- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Nina Agustina: Saya Anak Dai Bachtiar


TS
mnotorious19150
Nina Agustina: Saya Anak Dai Bachtiar

HERALD.ID – Hari itu, matahari masih hangat ketika Nina Agustina, putri mantan Kapolri Dai Bachtiar, turun dari mobil kampanyenya. Nina melangkah pasti. Senyum kaku tersungging, namun tatapan matanya tajam, penuh peringatan. Pagi itu, ia tak datang untuk sekadar bersalaman; ia membawa pesan keras untuk mereka yang mengacungkan simbol berbeda.
Di antara kerumunan, terdengar seorang simpatisan yang tanpa sadar mengangkat dua jari, simbol yang dipahami banyak orang sebagai penanda damai atau dukungan. Namun, bagi Nina dan timnya, dua jari di udara adalah simbol yang lain—ancaman samar, penghinaan terhadap kehendak yang telah disematkan pada nomor urutnya, angka tiga.
“Saya anak mantan Kapolri, Dai Bachtiar!” ujarnya lantang.
Tak pelak, video singkat insiden itu beredar cepat di media sosial. Potongan yang memperlihatkan Nina mengucapkan ancamannya di tengah kerumunan langsung menuai respons keras. Dari satu akun Twitter, seorang pengguna mengunggah video tiga detik tersebut dengan caption singkat yang memancing tawa sekaligus sorotan: “Gara-gara salam dua jari, calon bupati marah-marah.”
Komentar-komentar mengalir deras, sebagian besar berisi kritikan tajam. “Arogan sekali!” tulis seorang pengguna Twitter dengan penuh rasa kecewa. Pengguna lain, @holopiscom, menanggapi dengan nada sarkastis, “Royal family Indramayu ini rupanya.”
Di balik kontroversi tersebut, tersembunyi ketegangan yang membelah suara masyarakat. Para pendukung setianya melihat Nina sebagai sosok pemimpin kuat, tak gentar untuk mengarahkan pendukung sesuai jalur yang telah ia tetapkan. Namun, bagi yang lain, ketegasan Nina berubah menjadi simbol arogansi, keangkuhan seorang kandidat yang tak segan menekan dengan pengaruh dan nama besar di belakangnya.
Namun, di atas semuanya, pertarungan simbol ini bukan sekadar tentang jari yang terangkat atau angka yang dipilih. Ia menyiratkan bagaimana ego dan kekuatan politik beradu di lapangan. Angka-angka berubah menjadi identitas, jari-jari di udara menjadi simbol yang memiliki bobot politis. Indramayu hari ini bukan hanya medan kampanye, tetapi panggung kecil yang memperlihatkan potret besar ambisi dan kekuatan di balik wajah-wajah yang tersenyum di baliho.
Hari itu, Nina Agustina, putri mantan Kapolri Dai Bachtiar, menjejakkan kaki di tengah sorak-sorai pendukungnya, mata berbinar penuh kepercayaan diri. Sebagai kandidat bupati Indramayu, ia melangkah mantap dengan iring-iringan pengawal dan rombongan yang menunjukkan kuasanya. Namun, suasana mendadak berubah saat satu-dua orang di kerumunan tanpa sadar mengangkat dua jari—suatu isyarat yang menyulut amarah dalam diri Nina.
“Ini saya, anak Dai Bachtiar! Jangan ada yang angkat jari selain tiga saat saya lewat!” suaranya tajam menggaung, sebuah peringatan yang menggetarkan beberapa orang di sekitar. Potongan video pernyataan ini, yang kemudian diunggah oleh akun Twitter @Flyingfighter27, langsung menyebar. “Siapa kamu sebenarnya? Anak mantan pejabat, tapi kelakuannya…” cuit akun tersebut dengan nada mengecam, menggambarkan Nina dengan kata-kata tajam yang tak bisa diabaikan.
Respon dari netizen mengalir deras. “Baru calon saja sudah arogan, apalagi nanti kalau jadi,” cuit pengguna @rch1018, menyindir dengan nada sinis. Di tengah sorotan, muncul pula komentar bernada kritik pedas, “Kalau memang anak Dai Bachtiar, terus kenapa? Jalan itu umum, siapapun bebas angkat jari berapa saja,” tulis @KKampul, menantang klaim kepemilikan Nina atas ruang publik.
Bukan hanya kata-kata keras yang muncul. Beberapa pengguna media sosial bahkan menyoroti sikapnya sebagai suatu blunder dalam ranah politik. @PEI464 menulis dengan nada getir, “Sebenarnya, kalau tidak marah-marah, ini bisa jadi kesempatan cari simpati. Cukup berhenti, ajak kenalan, suruh ajudan beli gorengan, es teh, duduk bareng sambil cerita lucu-lucuan… narasi yang bisa dipoles adalah ‘Cabup Indramayu bersenda gurau dengan pendukung lawan’—tapi ya, sayangnya sudah terlambat.”
Lalu, akun @PengamatFilm01 pun turut menasihati dengan nada getir. “Namanya disebut-sebut, Lucky Hakim sampai harus klarifikasi. Ibu calon bupati seharusnya lebih bijak, jangan prasangka buruk pada warga. Mereka itu, kan, rakyatnya, yang seharusnya ia ayomi, bukan malah dimarahi.”
Di balik kontroversi itu, publik menyaksikan pertunjukan kuasa yang menantang ekspektasi masyarakat tentang kepemimpinan. Lebih dari sekadar angka tiga atau simbol salam di udara, kisah ini membangkitkan kembali pertanyaan tentang arogansi dan otoritas. Sosok seorang pemimpin yang diharapkan bijaksana dan melindungi, justru berhadapan dengan dirinya sendiri dalam perang simbolik yang mencerminkan arogansi dan amarah.
Indramayu, di bawah sorotan kali ini, tak hanya menyaksikan langkah-langkah politik menuju pemilihan; ia juga menjadi panggung kecil yang menunjukkan bagaimana ego, ambisi, dan dorongan kuasa bercampur dalam satu bingkai. Di dunia maya, cuitan-cuitan itu menjadi gema, serupa dengan desakan, peringatan, dan harapan bagi setiap calon pemimpin untuk menyadari bahwa kekuasaan bukanlah panggung tunggal, melainkan jembatan menuju keberlanjutan masyarakat yang lebih baik.
herald.id
Quote:
Quote:
Jadi inget gif ini 😅
Quote:
Quote:
Diubah oleh mnotorious19150 05-11-2024 09:35






dragunov762mm dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1.2K
76


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan