Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

gelandangan143Avatar border
TS
gelandangan143
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN
Assalamualaikum wr. wb.

Salam sejahtera semuanya. Mohon ijin untuk menceritakan ulang Kisah Sang Guru yg bermuatan banyak pelajaran Hikmah kehidupan yg bermuatan Religi, Supranatural dan Spiritual.

Index Thread :
Spoiler for Index Thread :



Sebuah Kisah Nyata Perjalanan Hidup, Spiritual & Supranatural



CHAPTER 1


Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.

Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.

Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.

Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.

Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.

Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.

Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.

Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.

Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.

Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.

Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.

Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,

“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”

“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.

“ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.

Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.

Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.

Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.

Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.

Bersambung ke Chapter 2
Diubah oleh gelandangan143 23-08-2019 00:26
anton2019827
redrices
ir.rahma92
ir.rahma92 dan 37 lainnya memberi reputasi
30
61.9K
226
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
gelandangan143Avatar border
TS
gelandangan143
#63
CHAPTER 7d


Aku masuk ke dalam rumah-rumahan bambu, yang dibuat serampangan dan seadanya, hanya untuk melindungi para pemesan bakso agar bisa menikmati bakso pesanannya dengan nyaman. Saos, kecap, sambal, berjejer di depanku.


“Nak mas…, anak ini kan yang namanya Febrian…?” kudengar suara lembut di belakangku, aku menoleh, nampak orang tua yang kurus sedang, duduk di belakangku, aneh kenapa aku tak merasakan kedatangannya.


Kakek ini ku taksir umurnya tujuh puluh tahunan, badannya kurus namun tegap. Wajahnya penuh kerutan ketuaan tapi bersih, alis matanya sebagian memutih, ikat kepalanya bercorak lurik batik. Kumisnya dan jenggotnya sedikit, matanya teduh dan bersahabat.


“Kakek ini siapa, kok tau nama saya?” tanyaku heran.


“Itu tak penting nak mas, aku hanya mau menyerahkan warisan nak mas yang selama ini dititipkan pada saya…” kata kakek itu.


“Warisan apa kek…?” aku teringat dengan mimpiku tadi malam, kakek di depanku ini mengarahkan kedua tangannya ke balik baju di punggung, lalu mengeluarkan dua buah keris dari balik baju, keris ditunjukkan di depanku.


Satu keris dan warangkanya panjang kurang lebih empat puluh cm, dan yang satu pendek kurang lebih tigapuluh cm. Lalu kakek misterius di depanku ini melolos keris yang panjang dari warangkanya, aku tak tau keris, tapi melihat bentuknya keris ini indah, ada ukiran di pangkal keris, berwarna seperti emas, keris ini berluk banyak.


“Ini namanya kyai sapto paningal,” katanya sambil mengulurkan keris kepadaku. Kurasakan ada getaran aneh menjalari tanganku ketika menerima keris itu.


Kemudian kakek itu mencabut keris yang kedua, “Ini namanya kyai condong pamelang.” katanya sambil mengulurkan keris kepadaku.


Aku mengamat-amati kedua keris di depanku, sekedar menyenangkan pada kakek ini, tapi aku benar-benar buta dan tak tertarik dengan aneka macam wesi aji. Aku menyerahkan kedua keris itu kepadanya.


“Karena nak mas sudah ada di sini, maka keris ini kuserahkan padamu…” kata kakek ini, mengulurkan kedua tangannya terbuka ke hadapanku, dan kedua keris ada di atas tangan itu.


“Nanti dulu kek…” kataku dengan isyarat tangan menahan.


“Kenapa nak mas?”


“Aku ini sama sekali tak tau, seluk beluk tentang keris, dan aku tak tau bagaimana merawatnya, ah alangkah baiknya kalau keris ini tetap di tangan kakek, mungkin akan lebih baik keris ini tetap di tangan kakek, aku takut kalau di tanganku akan rusak…” kataku berdalih dengan alasan setepat mungkin.


“Tapi nak mas, keris ini nak maslah pewarisnya…”


“Begini lo kek, aku ini punya keyakinan, bagiku Allohlah sebaik-baiknya dzat tempatku bergantung dan tempatku meminta menyelesaikan segala urusanku, aku tak mau menomer duakan Alloh karena mempunyai kedua keris ini..”


Kakek tua itu manggut-manggut, ”Baiklah aku mengerti, tapi aku tak mau disalahkan oleh orang yang telah mempercayakan amanahnya kepadaku, maka sudilah nakmas menerima keris ini dan nanti menyerahkan padaku lagi…?”


“Oh aku mengerti kek, baiklah aku terima keris ini, dengan kelapangan hati…” kataku, sambil menerima kedua keris. Lalu ku lanjutkan berkata setelah keris ada di tanganku.


“Dan keris ini ku serahkan padamu untuk menjaga dan merawatnya…”


Kataku sambil mengulurkan keris kepada kakek ini, sebagai tanda penyerahan. Kemudian kakek itu pun menerima lagi keris. Dan menempelkan ke jidatnya, “Akan ku jaga dengan sebaik-baiknya.” Setelah itupun kakek itu mohon diri.


Aku menarik napas lega, tukang bakso mengulurkan bakso ke depan mejaku, matanya menatapku heran.


“Ada apa bang, kenapa menatapku begitu?” tanyaku pada tukang bakso.


“Tak apa-apa gus.., saya hanya heran saja..”


“Heran kenapa?”


“Yah saya lihat dari tadi, agus ini ngomong sendiri, jadi saya mau memberikan bakso, saya urungkan, karena melihat agus ngomong sendiri.”


“Maksud abang tadi saya ngomong sendiri, jadi abang tak lihat saya tadi ngomong sama kakek-kakek.”


“Kakek-kakek yang mana to gus, wong dari tadi agus di sini sendirian…”


Aku segera turun dari kursi, dan melihat ke arah mana tadi kakek itu pergi, maunya menunjukkan pada tukang bakso tentang kakek yang ku ajak ngomong, tapi walau jalan raya itu lurus, aku tak melihat bayangan kakek yang ngomong denganku. Ah pupus harapanku, aku dianggap gila dah.


Cepat-cepat aku kembali ke tempat duduk, menghabiskan bakso, dan dua lontong, lalu cepat-cepat beranjak pergi, dengan tatapan aneh dari penjual bakso.


“Aku sering Can, mau dikasih segala macam wesi aji, batu akik, tapi selalu aku tolak, apa pula perlunya…?” kataku pada Macan.


“Ah kamu ini gimana sih Ian, kalau ada yang ngasih mbok ya diterima, kalau kamu tak mau biar aku yang mengkoleksinya, aku aja udah mengkoleksi banyak sekali,”


“Wah hebat Can…”


“Ayo aku tunjukkan..” katanya kemudian mendahuluiku berdiri dan masuk rumah, akupun mengikuti dari belakang.


Kulihat ia menurunkan tiga dus sarimi dari atas lemari bifet. Dah uh banyak sekali, satu dus berisi aneka macam keris panjang penuh, satu dus berisi berbagai batu akik, setengah, dan satu dus berisi aneka macam keris kecil, berbagai bentuk dan macam.


“Dari mana semua barang begini Can?”


“Ya ada yang ngasih, kadang juga ketemukan sendiri, macam-macamlah kejadiannya.”


“Wah kamu ini mungkin cocoknya ngumpulin barang seperti ini,”


“Yah semoga saja ini bermanfaat Can.” kataku.


“Ian…, aku ini sebenarnya punya masalah..!” kata Macan menatapku serius.


“Masalah apa?”


“Gini Ian, aku punya anak buah, dari anak-anak nakal yang aku insyafkan, dan aku membuatkan mereka warung tenda masakan Lamongan, tapi aku menemui kendala, warung yang ku buka itu sepi pengunjung, nah kalau begitu, aku takut anak-anak muda itu patah arang, melihat warung sepi begini, mereka akan kembali menjadi pemabuk lagi, bagaimana menurutmu Ian?”.


Aku merenung sejenak.


“Coba Can, kamu bel mereka, sekarang ini warung sepi apa enggak?”


“Maksudmu..?”


“Iya kamu bel aja, tanyakan warungnya sepi apa enggak? Dan bilang nanti kalau warungnya rame, mereka suruh ngebel kemari, biar aku wirid sebentar.”


“Aku segera duduk menghadap kiblat, berdoa pada Alloh supaya warungnya Macan ramai pengunjung dan melakukan wirid, baru aku melakukan wirid setengah jam, hpnya macan berdering, dan terdengar olehku Macan berbicara, aku tetap konsentrasi dengan wiridku.


“Sudah ramai Ian, warungnya, katanya sampai antri, dan terpaksa digelarkan tikar, karena tempat sudah tak muat.”


“Syukur Alhamdulillah… semoga bermanfaat, dan bisa menjadikan keimanan mereka menjadi kuat.” kataku mengakhiri wirid.


Malam itu aku tidur di sofa, karena memang rumah Macan sempit, dan cuma ada satu kamar dan ruang tamu, jadi aku tidur di sofa ruang tamu.


Pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, aku mau pamit pada Macan. Dan ternyata Macan telah menungguku.


“Aku balik ke pesantren dulu ya Can…” kataku sambil meletakkan tasku di dekat pintu.


“Nanti dulu Ian… duduk dulu sini, aku ada masalah serius nih.., nanti aja pulangnya setelah sarapan…” kata Macan, dengan mimik muka serius.


“Ada masalah apa lagi Can..?”


“Saudara perempuanku ada yang kena musibah…”


“Musibah apa? Apa kecelakaan…”


“Bukan, tapi sakit usus buntu, dan mau dioperasi, wah bagaimana nih ibuku minta kiriman untuk biaya operasi, tapi aku tak punya uang… Apa kamu punya uang Ian..?”


“Wah aku juga tak punya, ini ada juga paling tiga ratus, dari kyai dua ratus, dan uangku sendiri seratus, nih pakailah…” kataku mengeluarkan dompet budukku, dan mengambil uang tiga ratusan ribu. Dan menyerahkan pada Macan.


Kami terdiam sebentar, aku menyeruput kopi yang disediakan Ida istri Macan, lalu kunyalakan rokok djisamsoe filter, tiba-tiba ada ide kuat terlintas di benakku.


“Ah kenapa kita tak coba obati sendiri Can? Kita mintakan kesembuhan pada Allah, bagaimana?”


Kataku seketika mendapatkan ide, karena aku pernah mendengar kyai mengatakan padaku, jika ilmu yang ku miliki dan ilmunya Macan digabung, kekuatannya akan teramat dahsyat, karena Macan diberi ilmu yang bersifat dingin, sebab Macan yang sifatnya gampang emosi, sementara aku diberi ilmu yang bersifat panas, karena sifatku yang lembek, Macan aja sering mengolokku, kalau aku ini ditipu orang, maka yang nipu itu akan kesenengan sampai mati karena terlampau seneng.


“Ah kalau mengobati dari dekat biasa, tapi dari jauh itu apa bisa? Masak obat ditransfer?” katanya ragu.


“Ee kamu lupa, selama ini kita mengobati, hanya dengan doa, doa kepada Alloh, dan Alloh itu kuasanya tak ada batas, kalau dia bisa menyembuhkan orang yang di dekat kita, tentu tak sulit bagi Alloh menyembuhkan orang yang jauh dari kita, sebab, Alloh tak dibatasi jauh dan dekat kuasanya,”


“Tapi caranya gimana Ian, aku tak ngerti?”


“Wah kalau itu aku juga tak mengerti, selama ini, kita kan memang tak diajar apa-apa sama kyai, tapi jangan takut aku ini kan tukang ngayal, moga-moga Alloh melimpahkan rahmatnya, dan memberikan kesembuhan yang mutlak.”


“Lalu bagaimana Ian?”


“Begini, kamu telfon ortumu, saudarimu yang sakit siapa namanya?”


“Nafisah..”

Bersambung ke Chapter 8

Index Thread : https://www.kaskus.co.id/show_post/5...d69573da0cbe6d
Diubah oleh gelandangan143 10-08-2019 20:44
destinationbali
midim7407
tet762
tet762 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup