gelandangan143Avatar border
TS
gelandangan143
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN
Assalamualaikum wr. wb.

Salam sejahtera semuanya. Mohon ijin untuk menceritakan ulang Kisah Sang Guru yg bermuatan banyak pelajaran Hikmah kehidupan yg bermuatan Religi, Supranatural dan Spiritual.

Index Thread :
Spoiler for Index Thread :



Sebuah Kisah Nyata Perjalanan Hidup, Spiritual & Supranatural



CHAPTER 1


Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.

Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.

Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.

Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.

Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.

Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.

Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.

Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.

Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.

Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.

Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.

Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,

“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”

“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.

“ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.

Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.

Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.

Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.

Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.

Bersambung ke Chapter 2
Diubah oleh gelandangan143 23-08-2019 00:26
anton2019827
redrices
ir.rahma92
ir.rahma92 dan 37 lainnya memberi reputasi
30
61.8K
226
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
gelandangan143Avatar border
TS
gelandangan143
#68
CHAPTER 8b


Juga ada seorang petani yang mau pergi kesawah ditabrak mobil dan terseret lima meter, walau tak sampai mati.


Keadaan masih sunyi, aku tak melihat bayangan putih tadi, kulihat gerobak tukang bakso yang memang biasa mangkal, orang-orang memanggilnya Wakman, kulihat dia masih duduk di plester regol, sambil menghisap rokoknya, tiba-tiba ia membuang puntung rokoknya dan menginjaknya dengan sendalnya, lalu beranjak ke gerobak baksonya.


“Iiih mrinding… ada apa ini..?” keluhnya.


Dan Wakman mendorong gerobak baksonya berjalan, saat itulah aku melihat perempuan baju putih bertengger di atas gerobak bakso,


“Hei siapa kau…!?” bentakku.


Perempuan itu kaget dan melayang pergi. Dengan suara ketawa yang menggidikkan bulu roma. Aku pun segera mengejar, ah pasti ini kuntilanak… Dia melesat ke arah rumah salah seorang pengasuh pesantren. Karena melayangnya pelan, akupun dengan mudah menyusul, dan menghadangnya.


“Huu….huuu… jangan tangkap aku… huu..” dia menangis.


“Aku tak bermaksud menangkapmu, tapi aku hanya ingin tau kau ini siapa?” tanyaku dengan lembut.


Dia menghentikan tangisnya, memandangku, aku dipandangnya begidik juga, perempuan ini sungguh menyeramkan sekali, jika aku bukan sukma mungkin aku telah lari pontang-panting.


Rambut perempuan ini awut-awutan, dan di sana-sini nggimbal lengket oleh tanah, sementara, wajahnya putih, tanpa darah, di sekitar matanya menghitam, dan matanya melotot keluar tanpa cahaya, pipi kanan kirinya berlubang, sehingga giginya terlihat, dan ada ulat-ulat yang keluar dari pipi…putih, kecil-kecil menggeliat..


“Kau ini siapa nyai?” tanyaku lagi.


“Aku ini istri kamituwo Gerot.” katanya tanpa menggerakkan giginya, sehingga suaranya seperti suara yang teramat jauh, tapi jelas di telingaku.


Aku mengingat-ingat nama kamituwo Gerot, ingatanku pun tertuju pada sumur gerot, yaitu sumur yang dibangun sesepuh desa dulu, ada enam sumur penjuru desa, yang dibuat oleh pendiri desaku. Enam sumur juga disebut sumur gede. Karena memang sumbernya teramat besar, dan menjadi tumpuan mengambil air bagi semua penduduk yang kekeringan.


Dulu sumur-sumur itu selalu diadakan ngunduh sajen, yaitu acara nanggap wayang untuk mengucap terimakasih pada danyang penunggu desa, tapi setelah disadarkan oleh kyai Fatah dan kyai Sidik maka acara-acara itu pun dihilangkan.


Kamituwo Gerot, aku berpikir.


Dan ada kamituwo ya adanya di kampung Degan,


“Sampean dari mana nyi? Dari kampung apa?…”


“Aku dari kampung Degan…” suaranya masih tetap terdengar dalam.


“Kok sampean klambrangan gak karu-karuan begini nyi? Boleh aku tau sebabnya?”


Perempuan ini menjerit melengking kemudian dia menangis hahahuhu…ah perempuan.. jadi hantu masih juga cengeng.


Aneh begitu saja kisah perempuan di depanku ini, terpampang runtut seperti melihat filem layar lebar, namanya juga alam gaib, jadi serba gaib, nyleneh dan tak masuk akal.


Perempuan ini bernama Sunti. Seorang ledek dari daerah Tambak Boyo, untuk mendapatkan penglaris maka dia mencari orang yang mumpuni dalam memasang susuk pengasihan, ada orang yang menyarankannya ke tempat kamituwo Gerot, maka pergilah Sunti ke tempat kamituwo, yang umurnya lebih pantas jadi ayahnya, Sunti umur delapan belas tahun dan kamituwo umur empat puluh lima tahun.


Saat itu kamituwo adalah duda, yang istrinya minta cerai, karena tak tahan dengan kesenangan suaminya yang suka main perempuan.


Memang ilmu kejawen kamituwo terkenal ampuh, dari ilmu kekebalan, aji kesantikan, sirep, gendam, pasang susuk pengasihan sampai aji pelet, sehingga jangankan perempuan yang masih perawan, yang sudah punya suamipun bisa dibuat meninggalkan suaminya.


Melihat Sunti yang cantik, menik menik, tentu saja ki gerot langsung jatuh hati, maka ketika tau gadis itu meminta susuk pengasihan, maka ki gerot pun memberikan susuk yang terbaik, tapi juga memelet Sunti dengan ilmu pelet yang paling hebat.


(maaf, sebenarnya ini tak pantas diceritakan, tapi semoga menjadi pelajaran untuk tidak mendatangi aneka macam dukun dan paranormal.)


Pelet yang dipakai ki gerot adalah kulit kemaluan wanita perawan yang meninggal di rebu wage,


Jika ada perempuan meninggal di saat itu maka ki gerot malamnya akan membongkar makamnya dan menguliti kemaluannya mayat, setelah itu, kemaluan tadi dikeringkan, dan bila dibutuhkan akan dicuil sedikit dan dicampurkan dalam minuman, dengan mantra-mantra.


Malang nasib Sunti, dia meminum teh yang telah dicampur ramuan pelet yang ganas itu, seketika gadis itu mabuk kepayang pada ki gerot, dia seperti telah minum bergalon arak cinta.


Maka ketika ki gerot menuntunnya ke kamar dan mengajaknya berzina, Sunti tak kuasa menolaknya.


Begitu juga ketika Sunti telah pulang ke rumahnya dan ki gerot melamarnya, maka Sunti pun ho-oh aja.


Setelah menjadi istri ki gerot, Sunti masih menjadi penari ledek, karena didukung oleh susuk ki gerot yang ampuh, Sunti pun menjadi ledek yang laris dengan bayaran tinggi, dan uangnya semua masuk ke kantong ki gerot, membuatnya jadi orang terkaya di kampung Degan.


Tapi sesuatu yang dilakukan di luar sunatulloh atau aturan hidup yang diatur oleh Sang Pencipta, maka adalah kerusakan.


Alloh Taala melarang sesuatu, bukan untuk kepentingannya, tapi untuk kehidupan tentram manusia, sebab sesuatu dilarang itu karena bahayanya lebih besar dari manfaatnya.


Seperti memasang susuk, karena Alloh melarangnya, maka itu adalah perbuatan yang membahayakan diri, dunia dan akhirat.


Disamping tidak bersyukur atas anugrah Alloh, juga terlalu tak menerima kodrat yang telah Alloh berikan.


Satu ketika, seperti biasa, Sunti ditambah lagi susuk intan di dagunya oleh ki gerot.


Awalnya tak apa-apa, tapi selang tiga hari dagu Sunti membiru, dan Sunti kejang-kejang.


Ki gerot pontang-panting, membawa Sunti ke rumah sakit, tapi pihak rumah sakit tak tau penyakitnya..


Sementara Sunti sudah berulang kali tak sadar, dan akhirnya Sunti meninggal dengan wajah lebam membiru.


Hari itu juga Sunti dikuburkan, dengan sederhana.


Namun esoknya semua orang kampung Degan geger karena melihat makam Sunti kosong. Dan mayatnya hilang tak tau kenapa.


Awalnya yang tau adalah penggembala kambing yang biasa menggembala di area pemakaman. Ketika dia tau bahwa kubur Sunti dibongkar orang.


Sebenarnya apakah yang terjadi? Malam itu setelah siang tadi Sunti dikuburkan, kira-kira jam satu dinihari, nampak pekuburan Sunti bergerak-gerak, asap tipis bau daging terbakar menyeruak, tiba-tiba, “bleg..!” Terdengar ledakan seperti petasan dalam tanah, dan terlemparlah tubuh Sunti, seperti gedebok pisang tapi langsung melayang pergi.


Sementara itu ketika jam menunjukkan jam tiga seperempat, seorang perempuan tua tergopoh-gopoh, berjalan melintasi jalan raya dekat pemakaman, orang biasa memanggilnya Nyiyam, seorang dukun beranak yang mendapat panggilan di desa Karanglor, dia harus melewati pekuburan Degan, ada rasa merinding di tengkuk Nyiyam.


Perempuan umur enam puluh tahunan itu menguatkan hati, memang dia rasa malam ini terasa sunyi, suara jengkrik aja tak ada, atau suara katak setidaknya untuk menghiburnya.


Hanya suaru burung hantu, kadang dari jauh terdengar satu, malam yang teramat mencekam, bulan di atas pun yang tinggal seujung kuku seperti diselimuti warna hitam, walau tak ada mendung, kabut tebal mulai turun, walau tak menahan jarak pandang, tapi bagi perempuan tua setangguh Nyiyam, itu bukan apa-apa, walau sebagai manusia, rasa takut seperti menggelitik perasaannya.


Soal digoda hantu, perempuan tua ini pengalamannya sudah tak terhitung lagi, dari ditiup obornya terus, dilempar ke kali, bahkan pernah ditemukan warga di tengah-tengah pohon bambu, sehingga warga harus mengeluarkanmya dengan menebangi pohon bambu.


Keadaan teramat sunyi, hanya sandal jepit tipis, yang sebagian sudah berlubang karena gesekan, terdengar srek-srek, seakan paling berisik sendiri, ah entah telah berapa tahun sandal ini menemani tugasnya. Melintasi malam, mengukur keihlasannya menolong perempuan yang akan melahirkan, yang kadang hanya diupah setandan pisang, atau cuma ucapan terimakasih saja.


Nyinyam mengetatkan selendangnya, ketika dia rasakan bulu kuduknya makin meremang, ah makam juga sudah terlewati, dan di depan adalah pos kampling, apa yang ditakutkan, mungkin masih ada yang jaga…, tapi kenapa seluruh bulu di tubuhnya berdiri semua, Nyiyam mempercepat langkahnya, apalagi di pos kamling jarak sepuluh meter dia melihat bayangan orang dari mata rabunnya. Bajunya putih dan sarungnya putih.


Nyiyam telah memutuskan, dia tak akan menyapa pada petugas ronda, dan kalau dia disapa akan menjawab, dan kalau tak disapa maka akan berlalu saja, tapi kenapa dia merasakan makin merinding saja.


Tepat di depan bayangan yang ada di pos,


“Mau kemana Nyi…?” suara perempuan, serrr…! Semua bulu kuduknya berdiri tegak semua, kepalanya sampai terasa keribo, bukan suara perempuan yang membuatnya merinding, walau itu juga iya, tapi yang lebih membuatnya merinding adalah suara itu seperti suara dari alam lain, bukan alam ini, tapi alam kegelapan.


“ss….ssa…s..siapa., k..kau..?” Nyiyam merasakan lidahnya seperti selembar triplex yang diemutnya, kaku tak bisa digerakkan untuk mengeluarkan ucapan.


Perempuan di depannya ini menunduk, rambutnya gimbal, dan masih ada tanah menempel. Sebagian rambut menutupi wajahnya hingga tak terlihat.


“hii…hik…hihihh….” terdengar suara tertawa yang teramat aneh, yang membuat kaki Nyiyam gemetar. Bahkan kencing pun merembes dari jaritnya ketika bau bangkai menyengat terbawa angin, bau bangkai orang mati.


Walau bagaimana nenek tua ini masih berusaha tabah, untung ia ingat Alloh, setidaknya mengurangi, ketakutannya.


“Kau ini siapa nduk? Kembalilah ke tempatmu nduk…?” kata Nyiyam yang mulai kuat menahan batinnya.


“Aku Sunti nyai…, aku tak diterima nyai… tolooong aku nyai… huhuu…” suara perempuan itu mengguguk.


“Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku ini orang bodo…” kata Nyiyam kemudian dalam hati membaca ayat kursi berulang-ulang.


“Aduh nyai panas… panas… Aduuuuuh kau apakan aku nyai..?” perempuan itu menjerit dan tubuhnya seketika melayang ke atas, dan melayang pergi sambil ketawa hahahihi.


Sejak malam itu, rumah ki Gerot pun diganggu dan diteror Sunti yang krambyangan, sampai karena sudah tak kuat, dukun yang anti ngaji itupun mengundang orang-orang untuk mengaji di rumahnya, sampai gangguan dari Sunti tiada lagi.


“Maukah kau ku sempurnakan?” tanyaku pada Sunti.


“Hihi…. bocah bau kencur… mau melawanku, hiiihii….!”


Aku tanpa kata lagi jariku kuputar, seakan melingkarinya lalu kutulis bak di tengah, seketika.


“Hai apa yang kau lakukan padaku?” tanyanya, karena tubuhnya terkurung.


Lalu kubaca basmalah tiga kali, tahan nafas, kullu saiin halikun illa wajhah. AllahuAllahu. Allahu akbar!!, tangan yang telah tersaluri tenaga dari pusarku ku hantamkan berbareng, dengan tapak tangan terbuka ke arah Sunti, dan “hlukgh!!”, terdengar ledakan kecil, dan sebuah asap mengepul, bersatu tersedok ke satu titik lalu lenyap.


Mungkin sudah jam tiga pagi, aku segera melesat, di atas desaku, melesat kucepatkan, aku ingin mencoba paling cepat les.. Kurasakan aku telah ada dalam tubuhku sendiri. Dan kulihat jam tanganku, jam tiga seperempat.


Aku menata bantal dan tidur, ah pengalaman rogo sukmo pertamaku. Lumayan mengesankan.


Bersambung ke Chapter 9

Index thread : https://www.kaskus.co.id/show_post/5...d69573da0cbe6d
Diubah oleh gelandangan143 10-08-2019 20:39
rijalbegundal
tet762
danjau
danjau dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup