KOMUNITAS
Home / FORUM / All / Story / ... / Stories from the Heart /
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
KASKUS
51
244
https://www.kaskus.co.id/thread/5f097c33349d0f7f756c9282/cerita-silat-bersambung-----mahakala-yajna

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrek itu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
profile-picture
profile-picture
profile-picture
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh lonelylontong
53
Bab XXVI
Hukuman Untuk Gagak Seta


Tiga prajurit yang jadi lawan Gagak Seta berhasil menempatkan Gagak Seta di tengah kepungan. Sebaik-baiknya Gagak Seta mengambil posisi, hanya dua orang yang bisa dia amati, yang seorang lagi berada di belakangnya.

“Bagaimana? Kau serahkan surat itu atau tidak?”, tanya seorang prajurit yang ada di depannya.

Gagak Seta baru saja membuka mulut hendak menjawab, ketika matanya yang awas melihat kilatan di mata lawan. Dengan gesit dia bergerak ke samping, hampir sekejapan sebelum dia mulai bergerak telinganya yang tajam mendengar kesiuran angin dari arah belakang.

Serangan lawan datang begitu cepat, beruntung Gagak Seta bergerak sebelum mendengar serangan lawan.

Tendangan prajurit yang ada di belakangnya itu mendesir, melewati tubuh Gagak Seta. Dia tidak menyangka serangannya yang tiba-tiba dan dari arah belakang itu bisa dihindari Gagak Seta dengan sempurna.

Melihat kaki lawan tepat berada di sampingnya, Gagak Seta tidak membuang kesempatan, tangannya terbuka, sambil menerapkan ilmu yang baru dia pelajari dari salah satu gulungan lontar yang dia terima. Seiring dengan laju tangannya yang terbuka menangkap kaki lawan, samar-samar seperti terlihat bayangan membentuk cakar Garuda. Jurus pertama dari Sembilan Cakar Garuda, ilmu warisan yang diturunkan Ki Ageng Aras untuk para prajurit yang terpilih menjadi prajurit telik sandi.

Tanpa bisa dicegah lawan, pergelangan kakinya tertangkap dan terkunci oleh jurus Gagak Seta. Dengan mudah Gagak Seta menyusulkan sebuah sapuan, membuat lawan terhuyung jatuh ke atas tanah.

Dengan sekali putar, Gagak Seta membalikkan tubuh lawan, menginjak punggungnya, sementara satu kaki lawan masih terkunci erat oleh lima jarinya yang dengan kokoh menancap di pergelangan kaki lawan.

“Cukup!”, tiba-tibat terdengar suara bentakan dari arah bangunan yang terjaga ketat itu.

Gagak Seta, tiga prajurit yang menjadi lawan-nya, dan prajurit-prajurit lain yang menonton pertarungan mereka, menoleh ke arah suara tersebut berasal.

Senapati Glagah Wiru berdiri dengan mata menyala-nyala, di belakangnya terlihat beberapa orang bekel dan lurah. Salah satunya adalah Ki Lurah Basuki yang memberikan tugas pada Gagak Seta untuk mengantarkan surat ke Kadipaten Serayu.

Melihat Senapati Glagah Wiru dan Ki Lurah Basuki, Gagak Seta pun bernafas lega, cepat dia melepaskan prajurit yang tertangkap olehnya.

Kemudian dengan hormat dan sigap dia berjalan ke depan menyampaikan gulungan lontar di tangannya, “Hormat pada Ki Senapati, hamba membawa pesan dari Kadipaten Serayu, sesuai dengan tugas yang diembankan Ki Lurah Basuki.”

Senapati Glagah Wiru menoleh ke Ki Lurah Basuki yang ada di sampingnya dan Ki Lurah Basuki menganggukkan kepala, membenarkan keterangan Gagak Seta tersebut.

Senapati Glagah Wiru pun memberi tanda pada Ki Lurah Basuki, “Ambil.”

Bergegas Ki Lurah Basuki mengambil gulungan lontar yang diajukan Gagak Seta.

Ketika Ki Lurah Basuki sudah kembali di sisi Senapati Glagah Wiru, semua orang pun masih berdiri diam, menunggu perintah Senapati Glagah Wiru yang selanjutnya. Dengan mata masih menyala-nyala, Senapati Glagah Wiru memandang ke sekelilingnya. Ketika tatapan matanya jatuh kepada tiga orang prajurit yang menghadang Gagak Seta, ketiga prajurit itu pun tertunduk takut.

“Jelaskan.”, ujar Senapati Glagah Wiru singkat.

Dengan terbata-bata seorang dari tiga prajurit itu menjelaskan. Meski dia tidak berani berbohong di depan Senapati Glagah Wiru, tapi sedikit banyak penjelasannya lebih menekankan kesalahan pada Gagak Seta. Wajah Gagak Seta dan prajurit-prajurit yang baru saja diterima menjadi pasukan Adipati Jalak Kenikir terlihat masam.

Senapati Glagah Wiru mengerutkan alis, bukan hanya pandangan matanya yang tajam, sebagai seorang senapati yang pilih tanding, ke empat orang senapati andalan Adipati Jalan Kenikir, semuanya terlatih ilmu kanuragan dan ilmu batinnya.

Senapati Glagah Wiru bisa merasakan garis yang memisahkan prajurit yang lama dan prajurit yang baru. Para lurah dan bekel pun, diam-diam sudah sering menyampaikan situasi ini pada para senapati.

Setelah selesai prajurit itu menyampaikan cerita dari sisinya, Senapati Glagah Wiru tampak berpikir sejenak. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke arah Gagak Seta yang menunggu dengan hormat. Memang terlihat rasa kesal di wajahnya, namun pemuda itu dengan sabar menjaga mulutnya dan tidak melontarkan sanggahan.

Ketika dari gerombolan prajurit-prajurit yang menonton, terdengar bisik-bisik ketidak puasan, Gagak Seta yang menjadi korban justru memilih diam.

'Hmm... bukan hanya memiliki ilmu kanuragan yang cukup tangguh, pengendalian dirinya pun cukup baik. Jauh lebih baik daripada pendekar-pendekar dan pengelana yang lain.', pikir Senapati Glagah Wiru dalam hatinya.

Ketika pandangan matanya melihat prajurit-prajurit lama, Senapati Glagah Wiru bisa merasakan ketidak sukaan dan kecemburuan mereka pada prajurit-prajurit yang baru bergabung. Ada sikap merendahkan dan kecurigaan dalam pandangan mata mereka. Adipati Jalak Kenikir memang terlalu bernafsu saat berusaha mengembangkan kekuatan militer Kadipaten Jambangan, tapi itu bukannya tanpa alasan.

Akhirnya Senapati Glagah Wiru pun mengambil keputusan, dengan pandangan mata yang tajam dia memadang ke arah Gagak Seta, “Hmm... melaksanakan tugas dengan baik, tapi melanggar disiplin militer dengan berkelahi sesama prajurit.Ki Lurah Basuki dia anak buahmu kan? Tangkap dia dan kurung di ruang pendisiplinan prajurit selama tiga hari sebagai hukuman!”

Tanpa banyak cakap Senapati Glagah Wiru berjalan kembali masuk ke dalam bangunan yang terjaga itu. Sementara keputusannya itu pun mengundang perbincangan dari antara prajurit yang masih menonton.

Para prajurit lama memandang ke arah Gagak Seta dan prajurit-prajurit yang baru dengan dada membusung dan wajah terangkat.

Untuk sesaat lamanya hawa un terasa panas dan beberapa orang prajurit baru yang berlatar belakang orang-orang dunia persilatan, tampak sudah gatal tangannya untuk berkelahi. Namun sebelum suasana menjadi semakin panas, terdengar suara Senapati Glagah Wiru menggelegar, “SEMUANYA KEMBALI PADA TUGAS MASING-MASING!”

Suara Senapati Glagah Wiru memiliki perbawa tak kalah dengan bentakan Raden Rangga saat memimpin prajuritnya dalam pertempuran melawan begal-begal dari Gunung Awu.

Suara itu membawa perbawa yang menggetarkan hati mereka yang mendengarnya. Meski masih terdengar suara-suara tidak puas berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani melangkah lebih dari itu. Kerumunan itu pun bubar menuju ke tempat mereka bertugas masing-masing. Sementara Ki Lurah Basuki bersama beberapa orang prajurit, mengawal Gagak Seta menuju ke tempat prajurit-prajurit yang melanggar disiplin dikurung.

Sambil menggirin Gagak Seta ke tempat dia akan menjalani hukuman, Ki Lurah Basuki berusaha menenangkan pemuda itu, “Gagak Seta, kau jangan berkecil hati. Bukankah Ki Senapati tidak menjatuhkan hukuman badan? Hanya hukuman kurungan saja. Jadi menurutku yang sudah mengenal baik sifat Ki Senapati, beliau punya kesan yang baik terhadapmu.”

“Terima kasih Ki Lurah, aku juga tidak merasa keberatan dengan hukuman ini. Memang nyatanya aku sudah melanggar disiplin keprajuritan dengan berkelahi melawan rekan sesama prajurit.”, jawab Gagak Seta dengan rendah hati.

Prajurit yang menyertai Ki Lurah Basuki mendengus merendahkan. Ki Lurah Basuki menghela nafas, tapi saat dia melihat Gagak Seta tidak terpengaruh, Ki Lurah Basuki pun makin merasa kagum pada ketenangan pemuda itu. Tak lama mereka berjalan, mereka pun sampai ke sebuah bangunan kokoh yang terlihat suram, hanya ada satu pintu dan tidak ada jendela sama sekali.

Di depan pintu terlihat dua orang penjaga. Tanpa banyak cakap, mereka membuka pintu untuk Ki Lurah Basuki.

Di dalam bangunan itu, terlihat berderet ruang-ruang kecil yang tertutup rapat. Hanya ada dua lubang angin yang kecil saja di atas pintu, dan satu lubang kecil di bagian bawah pintu.

Saat akan menutup pintu, Ki Lurah Basuki berpesan, “Kau sabarlah, tiga hari mungkin terasa lama, tapi aku yakin kau bisa melaluinya.”

“Jangan kuatir Ki.”, jawab Gagak Seta sambil tersenyum.

Ki Lurah Basuki ingin mengatakan sesuatu yang bisa menguatkan Gagak Seta, tapi setelah berpikir beberapa saat, dia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Akhirnya dia hanya menganggukkan kepala, sebelum menutup pintu dan meninggalkan Gagak Seta dalam ruangan yang kecil dan gelap itu.

Gagak Seta berdiri dalam kegelapan, terdengar suara pintu yang berat tertutup dengan keras, disusul suara palang pintu dipasang.

Ruangan itu kecil, bau lembab bercampur samar-samar bau bekas kotoran manusia. Lantai ruangan itu hanya berupa tanah yang dipadatkan. Dengan lubang yang kecil saja, udara di dalam ruangan itu terasa pengap.

Gagak Seta menghela nafas panjang dan berdiri diam untuk beberapa lama. Setelah menunggu beberapa saat, matanya mulai bisa melihat bentuk ruangan tersebut. Ruangan itu benar-benar kosong, ukurannya hanya 4 x 3 langkah. Perlahan-lahan Gagak Seta berjalan dan memilih lokasi yang paling kering dan rata.

Dengan tenang pemuda itu pun duduk bersila dan mulai menutup mata.

Tiga hari waktu yang cukup panjang dan sejak Senapati Glagah Wiru memberikan keputusan, dia sudah tahu apa yang akan dia lakukan selama tiga hari itu.

Saat dia diangkat menjadi prajurit telik sandi, ada tiga gulungan lontar berisi ilmu yang diberikan padanya. Selama beberapa hari pertama, Gagak Seta sudah selesai membaca dan menghafalkan isi dari ketiga gulungan lontar itu.

Gulungan lontar pertama berisi ilmu meringankan tubuh, gulungan kedua berisi ilmu tombak pendek dan gulungan ketiga berisi ilmu cengkeraman tangan. Dari tiga ilmu itu, Gagak Seta hanya bisa meraba kulit luarnya saja.

Dengan tugas yang ada di tangan, Gagak Seta tak bisa menemukan waktu untuk menekuni satu pun dari ilmu itu.

Waktu tiga hari bisa terasa panjang, tapi bagi Gagak Seta, waktu tiga hari justru terasa kurang panjang, karena dia memiliki satu tujuan yang ingin dia capai. Meskipun tiga ilmu yang tertera di gulungan lontar itu hanya merangkum tingkatan-tingkatan dasarnya saja, tapi untuk menekuni sungguh-sungguh dan menamatkan ketiga ilmu itu Gagak Seta merasa dia akan butuh waktu yang cukup panjang, bahkan mungkin satu atua dua tahun, sebelum dia bisa benar-benar menguasainya dengan sempurna.

Karena itu Gagak Seta mengambil keputusan untuk menekuni salah satu saja dari tiga ilmu yang sudah dia hafalkan saat ini.

Dari tiga ilmu itu, Gagak Seta akhirnya memutuskan untuk mempelajari jurus-jurus cengkeraman tangan. Dia merasa ada kecocokan antara ilmu itu dengan dirinya. Ilmu ini melatih kecepatan gerak tubuh dan pemanfaatan ruang dalam pertarungan. Dalam hal serangan, ilmu ini menitik beratkan serangan dengan menggunakan seluruh bagian tangan siku, jari, telapak dan tinju. Selain berisi penjelasan mengenai gerak badan dan serangan. Dalam gulungan lontar itu juga dijelaskan tehnik-tehnik untuk menguatkan lengan, siku, telapak tangan dan jari-jari.

Tidak ada jalan singkat untuk mencapai kekuatan, hanya dengan latihan bertahun-tahun secara tekun dia bisa menyempurnakan kekuatan lengan, telapak dan jari tangan.

Namun sejak dia membaca gulungan lontar itu, Gagak Seta sudah mulai melatih lengan, telapak tangan dan jari-jarinya sesuai dengan tehnik yang diajarkan dalam gulungan lontar. Dia pun sudah merasakan perubahan pada bagian yang dia latih, meskipun masih jauh dari gambaran yang diberikan dalam gulungan lontar itu.

Waktu yang tiga hari ini, sudah dia putuskan untuk mematangkan jurus serangan pertama dari Sembilan Cakar Garuda. Satu jurus saja memiliki penjelasan yang cukup panjang, mengenai kembangan dan penggunaannya, menyesuaikan situasi dan lawan.

Dalam gelap dan kesunyian itu, mulailah Gagak Seta dengan sabar berusaha memahami penjelasan yang sudah dia hafalkan.

Sesekali dia akan berdiri dan mulai bergerak sesuai apa yang dia pahami.

Ketika dia sudah mulai lelah, dia akan kembali duduk bersila, mengatur nafas sambil merenungkan jurus pertama dari Sembilan Cakar Garuda itu.

Bersambung ke Bab XXVII
profile-picture
profile-picture
profile-picture
danjau dan 14 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh lonelylontong
profile picture
brigadexiii
KASKUS Addict
😅😅😅 ntar permaisuri nya 1 selirnya 4 karakternya beda" pula
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
×
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved
Ikuti KASKUS di