Quote:
"Mas Galih! Tunggu!" Alih alih mengikuti perintah Galih, Ajeng justru ikut berlari, mengejar sang kakak yang kini telah menghilang ditelan kegelapan malam. Namun sialnya, kedua kaki mungil gadis itu rupanya tak mampu mengimbangi kecepatan lari sang kakak, hingga tak butuh waktu lama gadis itupun kehilangan jejak Galih yang telah menghilang ditelan kegelapan.
"Asem! Tau begini tadi aku tak ikut mengejar!" Sungut gadis itu kesal, sambil memperlambat langkahnya.
"Kemana sih larinya Mas Galih tadi? Cepat sekali menghilang," gadis itu celingak celinguk mencari keberadaan sang kakak. Namun hanya kegelapan yang ia dapati sejauh ia memandang.
"Asem!" Kembali gadis itu menggerutu, sambil berbalik dan melangkah bermaksud untuk kembali ke rumah. Sambil berjalan, matanya terus menatap kekanan dan kekiri, berharap menemukan keberadaan sang kakak yang ia cari. Namun lagi lagi hanya kegelapan dan suasana sunyi yang ia dapati.
Pelan namun pasti, rasa kesal yang ia rasakan berubah menjadi rasa cemas, yang sekejap kemudian berubah lagi menjadi rasa takut. Tanpa sadar gadis itu mengusap tengkuknya yang tiba tiba merinding itu. Berada sendirian di tempat gelap dan sepi, membuat perasaannya tiba tiba tak nyaman. Suara binatang malam dan bayangan ranting ranting semak yang bergoyang tertiup angin, menambah suasana semakin terasa mencekam.
Ajeng semakin mempercepat langkahnya, sambil sesekali menengok ke belakang. Entah mengapa, hati kecilnya mengatakan kalau ada sesuatu yang tengah mengikuti langkahnya. Namun saat ia tengok, tak ada apapun yang ia temui di belakangnya selain kegelapan.
"Hiiiiiiiii....!!!" Gadis itu bergidig ngeri, lalu tanpa berpikir panjang lagi segera berlari secepat yang ia bisa, hingga saat sampai kembali di halaman rumahnya, nafasnya terasa hampir putus.
"Hosshhhh...!!! Hosshhh...!!! Hoosshhh....!!!" Ajeng berhenti sejenak saat sampai di tengah tengah halaman, membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut sambil mengatur nafasnya yang terengah engah itu.
"Sreeekkkk...!!! Sreekkk....!!! Sreekkk...!!!" Suara gemerisik dari dedaunan yang bergesekan tertiup angin membuat Ajeng berjingkat kaget, lalu buru buru kembali melangkah cepat bermaksud untuk masuk kedalam rumah.
Namun saat sampai di teras, langkah gadis itu kembali terhenti. Tanpa sengaja mata beningnya menangkap seonggok batu sebesar kepalan tangan yang terbungkus kertas lusuh yang tergeletak tepat di depan pintu.
Ajeng ingat. Itu batu yang tadi dilempar oleh orang yang sekarang sedang dikejar oleh Galih. Dan otak cerdas Ajeng menangkap adanya kejanggalan pada batu itu.
"Kalau orang itu cuma berniat iseng atau ingin mencelakai kami, kenapa harus repot repot membungkus batu ini dengan kertas?" Batin Ajeng sambil membungkuk dan memungut batu itu. Dibukanya lembaran kertas yang membungkus batu itu, sementara si batu sendiri kini harus bernasib sial karena Ajeng segera melemparnya ke tengah tengah halaman.
"Hmmm...! Sudah kuduga!" Gumam Ajeng begitu mendapati guratan guratan kasar yang tergores diatas permukaan kertas itu. Suasana teras yang temaram membuat Ajeng tak begitu jelas melihat guratan guratan itu. Maka, sambil terus memperhatikan kertas yang dipegangnya, gadis itu melangkah pelan masuk kedalam rumah, bermaksud untuk membawa kertas itu mendekat ke arah senthir (lampu minyak tanah) yang berada diatas meja ruang tamu.
Terlalu fokus pada kertas yang dipegangnya, membuat Ajeng lupa dengan pesan sang kakak untuk mengunci pintu. Ia hanya mendorong daun pintu itu sekenanya hingga menutup tak sempurna. Sebuah kesalahan fatal! Karena bersamaan dengan masuknya Ajeng kedalam rumah, sesosok laki laki berkerudung sarung nampak berjalan pelan memasuki halaman rumah itu dan lansung menuju ke arah teras.
Ajeng yang tak menyadari datangnya tamu tak diundang itu, masih terus memandangi kertas yang dipegangnya. Didekatkannya kertas itu ke arah nyala lampu senthir sambil pelan pelan melesakkan patatnya diatas kursi rotan. Dengan bantuan cahaya lampu senthir di hadapannya, kini Ajeng bisa membaca dengan jelas tulisan kasar yang ada di permukaan kertas itu.
"PERGI DARI DESA INI, ATAU KALIAN AKAN MATI!"
Deg! Jantung Ajeng nyaris terlompat saat membaca pesan bernada ancaman itu.
"Apa apaan ini?!" Sentak Ajeng sambil mencampakkan kertas itu keatas meja.
"Tok...! Tok...! Tok...!"
"Kriyeeeeettttt...!!!"
"Eh?!" Ajeng kembali terjingkat kaget, saat sosok laki laki yang berada di luar itu tiba tiba mengetuk pintu. Ketukan yang membuat daun pintu yang tak tertutup sempurna itu sedkit terdorong terbuka, memperdengarkan suara derit dari gesekan engselnya yang sedikit berkarat.
"Arum?" Ajeng yang mengira bahwa yang datang adalah Arum yang sore tadi memang berjanji akan menginap di rumah, itu berseru senang. Namun rasa gembira yang dirasakan gadis itu seketika lenyap, manakala ia berdiri dan berbalik, yang ia dapati sedang berdiri di ambang pintu bukanlah Arum adik sepupunya, melainkan seorang laki laki berkerudung sarung yang sama sekali tak dikenalnya.
"Sssssiii..., siapa kau?!" Ajeng tercekat. Dan lagi lagi otak cerdasnya berpikir cepat, menghubungkan kehadiran laki laki asing itu dengan sosok misterius yang beberapa saat lalu melemparkan batu berbungkus kertas bertuliskan pesan ancaman itu.
"Eh, anu....!" Laki laki itu tergagap, seolah juga terkejut mendengar seruan Ajeng.
"Stop! Berhenti disitu! Jangan berani berani masuk! Atau..." Ajeng beringsut mundur, sambil tangannya meraba raba mencari sesuatu yang sekiranya bisa ia gunakan untuk membela diri apabila laki laki asing itu tiba tiba menyerangnya.
"Eh, aku...," kembali laki laki itu tergagap.
Dapat! Ajeng bersorak dalam hati, manakala tangan mungilnya yang sedang meraba raba permukaan meja menyentuh gunting besar yang siang tadi digunakan untuk memotong tali tali rafia pengikat kardus.
"Pergi! Atau kucongkel kedua matamu dengan gunting ini!" Ancam Ajeng sambil menghunuskan gunting besar yang dipegangnya.
"Eh...," laki laki itu tersentak mundur.
"Pergi kataku!" Bentak Ajeng keras sambil menggebrak permukaan meja, membuat laki laki itu terlonjak kaget dan segera berbalik untuk lari. Namun sialnya, bersamaan dengan berbaliknya laki laki itu, dari arah halaman, Galih yang rupanya telah kembali dan menyadari kehadiran orang asing di rumahnya segera melesat menerjang laki laki itu sambil mengayunkan tinjunya.
"Badj*ng*n! Berani kau menganggu adikku hah?!"
"Bhuaagghhhh...!!!"
"Huaduuuuuhhhh....!!!"
"Bruaaaakkkkk...!!!"
Mendapat serangan yang tiba tiba itu, si laki laki yang itu tak sempat menghindar. Alhasil, pukulan Galih tepat mendarat di wajah laki laki itu, membuat tubuh laki laki yang ternyata sangat kerempeng itu terlempar kebelakang, telak menghantam daun pintu yang setengah terbuka itu sebelum akhirnya jatuh terjengkang tepat di hadapan Ajeng yang masih berdiri terpaku di tengah tengah ruangan.
"Laki laki bejat!" Galih yang masih meradang terus memburu ke arah laki laki yang sepertinya sudah tak berdaya itu, menubruknya dan melayangkan pukulan bertubi tubi sambil mulutnya tak henti menyumpah serapah.
"Dasar laki laki bejat! Laki laki tak bermoral! Beraninya kau menganggu adikku hah?!"
"Bhuaagghhkkk...!!! Bhuuuggghhhkkk...!!! Bhuuaagghhkkk...!!!"
"Huaduuuhhhh...!!! Ampuuunnnn...!!! Jangan pukul aku....!!!"
"Hey! Ada apa ini ribut ribut?" Arum yang tiba tiba muncul berseru kaget. Dan mata gadis itu membeliak lebar manakala menyaksikan Galih sedang memukuli laki laki yang sepertinya sangat dikenalnya itu.
"Astaga! Mas Galih! Mas Prapto! Kenapa jadi berantem begini?!"
"Prapto?!" Galih yang sepertinya sudah sangat familiar dengan nama yang disebutkan oleh Arum itu tertegun.
"Aduuuuhhhh....!!!" Laki laki yang menjadi bulan bulanan pukulan Galih itu merintih. "Iya! Ini aku Prapto, teman masa kecilmu dulu Galih!"
"Astaga! Jadi kau....?"
"Aku datang kemari karena tadi mendengar kabar kalau kau dan adikmu telah kembali ke desa ini! Tapi, kalian malah salah paham! Kau malah memukuliku, dan adikmu itu mau mencongkel mataku pakai gunting! Aduuuuuhhhh...! Teman macam apa kalian ini?!"
"Astaga! Prapto!" Galih segera membantu laki laki itu berdiri dan mengajaknya duduk di kursi. "Maaf! Aku benar benar nggak tau! Kukira tadi kau laki laki kurang ajar yang mau berbuat macam macam sama adikku!"
"Kebangetan kamu Galih! Masa sama teman sendiri kamu nggak mengenali sih?" Prapto meringis, menahan perih pada sudut bibirnya yang sepertinya terluka akibat pukulan Galih sambil memegangi perutnya.
"Ya maaf! Aku benar benar nggak tau Prap! Dan....,eh, bukannya tadi yang kupukul wajahmu? Kenapa kau malah memegangi perut begitu?" Tanya Galih heran. Namun rasa herannya segera terjawab saat samar samar terdengar suara berkemerucuk dari perut Prapto.
"Astaga! Kamu....?! Ah, Ajeng, apakah masih ada sisa nasi dan sayur? Prapto sepertinya...."
"Eh..., iya Mas! Sepertinya masih ada! Sebentar, biar kuambil dulu di dapur," Ajeng nyaris tak mampu menahan tawa manakala menyadari bahwa tamu tak diundang yang datang kerumahnya itu ternyata sedang kelaparan.
bersambung