Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
Namaku Dara Seorang Biduanita
Pertemuan Yang Tak Disengaja






Malam ini kuhabiskan waktuku hanya dengan merebahkan badanku di kasur empukku, sembari membungkam kedua telingaku dengan headsetyang mendengungkan beberapa lagu dangdut kesukaanku. Alunan musik seketika menurunkan volumenya, karena ada sebuah notifikasi pesan yang masuk ke dalam ponselku.


[Cin, inget ya! Tanggal dua manggung di hotel Grand Melati. Pakai baju seksi tapita jangan norak yes! Yang ngundang perusahaan bonafit. Bisa dapet saweran banyak eim. Jangan sampai dateng telat!]


Sebuah pesan whatsapp masuk ke dalam gawaiku dari Rio, pria setengah matang yang selama ini menjadi kawan baik sekaligus manajerku.


Kumiringkan tubuhku yang saat ini sedang bermalasan di kasur. Segera kuketik balasan pesan untuknya.


[Aduh, lagi nggak bisa pakai baju seksi say! Sayatan bekas OP masih belum ilang nih.] balasku kepada Rio.


[Rempong deh Yey! Pokoknya tampil derr darr dorr! Jangan sampai Yey kalah pamor sama sama si Silvi! Dia partner nyanyimu besok tau.]


Seketika leherku sesak mendengar nama yang enggan kusebutkan itu. Sial sekali aku harus satu panggung dengannya kali ini.


Ibu jariku seketika berselancar mencari nama wanita itu pada laman pencarian instagram. Entahlah, aku penasaran dengan hidupnya yang sekarang.


Hmm, ketemu! 'Silviaaaasoy',
Dasar nama yang norak!


Kutatap masam jumlah pengikut instagramnya. Halah! Baru enam belas ribu pengikut, yang sama sekali tidak sebanding dengan jumlah pengikutku yang sudah mencapai tiga ratusan ribu.
Ah, bocah bau kencur ini memang tidak selevel denganku!


Aku tersenyum bangga karena pada kenyataanya, aku memang lebih eksis daripada dirinya. Namun tiba - tiba mataku terfokus pada foto yang dia bagikan di laman media sosialnya.


Dia melakukan swafoto di dalam pesawat, dimana ia duduk di kursi yang tampak seperti kursi untuk penumpang kelas bisnis. Dia menenteng tas mewah yang kutaksir harganya sekitar dua puluh juta rupiah.


Mataku panas, sepanas hatiku. Mana mungkin sih? Uang hasil menyanyinya bisa membuat dirinya hidup mewah seperti sekarang? Apalagi dia masih selevel biduan ibu kota yang pastinya tidak setenar diriku!


Rasa penasaran membuatku tergugah untuk membuka kolom komentar dari para pengikutnya. Pujian - pujian yang bertubi - tubi bagi dirinya, membuat ulu hatiku terasa ngilu.


Dasar wanita penggoda! Br*gsek!
Tidak tahu balas budi! Nggak seharusnya dia bisa hidup enak seperti sekarang!


Cercaan kasar kepadanya seketika menghujani hatiku. Darah panas seketika mengalir menyusuri berbagai pembuluh di otakku. Entah bagaimana sengitnya suasana nanti, jika aku benar - benar satu panggung dengannya.


Kubuka profil instagramku. Lalu, kucari foto - fotoku saat aku berlibur ke Bangkok di galeri gawaiku. Aku tak boleh kalah pamor dengannya. Memangnya dia saja yang bisa naik pesawat? Aku malah sudah pernah ke luar negeri! Ya, meskipun ada alasan tersendiri mengapa aku nekat pergi ke negara gajah putih itu.


Uang yang kukumpulkan berbulan - bulan dari hasil kerja kerasku, kugunakan untuk melakukan prosedur operasi implant pay*dara. Semua itu kulakukan demi meningkatkan eksistensiku di dunia hiburan yang penuh persaingan ini.


"Bos - Bos doyan sama yang bohay - bohay Cin! Mana suka mereka sama biduan tepos. Cusss OP sana!" Kata - kata dari Rio itulah yang membuatku semakin yakin untuk melakukan aksi nekatku.



Masih teringat jelas, rasa sakit yang kurasakan setelah menjalani prosedur itu. Namun, aku tak peduli. Yang penting aku tetap menjadi biduan terlaris di Surabaya.


Bekas sayatan pisau yang tercetak di kedua kulit ketiakku belum sepenuhnya hilang. Namun, hasilnya memang sangat berpengaruh terhadap jumlah pengikut sosial mediaku. Semuanya mengatakan aku cantik dan seksi, dan aku menikmati semua ini.


[Khawp khun kha Thailand!] Kutulis sebuah caption dan tak lupa kububuhi emoticon love di ujung kalimat pada sebuah foto yang hendak ku upload.


Sebuah foto full body sembari memamerkan hasil karya dokter, berhasil ku bagikan. Tak berapa lama, gawaiku penuh dengan notif pemberitahuan. Semua pengikutku memuji tubuh indahku.


Aku mengamati lagi dan lagi foto - foto yang telah kubagikan. Semuanya terlihat sempurna. Aku memang tak tertandingi, apalagi hanya biduan sekelas Silvi!


*****


Malam ini aku memenuhi jadwal manggungku di ballroom hotel untuk menghibur para petinggi salah satu perusahaan swasta di Jawa Timur. Gambaran lembaran ratusan ribu terngiang di otakku. Memang tak kupungkiri, job seperti inilah yang paling aku sukai.
Tampil di tempat bersih dan mewah, honor yang fantastis, dan pastinya saweran yang tak kalah menggiurkan.


Kububuhi lipstik warna merah menyala di bibirku. Kusisir rambutku tebalku yang sudah sepanjang pinggang, lalu kupakai sepatu hak setinggi enam belas centi yang membuat kakiku lebih jenjang. Sempurna!


"Dah siap kan Neik! Jam delapan naik panggung ya Cin!" Rio datang menghampiriku dengan parfum super wanginya.


"Oke Say, oh iya gimana kostumku? Oke kan?" Aku mengerlingkan kedua mataku kepadanya.


"Emm, cucok markucok eim! Cuss kita ke belakang panggung yuk! Acara udinda mau dimulai tuh." Rio menggandeng tanganku dengan gaya gemulainya menuju ke tempat para musisi dan penyanyi berkumpul.


Kudapati seseorang yang membuat mataku malas untuk memandangnya. Siapa lagi kalau bukan Silvi.


Segera Kusalami satu - persatu anggota band yang akan mengiringiku dalam menyanyi nanti, sebagai bentuk penghormatan sekaligus membangun image bahwa aku adalah penyanyi yang ramah. Ya, dalam dunia ini kita harus pandai - pandai mengambil hati supaya bisa laku keras di dunia hiburan meskipun aku sebenarnya malas untuk melakukannya.


Seketika Silvi mengeluarkan Handphone berlogo buah apel keluaran terbaru. Sepertinya dia sengaja memamerkannya kepadaku. Dasar tukang pamer!


"Mas, daftar laguku sama kaya yang aku kirimkan kemarin yah! Jangan tinggi - tinggi mainnya. Aku lagi radang," ujar Silvi dengan nada lembutnya kepada pemain keyboard yang duduk di sebelahnya.


Ih, radang apanya. Sudah jelas dia memang tidak bisa menyanyi. Biduan bermodalkan wajah dan bodi saja bangga.
Aku tak kuasa menahan rasa sebalku kepadanya.


"Jangan emosi samosir dese Cin. Yang berlalu biarlah berlalu. Fokus ke tampil aja ya, cari duta yang banyak biar keyong - reyong," bisik Rio menenangkan amarahku.


Silvi berulah lagi memamerkan kepunyaannya.


"Aduh, tasku kotor." Dia mengibaskan debu halus yang tak sengaja menempel di tas mahalnya.


"Wuih, tas baru Kak Silvi?" tanya pemain bass yang usianya masih cukup muda.


"Iya, baru kemarin titip temen yang ke Italia."


"Gila, mahal pasti tuh Kak!"


"Ah, murah aja kok cuman tiga puluh lima juta. Penyanyi berkelas mah barangnya branded semua ya kan? Biduan kampung mah barangnya beli di pasar loak aja kali ya! Hihihi. Becanda loh aku," celetuk Silvi sembari melirikku yang tengah menyeringai kepadanya. Rio masih tetap berusaha meredakan amarahku agar tidak terpancing dengan perkataan Silvi.


Acara inti telah selesai dan berganti dengan acara hiburan. Aku menaiki panggung dengan sepatu hak tinggiku, melenggang cantik demi mengais rezeki yang sudah membesarkan namaku.


"Kita sambut penampilan dari penyanyi bersuara emas, Dara Glamora!" Rio yang juga menjadi MC di acara tersebut, menggemakan namaku di tengah penonton yang berteriak riuh.


Kudendangkan lagu berjudul 'Penasaran' dengan gaya pop dangdut yang diciptakan musisi kelas kakap Rhoma Irama itu. Aku masuk ke dalam barisan penonton, mengajak mereka bernyanyi dan berjoget bersama. Ya, inilah salah daya tarikku selama menjadi penyanyi. Aku pandai memeriahkan suasana penonton dengan gaya enerjikku.


Namun, energiku seketika menciut saat aku tak sengaja menatap salah satu wajah diantara para tamu undangan yang hadir. Ia memandangku dengan wajah penuh keheranan. Aku menundukkan kepalaku, keraguan seketika menyelimuti ragaku untuk melanjutkan aksi goyangan enerjikku.


Tak salah lagi dia adalah Fauzi, cinta pertamaku.



*****
Bersambung..


Update :

Fauzi, Cinta Pertamaku

Sebuah Kesepakatan

Sebuah Tawaran

Sebuah Tawaran Part 2

Rumah Om Waluyo

Rumah Om Waluyo Part 2

Bimbang

Bimbang Part 2

Panggung Pertama Dara

Panggung Kedua Dara

Panggung Kedua Dara Part 2

Panggung Kedua Dara Part 3

Aku Sayang Kamu, Zi!

Penyesalan

Risau

Lima Huruf

Lima Huruf Part 2

Selamat Tinggal

Pupus

Pertolongan

Berubah

Tak Terduga

Tak Terduga Part 2

Rumit

Pergi

Hadir Kembali

Serius

Sah

Silvi

Silvi Part 2

Silvi Part 3

Awal Mula Pertarungan

Siapa Dia?

Siapa Dia Part 2

Siapa Dia? Part 3

Hidup Baru

Harapan?

Mimpi?

Mimpi? Part 2

Enam Tahun Lalu Selesai

Fauzi, Cinta Pertamaku Part 2

Keluarga?

Dia lagi!

Dia Lagi! Part 2

Cinta Lama Bisakah Bersemi?

Cinta Pertama Yang Kembali

Perang Dingin

Cinta Pertama Yang Kembali Part 2

Rindu!

Pertarungan Dimulai

Bukan Perang Dingin

Bukan Perang Dingin Part 2

Bukan Perang Dingin Part 3

Mengapa Dia Kembali?

Mengapa Dia Kembali? Part 2

Bahagia Sesaat

Kotor

Kejutan

Menyerah

Pergi Atau Bertahan?

Tuhan Menjawabnya (Tamat)

Epilog
Diubah oleh dwyzello 09-08-2020 20:51
theunrealman
nomorelies
jacknife21
jacknife21 dan 57 lainnya memberi reputasi
52
39.1K
902
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
#396
Namaku Dara Seorang Biduanita Part 60
Pergi atau Bertahan?



Source : pinterest

*****

Bias cahaya matahari yang menembus kaca jendelaku, terdengar sedang memberi salam kepadaku. Aku sengaja sudah membersihkan seluruh ragaku pagi - pagi sekali, untuk menyongsong takdir yang akan kubuat sendiri itu. Kuukir senyum simpul, seraya menyisir kumpulan helai demi helai rambutku yang membasah. Sengaja kukenakan gaun lengan panjang dengan nuansa putih, agar kulitku kelak yang telah membiru, bisa terlihat bercahaya nantinya.


Untaian tali tambang, telah bertengger mesra diantara bentangan kayu yang merupakan salah satu furnituredi dalam apertemenku ini. Kini ia tengah tersenyum, seraya melambai - lambaikan dirinya agar aku segera bermain bersamanya.
Baiklah, sudah saatnya aku menghadap Tuhan!


Aku pun mengambil kursi kecil, yang kutaruh tepat di atas ranjangku. Kunaiki kursi kecil itu dengan sangat hati - hati. Ranjangku yang terlalu empuk itu, cukup membuatku kesulitan untuk menyeimbangkan posisi badanku. Setelah posisiku sempurna, pelan - pelan kuraih tali tambang yang sudah kuikat bawahnya dengan pola melingkar itu.


Aku mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Sungguh nikmat napas yang mungkin bisa kurasakan untuk terakhir kalinya.
Lalu tanpa pikir panjang, kumasukkan kepalaku pada ikatan yang telah kubuat itu. Air mataku kembali meleleh diantara rasa legaku yang ingin mengakhiri segala kekalutanku di dunia ini.


Posisi kepalaku kini sudah sempurna, saatnya kugulingkan kursi kecil yang masih menumpu kedua kakiku itu.
"Klak!" Kursi telah berhasil kugulingkan. Kini tak ada lagi penumpu yang masih mengokohkan badanku. Hanya seikat tali yang membuatku bergelantungan layaknya kelelawar itu.


Lambat laun, tekanan pada leherku semakin menyakitkan. Berat badanku yang hanya bertumpu pada leher itu, semakin membuat napasku terengah - engah dan sesak. Mataku pun melotot selebar - lebarnya diikuti mulutku yang mulai ternganga, berusaha mengambil sisa - sisa udara yang masih mampu kuhirup.


Oksigen - oksigen itu, kini tak bisa mengalir sampai ke kakiku, badanku pun mulai kesemutan karena aliran darah yang tersumbat. Rasanya sangat menyakitkan dan sangat ... sangat menyesakkan. Seketika ingin rasanya aku mati segera karena tak mampu menahan rasa sakit yang masih berproses ini.


Pandangan mataku semakin kabur. Entah kenapa ... tiba - tiba kudengar sayup - sayup suara sesorang yang berteriak tatkala menatapku. Mungkin, ini hanyalah halusinasiku saat nyawaku tengah berada di ujung tanduk.


Tiba - tiba badanku tersungkur, pada medan yang terasa nyaman di badanku. Bahkan saat ini, aku bisa bernapas lebih lega. Ah, akhirnya ... aku sudah berhasil melewati semuanya.


"Dara! Kamu gila!"


"Ra!"


Terasa beberapa tamparan cukup keras, yang menghunus kedua pipiku. Ah, apakah ini kemarahan malaikat karena perbuatanku? Jangan - jangan aku sudah di neraka? Tapi ... tapi kenapa malaikat menangis? Bukankah seharusnya ia memarahiku karena aku melakukan perbuatan yang paling Tuhan benci?


"Ra? Kenapa kamu begini? Ra!" Suara tangis semakin berderai, hingga membuatku semakin ragu bahwa itu adalah tangis seorang malaikat.


Saat oksigen - oksigen itu kembali menyusuri seluruh pembuluh darahku, lambat laun aku menyadari bahwa aku tak sedang berada di alam lain. Aku ... aku masih berada di apartemenku. Aku masih hidup!


"Ra! Apa yang terjadi sama kamu?" Kedua tangan lelaki itu kembali menggoncang bahuku.


"Ri ... Rio," gumamku lirih.


"Ra," ujarnya seraya mengerutkan seluruh wajahnya.


"Kenapa kamu menggagalkan usahaku?" ujarku sembari menangis tersedu - sedu.


"Ra, aku nggak tahu seberapa besar masalahmu! Tapi ... tak bisakah kamu menghargaiku? Kenapa kamu berniat mati buat ninggalin aku, Ra? Aku sayang kamu, Ra! Sangat sayang kamu!" geramnya diikuti kedua tangannya yang semakin erat merengkuh tubuhku.


"Aku manusia kotor ... aku manusia najis ... aku ... nggak pantas buat hidup, aku pantas mati!"


"Plak!"


Pipi kiriku terasa sangat panas. Rio sepertinya tengah memuntahkan kekesalannya untuk menyadarkan egoku.


"Kita pulang ya, kita pulang ke Surabaya, kita mulai hidup baru dari nol, oke?" paksa Rio dengan isakkan tangis yang masih memburu.


Aku hanya bergeming. Pikiranku semakin labil dan kacau. Aku tak bisa memutuskan, apakah aku bisa bertahan hidup dengan kondisiku yang sudah remuk ini?


"Ra, Lupakan dendammu kepada siapapun! Entah kepada Akbar, Silvi atau siapapun yang membuatmu sakit. Berhentilah jadi artis, Ra! Aku mohon!" Rio menggenggam erat kedua tanganku dengan begitu hangat, diiringi pelukannya serta tangan kanannya yang terus membelai dahiku.


"Rio, aku kena penyakit kutukan! Bahkan ... aku pun nggak tau sampai kapan aku bisa bertahan hidup!"


"Sssst! Aku nggak peduli sekotor apa diri kamu, Ra! Meskipun hidupmu, atau mungkin hidupku yang sudah tak lama lagi, ayo ... kita nikmati sisa - sisa hidup kita, Oke! Kamu masih punya janji sama aku buat naik gunung sama - sama, kan?"


Rio mengukir senyum terbaiknya. Hal itu membuat pundi - pundi rasa haru, kian tertumpah dalam tangisku.


Aku ... juga sayang kamu, Rio.


*****

Aku kembali ... kembali ke rumah kecilku di Surabaya. Rumah kecil yang membuatku nyaman. Rumah kecil yang akhirnya membuatku sadar bahwa sisa - sisa hidupku begitu berarti.


Sudah hampir setengah tahun lamanya, aku hidup dengan sangat bergantung kepada Rio. Dialah yang selalu menyemangatiku tatkala aku hampir menyerah. Dialah yang mendukungku untuk melakukan konsultasi ke psikiater, agar kondisi kejiwaanku semakin membaik. Dia adalah segalanya bagiku.


Aku bukan lagi seorang Dara Glamora, aku bukan lagi artis terkenal yang disanjung - sanjung oleh jutaan manusia di negeri ini. Aku hanyalah Dara, manusia biasa yang sedang berusaha menata diriku dan menikmati hidupku.


Setelah sekian lama aku menjauhi segala hal yang berbau media dan menghilang dari dunia keartisan, kini aku berusaha memberanikan diri untuk menonton tayangan televisi. Entah kenapa ... aku bosan jika hanya membaca buku di rumah.


Mataku tiba - tiba terfokus pada sebuah berita televisi, mengenai penipuan berkedok menjaring artis baru. Sepertinya ... aku mengenal pria itu. Pria yang berperawakan agak gemuk, berkumis tebal dan berjenggot panjang. Lalu ... di sebelahnya? Bukankah itu ... Akbar?


Jari - jemariku seketika bergetar. Aku tak pecaya menyaksikan hal mencengangkan yang hadir di kedua mataku.


Jadi? Selama ini Aryo dan Akbar ...


****

Bersambung...


Next
Diubah oleh dwyzello 13-08-2020 11:25
rendy8est
jiyanq
nomorelies
nomorelies dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup