Quote:
Hari kedua di Margopuro
Rencana Galih untuk melihat lihat sawah dan ladang peninggalan kedua orang tuanya, sepertinya harus tertunda, karena Ajeng sang adik, terus terusan merengek memintanya untuk membereskan rumah dan pekarangan disekitarnya. Ajeng memang seorang perempuan sejati. Segala sesuatu harus terlihat bersih dan rapi di matanya. Sementara rumah dan pekarangan ini, sangat jauh dari kata bersih dan rapi.
"Rumput rumput di halaman itu harus dicabuti Mas. Terus semak semak di kebun kanan kiri dan belakang rumah itu juga sepertinya harus dibabat sampai bersih, biar nggak menjadi sarang ular atau binatang lainnya. Itu pintu dan jendela yang sudah hampir copot dari engselnya juga harus segera diperbaiki. Dan yang paling penting, aku butuh kamar mandi. Aku nggak mau mandi di tempat terbuka seperti itu. Meski sumur letaknya dibelakang rumah, tapi tetap saja ada kemungkinan orang iseng yang mengintipku saat sedang mandi!" kata kata Ajeng yang begitu tegas dan nyaris tanpa jeda itu jelas tak akan pernah bisa dibantah oleh Galih. Maka, mau tak mau Galih harus menunda rencananya untuk melihat sawah dan ladangnya bersama Paklik.
Beruntung, Prapto yang sesuai dengan janjinya kemarin pagi itu datang kerumah Galih, dengan senang hati membantu semua pekerjaan Galih, hingga pekerjaan yang lumayan banyak itu bisa cepat diselesaikan. Prapto yang memang sudah terbiasa bekerja di sawah dan di ladang, bekerja dengan sangat giatnya. Sementara Galih yang tak terbiasa dengan pekerjaan semacam itu, terlihat begitu kepayahan.
Ajeng sendiri, begitu pulang dari pasar bersama Arum dan melihat bahwa Prapto membantu pekerjaan kakaknya, segera sibuk di dapur, sekedar untuk menyiapkan minuman dan makanan alakadarnya.
Butuh waktu dua hari untuk membereskan pekerjaan yang lumayan banyak itu. Itupun berkat kesigapan Prapto yang ternyata cukup terampil dalam mengerjakan segala macam pekerjaan. Halaman serta kebun telah bersih kini, karena rumput rumput liar serta semak belukar yang memenuhi area itu telah mereka babat dan mereka bakar habis di kebun belakang. Sebuah kamar mandi sederhana dengan dinding bilah bilah bambu dan atap anyaman daun kelapa juga telah siap di dekat sumur. Daun pintu dan jendela yang kemarin nyaris lepas dari engselnya, kini juga sudah kembali kokoh menempel pada tempatnya.
Galih pantas berterimakasih kepada Prapto. Tanpa bantuan sahabatnya itu, ia tak yakin bisa menyelesaikan pekerjaannya secepat ini. Apalagi bambu bambu yang mereka gunakan untuk membuat kamar mandi sederhana itu juga mereka tebang dari kebun Prapto.
Sebagai ucapan terimakasih, Ajeng membeikan sebungkus plastik besar berisi beras, gula, dan teh serta uang rokok sekedarnya kepada Prapto saat pemuda itu pamit pulang. Prapto sempat menolak, karena ia memang membantu sahabat sahabatnya itu dengan ikhlas. Namun Ajeng memaksa, hingga akhirnya mau tak mau Prapto harus menerimanya.
Skip ke hari keempat, barulah Galih bisa melanjutkan rencananya untuk melihat lihat sawah dan ladangnya, sementara Ajeng juga melanjutkan niatnya untuk berkunjung ke rumah rumah warga untuk bersilaturahmi dan membagi bagikan beras. Sayang, hari itu Prapto tak bisa menemani Galih, karena sudah berjanji untuk memetikkan buah kelapa milik salah satu warga. Jadilah hari itu Galih hanya ditemani oleh Paklik.
Ada rasa trenyuh saat pagi itu Galih menyusuri jalanan desa bersama Paklik. Suasana desa ini, tak banyak berbeda dengan saat ia tinggalkan dulu. Bahkan sepertinya malah lebih buruk. Rumah rumah warga yang kebanyakan masih berdinding gedhek (anyaman bambu), nampak kumuh dan tak layak huni, bahkan sebagian sudah miring dan nyaris roboh, dengan pekarangan yang juga terlihat tak terawat, penuh dengan semak dan ilalang setinggi tubuh orang dewasa.
"Semenjak penggerebekan dulu itu, banyak warga yang sampai sekarang tak pernah kembali ke desa ini. Jadi jangan heran kalau banyak rumah yang kosong tak berpenghuni," jelas Paklik saat Galih bertanya soal kondisi rumah rumah itu. Galih hanya mengangguk angguk mendengar ucapan Pakliknya itu. Ia tak menyangka, akibat dari peristiwa sepuluh tahun yang lalu itu sampai separah ini.
Tempat yang pertamakali mereka tuju adalah area persawahan yang berada disebelah utara desa. Lumayan luas ternyata sawah peninggalan orang tuanya itu. Menghampar disebelah utara desa, berundak undak membentuk terasering yang berakhir di bantaran kali Balongan di bagian bawah sana. Sayang, tanaman padi yang tumbuh di petak petak sawah itu nampak kurang subur.
Pupuk susah didapat akhir akhir ini. Jadi warga yang menggarap sawah miliknya itu hanya menggunakan pupuk seadanya berupa limbah kotoran ternak dan abu bekas pembakaran jerami sisa sisa panen sebelumnya.
Selain itu, sawah ini juga cuma bisa panen sekali dalam setahun, karena memang hanya mengandalkan air hujan untuk mengairinya. Tak ada saluran irigasi sama sekali.
Puas melihat lihat sawah, Paklik lalu mengajak Galih untuk melihat ladangnya yang berada di sisi timur desa. Sama dengan sawah yang disebelah utara desa, ladang milik Galih di sebelah timur desa juga lumayan luas dan digarap oleh beberapa warga. Rata rata ditanami jagung dan singkong yang kondisinya juga kurang subur dan nampak kurang terawat.
"Semua hasil panen sawah dan ladangmu selama ini, setelah dibagi dua dengan si penggarap, semua langsung kukirimkan ke Budhemu di Solo," jelas Paklik.
"Iya Paklik, Budhe juga sudah cerita. Dan semua uang itu kini juga sudah diserahkan kepadaku," sahut Galih pelan. Ada selintas ide yang terbersit di benaknya, setelah melihat area sawah dan ladang miliknya, juga kehidupan warga di desa ini. Galih sering menemani sang Budhe ke Tawangmangu untuk mengambil sayur mayur dari para perani. Dan cara bertani warga disana, sangat jauh berbeda dengan warga disini. Mereka lebih bisa memanfaatkan lahan yang mereka miliki, hingga bisa lebih menghasilkan lagi. Kalau cara bertani warga di Tawangmangu itu diterapkan di desa ini, Galih yakin, kehidupan warga disini juga akan meningkat dan tak semiskin sekarang ini.
Samar Galih tersenyum. Ide briliant yang ia dapat itu, nanti bisa ia bicarakan dengan Pakliknya. Siapa tau Paklik bisa membantunya untuk meyakinkan warga. Dan andai nanti ide itu berhasil, Galih yakin, pandangan negatif para warga terhadap dirinya dan Ajeng akan berubah, yang itu berarti juga Galih secara tidak langsung akan membersihkan nama baik almarhum kedua orang tuanya.
"Sekarang," ucapan Paklik membuyarkan lamunan Galih. "Ayo kita lihat kebun kelapa milikmu di lereng gunung sana."
"Eh, masih ada lagi ya Paklik?" tanya Galih.
"Iya. Ada juga ladangmu yang ditanami pohon kelapa di lereng gunung sana. Tak terlalu luas memang, tapi lebih menghasilkan daripada sawah dan ladang yang ada disini."
Galihpun lalu mengikuti langkah sang Paklik menuju lereng gunung yang berada agak jauh di sebelah selatan desa. Benar kata Paklik, Lahan miliknya disini tak terlalu luas, namun lebih menghasilkan karena ditanami berpuluh puluh pohon kelapa yang buahnya bisa dipanen kapan saja kalau sudah tua.
"Pohon pohon kelapa ini yang justru paling menghasilkan, kalau saja buahnya tidak sering dicuri orang," ujar Paklik sambil mengajak Galih mengelilingi kebun kelapa itu.
"Dicuri?" tanya Galih heran.
"Di zaman susah seperti ini Galih, orang bisa melakukan apa saja hanya sekedar untuk bisa makan. Apalagi ladangmu ini letaknya jauh dari desa, dan Paklik tak bisa setiap waktu mengawasinya," jawab Paklik.
"Jadi Paklik sendiri yang mengurus kebun kelapa ini?" tanya Galih lagi.
"Haha, kebun kelapa tak perlu diurus Galih. Tinggal memetik buahnya saja kalau sudah tua. Dan memang Paklik yang selama ini memetik dan menjual buahnya. Uangnya, semua kukirim kepada budhemu. Kadang kadang saja aku mengambil buahnya untuk sekedar memasak bulikmu."
"Ah, paklik tidak seharusnya begitu. Biar bagaimanapun, untuk memetik buah kelapa yang pohonnya tinggi tinggi ini perlu waktu dan tenaga, harusnya hasil dari kebun kelapa ini juga dibagi dua dengan paklik."
"Galih," Paklik menepuk lembut bahu Galih. "Kamu dan Ajeng itu adalah keponakan Paklik. Dan kalian sudah tak memiliki orang tua lagi. Jadi kalian ini sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Apalah artinya uang jika dibanding dengan kasih sayang yang selama ini tak bisa kami berikan. Jujur, Paklik begitu kecewa saat dulu tak bisa mengasuhmu saat kedua orang tuamu meninggal, karena mau tidak mau Budhemu harus membawamu keluar dari desa ini, agar kau tak terus terbayang bayang kejadian buruk yang kau saksikan dulu. Andai saja...."
"Sudahlah Paklik, Galih paham kok. Dan Paklik tak perlu menyesal. Galih tau, kasih sayang Paklik dan Bulik kepada kami, tak perlu kami ragukan lagi. Galih sangat berterimakasih untuk itu. Dan..."
"Sudah siang," Paklik menyela, sengaja mengalihkan pembicaraan yang mulai mengarah ke hal hal yang sensitif itu. "Kamu mau pulang atau menemani Paklik disini? Paklik lihat sudah banyak buah kelapa yang siap untuk dipetik, jadi selagi sudah disini, Paklik mau sekalian memetiknya sekalian."
Galih sebenarnya masih ingin menemani Paklik memetik buah kelapa. Tak tega rasanya meninggalkan orang tua itu bekerja sendirian di ladang. Namun hari yang semakin beranjak siang dan perut yang juga mulai terasa lapar membuat Galih terpaksa memilih untuk pulang, sambil berjanji nanti akan kembali dan membawakan sedikit makanan untuk Paklik.
Sambil berjalan menurni lereng gunung itu, pikiran Galih mulai mengembara kemana mana. Ya. Setelah melihat sawah dan ladang yang dimilikinya, juga kehidupan warga di desa ini, Galih bertekad untuk merubah kehidupan warga yang serba kesusahan itu. Dan jika ia berhasil nanti, bukan tak mungkin jika pandangan warga selama ini terhadap dirinya dan kedua orang tuanya juga akan berubah.
Galih tersenyum, membayangkan apa yang telah ia rencanakan itu. Hingga tanpa sadar, karena berjalan sambil melamun, ia nyaris saja bertubrukan dengan seseorang yang berjalan cepat menaiki lereng itu.
"Eh, maaf sim...," Galih tercekat, saat melihat orang yang hampir ditabraknya itu ternyata adalah seorang nenek tua bertubuh kurus dengan wajah keriput yang terlihat sedikit menyeramkan. Bukan! Bukan wajah nenek itu yang menyeramkan. Tapi tatapan matanya, yang menghunjam tepat ke mata Galih seolah ingin menelanjangi apa yang sedang dipikirkan oleh Galih.
"Pakai mata kalau jalan!" sentak nenek tua itu, lalu bergegas kembali berjalan mendaki lereng yang lumayan curam itu. Langkah yang begitu cepat dan lincah untuk ukuran orang setua itu, hingga Galih tak sempat menyahuti sentakan orang tua itu.
"Luar biasa," gumam Galih sambil kembali berjalan. "Sudah setua itu, tapi masih sangat lincah mendaki lereng yang...., eh, tunggu! Nenek tua, naik ke gunung, jangan jangan..., Mbah Pariyem!"
Sontak Galih berbalik dan menatap si nenek yang ternyata sudah cukup jauh meninggalkannya itu. Tak salah lagi, batin Galih. Perempuan tua renta yang masih sanggup mendaki gunung dengan sangat lincahnya itu, siapa lagi kalau bukan Mbah Pariyem. Dan itu berarti, apakah dia akan berziarah ke makam tua misterius seperti yang diceritakan oleh Prapto beberapa malam yang lalu? Kalau iya, maka ini kesempatan emas bagi Galih untuk membuntuti nenek itu dan mengetahui apa yang akan dilakukan oleh nenek itu dipuncak sana.
Rasa penasaran membuat Galih lupa akan janjinya kepada Paklik. Tanpa pikir panjang lagi ia segera merubah arah langkahnya, mengikuti si nenek yang telah jauh meninggalkanya itu.
****
"Luar biasa!" dengus Galih dengan nafas terengah. Semakin keatas, lereng ini semakin terjal. Dan nyaris tak ada jalur khusus yang bisa ia ikuti, karena gunung ini memang nyaris tak pernah didaki orang. Hanya lereng bagian bawah yang sering didatangi warga yang memiliki lahan garapan disana. Selebihnya, hanya hutan belantara yang bahkan jalan setapakpun tak ada.
Hanya bayangan Mbah Pariyem yang sesekali menghilang dibalik kerimbunan semak yang bisa dijadikan patokan oleh Galih agar tak sampai tersesat. Jadi, meski nafasnya sudah hampir putus dan kedua lututnya hampir copot, pemuda itu terus mencoba melangkah dan melangkah, mengimbangi langkah Mbah Pariyem yang masih terlihat begitu lincah seolah telah terbiasa menjelajahi hutan belantara ini.
"Manusia macam apa Mbah Pariyem itu, sudah setua itu, tapi masih sanggup mendaki sampai sejauh ini, bahkan tanpa terlihat lelah sama sekali," gumam Galih sambil terus melangkah. Sesekali ia harus menyibak semak dan ranting dedaunan yang menghalangi langkahnya. Di lain waktu harus terpaksa merangkak saat melewati lereng yang nyaris tegak lurus. Meski begitu, kedua matanya tetap fokus memandang ke arah Mbah Pariyem yang sepertinya mulai mengurangi kecepatan lngkahnya.
"Apakah sudah sampai?" batin Galih sambil mengamati suasana disekitarnya. Hanya lebatnya belantara yang bisa ia lihat, tanpa bisa memastikan apakah ia kini sudah berada di puncak atau belum.
"Sial!" buru buru Galih menyelinap ke balik semak semak saat tiba tiba Mbah Pariyem berhenti dan menoleh kebelakang.
"Hampir saja ketahuan," desis Galih sambil terus mengamati Mbah Pariyem dari balik semak semak. Perempuan tua itu nampak celingak celinguk memperhatikan suasana disekitarnya, seolah sedang memastikan bahwa tak ada orang yang mengikutinya.
"Apa yang...," gumaman Galih tertahan saat tiba tiba Mbah Pariyem menyelinap kebalik semak semak yang ada dihadapannya.
Galihpun segera mengendap endap mendekat ke semak semak itu. Sebisa mungkin ia berusaha agar langkahnya tak sampai menimbulkan suara. Pelan pelan, Galih menyibak dedaunan yang menghalanginya, dan matanya terperangah seketika, saat mendapati Mbah Pariyem tengah bersimpuh dihadapan susunan batu padas yang membentuk dua buah persegi panjang yang saling berdampingan. Dua buah makam!
"Ternyata benar apa yang diceritakan Prapto tempo hari," batin Galih sambil terus mengamati Mbah Pariyem yang nampak sangat serius membaca entah mantra atau apa sambil menaburkan aneka bebungaan keatas kedua makam itu.
"Mereka telah kembali," samar samar Galih bisa mendengar suara Mbah Pariyem yang sedikit bergetar. "Benar benar kembali! Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Desau angin tiba tiba bertiup agak kencang, menggoyang goyangkan pucuk pucuk dedaunan, menimbulkan suara bergemerisik seolah menyahuti ucapan Mbah Pariyem.
"Itu tidak mudah!" kembali suara Mbah Pariyem terdengar samar. "Tapi aku akan mencobanya!"
Galih tertegun diam. Apa maksud ucapan Mbah Pariyem barusan? Dan ditujukan kepada siapa kata katanya tadi? Ah, mungkin benar apa kata Prapto kemarin, orang tua ini sudah sedikit tak waras, atau....
"Siapa disitu?!"
Galih tersentak, saat dengan tiba tiba Mbah Pariyem berdiri dan berbalik menatap ke arah semak semak tempatnya mengintai, sambil berteriak lantang.
"Wedhus! Aku ketahuan!" dengus Galih sambil pelan pelan mundur, lalu...
"Berani memata mataiku, kucekik kau sampai mampus!"
"Sial!" sadar bahwa ia benar benar telah ketahuan, Galih segera berbalik dan berlari. Namun sepertinya ia mengambil arah yang salah. Lupa bahwa dibelakangnya adalah tebing curam yang dipenuhi bebatuan cadas yang tajam, membuat Galih kehilangan keseimbangan. Tubuhnya limbung sesaat, lalu tanpa ampun lagi segera jatuh terguling menuju ke arah bawah.
"Arrrggghhhhh...!!!" Galih menjerit lantang. Sadar bahwa nyawanya terancam, karena dibawah tebing sana telah menunggu bebaruan cadas yang siap melumatkan tubuhnya kalau sampai terhempas kesana, membuat Galih berpikir cepat.
"Aku belum mau mati!" batin Galih sambil meliukkan tubuhnya yang masih terguling bebas ke arah bawah itu, mencoba membelokkan arah laju tubuhnya ke arah rimbunan semak semak, berharap rimbunan semak itu mampu meredam kecepatan laju tubuhnya.
"Gussrrraaakkkk...!!!" berhasil! Begitu tubuhnya menerjang rumpun semak itu, laju tubuhnya yang meluncur kebawah itu sedikit berkurang. Tapi itu belum cukup. Rimbunan semak semak itu belum mampu menahan kekuatan gravitasi yang terus berusaha menariknya kearah bawah. Maka tanpa pikir panjang lagi Galih menggunakan kedua tangannya untuk meraih apa saja yang sekiranya bisa ia gunakan untuk berpegangan.
"Tap!" Dapat! Sebatang pohon seukuran betis orang dewasa berhasil ia raih. Galih lalu mencengkeram batang pohon itu sekuat yang ia mampu, membuat tubuhnya yang melucur bebas kebawah itu tertahan tiba tiba.
"Hufth! Hampir saja!" dengus Galih disela sela nafasnya yang memburu. "Kalau saja..., eh, apa ini?" kembali Galih tertegun, saat tangannya yang mencengkeram barang pohon itu merasakan sesuatu yang janggal. Tak selayaknya batang pohon yang keras dan berpermukaan kasar, sesuatu yang ia kira batang pohon itu terasa sedikit empuk dan kenyal.
Pelan pelan Galih menengadahkan wajahnya untuk mengetahui benda apa sebenarnya yang ia gelayuti itu. Dan mata Galih seketika terbelalak, saat mendapati bahwa yang dicengkeramnya itu adalah sebentuk benda bulat panjang berwarna kehitaman yang ditumbuhi bulu bulu halus di permukaannya.
Galih semakin menengadah, mengikuti benda yang dipegangnya yang ternyata adalah sebuah betis manusia. Dan..., Galih tercekat, saat wajah si pemilik betis itu menyeringai lebar ke arahnya. Seringaian yang nampak begitu menyeramkan, membuat Galih tanpa sadar melepaskan pegangan tangannya pada betis sosok itu, hingga tubuhnya kembali meluncur deras kebawah.
"Aaaaaaaaaaaa...!!!" jeritan Galih menggema keseluruh penjuru belantara itu, sebelum tubuhnya terhempas kedasar jurang. Samar samar, sebelum ia benar benar kehilangan kesadarannya, Galih masih sempat menangkap bayangan sosok si pemilik betis tadi lari tunggang langgang, sementara dibelakangnya sosok Mbah Pariyem mengejarnya sambil mengacung acungkan sebatang dahan kayu seukuran lengan orang dewasa. Lalu...
Pet! Semua mendadak menjadi gelap, dan Galih tak ingat apa apa lagi!
bersambung