Quote:
Malam hari, selepas sholat Isya' dan makan malam, sementara Ajeng masih sibuk berkutat di dapur, Galih duduk sendirian diatas lincak(Balai balai bambu) yang berada di teras rumah. Menikmati secangkir kopi sambil meresapi suasana malam yang terasa sangat berbeda dengan suasana malam di kota tempat ia tinggal selama ini.
Sepi! Itu yang pertama kali Galih rasakan, setelah sore tadi Kang Pardi pamit untuk kembali ke Solo, dan Arum yang katanya malam ini mau menginap menemani mereka, tak kunjung nampak juga batang hidungnya.
Mata Galih menerawang, melihat kelap kelip lampu Ting yang terpasang disetiap teras rumah warga. Listrik memang belum masuk ke desa ini. Otomatis warga mengandalkan lampu minyak tanah untuk penerangan di waktu malam.
Nun di kejauhan sana, tepatnya di area persawahan yang berada di ujung barat desa, juga nampak kelap kelip cahaya kunang kunang yang berterbangan diatas hamparan tanaman padi yang menghijau. Sementara di sebelah selatan desa, Gunung Kambengan nampak menjulang tinggi, menampakkan siluet kehitaman bak bayangan raksasa yang bediri gagah ditengah keremangan malam.
Jalanan desa yang membujur dari timur ke barat di depan rumah itu juga tak kalah sepi. Tak seorangpun yang nampak melintas. Hanya suara nyanyian binatang malam yang sedikit menyemarakkan suasana di desa ini.
"Ah, setelah sepuluh tahun, desa ini sepertinya justru semakin sepi saja. Dulu, jam jam segini, desa ini masih terlihat semarak dengan anak anak yang bermain petak umpet atau gobak sodor. Tapi sekarang...., padahal malam ini terang bulan, dan cuaca juga lumayan cerah," desah Galih setelah menyeruput sedikit kopinya.
Tanpa sadar Galih tersenyum, manakala teringat dengan masa kecilnya dulu. Kemana perginya teman teman sepermainannya dulu? Tentu mereka sekarang juga sudah dewasa seperti dirinya. Apakah mereka juga hijrah ke kota seperti dirinya? Atau malah sudah pada berkeluarga? Ah, mungkin besok dia bisa berkeliling desa untuk mngunjungi mereka.
Senyum Galih semakin melebar. Entah kenapa, kesunyian desa ini justru menimbulkan rasa damai di hatinya. Sejuta angan mulai tumbuh di hatinya. Menyusun rencana untuk memulai kehidupan di desa yang menjadi tanah kelahirannya ini.
Namun rasa damai itu sedikit terusik, manakala ia teringat dengan kejadian yang ia alami saat siang tadi pergi berziarah ke makam desa. Sambutan beberapa warga yang terasa kurang ramah, membuat Galih sedikit ragu. Hari hari yang akan ia lalui di desa ini sepertinya tak akan mudah.
Dan orang berbaju biru yang mengintainya di pemakaman tadi? Galih tersenyum kecut, menyadari bahwa ia telah dipecundangi oleh seorang perempuan. Ya! Perempuan! Galih yakin kalau sosok berbaju biru yang menguntitnya itu adalah seorang perempuan, menilik dari kerudung yang dikenakannya. Sayangnya, Galih tak berhasil mengejarnya. Meski perempuan, tapi orang itu begitu gesit berlari diatara kerimbunan pohon bambu dan menghilang di balik rumah salah seorang warga. Bahkan sebelum Galih sempat melihat wajahnya.
"Mikirin apa sih Mas?" suara merdu Ajeng membuyarkan lamunan Galih. "Malam malam kok ngelamun lho!"
"Ah, enggak kok," Galih menggeser posisi duduknya, memberi tempat kepada Ajeng untuk duduk disebelahnya. "Bukannya melamun, hanya sedang meresapi suasana. Coba kamu rasakan, suasana malam yang sepi di desa ini, terasa begitu damai dan menenangkan hati."
"Ish! Mas Galih ini! Cowok kok melankolis gitu!" sungut Ajeng sambil duduk disebelah sang kakak.
"Hahaha...! Melankolis katamu?" Galih tertawa. "Desa ini Jeng, desa kelahiran kita. Duduk menikmati suasana malam seperti ini, mengingatkanku pada masa kecil dulu. Kamu..."
"Emmmm, mulai deh!" sela Ajeng memotong ucapan sang kakak. "Ndak usah mengingat ingat masa yang sudah lalu Mas. Nanti malah keinget yang enggak enggak."
"Yach!" Galih kembali menyeruput kopinya, sebelum melanjutkan ucapannya. "Sepahit apapun, yang namanya masa lalu itu..."
"Besok kita ke pasar ya Mas?" kembali Ajeng menyela ucapan sang kakak, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ke pasar?"
"Iya. Kata Arum besok hari pasar. Aku mau beli beberapa peralatan dapur yang sekiranya masih kita butuhkan."
"Kenapa tak kau ajak Arum saja? Besok rencananya aku mau ngajak Paklik Harno untuk melihat lihat sawah dan ladang kita yang katanya digarap oleh warga itu."
"Arum?" Ajeng setengah menggumam. "Iya juga ya! Belanja dengan sesama perempuan sepertinya akan lebih menyenangkan. Sama sekalian, besok aku mau membagi bagikan beras, gula sama teh ke tetangga ya Mas? Kita dibawain beras dan yang lain lainnya lumayan banyak tuh sama Budhe Katmi. Nggak apa apa kan kalau sebagian kita bagi bagikan ke tetangga? Itung itung sambil berkenalan dengan mereka."
"Kamu...?" Galih menatap sang adik dengan pandangan nanar.
"Kenapa Mas Galih menatapku seperti itu? Salah ya aku punya keinginan seperti itu?" tanya Ajeng.
"Enggak adikku," Galih tersenyum sambil mengelus ujung kepala Ajeng. "Niatmu itu, sama sekali tidak salah. Justru sebaliknya. Aku bangga, kamu bisa berpikir sampai sejauh itu."
"Jadi boleh aku bagi bagikan beras, gula, dan teh itu kepada para tetangga?"
"Tentu saja boleh. Besok siang saja, sepulang dari pasar. Kita sama sama mengunjungi tetangga tetangga kita. Sekalian aku juga ingin tau kabar teman teman masa kecil kita dulu."
"Asyiiiikkk...!!!" mata Ajeng berbinar. "Jadi tak sabar..."
"Bruaaakkk...!!!"
"Eh, apa apaan ini?"
Serempak Galih dan Ajeng berdiri, saat sebuah batu sebesar kepalan tangan yang terbungkus kertas melayang dan menghantam keras daun pintu rumah itu.
"Sialan! Berani beraninya!" Galih yang sekilas melihat sesosok bayangan berkelebat cepat di tengah kegelapan segera berlari ke tengah halaman. "Hei! Tunggu! Jangan lari kau! Brengsek! Ajeng! Masuk ke rumah dan kunci pintu! Jangan keluar sebelum aku kembali! Aku akan mengejar orang itu!"
"Maasss...!!!" seruan Ajeng tak diperdulikan lagi oleh Galih. Pemuda itu segera melesat mengejar sosok si pelempar batu yang berlari ke arah timur itu.
"Jangan harap kau bisa lolos dariku!" geram Galih sambil terus berlari mengejar sosok itu. Meski sudah sepuluh tahun ia tak pernah menginjakkan kaki lagi di desa ini, namun Galih masih sangat hafal seluk beluk desa ini. Dan ia tahu betul arah mana yang akan dituju oleh sosok itu. Maka, saat sosok itu terus berlari ke arah timur, Galih justru membelokkan arah larinya memasuki jalan setapak yang membelah kebun kosong milik warga. Diujung timur sana, jalan desa itu akan berbelok ke arah selatan, dan dengan memintas melalui jalan setapak itu, Galih yakin ia bisa mendahului sosok si pelempar batu itu dan meyergapnya dari balik kegelapan kebun.
Benar saja! Saat sampai di dekat tikungan itu, Galih bisa melihat sosok itu berjalan tergesa sambil sesekali menengok ke belakang. Sepertinya sedang memastikan kalau ia sudah tak diikuti lagi.
"Bagus!" Galih mendesis sambil merunduk dibalik rimbunnya semak semak. "Kau lengah! Mendekatlah kemari, biar aku bisa lebih mudah untuk menyergapmu!"
Sosok yang sepertinya tak menyadari bahwa sedang diintai itu kini berjalan pelan. Mungkin ia mengira kalau ia sudah tak dikejar lagi. Ini kesempatan bagus untuk Galih. Maka, saat sosok itu melintas tepat di depannya, Galih segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan menerkam sosok itu hingga keduanya jatuh bergulingan diatas jalanan yang becek berlumpur itu.
"Kena kau sekarang!" Galih sudah bersiap untuk melayangkan tinjunya, kalau saja ia tak segera mendengar seruan sosok itu yang membuat tangannya yang sudah siap memukul itu terhenti di udara.
"Awwww....!!! Lepaskan!" jerit sosok itu, membuat Galih tercekat, karena suara itu jelas adalah suara seorang perempuan.
"Kau?!" Galih menarik lengan sosok itu. "Bangun!"
"Lepaskan!" sentak gadis itu.
"Apa maksudmu melempari...! Hei! Tunggu! Kau kan...?" sambil tetap mencengkeram pergelangan tangan gadis itu, sebelah tangan Galih merenggut kerudung yang dikenakan oleh si gadis.
"Ah! Ya! Aku ingat! Kau yang siang tadi mengikutiku di pemakaman kan? Dan sekarang, kau melempari rumahku dengan batu! Apa maksudmu hah?! Apa masalahmu hingga kau meneror aku dan adikku seperti ini?! Jawab! Jangan hanya diam dan menunduk begitu!" bentak Galih keras, sambil terus memegangi pergelangan tangan si gadis yang terus meronta ronta mencoba melepaskan diri.
"Aku tidak bermaksud untuk menerormu!" gadis itu mengangkat wajahnya, membuat Galih bisa leluasa melihat wajah si gadis yang ...
"Ataga!" Galih tersentak kaget. Bias sinar rembulan membuat Galih bisa melihat dengan jelas bekas luka memanjang dibawah mata kiri gadis itu. Bekas luka yang membuat wajah si gadis yang sebenarnya lumayan cantik itu terkesan sedikit menyeramkan.
"Tidak bermaksud meneror?" ujar Galih sinis, masih sambil mencengkeram pergelangan tangan gadis itu. "Kau diam diam menguntitku ke kuburan siang tadi! Dan sekarang kau melempari rumahku dengan batu! Kau bilang itu bukan meneror?!"
"Aku hanya ingin meperingatkanmu!" dengus gadis itu. Nada suaranya terdengar lebih tenang kini. Bahkan terkesan agak dingin.
"Memperingatkan? Memperingatkan dari apa?!"
"Dari bahaya yang mengancam keselamatanmu, dan juga adikmu! Keputusanmu untuk kembali ke desa ini adalah salah! Lebih baik kalian kembali ke kota! Atau kalian akan celaka!"
"Cih! Omong kosong macam apa ini! Ini desaku! Desa tempat kelahiranku! Tak ada yang bisa..."
"Kau lupa dengan nasib yang menimpa kedua orang tuamu?"
"Hei! Jangan bawa bawa orang tuaku! Tau apa kau soal..."
"Aku tau segalanya tentangmu! Juga semua keluargamu! Karena itu, kuperingatkan agar kau dan adikmu itu segera enyah dari desa ini, sebelum sesuatu yang buruk menimpa kalian!"
"Sesuatu yang buruk?"
"Ya! Kalian akan mati kalau tetap berada di desa ini!"
"Omong kosong!"
"Terserah! Kau mau percaya atau tidak, itu urusanmu! Yang penting aku sudah memperingatkanmu! Sekarang, lepaskan tanganku, atau..."
"Atau apa?!"
"Atau aku akan berteriak minta tolong, dan orang orang desa akan berdatangan mengeroyokmu karena mengira kau akan merudapaksaku! Percayalah! Mereka akan lebih mepercayaiku daripada kau yang tak mereka kenal sama sekali!"
"Wedhus!" sontak Galih segera melepaskan cengkeraman tangannya pada pergelangan tangan gadis itu. Kesempatan itu tak disia siakan oleh si gadis yang segera melesat berlari menerobos semak semak di sisi jalan dan menghilang di tengah kegelapan.
"Hei! Tunggu! Kau...! Arrggghhh...! Sialan! Bisa bisanya...! Astaga! Ajeng!" ingat akan sang adik yang ia tinggalkan sendirian di rumah, Galih segera melupakan si gadis berwajah seram itu dan bergegas berlari kembali ke rumah.
Apa yang terjadi dengan Ajeng setelah kepergian Galih? Kita simak kisahnya di part selanjutnya!
bersambung