- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
RUMAH PENGANTAR KEMATIAN - Dia mengintai danmenghabisi satu-persatu penghuni di sana


TS
wahyuariyantn
RUMAH PENGANTAR KEMATIAN - Dia mengintai danmenghabisi satu-persatu penghuni di sana

Spoiler for Bab 1 - Rumah Pengantar Kematian:
“Hallo, Mas Wahyu! Aku ada cerita, yang mungkin bisa untuk diceritakan. Cerita kelam, yang mungkin akan terus teringat entah sampai kapan, karena saat itu aku hampir mati” Ucap seseorang pria yang aku kenal melalui seorang kawan.
Saya menyebut pria ini dengan nama “Santo” . Usianya sekarang baru menginjak kepala tiga, dan saat kejadian kelam ini terjadi, Santo masih berusia 21 tahun dan sedang menjalani semester akhirnya sebagai seorang mahasiswa.
“Seumur hidup, baru itu aku banyak menemui kejanggalan dalam hidupku, Mas. Bahkan, sejak saat itu, mataku mampu melihat hal-hal yang sebelumnya sama sekali tidak aku percaya.” Ucap Santo.
Saya bisa merasakan kemalangan Santo pada saat itu. Di saat menceritakannya saja, wajah dan cara berbicaranya saja seperti menyimpan ketakutan yang belum hilang sampai sekarang.
“Cerita ini berawal, ketika keluargaku sedang runtuh secara ekonomi, lalu aku memutuskan untuk pindah kos-kosan yang lebih terjangkau untuk menekan pengeluaran. Tapi, keputusanku saat itu, malah mengantarkanku pada sebuah lingkaran hitam.”
Tanpa mengurangi setiap cerita yang Santo ceritakan, di sini saya hanya menuliskan menjadi sebuah sajian cerita agar bisa dibaca oleh banyak orang. Karena menurut Santo, pengalaman ini bisa dijadikan sebuah pembelajaran bagi setiap orang yang membaca dan mengetahuinya.
***
Bab 1
Tempat Baru
Hidup merantau dan jauh dari keluarga memang menuntut kemandirian bagi setiap orang yang menjalaninya. Menghadapi segala masalah hidup adalah salah satu keahlian yang mau tidak mau harus dimiliki saat memilh hidup merantau jauh dari rumah. Hal itu lah yang dialami oleh Santo, mahasiswa semester akhir di salah satu perguruan tinggi di kota “S”. Sudah hampir empat tahun Santo menjalani hidupnya menjadi seorang mahasiswa. Selama ini, hidupnya di perantauan selalu ketercukupan oleh orang tuanya. Biaya yang diberikan oleh orang tuanya cukup biaya kuliah, makan, bahkan uang untuk nongkrong sehari-harinya. Namun, jatah dari orang tuanya itu terancam berkurang, bahkan hilang karena bisnis orang tuanya yang seketika bangkrut karena ditipu oleh rekannya.
Sejak saat itu, Santo merasa bimbang, belum lama ia dikabari begitu, uang bulanan yang diberikan terakhir juga tidak ada setengah dari yang biasa diberikan orang tuanya. Melihat keadaan orang tuanya yang terpuruk saja sudah membuatnya tidak tega, apa lagi meminta uang lebih kepada mereka, Santo benar-benar bingung dengan kehidupannya selanjutnya. Uang dari orang tuanya hanya cukup untuk bayar kosnya saja, untuk makan entah dari mana. Mungkin, uang simpanannya sendiri cukup untuk makan satu bulan ke depan, tapi untuk bulan berikutnya? Ah, Santo yang malang, dia harus berpikir ulang, agar tetap mampu bertahan hidup di perantauan. Langkah pertama yang Santo lakukan adalah mencari kos-kosan baru yang jauh lebih murah. Sepanjang hari ia berselancar di dunia maya, berkeliling di kampung-kampung terdekat kampusnya hanya untuk mencari kos yang pas bagi kantongnya.
Satu minggu Santo mencari, namun belum membuahkan hasil, hingga, berita baik pun datang ketika ia sedang makan di salah satu warung tegal langganannya. Dia mendengar dua orang pemuda di sana sedang membicarakan kos-kosan murah yang lokasinya tidak jauh dari sini. Menyadari itu, sambil melahap nasi miliknya, Santo menguping pembicaraan mereka berdua.
“Kos neng endi kowe saiki? (Kos dimana kamu sekarang?)” tanya salah satu diantara mereka.
“Neng Tabuan, gur 300 ribu sewulan. (Di Tabuan, hanya 300 ribu satu bulan)” jawab temannya.
“Tapi, pas aku golek wingi ono sing luweh murah meneh, gur 175 ribu sewulan, halamane luas, tapi aku rak cocok karo dalane. (Tapi, waktu aku mencari kemarin, ada yang lebih murah, hanya 175 ribu satu bulan, halamannya luas, tapi aku nggak cocok dengan jalannya.)”
“Murah to kuwi, kenopo ora njupuk kuwi? Lha emang kenopo dalane? (Murah lah, kenapa tidak ambil itu saja? Memang kenapa dengan jalannya?)”
“Sempit, motorku ora muat lewat dalan kuwi. Nek muat ngono aku mesti njupuk kuwi. Wes murah, luas dan fasilitase ora bedo adoh seko kosku sing saiki (Sempit, motorku tidak muat lewat jalan itu. Kalau muat sih aku pasti ambil kos itu. Sudah murah, luas, dan fasilitasnya tidak jauh berbeda dengan kosku yang sekarang.)”
Mendengar itu, seketika Santo mempercepat makannya dan keluar warung setelah membayarnya. Santo duduk di bangku parkir yang terletak di depan warung untuk menunggu dua pemuda itu keluar dari warung. Beberapa menit kemudian..
“Mas” panggil Santo dengan lantang.
Mereka pun menoleh, melihat ke arah Santo. “Iya, Mas? Ada apa, ya?” tanya salah satu dari mereka.
“Maaf, saya dengar tadi masnya ada informasi kos murah yang masuk ke jalan sempit. Saya boleh minta alamatnya? Atau nomer hp pemiliknya? Saya kebetulan juga sedang mencari kos-kosan.” Ucap Santo menjelaskan.
“Ohhh.” Mereka pun tersenyum setelah mendengarkan Santo.
Dia yang memiliki alamat dan kontak pemilik kos itu pun dengan senang hati memberikan informasi itu kepada Santo. “Ini, Mas. Nggak dekat dari kampus sini, tapi ya nggak jauh juga. Sedengan lah kalau dari kampus.” Tandasnya. Setelahnya, Santo berterima kasih kepada mereka dan tanpa menunggu lagi, Santo berangkat ke alamat yang tertera di atas kertas pemberian pemuda tadi. Betul katanya, jaraknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat juga, namun daerahnya sedikit masuk dari keramaian jalanan. Santo melihat ke kanan dan kiri, mencari ciri-ciri rumah yang disebutkan orang tadi sambil menunggu balasan pesan dari pemilik kos.
Seiring motor Santo yang semakin masuk ke dalam kampung, ada pemandangan aneh yang ditangkap oleh mata Santo. Seorang laki-laki paruh baya tengah berdri mematung sambil menunjuk sebuah rumah yang berjarak sepuluh meter di depannya. Sebuah rumah yang ciri-cirinya mirip dengan rumah yang sedang Santo cari. Santo memperlambat motornya, menyapa laki-laki itu walau sedikit takut.
“Iku omah sing mbok goleki. (itu rumah yang kamu cari)” ucapnya.
Santo tercekat, dari mana dia tahu jika dirinya sedang mencari sebuah rumah di sekitar sini?
“Rumah apa, Pak?” sahut Santo secara spontan.
Laki-laki itu tak bergeming, tangannya masih terus menunjuk sebuah rumah. “Kae (itu)” ucapnya lagi.
Karena merasa aneh, Santo lebih memilih lekas meninggalkannya saja. “Iya, Pak. Maturnuwun.” Balas Santo sambil sedikit mengangkat ujung bibirnya.
“Catnya warna ungu, Mas. Di sebelahnya tanah kosong.” Begitu kata orang yang ia temui di warung makan tadi.
Santo memandangi rumah itu dengan seksama, semua ciri-cirinya mirip. Santo pun kembali merogoh HP nya. Bersamaan dengan itu HP nya bergetar, ternyata pemilik kos membalasnya, dan dia pun menyebutkan ciri-ciri kosnya persis seperti dengan apa yang Santo lihat sekarang. Sebuah rumah bercat ungu yang sedang direnovasi.
“Iya, Pak. Saya sudah di depan rumah.” Balas Santo lagi.
Seorang pria paruh baya mengenakan batik lengan panjang terlihat mendekat dari ujung jalan yang lain. Langkahnya tegak dengan satu batang rokok di tangannya.
“Yang mau lihat kos?” tanyanya saat mendekati Santo.
“Iya, Pak.” Jawab Santo.
“Saya Pak Suyono. Monggo, Mas.” Ucapnya sambil tersenyum.
Suara engsel pagar berdecit ketika Pak Suyono membukanya. “Mahasiswa baru, Mas?” tanyanya. Karena kebetulan belum lama masa orientasi mahasiswa baru dilaksanakan.
“Bukan, Pak. Saya sudah mahasiswa akhir dan lagi cari suasana baru saja.” Ucap Santo.
Santo kembali melihat ke tempat laki-laki paruh baya tadi, tapi, ternyata yang Santo lihat hanyalah kelengangan jalanan. “Ah sudah” Santo tidak ada waktu untuk memikirkannya.
Santo mengikuti langkah Pak Suyono, berjalan ke sebuah kamar yang berderet di belakang rumah. “Ini, Mas, kamar-kamarnya. Njenengan mau lihat yang mana?” Tutur Pak Suyono. Kamarnya terpisah dari rumah utama, berderet di belakang rumah dengan jumlah lima kamar.
“Memang ada berapa jenis kamar, Pak?”
“Satu saja, Mas. Sama semua kok.”
Santo terhenyak, apa semua kamarnya kosong? Pikir Santo.
“Ada berapa kamar yang kosong, Pak?” tanya Santo.
“Empat, Mas.”
Kelana terhenti sepersekian detik, kamarnya saja lima dan yang kosong empat?
“Awalnya yang terisi tiga, Mas. Tapi, yang dua kamar baru saja kemarin pamitan karena ngontrak bareng di perumahan depan.” Tutur Pak Suyono.
“Dan yang satu itu, dia bekerja di pabrik tas yang gak jauh dari sini, Mas. Tapi, orangnya sering luar kota jadi tidak selalu di sini.” Imbuhnya.
Santo mengangguk-angguk, penjelasan Pak Suyono tidak ada yang aneh, semuanya masuk di akal Santo. Saat melihat isian kamarnya, semuanya terlihat normal, bahkan cenderung murah dengan harga 175 ribu, bisa mendapatkan kos dengan fasilitas kasur, lemari pakaian dan kipas angin yang sudah menempel di dinding. Tak berlama-lama, Santo langsung mengiyakan. Walau dari kosnya yang sekarang jauh berbeda, tapi ini jauh lebih baik untuk keadaannya yang sekarang. Bisa untuk tidur dan istirahat sudah cukup baginya.
“Tapi, di sini minimal sewa tiga bulan ya, Mas. Jadi bayar sekaligus 3 bulan.” Ucap Pak Suyono.
“Waduh, tidak bisa per bulan saja, Pak?”
“Belum bisa, Mas hehe. Dari awal saya selalu begini.” Jawab Pak Suyono sambil tersenyum. Santo berpikir sebentar, mengkalkulasi ulang uang yang ia punya dan uang pemberian bapaknya apakah ada sisa untuk biaya makan selama satu bulan ini. Santo memikirkannya secara ketat, jika sembarangan, bisa-bisa dia mati kelaparan karena kehabisan uang.
“Baklah, Pak. Saya mulai pindah tiga hari lagi. Saya bayar lunas sekalian ya.” Ucap Santo seraya mengeluarkan uang di dalam dompetnya, totalnya 525 ribu.
“Maturnuwun, Mas.” Balas Pak Suyono seraya menerima uang pemberian Santo.
“Semoga betah dan kerasan tinggal di sini ya, Mas.” imbuhnya
(Bersambung)
***
Akan update setiap minggu!
Bab 2 - Bayangan Diantara Kegelapan
Diubah oleh wahyuariyantn 02-11-2023 09:19






bebyzha dan 18 lainnya memberi reputasi
19
2K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan