Quote:
"Huuhhh...!!! Konyol! Benar benar konyol! Bisa bisanya Bayan Mardi bikin sandiwara konyol seperti itu hanya untuk memojokkanmu!" Prapto terus saja menggerutu, sambil sibuk menyiapkan kayu bakar untuk dijadikan api unggun. Rasa kesal yang dirasakan oleh pemuda itu sepertinya sudah bertumpuk tumpuk. Selain karena ulah Bayan Mangun dan Kang Marto yang dianggapnya konyol itu, rencana mereka untuk memanggang ayam malam itu jadi sedikit tertunda. Dan itu karena ulah Bayan Mardi dan Kang Marto.
"Harusnya tadi tak kau biarkan Bayan Mardi itu pergi begitu saja Galih! Sekali kali bayan sialan itu perlu diberi pelajaran! Dan tadi itu, kesempatan bagus buatmu untuk menelanjanginya. Kau bongkar habis semua kebusukannya di depan warga, dan ia tak akan pernah berani lagi bikin masalah sama kamu!" lanjut Prapto setelah api unggun menyala.
Galih yang masih sibuk mencabuti bulu bulu ayam yang barusan ia potong itu hanya tersenyum. Ia tau Prapto sangat kesal. Tapi apa yang dikatakan oleh Prapto barusan, terdengar lebih konyol lagi jika dibandingkan dengan ulah Bayan Mardi dan Kang Marto tadi.
"Tidak semua perbuatan jahat itu harus kita balas dengan kejahatan juga Prap," ujar Galih. "Beberapa hari disini, aku mulai sedikit bisa memahami sifat dan tabiat warga desa ini. Juga dengan Pak Bayan tadi. Mereka itu orang orang keras kepala. Jika kita membalas perbuatan mereka dengan caramu itu, justru mereka akan semakin menjadi jadi. Dan aku tak suka itu. Karena tujuanku kembali ke desa ini, bukan untuk membalas kebencian mereka kepadaku, tapi justru sebaliknya, aku ingin mempebaiki hubunganku dengan mereka."
"Tapi yang tadi itu sudah sangat keterlaluan Galih!" Prapto masih bersungut, sambil mulai sibuk melinting tembakau.
"Ah, tidak juga. Selama mereka tidak sampai mencelakaiku dan adikku, kuanggap perbuatan mereka itu masih dalam tahap wajar," sanggah Galih.
"Wajar katamu? Kang Marto tadi nyaris membacokmu, dan kaubilang itu masih wajar?"
"Baru hampir kan, belum benar benar membacok."
"Edan! Kamu benar benar edan Galih! Beruntung tadi warga masih sempat menahan Kang Marto. Kalau tidak, mungkin yang akan aku panggang malam ini bukan ayam, tapi mayatmu!"
"Hahaha...! Kamu yang edan Prap! Tega kamu mau manggang mayatku?"
"Habisnya...."
"Aku nggak yakin kok Kang Marto tadi akan benar benar membacokku. Butuh nyali besar untuk membacok orang Prap. Dan aku yakin Kang Marto tak punya nyali sebesar itu."
"Hei, dia sedang kesurupan lho! Orang kesurupan mana butuh..."
"Cuma pura pura kan? Nggak kesurupan beneran."
"Memangnya kamu tau kalau dia cuma pura pura?"
"Ya enggak lah. Aku kan bukan dukun seperti mbah Pariyem."
"Ah, kau ini!" Prapto mendengus, dan Galih hanya tertawa.
"Eh, tapi aku heran lho Prap, kenapa tadi tiba tiba mbah Pariyem bisa datang ya? Padahal rumahnya jauh diujung timur desa sana. Mustahil kalau dia ..."
"Ah, sudah biasa itu. Paling ada warga yang menjemputnya. Selama ini kan selalu begitu, setiap ada warga yang sakit, kesurupan, atau mendapat gangguan makhluk halus begitu, selalu mbah Pariyem yang dipanggil untuk mengobati. Dan hebatnya, setahuku sekalipun dia belum pernah gagal saat menangani orang orang seperti itu."
"Hebat! Aku percaya itu! Aksi mbah Pariyem tadi memang benar benar luar biasa. Sampai Pak Bayan dan warga yang lainpun dibuat kocar kacir olehnya. Tapi, Memang benar ya mbah Pariyem itu bisa memanggil dhemit?" tanya Galih.
"Mana kutahu," Prapto menghembuskan asap rokok tingwenya. "Kenapa tak kautanyakan saja kepada Anjar?"
"Anjar? Kenapa nyambungnya jadi ke Anjar?"
"Lha kan dia cucunya mbah Pariyem. Dan aku tahu, baru beberapa hari disini, tapi kau sudah menaruh perhatian khusus kan kepada si muka codet itu!"
"Hey! Jahat kamu ya! Kenapa kau menyebutnya si muka codet?!"
"Nah kan, kupanggil dia si muka codetpun kau nggak terima. Berarti benar kata kataku tadi, kau sudah punya perhatian khusus kepada Anjar."
"Ngawur! Dia itu adikku! Wajar kalau aku tak suka kalau ada yang memanggilnya seperti itu!"
"Seperti apa?"
"Lha ya seperti yang kaubilang tadi. Si muka codet....!"
"Bruuukkkk...!!!"
"SIAPA YANG KAU SEBUT SI MUKA CODET HAH?!"
Tiba tiba sebuah batu sebesar kepalan tangan dilempar ketengah nyala api unggun, lalu disusul dengan suara bentakan keras. Serempak Galih dan Prapto menoleh ke arah asal suara. Dan, mereka sama sama terperangah, saat melihat Anjar telah berdiri di pinggir jalan sambil menatap ke arah mereka dengan tatapan penuh amarah.
"Eh, Anjar...."
"Kau!" Anjar menunjuk ke arah Galih sambil memamerkan wajah bengisnya. "Kukira kau telah berubah setelah lama tinggal di kota, Galih. Tapi ternyata dugaanku salah! Kau masih sama saja! Kau masih tetap jahat kepadaku! Teganya kamu menyebutku dengan sebutan yang seperti itu!"
"Anjar, maaf, aku..., tadi itu..."
"Bohong!" Anjar mendengus keras, lalu segera berlalu meninggalkan tempat itu.
"Sial! Ini semua gara gara kamu sih Prap!" Galih buru buru meletakkan ayam yang sedang ia bersihkan itu, lalu bergegas bangkit dan menyusul Anjar. Bahkan seruan Prapto yang berusaha untuk menahannyapun tak ia hiraukan lagi.
"Ckckckck...! Bakalan perang besar nih sepertinya," gumam Prapto sambil membawa ayam yang tadi telah dibersihkan Galih ke dapur dan menyerahkannya kepada Ajeng dan Arum yang tengah sibuk menyiapkan bumbu.
****
"Anjar! Tunggu!" Galih berseru sambil mencoba mengejar Anjar. Anjar yang sadar bahwa Galih mengikutinya, justru semakin mempercepat langkahnya, membuat Galih mau tak mau harus berlari lari kecil untuk bisa menjajari langkah gadis itu.
"Anjar! Maaf! Yang tadi itu, tidak seperti yang kau kira. Bukan aku yang menyebutmu..."
"Apa?!" Anjar mendengus sambil terus berjalan dengan langkah tergesa.
"Si muka..., ah, aku tak akan mengulangi kata kata itu, karena itu akan sangat menyakiti perasaanmu!" jawab Galih sambil terus menjajari langkah Anjar.
"Cih! Sok perhatian!" kembali Anjar mendengus.
"Prapto yang bilang begitu tadi! Aku justru mengingatkan dia agar tak memanggilmu begitu."
"Memanggilku apa?"
"Si muka codet!"
APA?!" Anjar sontak menghentikan langkahnya, berbalik dengan cepat dan menyambar kerah baju Galih dengan kasar. "Coba kau ulangi sekali lagi!"
"Eh, anu..., aku...," Galih hanya bisa nyengir sambil garuk garuk kepala. Gadis ini, sepertinya sifatnya benar benar belum berubah, masih sama seperti saat kecil dulu. Pemarah, dan mudah sekali tersinggung.
"Bodoh!" Anjar mendorong tubuh Galih hingga jatuh terjengkang, lalu kembali melangkah dengan sangat tergesa. Hmmm, bahkan cara jalannyapun masih sama seperti dulu.
"Anjar!" Galih berseru sambil kembali berdiri dan menyusul gadis itu. "Aku minta maaf! Dan, sebagai permintaan maafku, sudikah kiranya kau singgah sejenak ke rumahku? Kebetulan aku dan Prapto tadi sedang akan memanggang ayam, jadi...."
"Kau pikir aku bisa kaurayu hanya dengan panggang ayam?!" Anjar menukas sambil terus berjalan.
"Bukan begitu maksudku, tapi..."
"Kau kebanyakan tapi!"
"Kita saudara Njar! Dan sudah sepuluh tahun kita tak bertemu. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan! Ada banyak hal juga yang ingin kutanyakan padamu! Jadi..."
"Itu tak penting!" sentak Anjar sengak.
"Ya. Mungkin itu tak penting bagimu, tapi bagiku itu sangatlah penting. Kita saudara Njar! Tak seharusnya kita saling bermusuhan seperti ini. Aku tau, dulu ayahku telah membuat kesalahan fatal yang mengakibatkan hilangnya kedua orang tuamu. Aku minta maaf untuk itu. Dan aku sengaja kembali ke desa ini, untuk memperbaiki hubungan kita. Kita sudah sama sama tak memiliki orang tua Njar. Jadi alangkah baiknya kalau kita..."
"Stop!" Anjar kembali menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan menatap Galih, tajam. "Jangan pernah kau bawa bawa nama orang tuaku! Dan jangan sok pintar menasehatiku! Kau hanya bocah ingusan yang tak tau apa apa soal orang tua kita Galih! Jadi jangan sok mengguruiku!"
"Justru itu Njar, aku yang hanya bocah ingusan dan tak tau apa apa ini, ingin tau banyak darimu, soal apa yang dulu sebenarnya terjadi diantara kedua orang tua kita, hingga membuatmu dan juga nenekmu benci setengah mati kepada bapakku yang bahkan juga sudah mati!"
"Cih! Benar ternyata dugaanku! Kau memang tak tau apa apa! Salah kalau kau menganggap aku dan nenekku membenci bapakmu!"
"Jadi?!"
"Panjang ceritanya," Anjar menghela nafas, sepertinya sikapnya mulai melunak kini
"Aku siap mendengarkannya Njar, meski harus begadang sampai Shubuh sekalipun."
"Ikut aku!"
"Kemana?"
"Ke rumahku lah! Kau pikir aku akan menceritakan kisah yang sangat panjang itu di jalanan seperti ini?!"
"Emmm, apa nggak sebaiknya di rumahku saja Njar? Aku..."
"Kenapa? Kau takut dengan nenekku?"
"Emmm, iya, eh, tidak. Maksudku, nggak enak dilihat orang kalau kita ngobrol cuma berdua di rumahmu. Biar bagaimanapun kita adalah laki laki dan perempuan yang telah beranjak dewasa. Kalau dirumahku kan ada Ajeng dan Arum juga."
"Di rumahku! Atau tidak sama sekali!"
"Tapi..."
"Di rumahku juga ada nenekku. Jadi kita tidak hanya berdua disana!" seru Anjar sambil kembali berjalan. Mau tak mau, Galihpun akhirnya mengikuti gadis itu, meski sambil mengumpat pelan.
"Wedhus!!!"
bersambung