gagak Seta berkuda, memimpin seribu orang prajurit berkuda. Seribu orang prajurit yang diambil dari kesatuan yang baru, menyusuri jalan menuju ke Kadipaten Serayu. Mereka memacu kuda mereka dengan bersemangat.

“Gagak Seta, coba ceritakan kembali tugas yang diberikan oleh Ki Senapati Lesmana pada kita, Rewang dan Ganjar katanya penasaran.”, ujar salah seorang prajurit sambil memacu kudanya mendekati Gagak Seta yang berada di depan.

Partajaya yang berkuda seiring dengan Gagak Seta mengerutkan alis hendak menegur Lurah Prajurit yang tanpa memperhatikan tatanan keprajuritan berderap keluar dari barisan dan bertanya pada Gagak Seta, seperti bertanya pada teman biasa.

Gagak Seta menepuk pundak Partajaya dan menggelengkan kepala, kemudian menoleh pada Lurah Prajurit itu, “Daripada aku berulang-ulang bercerita, kau panggil semua Lurah Prajurit untuk berkuda di depan bersamaku.”

“Hahaha, siaap... Kakang Partajaya, jangan karena jadi Bekel kau kemudian jadi kaku begitu. Biasa sajalah.”, ujar Lurah Prajurit itu kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, berkuda kembali ke barisan untuk memanggil Lurah Prajurit yang lain.

Partajaya berkata pada Gagak Seta, “Gagak Seta, kalau seperti ini terus, apa bedanya nanti pasukan kita dengan gerombolan begal Gunung Awu?”

Gagak Seta tertawa kecil, “Ya... tapi jangan lupa kakang, mereka bukan pasukan Raden Rangga.”

Partajaya tercenung mendengar jawaban Gagak Seta, kemudian menghela nafas panjang, “Hahh.... kau benar.... tapi... bagaimana pun juga, mengenal mereka selama beberapa bulan ini...”

Partajaya menoleh ke belakang, melihat barisan kuda yang tidak beraturan, Lurah Prajurit yang tadi terlihat berkuda dari satu barisan ke barisan lain.

“Gagak Seta..., menurutmu... kita... akan memimpin mereka pada... kematian?”, tanya Partajaya ragu-ragu.

Gagak Seta menjawab dengan serius, “Aku harap tidak, tapi kita tidak boleh lupa siapa diri kita dan apa tugas kita yang sebenarnya.”

Sejenak kemudian dia menambahkan, “Kakang, kita sudah memilih jalan untuk menjadi prajurit, demikian juga mereka. Jangankan nyawa mereka, bukankah kita pun sudah siap untuk mengorbankan nyawa kita sendiri?”

“Kau benar...”, desis Partajaya dengan wajah serius.

“Jangan lupakan, anak-anak, orang tua, saudara, keluarga kita. Keselamatan mereka, berada di tangan kita juga.”, ujar Gagak Seta berusaha menguatkan rekannya yang lebih tua darinya.

Partajaya mengangguk pada Gagak Seta, sambil tersenyum, “Kau benar Gagak Seta, jangan kuatir, aku tidak lupa. Maaf, aku justru mencari penguatan darimu.”

Gagak Seta tertawa lepas, “Hahaha, biasa saja kakang, aku pun terkadang terganggu dengan kedudukan kita ini. Sungguh tugas yang tidak mudah.”

Partajaya terdiam mendengar kata Gagak Seta dan bergumam, “Semoga saudara-saudara kita yang tetap di Kadipaten Jambangan baik-baik saja.”

“Semoga...”, jawab Gagak Seta dengan wajah muram, teringat lagi dengan firasat buruknya saat baru menjadi senapati.

Bersambung ke Bab XLIV
Diubah oleh lonelylontong 28-08-2020 04:36
itkgid
widi0407
danjau
danjau dan 15 lainnya memberi reputasi
16