Kaskus

Story

dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
Namaku Dara Seorang Biduanita
Pertemuan Yang Tak Disengaja



Namaku Dara Seorang Biduanita


Malam ini kuhabiskan waktuku hanya dengan merebahkan badanku di kasur empukku, sembari membungkam kedua telingaku dengan headsetyang mendengungkan beberapa lagu dangdut kesukaanku. Alunan musik seketika menurunkan volumenya, karena ada sebuah notifikasi pesan yang masuk ke dalam ponselku.


[Cin, inget ya! Tanggal dua manggung di hotel Grand Melati. Pakai baju seksi tapita jangan norak yes! Yang ngundang perusahaan bonafit. Bisa dapet saweran banyak eim. Jangan sampai dateng telat!]


Sebuah pesan whatsapp masuk ke dalam gawaiku dari Rio, pria setengah matang yang selama ini menjadi kawan baik sekaligus manajerku.


Kumiringkan tubuhku yang saat ini sedang bermalasan di kasur. Segera kuketik balasan pesan untuknya.


[Aduh, lagi nggak bisa pakai baju seksi say! Sayatan bekas OP masih belum ilang nih.] balasku kepada Rio.


[Rempong deh Yey! Pokoknya tampil derr darr dorr! Jangan sampai Yey kalah pamor sama sama si Silvi! Dia partner nyanyimu besok tau.]


Seketika leherku sesak mendengar nama yang enggan kusebutkan itu. Sial sekali aku harus satu panggung dengannya kali ini.


Ibu jariku seketika berselancar mencari nama wanita itu pada laman pencarian instagram. Entahlah, aku penasaran dengan hidupnya yang sekarang.


Hmm, ketemu! 'Silviaaaasoy',
Dasar nama yang norak!


Kutatap masam jumlah pengikut instagramnya. Halah! Baru enam belas ribu pengikut, yang sama sekali tidak sebanding dengan jumlah pengikutku yang sudah mencapai tiga ratusan ribu.
Ah, bocah bau kencur ini memang tidak selevel denganku!


Aku tersenyum bangga karena pada kenyataanya, aku memang lebih eksis daripada dirinya. Namun tiba - tiba mataku terfokus pada foto yang dia bagikan di laman media sosialnya.


Dia melakukan swafoto di dalam pesawat, dimana ia duduk di kursi yang tampak seperti kursi untuk penumpang kelas bisnis. Dia menenteng tas mewah yang kutaksir harganya sekitar dua puluh juta rupiah.


Mataku panas, sepanas hatiku. Mana mungkin sih? Uang hasil menyanyinya bisa membuat dirinya hidup mewah seperti sekarang? Apalagi dia masih selevel biduan ibu kota yang pastinya tidak setenar diriku!


Rasa penasaran membuatku tergugah untuk membuka kolom komentar dari para pengikutnya. Pujian - pujian yang bertubi - tubi bagi dirinya, membuat ulu hatiku terasa ngilu.


Dasar wanita penggoda! Br*gsek!
Tidak tahu balas budi! Nggak seharusnya dia bisa hidup enak seperti sekarang!


Cercaan kasar kepadanya seketika menghujani hatiku. Darah panas seketika mengalir menyusuri berbagai pembuluh di otakku. Entah bagaimana sengitnya suasana nanti, jika aku benar - benar satu panggung dengannya.


Kubuka profil instagramku. Lalu, kucari foto - fotoku saat aku berlibur ke Bangkok di galeri gawaiku. Aku tak boleh kalah pamor dengannya. Memangnya dia saja yang bisa naik pesawat? Aku malah sudah pernah ke luar negeri! Ya, meskipun ada alasan tersendiri mengapa aku nekat pergi ke negara gajah putih itu.


Uang yang kukumpulkan berbulan - bulan dari hasil kerja kerasku, kugunakan untuk melakukan prosedur operasi implant pay*dara. Semua itu kulakukan demi meningkatkan eksistensiku di dunia hiburan yang penuh persaingan ini.


"Bos - Bos doyan sama yang bohay - bohay Cin! Mana suka mereka sama biduan tepos. Cusss OP sana!" Kata - kata dari Rio itulah yang membuatku semakin yakin untuk melakukan aksi nekatku.



Masih teringat jelas, rasa sakit yang kurasakan setelah menjalani prosedur itu. Namun, aku tak peduli. Yang penting aku tetap menjadi biduan terlaris di Surabaya.


Bekas sayatan pisau yang tercetak di kedua kulit ketiakku belum sepenuhnya hilang. Namun, hasilnya memang sangat berpengaruh terhadap jumlah pengikut sosial mediaku. Semuanya mengatakan aku cantik dan seksi, dan aku menikmati semua ini.


[Khawp khun kha Thailand!] Kutulis sebuah caption dan tak lupa kububuhi emoticon love di ujung kalimat pada sebuah foto yang hendak ku upload.


Sebuah foto full body sembari memamerkan hasil karya dokter, berhasil ku bagikan. Tak berapa lama, gawaiku penuh dengan notif pemberitahuan. Semua pengikutku memuji tubuh indahku.


Aku mengamati lagi dan lagi foto - foto yang telah kubagikan. Semuanya terlihat sempurna. Aku memang tak tertandingi, apalagi hanya biduan sekelas Silvi!


*****


Malam ini aku memenuhi jadwal manggungku di ballroom hotel untuk menghibur para petinggi salah satu perusahaan swasta di Jawa Timur. Gambaran lembaran ratusan ribu terngiang di otakku. Memang tak kupungkiri, job seperti inilah yang paling aku sukai.
Tampil di tempat bersih dan mewah, honor yang fantastis, dan pastinya saweran yang tak kalah menggiurkan.


Kububuhi lipstik warna merah menyala di bibirku. Kusisir rambutku tebalku yang sudah sepanjang pinggang, lalu kupakai sepatu hak setinggi enam belas centi yang membuat kakiku lebih jenjang. Sempurna!


"Dah siap kan Neik! Jam delapan naik panggung ya Cin!" Rio datang menghampiriku dengan parfum super wanginya.


"Oke Say, oh iya gimana kostumku? Oke kan?" Aku mengerlingkan kedua mataku kepadanya.


"Emm, cucok markucok eim! Cuss kita ke belakang panggung yuk! Acara udinda mau dimulai tuh." Rio menggandeng tanganku dengan gaya gemulainya menuju ke tempat para musisi dan penyanyi berkumpul.


Kudapati seseorang yang membuat mataku malas untuk memandangnya. Siapa lagi kalau bukan Silvi.


Segera Kusalami satu - persatu anggota band yang akan mengiringiku dalam menyanyi nanti, sebagai bentuk penghormatan sekaligus membangun image bahwa aku adalah penyanyi yang ramah. Ya, dalam dunia ini kita harus pandai - pandai mengambil hati supaya bisa laku keras di dunia hiburan meskipun aku sebenarnya malas untuk melakukannya.


Seketika Silvi mengeluarkan Handphone berlogo buah apel keluaran terbaru. Sepertinya dia sengaja memamerkannya kepadaku. Dasar tukang pamer!


"Mas, daftar laguku sama kaya yang aku kirimkan kemarin yah! Jangan tinggi - tinggi mainnya. Aku lagi radang," ujar Silvi dengan nada lembutnya kepada pemain keyboard yang duduk di sebelahnya.


Ih, radang apanya. Sudah jelas dia memang tidak bisa menyanyi. Biduan bermodalkan wajah dan bodi saja bangga.
Aku tak kuasa menahan rasa sebalku kepadanya.


"Jangan emosi samosir dese Cin. Yang berlalu biarlah berlalu. Fokus ke tampil aja ya, cari duta yang banyak biar keyong - reyong," bisik Rio menenangkan amarahku.


Silvi berulah lagi memamerkan kepunyaannya.


"Aduh, tasku kotor." Dia mengibaskan debu halus yang tak sengaja menempel di tas mahalnya.


"Wuih, tas baru Kak Silvi?" tanya pemain bass yang usianya masih cukup muda.


"Iya, baru kemarin titip temen yang ke Italia."


"Gila, mahal pasti tuh Kak!"


"Ah, murah aja kok cuman tiga puluh lima juta. Penyanyi berkelas mah barangnya branded semua ya kan? Biduan kampung mah barangnya beli di pasar loak aja kali ya! Hihihi. Becanda loh aku," celetuk Silvi sembari melirikku yang tengah menyeringai kepadanya. Rio masih tetap berusaha meredakan amarahku agar tidak terpancing dengan perkataan Silvi.


Acara inti telah selesai dan berganti dengan acara hiburan. Aku menaiki panggung dengan sepatu hak tinggiku, melenggang cantik demi mengais rezeki yang sudah membesarkan namaku.


"Kita sambut penampilan dari penyanyi bersuara emas, Dara Glamora!" Rio yang juga menjadi MC di acara tersebut, menggemakan namaku di tengah penonton yang berteriak riuh.


Kudendangkan lagu berjudul 'Penasaran' dengan gaya pop dangdut yang diciptakan musisi kelas kakap Rhoma Irama itu. Aku masuk ke dalam barisan penonton, mengajak mereka bernyanyi dan berjoget bersama. Ya, inilah salah daya tarikku selama menjadi penyanyi. Aku pandai memeriahkan suasana penonton dengan gaya enerjikku.


Namun, energiku seketika menciut saat aku tak sengaja menatap salah satu wajah diantara para tamu undangan yang hadir. Ia memandangku dengan wajah penuh keheranan. Aku menundukkan kepalaku, keraguan seketika menyelimuti ragaku untuk melanjutkan aksi goyangan enerjikku.


Tak salah lagi dia adalah Fauzi, cinta pertamaku.



*****
Bersambung..


Update :

Fauzi, Cinta Pertamaku

Sebuah Kesepakatan

Sebuah Tawaran

Sebuah Tawaran Part 2

Rumah Om Waluyo

Rumah Om Waluyo Part 2

Bimbang

Bimbang Part 2

Panggung Pertama Dara

Panggung Kedua Dara

Panggung Kedua Dara Part 2

Panggung Kedua Dara Part 3

Aku Sayang Kamu, Zi!

Penyesalan

Risau

Lima Huruf

Lima Huruf Part 2

Selamat Tinggal

Pupus

Pertolongan

Berubah

Tak Terduga

Tak Terduga Part 2

Rumit

Pergi

Hadir Kembali

Serius

Sah

Silvi

Silvi Part 2

Silvi Part 3

Awal Mula Pertarungan

Siapa Dia?

Siapa Dia Part 2

Siapa Dia? Part 3

Hidup Baru

Harapan?

Mimpi?

Mimpi? Part 2

Enam Tahun Lalu Selesai

Fauzi, Cinta Pertamaku Part 2

Keluarga?

Dia lagi!

Dia Lagi! Part 2

Cinta Lama Bisakah Bersemi?

Cinta Pertama Yang Kembali

Perang Dingin

Cinta Pertama Yang Kembali Part 2

Rindu!

Pertarungan Dimulai

Bukan Perang Dingin

Bukan Perang Dingin Part 2

Bukan Perang Dingin Part 3

Mengapa Dia Kembali?

Mengapa Dia Kembali? Part 2

Bahagia Sesaat

Kotor

Kejutan

Menyerah

Pergi Atau Bertahan?

Tuhan Menjawabnya (Tamat)

Epilog
theunrealman
nomorelies
jacknife21
jacknife21 dan 57 lainnya memberi reputasi
52
39.7K
902
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
#64
Namaku Dara Seorang Biduanita Part 9
Bimbang Part 2


Namaku Dara Seorang Biduanita
Source : pinterest


******

"Dara, kamu masih perawan kan?" bisiknya.


Sontak aku terkejut dengan pertanyaan tak senonohnya itu. Seketika kudorong badannya dengan kedua tanganku.
Jujur saja aku sangat tersinggung, terlebih lagi aku tak suka dirinya yang sepertinya ingin berbuat lebih terhadapku.


"Maksudmu apa, Zi? Kamu merendahkan aku?" Amarahku menyeruak sampai ke ubun - ubun.


"Cay, aku nggak bermaksud begitu. Aku cuman ..."


"Cuman apa? Aku ... aku sayang kamu, Zi. Tapi nggak begitu caranya. Aku benci kamu!" Rasa kecewa menjalar hingga membuatku tak segan untuk segera keluar dari kostan ini. Segera kubuka pintu yang sebelumnya terkunci itu, lalu aku berjalan cepat menuju ke jalan besar untuk memberhentikan angkot.


Syukurlah saat aku tiba di jalan besar, ada angkot yang kebetulan lewat dan searah dengan rumahku. Kunaiki angkot itu, dan kulihat ada Fauzi yang menoleh ke kanan dan ke kiri mencariku.


[Kita putus!] Pesan menohok ini berhasil kukirimkan ke nomor Fauzi.


Seketika panggilan demi panggilan dari Fauzi terus aja membuat gawaiku bergetar tanpa henti. Tak kuhiraukan panggilan itu, aku sudah kepalang tersinggung atas pertanyaan yang melucuti harga diriku.


******

"Dara, pakai sandal Bibi yang ini saja. Maaf Bibi nggak punya sandal bagus untuk acara manggung perdanamu," ujar Bibi sembari menyerahkan sandal selempangnya yang sudah lusuh karena jarang dipakai.


"Iya nggak apa - apa Bi," kataku ragu - ragu.


"Terus kamu mau pakai baju yang mana, Dara?" Segera kuambil baju terusan biru langit bergambar bunga - bunga dari dalam tasku yang merupakan baju lebaranku, dua tahun yang lalu.


"Emangnya baju itu masih muat, Dara?" tanya Bibi sembari mengamati baju yang kutunjukkan kepadanya itu.


"Tadi malam waktu Dara coba masih muat kok, Bi. Cuman warnanya aja yang agak luntur."


"Ya sudah kalau begitu. Hati - hati ya, Nak! Bawa lipstik sama bedak Bibi buat dandan sedikit. Nanti kabarin Bibi kalau sudah sampai, lewat nomor Anto." Bibi memasukkan bedak karungan dan lipstik murahnya ke dalam tasku.


Kuanggukkan kepalaku lalu kusalimi tangan Paman dan Bibi untuk segera bergegas pergi, karena Om Waluyo sudah menungguku di halaman rumah.


"Dara, hari ini ngejobnya sampai sore ya. Soalnya kita mainnya di daerah perkampungan. Nanti Dara di sana nyanyinya ditemanin sama Mbak Melly."


"Iya, Om."


"Oh iya, Om nggak bisa stay di sana, karena Om ada perlu di luar. Dara nanti pulangnya diantar sama Akbar nggak apa - apa kan?"


"Nggak masalah, Om," jawabku dengan perasaan sungkan.


Tak lama, kami akhirnya sampai di tempat acara pernikahan, yang mengundang electonemilik Om Waluyo sebagai hiburannya.


Kulihat di sana ada Akbar, pemain gendang yang kukenal saat latihan waktu lalu, sedang duduk di belakang panggung dan berbincang dengan teknisi sound system.
Entah kenapa dia tiba - tiba mengumbar senyum sumringahnya ketika melihatku turun dari mobil.


Kedatangan kami disambut oleh Bapak tua berkopiah hitam berbordir emas.
"Selamat datang Pak, Mbak. Tempat singgah Biduan sama pemain musik di sebelah sana nggeh," ujar Bapak itu dengan ramah.


"Makasih banyak, Pak." Om Waluyo menyalami Bapak tua itu.


Kami berjalan menuju rumah singgah untuk penyanyi dan pemain musik, yang terletak di sebelah rumah pemilik hajat itu.


"Om!" seru wanita menor berbulu mata palsu kepada Om Waluyo.


"Cantiknya kamu Mel," rayu Om Waluyo kepada wanita itu, yang tiba - tiba menggandeng mesra tangan Om Waluyo.


"Cantik lah. Om sombong! Sekarang dah jarang ngajak jalan Melly," ujarnya penuh kemanjaan.


"Maaf lah Say, ya udah besok deh, Om ajak karaokean bareng. Mau?"


Percakapan mereka berdua sontak membuatku terperangah keheranan. Apakah hubungan keduanya memang sedang berpacaran? Kok bisa semesra itu? Ah, entahlah. Aku pun bergidik sendiri.


"Oh iya Melly, kenalin ini Dara."


Perkataan Om Waluyo yang menyebut namaku, spontan membuatku berhenti melamun.


"Salam kenal Mbak Melly," sapaku dengan seulas senyum untuknya.


Mbak Melly tak langsung meresponku. Ia malah memandangi ujung kepala sampai ujung kakiku dengan seksama.


"Mel, ajarin Dara Ya. Dia penyanyi baru," bisik Om Waluyo kepada Mbak Melly yang cukup terdengar sampai ke telingaku.


"Om nggak nemenin Melly emangnya?"


"Om ada perlu Say. Jangan ngambek lah Cinta! Oh iya Titip Dara ya," pinta Om Waluyo yang kemudian pamit kepada kami berdua.


Mbak Melly segera masuk ke dalam rumah singgah, lalu duduk di atas tikar sembari meminum minuman botol bermerk kr*tingd*eng.
Di sampingnya ada Om Bima pemain keyboard, yang tengah sibuk memainkan gawainya.


"Dara, kamu manggung nggak pakai baju itu kan?" ujar Mbak Melly dengan raut wajah geli menatapku yang hanya berbalut celana kain dan kaus oblong.


"Aku bawa baju ganti kok, Mbak. Oh iya, tempat gantinya dimana ya?"


"Owh, kirain! Kamu masuk aja ke kamar. Kamarnya emang disediain buat tempat ganti Biduan kok," kata Mbak Melly dengan nada cuek.


Dengan penuh rasa canggung, aku masuk ke dalam kamar ganti. Segera kupakai kostum manggungku yang seadanya, lalu kububuhi wajahku dengan bedak dan lipstik milik Bibi.
Kurapikan rambut lurusku yang kubiarkan terurai, lalu kupakai sandal selempang lusuh milik Bibi.


Kutatap wajahku di cermin sembari memandangi tubuh kurusku. Meskipun aku cukup gugup dengan dunia baruku ini, aku harus yakin lambat laun, aku pasti akan terbiasa dengan pekerjaanku.


Aku lalu berjalan menghampiri Mbak Melly dan Om Bima yang sedang duduk di ruang tamu. Sayup - sayup kudengar mereka sepertinya sedang membicarakanku.


"Mas Bima, Om Waluyo nemu anak kecil itu darimana sih?"


Deg! Seketika aku berhenti melangkahkan kakiku.


"Siapa sih Mel? Dara maksudnya?"


"Iya lah, Mas! Kampungan banget tau penampilannya. Item dekil kurus gitu. Nggak cocok blas jadi penyanyi."


Gyut! Hatiku seketika terasa sakit mendengar ujaran Mbak Melly.


"Udah lah Mel, lagian kan dia juga masih baru. Kalau nanti ada tamu yang minta biduan goyang, ya kamu aja yang beraksi Mel. Kali aja dapet saweran kan?"


"Ih, Mas Bima ini. Huh! Malesnya aku, kalau manggung sama Biduan anyaran itu. Suka bikin gara - gara. Awas aja kalau cuman aku aja yang capek."


Aku tak kuasa menahan rasa sakitku. Rasanya ingin berhenti saja. Tapi bagaimana lagi? Aku sudah terlanjur ada di sini.


Bayangan wajah Bibi dan Paman seketika muncul di benakku.
"Semangat Dara, demi Paman dan Bibi!" bathinku dengan tekad kuat.


"Eh, Mbak Dara kok ngelamun?" suara Akbar yang tiba - tiba menyapaku, sontak membuyarkan lamunanku.


"Bentar lagi acaranya udah mau mulai tuh, Mbak."


"Iya Mas Akbar," jawabku singkat.


"Ya udah ya Mbak, aku mau dines dulu ke WC ya, hehehee." Akbar berlari terbirit - birit menuju ke kamar mandi.


******

Kini aku benar - benar seperti Biduan pada umumnya. Duduk di kursi yang diletakkan di atas panggung, sembari menunggu giliran di panggil untuk menyanyi.


Karena electone ini di sewa dengan budget minimalis, Mbak Melly pun juga merangkap sebagai MC.


Kutatap penampilan Mbak Melly yang sangat mencolok kala itu. Rambutnya dibuat pirang dan bergelombang, riasan wajahnya sangat menor dengan bulu mata palsunya, ditambah baju ketat dan rok mini yang dikenakannya, serta sepatu berhak tinggi yang membuatku seram sendiri membayangkan apabila haknya sampai terselip di panggung yang berbahan kayu itu.


Mbak Melly sungguh lihai menghibur penonton yang hadir. Guyonan - guyonan manjanya membuat mata penonton yang sebagian besar adalah lelaki, membuat mereka bersorak riuh menggodanya.


"Dara, giliran kamu yang nyanyi," pinta Mbak Melly dengan wajah tak ramahnya.


Aku segera berdiri mengambil microphone dan meminta Om Bima untuk mencari nada dasarku.


"Lagu apa nih Mbak Dara?" ledek Akbar sembari meringis kepadaku.


"Alamat Palsunya Ayu Ting - Ting Ya Om Bima."


Om Bima segera mencari nada dasar yang sesuai dengan jangkauan nada yang sesuai dengan suaraku.


Suasana penonton begitu hening. Aku kelimpungan sendiri karena aku tak tahu harus berbuat apa untuk membangun semangat penonton.


Kulihat wajah Mbak Melly yang melototiku sembari memberikan kode agar aku berbasa - basi dulu kepada penonton.
Namun aku tak bisa. Di suruh presentasi di kelas saja aku sama sekali tak bisa, apalagi harus bercuap - cuap dengan banyak orang seperti ini? Suasana benar - benar terasa canggung.


"Tak apa - apa Dara, semangat!" Ku yakinkan diriku untuk tidak gugup.


Lantunan musik dari jemari Om Bima telah berdendang. Kunyanyikan lagu hits itu dengan maksimal dan penuh penghayatan, meskipun di awal - awal aku sangat gugup setengah mati.


******

Adzan dhuhur menghentikan aksi panggung dari Merkuri electone. Kami kembali ke rumah singgah setelah makan siang.
Mbak Melly menghampiri diriku yang sedang duduk menyendiri.


"Dara, kamu itu bego apa gimana sih?" tanya wanita berumur tiga puluh tahunan itu.


"Maksudnya gimana sih Mbak?"


"Biduan itu tujuannya buat ngehibur penonton Dara, bukan cuman bisa nyanyi tok! Lagian kamu nyanyi cuman mentingin nada tinggi. Kau pikir ini konser? Nyanyi model teriak - teriak aja. Disuruh nyapa penonton aja juga nggak bisa. Bisa - bisa pamor Merkuri bisa anjlok gara - gara kamu!"



Sontak aku sangat kebingungan. Terlebih lagi aku sedih mendengar perkataan Mbak Melly yang cukup menyakitkan. Leherku rasanya sudah sangat sesak, namun aku berusaha menahannya.


"Satu lagi, dandananmu bener - bener kampungan! Nggak tau deh kenapa Om Waluyo bisa nerima kamu bergabung," ujarnya sembari melengos meninggalkanku.


Mataku sudah mulai berkaca - kaca. Kutatap layar HPku yang menampilkan seratus misscall dari Fauzi yang kuabaikan sejak tadi malam. Hal itu membuat moodku semakin tak karuan.


"Dara, mau teh?" Akbar tiba - tiba datang mengampiriku.


Kuhembuskan nafas dalam - dalam agar aku tak terlarut dalam kesedihan.
"Boleh, Mas."

Akbar memberikan teh panas kepadaku.


"Kamu SMA kelas berapa Dara?" tanya pria berkulit putih itu.


"Kelas dua, Mas. Mas sendiri?" tanyaku berbasa - basi.


"Aku berhenti sekolah pas kelas satu SMA Dara. Emang dasarnya aku nggak suka sekolah sih. Ya, gini. Aku lebih suka main gendang. Lagian aku ini anak pungut. Pengen cari duit sendiri aja. Oh ya, kamu jangan kaya aku ya, berhenti sekolah di tengah jalan," curhat Akbar yang kutaksir sudah berumur dua puluh lima tahunan itu.


"Dara, jangan diambil hati kata - kata Mbak Melly ya. Dia memang terkenal nggak suka kalau ada penyanyi baru. Mungkin takut kesaing kali. Apalagi kamu cantik." Senyumnya merekah dan membuatku menyadari bahwa wajahnya sangat manis.


Seketika aku tersipu malu mendengar pujiannya.


"Makasih ya Mas."


******


Hari sudah semakin sore, para tamu undangan silih berganti datang dan beberapa ada yang unjuk gigi ke panggung untuk menyumbangkan lagu kesayangan mereka.


Tak lama kemudian, seorang bapak - bapak berbadan gempal yang katanya merupakan pemilik toko terbesar di kampung itu, naik ke atas panggung untuk menyumbangkan sebuah lagu.


Entah kenapa dia terus saja menatapku dan melangkahkan kakinya menuju ke arahku duduk.


"Mbak? Duet sama saya ya?" ujarnya dengan tatapan genit sembari menyentuh pahaku.


Deg!
Aku harus bagaimana ini?
Aku takut.


******
Bersambung..

1st Page

Next
Diubah oleh dwyzello 19-08-2020 13:42
robin.finck
indrag057
jiyanq
jiyanq dan 6 lainnya memberi reputasi
7