- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
SINGGAH DARAH


TS
qwertyping
SINGGAH DARAH

Quote:
Garis hidup bernama takdir tak memberikan banyak pilihan dalam hidup seseorang bernama Parman Supratman, lelaki teramat nekat– anak tunggal yang berasal dari keluarga sederhana kental dengan agama, telah bersepakat dengan keputusan hidup, untuk pergi menimba ilmu di bangku perkuliahan meninggalkan rumah serta kampung halaman tercintanya.
Kepergiannya hanya bermodalkan satu gelang emas pemberian Ibunda tercinta, harta satu-satunya yang dimiliki keluarganya itu menjadi bekal pertama dan terakhirnya, karena seribu niatan dan jutaan rencana yang telah Parman miliki, kelak di kota tujuannya akan mencari pekerjaan sampingan.
Rencana hanya sebuah angan dan tulisan dalam sebuah kertas kosong yang dapat terlaksana atau gagal sekalipun, hal itu juga yang langsung datang nenimpa Parman manakala kedua kakinya berhasil menginjak kota tujuannya, ia yang sedang mencari tempat tinggal (Kosan) malah dihadapkan dengan berbagai kejutan penuh misteri sebagai ucapan selamat datang pada dirinya.
Misreri perkenalannya dengan Darman adalah asal muasal dimana malapetaka perlahan datang begitu saja, persinggahannya atas tawaran manis Darman menarik paksa ia harus masuk dan mengungkap misteri penuh darah yang saling berkaitan.
Terror dan segala jenis kejanggalan bak tak ingin ketinggalan hinggap dalam diri Parman, hingga lambat namun pasti tujuannya datang ke kota itu kini berganti dengan satu pertanyaan yang selalu hadir dalam pikirannya– siapa perempuan penuh darah itu? garis takdir tak ingin memberikan jeda kepada Parman untuk mengungkap dibalik sebuah tempat yang dijadikannya pesinggahan, hingga korban dan tumbal saling berjatuhan dari masa lalu sampai sekarang.
Kepergiannya hanya bermodalkan satu gelang emas pemberian Ibunda tercinta, harta satu-satunya yang dimiliki keluarganya itu menjadi bekal pertama dan terakhirnya, karena seribu niatan dan jutaan rencana yang telah Parman miliki, kelak di kota tujuannya akan mencari pekerjaan sampingan.
Rencana hanya sebuah angan dan tulisan dalam sebuah kertas kosong yang dapat terlaksana atau gagal sekalipun, hal itu juga yang langsung datang nenimpa Parman manakala kedua kakinya berhasil menginjak kota tujuannya, ia yang sedang mencari tempat tinggal (Kosan) malah dihadapkan dengan berbagai kejutan penuh misteri sebagai ucapan selamat datang pada dirinya.
Misreri perkenalannya dengan Darman adalah asal muasal dimana malapetaka perlahan datang begitu saja, persinggahannya atas tawaran manis Darman menarik paksa ia harus masuk dan mengungkap misteri penuh darah yang saling berkaitan.
Terror dan segala jenis kejanggalan bak tak ingin ketinggalan hinggap dalam diri Parman, hingga lambat namun pasti tujuannya datang ke kota itu kini berganti dengan satu pertanyaan yang selalu hadir dalam pikirannya– siapa perempuan penuh darah itu? garis takdir tak ingin memberikan jeda kepada Parman untuk mengungkap dibalik sebuah tempat yang dijadikannya pesinggahan, hingga korban dan tumbal saling berjatuhan dari masa lalu sampai sekarang.
Spoiler for Part 1 - Penghuni Terakhir:
Langit kemerah-merahan baru saja hadir dari arah timur dengan segera memanggil pagi agar segera tiba, cahaya itu terlihat jelas dari sebuah jendela kamar dengan kayu tua usangnya, yang tidak jarang menjadi incaran rayap.
“Tabungan terakhir...”
Seorang pemuda sedang memegang erat celengan ayam, sebuah tempat yang selalu ia jadikan sebagai penyimpanan uang bertahun-tahun lamanya, yang didapatkan dari pekerjaan serabutan sejak masih duduk dibangku sekolah.
“Semoga cukup untuk bekal sementara saja.”
Pemuda itu sudah mempertimbangkan sebuah keputusan berat dalam hidup, mengambil sebuah langkah penuh resiko untuk melawan keadaan dan tetap percaya pada mimpi-mimpi indahnya– harus pergi dari rumah dan meninggalkan kampung halaman, untuk mengemban ilmu di bangku kuliah.
Brakkk!!!
Sebuah kayu pengganjal jendela dengan yakin ia gunakan untuk menghancurkan celengan, seketika membuat beberapa lembar uang dan koin berserakan di dekat sebuah amplop undangan dari sebuah universitas ternama, yang ditujukan untuk Parman Supratman agar segera melakukan pendaftaran ulang, dengan menyisakan waktu tiga hari sampai penutupan.
“Semalam suntuk sudah Mak bicarakan sama Abah...”
Parman yang sedang membereskan hasil uang tabungannya itu langsung berbalik badan.
“Tapi hanya ini benda satu-satunya yang semoga cukup untuk bayar kuliah kamu dari awal...”
Mak Asih sang ibunda tercinta sedang berusaha menahan air matanya itu tidak menetes melewati pipi tuanya, menyodorkan sebuah perhiasan gelang.
“Parman janji akan ganti Mak, disana Parman mau sambil cari pekerjaan sampingan juga,” jawab Parman sudah tidak bisa menolak pemberian Ibunya, karena sudah dibicarakan sejak beberapa hari kebelakang.
“Ja–jangan.”
“Doakan saja panen Abah berhasil beberapa bulan kedepan, Abah tidak akan sudi Man untuk meminta bayaran pada setiap orang yang Abah tolong,”
Bah Arif sudah berdiri didekat pintu kamar dan masih mengenakan sorban, menatap ke arah pecahan celengan ayam yang sudah hancur.
Parman hanya terdiam menyaksikan kedua orang tuanya yang sedang menyembunyikan kesedihannya, karena ia tidak dapat mengikuti keinginan sang Abah untuk mengemban ilmu menuju sebuah pesantren, agar kelak dapat meneruskan cita-cita Bah Arif, terlebih ia adalah anak lelaki semata wayang.
“Balas semua kepercayaan Abah dan Mak kamu dengan Ibadah kamu disana, dan jangan lupa memberikan kabar, serta pulang ke rumah sederhana ini,” ucap Bah Arif kemudian pergi begitu saja, disusul usapan tangan Mak Asih berkali-kali ke arah kepala Parman, sebuah usapan yang ditandai doa dalam hatinya yang terus Mak Asih lantunkan.
“Ti–tidak biasanya wajah Abah seperti itu, tidak mungkin hanya cemas saja,” bisik hati Parman.
***
Kereta kelas ekonomi lokal baru saja melaju di jadwal keberangkatan siang yang akan membawa Parman menuju salah satu kota, dan akan tiba sore nanti.
Satu tas berukuran besar sudah Parman jepit mengenakan kedua pahanya, pandangan matanya terus saja melihat ke arah samping kaca kereta yang menampakan pemandang indah, namun tidak dengan perasaan yang menyelimuti Parman.
“Kejadian di rumah seharusnya tidak aku pikirkan!” tegasnya.
Sakitnya Bah Arif yang mendadak tanpa alasan, hingga sebuah pas foto alakadarnya yang terbuat dari bingkai kaca yang jatuh ketika ia berpamitan dan diantarkan Mak Asih keluar rumah terus menghantui pikirannya.
Terlebih sejak Parman sudah beberapa langkah meninggalkan rumah tidak biasanya Mak Asih mengengam telepon jaman dulu milik Bah Arif dan terlihat seperti berbicara dengan seseorang dengan raut wajah cemasnya. “Mungkin itu Pak Mantri dari kampung sebelah yang akan memeriksa keadaan Abah,” bisik hati Parman, berusaha mengabaikan kejadian di rumahnya yang ia rasa aneh itu.
“Maaf boleh ikut duduk disebelah.”
Suara lelaki seumuran Bah Arif terdengar kencang, sambil menepuk pundak Parman, mengalahkan suara laju kereta api yang cukup berisik.
“Bo–boleh silahkan Pak.”
Parman baru menyadari lelaki tua yang mengenakan topi hitam cukup lusuh itu sedari tadi berkeringat, duduknya seperti tidak tenang dan beberapa kali terus mengetik diatas handphonenya, sudah tidak terhitung lelaki tua itu membenarkan jaket kulit yang menempel di tubuhnya, membuat Parman semakin memperhatikan mengenakan ujung matanya.
Baru saja Parman mendapati sesuatu dari penglihatannya ke arah saku dalam jaket kulit yaitu sebuah kain putih yang terdapat noda darah yang cukup kental.
“Da–darah!” bisik hati Parman.
“Tujuan mana?”
Segera Parman perlihatkan selembar tiket yang sedari tadi ia pegang, sambil berusaha untuk membuat dirinya tenang.
“Kuliah?”
“Baru mau daftar ulang Pak.”
“Tujuannya sama dengan saya.”
Kepala lelaki tua itu hanya mengangguk, namun seperti tahu ketidak piawainya Parman menyembunyikan ketakutan atas apa yang ia lihat barusan.
Mulut lelaki tua itu seperti berbicara sesuatu namun tidak dapat didengar jelas oleh Parman.
“Maaf Pak bicara apa? Saya tidak dengar.”
Belum sempat Parman mendengar suara lelaki tua, tiba-tiba matanya sayu disusul gelengan kepala merespon pandangan matanya yang semakin buyar.
***
“Bangun! Tujuan kota ini, kan? Ayo turun!”
Lelaki jauh lebih muda dari seseorang yang sebelumnya duduk disebelah Parman menepuk pundaknya, hingga ia terburu-buru berdiri, karena sudah mendengar peringatan bahwa kereta api tidak akan lama lagi segera melaju.
“Mana lelaki tua barusan!” tegas Parman yang masih belum ingat kenapa ia bisa tertidur begitu lelap dan berjam-jam, namun ia ingat ucapan lelaki tua terakhir bahwa ia turun di kota yang sama.
Parman yang baru pertama menginjakan kaki di stasiun kota sedikit kebingungan apalagi ia sedang berusaha mengingat kejadian barusan di dalam kereta, dengan kain putih penuh darah.
“Ti–tidak mungkin darah binatang, lelaki itu tidak membawa apapun...”
“Seperti darah manusia!”
Parman dengan hatinya terus berusaha meyakinkan bahwa kedua bola matanya itu tidak salah melihat, ia terus mengikuti langkah orang-orang yang baru turun dengan tujuan kota yang sama untuk menuju jalan keluar stasiun.
“Ada yang mengikuti!” bisik hatinya.
Seseorang dengan perawakan tegap sambil menempelkan handphone di dekat telinganya, terus mengikutinya dari belakang dengan tatapan seolah ingin memakannya hidup-hidup.
“Hampir saja! Yakin bukan orang baik!” tegas Parman berhasil lolos dari orang yang membuatnya curiga itu.
“Padahal tujuanku baik datang ke kota ini, kenapa sudah dua kali berjumpa dengan orang-orang aneh,” bisiknya heran.
...
Langit sore perlahan meredup dengan sinar kuning keemasannya menyorot hiruk pikuk kota, namun berbalik dengan tumbuhnya rasa penasaran dalam diri Parman pada lelaki tua yang membuatnya bisa lupa kejadian berjam-jam di dalam kereta.
Suara berisiknya klakson kendaraan roda dua hingga roda empat menjadi hal pertama yang Parman dengar, sambil melihat sebuah pesan masuk ke dalam handphone yang tidak memiliki daya tahan baterai lama.
“Abah sudah membaik, semoga malam ini kamu sudah menemukan tempat untuk tidur sementara Man,”
Pesan dari Mak Asih sudah Parman baca, membuat ia harus melakukan langkah cepat mencari angkutan umum, menuju alamat yang ada dalam surat kampus yang sudah dikeluarkan dalam tas besarnya, apalagi belum tahu sama sekali jalan-jalan di kota ini, dan harus segera melupakan segala kejadian aneh barusan.
Kedua bola mata Parman masih mencari orang yang akan ia tanyakan alamat, namun ia malah mendapati lelaki tegap cukup jauh berdiri, sambil menganggukan kepala ke arahnya, namun perlahan mundur begitu saja.
“Aneh!” bisik hati Parman.
“Sudah ada kosan? Apa masih mencari?”
Detak jantung Parman bak ingin lepas, pandangan matanya seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat, dengan gelap malam yang baru saja tiba itu.
“Lah jadi melamun! Saya tanya, siapa tau butuh tumpangan saya antar ke kosan kamu.” Ucap lelaki tua duduk diatas motor tuanya, suaranya membuyarkan lamunan Parman.
“Ma–masih nyari tempat sementara Pak,” jawab Parman masih menatap ke arah jaket kulit yang sama, ketika ia lihat lelaki tua itu duduk disebelahnya.
“Jangan takut, saya Darman orang baik, lap yang kamu lihat penuh darah didalam saku jaket ini, bekas mengelap darah disini,” ucap Darman menunjukan luka cukup dalam di telapak tanganya, yang sudah ia lilitkan kain putih baru.
Huhhh!!
Parman hanya menghembuskan nafasnya cukup panjang, setelah terhindar dari orang yang mengejarnya, lelaki tua itu memberinya penjelasan masuk akal.
“Dengan tas sebesar itu dan dari tujuan kamu daftar kuliah, serta pandangan mata kamu kebingungan sepertinya mencari tempat tinggal,” tebak Darman sambil membakar rokoknya.
“Benar Pak,” jawab Parman singkat, masih memperhatikan dengan teliti sosok orang yang baru ia kenal.
“Kampus ini?” tanya Darman menjelaskan sebuah tempat yang bertepatan dengan tujuan Parman.
Parman hanya mengangguk dengan tebakan Darman yang sama sekali tidak meleset.
“Saya kerja sebagai penjaga kosan dan pengurus kebun disalah satu rumah yang dijadikan kosan,” ucap Darman.
“Ada kamar kosong Pak?” tanya Parman yang merasa kebetulan.
“Sayangnya penuh, tapi...” jawab Darman menghisap rokoknya dengan dalam, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Ta–tapi gimana Pak, maaf.” Tanya Parman semakin penasaran.
“Tapi ada satu kamar kosong, tidak terlalu bagus namun sepertinya cukup, begini saja...” jawab Darman setelah mengangguk berkali-kali.
“Mau ganti pekerjaan saya selama satu sampai tiga bulan, saya ada kerjaan keluar kota dengan Ibu dan Bapak pemilik rumah kosan itu, sebagai imbalan kamu bisa gratis makan dan tinggal, gimana? Apalagi saya tahu pemuda rantau seperti kamu,” tambah Darman menjelaskan.
Bak disambar petir di siang bolong, Parman langsung menyetujui tawaran Darman yang semakin membenarkan bahwa Darman adalah orang baik, dan pekerjaan berkebun sering Parman lakukan di kampung halamannya.
“Terimakasih Pak, saya mau sekali,” jawab Parman.
“Memang sudah takdir!” tegas Darman penuh arti.
“Ma–maksudnya Pak, takdir?” tanya Parman heran dengan ucapannya.
“Sudah ayo naik, takut semakin larut malam nanti terjebak macet!” tegas Darman sambil tersenyum penuh arti.
***
Sudah hampir setengah jam kendaraan roda dua tua segera melaju dengan gesit melewati kemacetan kota, Parman terus saja memperhatikan jalanan dari arah stasiun menuju tempat yang akan dituju Darman.
“Ini kampusnya...”
“Tidak akan jauh nanti kamu bisa jalan kaki, atau naik sepeda,” ucap Darman.
“Iyah Pak, dekat.” Jawab Parman semberingah, sesuai dengan alamat yang ia tuju.
“Siapa nama kamu? Dari tadi saya lupa tidak menanyakan hal itu,” tanya Darman, setelah hampir sampai.
“Parman Pak, hampir sama dengan nama Bapak,” jawab Parman sambil kulit dahinya mengkerut heran dengan sebuah rumah memiliki gerbang besar, berada jauh dari rumah-rumah lainnya, dengan samping kanan dan kiri dibalut tembok tinggi.
“Bagus, tidak salah lagi.” Ucap Darman semberingah, seolah ia mendapatkan sesuatu dari pikirannya itu, seperti sudah tahu dengan nama Parman.
Ucapan Darman sama sekali tidak dijawab oleh Parman, ia lebih memilih memperhatikan rumah luas dengan gaya bangunan lama seperti tidak pernah direnovasi sejak pertama berdiri, dan sudah terlihat mobil mewah terparkir.
“Darman! Kemari!” teriak seorang lelaki tampan jauh lebih muda dari Darman, baru keluar dari pintu depan rumah kosan.
“Itu yang punya kosan ini, Pak Anjar namanya, tunggu disini,” ucap Darman tergesa-gesa.
Darman langsung menunjukan bekas lukanya di hadapan Pak Anjar, kemudian menunjuk ke arah Parman, membuat Pak Anjar tersenyum lebar, tidak berselang lama keluarlah perempuan yang sangat cantik hampir seumuran dengan Pak Anjar, langsung menatap ke arah Parman.
“Seperti sedang membicarakan diriku,” bisik hati Parman.
“Parman sini!” teriak Darman.
Membuat Parman langsung berjalan tergesa-gesa, dan langsung mencium tangan Pak Anjar dan perempuan disampingnya.
“Yang betah yah, silahkan isi kamar kosong di dalam nanti dibantu Darman membereskan, dan bantu bereskan rumah dan kebun belakang yah, karena mulai besok Darman pergi bareng saya dan Bapak,” ucap perempuan memperkenal namanya Ibu Diah Rahayu.
Parman hanya menganggukan kepalanya pertanda setuju dan itu bukan pekerjaan sulit baginya, kini segala kecemasan dalam dirinya berganti dengan kepercayaan, bahkan ia masih tidak menyangka bahwa segala kemudahan menghampiri dirinya.
“Sepeda dibelakang, bekas Si Putri benerkan dulu Darman malam ini, biar besok bisa di pakai Parman ke kampusnya,” sahut Pak Anjar.
Sambutan selamat datang dari Pak Anjar dan Ibu Diah Rahayu membuat Parman seperti mempunyai keluarga baru, walau setelah Darman jelaskan bahwa mereka tidak tinggal di rumah ini.
“Nanti pagi ada Mak Amih pembantu yang tiap pagi dan sore atau malam masak untuk anak-anak kosan, di dalam ada enam kamar, empat perempuan sisanya laki-laki nanti juga kamu kenalan, ayo masuk!” ucap Parman menjelaskan, setelah mobil mewah itu pergi, namun Parman merasa aneh ketika Pak Anjar melemparkan senyum lain ke arah Darman sebelum masuk ke dalam mobilnya.
...
“Semua memegang kunci kamar, dan pintu depan serta gerbang, jadi bebas mau pulang kapan saja, biasanya penghuni disini pulang larut malam,” ucap Darman membuyarkan lamunan Parman ketika merasakan suasana aneh di dalam rumah yang sangat luas, apalagi ia sudah berjalan dari arah depan sampai ke halaman belakang.
“Itu sumur Pak?” tanya Parman.
“Benar, kamar yang kamu tempati nanti disebelah sana, paling belakang yah, kamar mandinya di luar tapi, tidak apa-apa kan?” jawab Darman.
“Tidak Pak, sudah terbiasa di kampung juga,” jawab Parman, kini langkahnya terhenti ketika melihat kebun belakang dengan tumbuh rumput yang tinggi, dan beberap pohon jati yang menjulang.
“Ayo!” tegas Darman.
Dengan cepat Darman mengeluarkan sebuah kunci, namun mata Parman merasa heran dengan gembok besar yang menggantung di pintu kamar yang terlihat paling tua diantara kamar-kamar lainnya yang ia lihat di depan barusan, bahkan Darman terlihat kesulitan membukanya, dengan lilitan kain putihnya semakin penuh dengan darah.
Clekkkk!
“Ini, silahkan masuk, sudah beres di dalam,” ucap Darman kemudian pergi begitu saja meninggalkan Parman, menuju ke arah gudang tempat dimana sepeda yang akan diperbaiki.
Kamar berukuran cukup luas dengan ranjang dan lemari serta cermin tua hal pertama yang menyambut Parman.
“Seperti bekas kamar perempuan,”
“Sudah lama tidak digunakan,”
Krekettt!
Dengan perlahan Parman membuka pintu lemari, bahkan masih menyisakan debu, baru saja ia membuka lemari tua terdengar sebuah langkah seretan kaki di belakang tubuhnya, membuat ia langsung melihat ke arah cermin di samping lemari.
“Siapa?!!!” tegas Parman kaget, mendapati sesuatu dari pantulan cermin itu.
Seorang perempuan cantik dengan wajah pucat sudah berdiri dibelakang tubuh Parman, rambut indahnya terurai panjang, seketika perempuan itu melemparkan semyum manisnya sambil perlahan mengangkat tangan kanannya, menunjukan sebuah lilitan kain putih yang mengikat di telapak tangannya itu penuh darah.
Brukk!!!
Tiba-tiba pintu kamar tertutup kencang dengan sendirinya, bersamaan dengan senyum Darman dari arah gudang, bak sebuah pertanda yang sudah ia nantikan malam ini setelah membawa penghuni terakhir.
***
(Bersambung part 2)
“Tabungan terakhir...”
Seorang pemuda sedang memegang erat celengan ayam, sebuah tempat yang selalu ia jadikan sebagai penyimpanan uang bertahun-tahun lamanya, yang didapatkan dari pekerjaan serabutan sejak masih duduk dibangku sekolah.
“Semoga cukup untuk bekal sementara saja.”
Pemuda itu sudah mempertimbangkan sebuah keputusan berat dalam hidup, mengambil sebuah langkah penuh resiko untuk melawan keadaan dan tetap percaya pada mimpi-mimpi indahnya– harus pergi dari rumah dan meninggalkan kampung halaman, untuk mengemban ilmu di bangku kuliah.
Brakkk!!!
Sebuah kayu pengganjal jendela dengan yakin ia gunakan untuk menghancurkan celengan, seketika membuat beberapa lembar uang dan koin berserakan di dekat sebuah amplop undangan dari sebuah universitas ternama, yang ditujukan untuk Parman Supratman agar segera melakukan pendaftaran ulang, dengan menyisakan waktu tiga hari sampai penutupan.
“Semalam suntuk sudah Mak bicarakan sama Abah...”
Parman yang sedang membereskan hasil uang tabungannya itu langsung berbalik badan.
“Tapi hanya ini benda satu-satunya yang semoga cukup untuk bayar kuliah kamu dari awal...”
Mak Asih sang ibunda tercinta sedang berusaha menahan air matanya itu tidak menetes melewati pipi tuanya, menyodorkan sebuah perhiasan gelang.
“Parman janji akan ganti Mak, disana Parman mau sambil cari pekerjaan sampingan juga,” jawab Parman sudah tidak bisa menolak pemberian Ibunya, karena sudah dibicarakan sejak beberapa hari kebelakang.
“Ja–jangan.”
“Doakan saja panen Abah berhasil beberapa bulan kedepan, Abah tidak akan sudi Man untuk meminta bayaran pada setiap orang yang Abah tolong,”
Bah Arif sudah berdiri didekat pintu kamar dan masih mengenakan sorban, menatap ke arah pecahan celengan ayam yang sudah hancur.
Parman hanya terdiam menyaksikan kedua orang tuanya yang sedang menyembunyikan kesedihannya, karena ia tidak dapat mengikuti keinginan sang Abah untuk mengemban ilmu menuju sebuah pesantren, agar kelak dapat meneruskan cita-cita Bah Arif, terlebih ia adalah anak lelaki semata wayang.
“Balas semua kepercayaan Abah dan Mak kamu dengan Ibadah kamu disana, dan jangan lupa memberikan kabar, serta pulang ke rumah sederhana ini,” ucap Bah Arif kemudian pergi begitu saja, disusul usapan tangan Mak Asih berkali-kali ke arah kepala Parman, sebuah usapan yang ditandai doa dalam hatinya yang terus Mak Asih lantunkan.
“Ti–tidak biasanya wajah Abah seperti itu, tidak mungkin hanya cemas saja,” bisik hati Parman.
***
Kereta kelas ekonomi lokal baru saja melaju di jadwal keberangkatan siang yang akan membawa Parman menuju salah satu kota, dan akan tiba sore nanti.
Satu tas berukuran besar sudah Parman jepit mengenakan kedua pahanya, pandangan matanya terus saja melihat ke arah samping kaca kereta yang menampakan pemandang indah, namun tidak dengan perasaan yang menyelimuti Parman.
“Kejadian di rumah seharusnya tidak aku pikirkan!” tegasnya.
Sakitnya Bah Arif yang mendadak tanpa alasan, hingga sebuah pas foto alakadarnya yang terbuat dari bingkai kaca yang jatuh ketika ia berpamitan dan diantarkan Mak Asih keluar rumah terus menghantui pikirannya.
Terlebih sejak Parman sudah beberapa langkah meninggalkan rumah tidak biasanya Mak Asih mengengam telepon jaman dulu milik Bah Arif dan terlihat seperti berbicara dengan seseorang dengan raut wajah cemasnya. “Mungkin itu Pak Mantri dari kampung sebelah yang akan memeriksa keadaan Abah,” bisik hati Parman, berusaha mengabaikan kejadian di rumahnya yang ia rasa aneh itu.
“Maaf boleh ikut duduk disebelah.”
Suara lelaki seumuran Bah Arif terdengar kencang, sambil menepuk pundak Parman, mengalahkan suara laju kereta api yang cukup berisik.
“Bo–boleh silahkan Pak.”
Parman baru menyadari lelaki tua yang mengenakan topi hitam cukup lusuh itu sedari tadi berkeringat, duduknya seperti tidak tenang dan beberapa kali terus mengetik diatas handphonenya, sudah tidak terhitung lelaki tua itu membenarkan jaket kulit yang menempel di tubuhnya, membuat Parman semakin memperhatikan mengenakan ujung matanya.
Baru saja Parman mendapati sesuatu dari penglihatannya ke arah saku dalam jaket kulit yaitu sebuah kain putih yang terdapat noda darah yang cukup kental.
“Da–darah!” bisik hati Parman.
“Tujuan mana?”
Segera Parman perlihatkan selembar tiket yang sedari tadi ia pegang, sambil berusaha untuk membuat dirinya tenang.
“Kuliah?”
“Baru mau daftar ulang Pak.”
“Tujuannya sama dengan saya.”
Kepala lelaki tua itu hanya mengangguk, namun seperti tahu ketidak piawainya Parman menyembunyikan ketakutan atas apa yang ia lihat barusan.
Mulut lelaki tua itu seperti berbicara sesuatu namun tidak dapat didengar jelas oleh Parman.
“Maaf Pak bicara apa? Saya tidak dengar.”
Belum sempat Parman mendengar suara lelaki tua, tiba-tiba matanya sayu disusul gelengan kepala merespon pandangan matanya yang semakin buyar.
***
“Bangun! Tujuan kota ini, kan? Ayo turun!”
Lelaki jauh lebih muda dari seseorang yang sebelumnya duduk disebelah Parman menepuk pundaknya, hingga ia terburu-buru berdiri, karena sudah mendengar peringatan bahwa kereta api tidak akan lama lagi segera melaju.
“Mana lelaki tua barusan!” tegas Parman yang masih belum ingat kenapa ia bisa tertidur begitu lelap dan berjam-jam, namun ia ingat ucapan lelaki tua terakhir bahwa ia turun di kota yang sama.
Parman yang baru pertama menginjakan kaki di stasiun kota sedikit kebingungan apalagi ia sedang berusaha mengingat kejadian barusan di dalam kereta, dengan kain putih penuh darah.
“Ti–tidak mungkin darah binatang, lelaki itu tidak membawa apapun...”
“Seperti darah manusia!”
Parman dengan hatinya terus berusaha meyakinkan bahwa kedua bola matanya itu tidak salah melihat, ia terus mengikuti langkah orang-orang yang baru turun dengan tujuan kota yang sama untuk menuju jalan keluar stasiun.
“Ada yang mengikuti!” bisik hatinya.
Seseorang dengan perawakan tegap sambil menempelkan handphone di dekat telinganya, terus mengikutinya dari belakang dengan tatapan seolah ingin memakannya hidup-hidup.
“Hampir saja! Yakin bukan orang baik!” tegas Parman berhasil lolos dari orang yang membuatnya curiga itu.
“Padahal tujuanku baik datang ke kota ini, kenapa sudah dua kali berjumpa dengan orang-orang aneh,” bisiknya heran.
...
Langit sore perlahan meredup dengan sinar kuning keemasannya menyorot hiruk pikuk kota, namun berbalik dengan tumbuhnya rasa penasaran dalam diri Parman pada lelaki tua yang membuatnya bisa lupa kejadian berjam-jam di dalam kereta.
Suara berisiknya klakson kendaraan roda dua hingga roda empat menjadi hal pertama yang Parman dengar, sambil melihat sebuah pesan masuk ke dalam handphone yang tidak memiliki daya tahan baterai lama.
“Abah sudah membaik, semoga malam ini kamu sudah menemukan tempat untuk tidur sementara Man,”
Pesan dari Mak Asih sudah Parman baca, membuat ia harus melakukan langkah cepat mencari angkutan umum, menuju alamat yang ada dalam surat kampus yang sudah dikeluarkan dalam tas besarnya, apalagi belum tahu sama sekali jalan-jalan di kota ini, dan harus segera melupakan segala kejadian aneh barusan.
Kedua bola mata Parman masih mencari orang yang akan ia tanyakan alamat, namun ia malah mendapati lelaki tegap cukup jauh berdiri, sambil menganggukan kepala ke arahnya, namun perlahan mundur begitu saja.
“Aneh!” bisik hati Parman.
“Sudah ada kosan? Apa masih mencari?”
Detak jantung Parman bak ingin lepas, pandangan matanya seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat, dengan gelap malam yang baru saja tiba itu.
“Lah jadi melamun! Saya tanya, siapa tau butuh tumpangan saya antar ke kosan kamu.” Ucap lelaki tua duduk diatas motor tuanya, suaranya membuyarkan lamunan Parman.
“Ma–masih nyari tempat sementara Pak,” jawab Parman masih menatap ke arah jaket kulit yang sama, ketika ia lihat lelaki tua itu duduk disebelahnya.
“Jangan takut, saya Darman orang baik, lap yang kamu lihat penuh darah didalam saku jaket ini, bekas mengelap darah disini,” ucap Darman menunjukan luka cukup dalam di telapak tanganya, yang sudah ia lilitkan kain putih baru.
Huhhh!!
Parman hanya menghembuskan nafasnya cukup panjang, setelah terhindar dari orang yang mengejarnya, lelaki tua itu memberinya penjelasan masuk akal.
“Dengan tas sebesar itu dan dari tujuan kamu daftar kuliah, serta pandangan mata kamu kebingungan sepertinya mencari tempat tinggal,” tebak Darman sambil membakar rokoknya.
“Benar Pak,” jawab Parman singkat, masih memperhatikan dengan teliti sosok orang yang baru ia kenal.
“Kampus ini?” tanya Darman menjelaskan sebuah tempat yang bertepatan dengan tujuan Parman.
Parman hanya mengangguk dengan tebakan Darman yang sama sekali tidak meleset.
“Saya kerja sebagai penjaga kosan dan pengurus kebun disalah satu rumah yang dijadikan kosan,” ucap Darman.
“Ada kamar kosong Pak?” tanya Parman yang merasa kebetulan.
“Sayangnya penuh, tapi...” jawab Darman menghisap rokoknya dengan dalam, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Ta–tapi gimana Pak, maaf.” Tanya Parman semakin penasaran.
“Tapi ada satu kamar kosong, tidak terlalu bagus namun sepertinya cukup, begini saja...” jawab Darman setelah mengangguk berkali-kali.
“Mau ganti pekerjaan saya selama satu sampai tiga bulan, saya ada kerjaan keluar kota dengan Ibu dan Bapak pemilik rumah kosan itu, sebagai imbalan kamu bisa gratis makan dan tinggal, gimana? Apalagi saya tahu pemuda rantau seperti kamu,” tambah Darman menjelaskan.
Bak disambar petir di siang bolong, Parman langsung menyetujui tawaran Darman yang semakin membenarkan bahwa Darman adalah orang baik, dan pekerjaan berkebun sering Parman lakukan di kampung halamannya.
“Terimakasih Pak, saya mau sekali,” jawab Parman.
“Memang sudah takdir!” tegas Darman penuh arti.
“Ma–maksudnya Pak, takdir?” tanya Parman heran dengan ucapannya.
“Sudah ayo naik, takut semakin larut malam nanti terjebak macet!” tegas Darman sambil tersenyum penuh arti.
***
Sudah hampir setengah jam kendaraan roda dua tua segera melaju dengan gesit melewati kemacetan kota, Parman terus saja memperhatikan jalanan dari arah stasiun menuju tempat yang akan dituju Darman.
“Ini kampusnya...”
“Tidak akan jauh nanti kamu bisa jalan kaki, atau naik sepeda,” ucap Darman.
“Iyah Pak, dekat.” Jawab Parman semberingah, sesuai dengan alamat yang ia tuju.
“Siapa nama kamu? Dari tadi saya lupa tidak menanyakan hal itu,” tanya Darman, setelah hampir sampai.
“Parman Pak, hampir sama dengan nama Bapak,” jawab Parman sambil kulit dahinya mengkerut heran dengan sebuah rumah memiliki gerbang besar, berada jauh dari rumah-rumah lainnya, dengan samping kanan dan kiri dibalut tembok tinggi.
“Bagus, tidak salah lagi.” Ucap Darman semberingah, seolah ia mendapatkan sesuatu dari pikirannya itu, seperti sudah tahu dengan nama Parman.
Ucapan Darman sama sekali tidak dijawab oleh Parman, ia lebih memilih memperhatikan rumah luas dengan gaya bangunan lama seperti tidak pernah direnovasi sejak pertama berdiri, dan sudah terlihat mobil mewah terparkir.
“Darman! Kemari!” teriak seorang lelaki tampan jauh lebih muda dari Darman, baru keluar dari pintu depan rumah kosan.
“Itu yang punya kosan ini, Pak Anjar namanya, tunggu disini,” ucap Darman tergesa-gesa.
Darman langsung menunjukan bekas lukanya di hadapan Pak Anjar, kemudian menunjuk ke arah Parman, membuat Pak Anjar tersenyum lebar, tidak berselang lama keluarlah perempuan yang sangat cantik hampir seumuran dengan Pak Anjar, langsung menatap ke arah Parman.
“Seperti sedang membicarakan diriku,” bisik hati Parman.
“Parman sini!” teriak Darman.
Membuat Parman langsung berjalan tergesa-gesa, dan langsung mencium tangan Pak Anjar dan perempuan disampingnya.
“Yang betah yah, silahkan isi kamar kosong di dalam nanti dibantu Darman membereskan, dan bantu bereskan rumah dan kebun belakang yah, karena mulai besok Darman pergi bareng saya dan Bapak,” ucap perempuan memperkenal namanya Ibu Diah Rahayu.
Parman hanya menganggukan kepalanya pertanda setuju dan itu bukan pekerjaan sulit baginya, kini segala kecemasan dalam dirinya berganti dengan kepercayaan, bahkan ia masih tidak menyangka bahwa segala kemudahan menghampiri dirinya.
“Sepeda dibelakang, bekas Si Putri benerkan dulu Darman malam ini, biar besok bisa di pakai Parman ke kampusnya,” sahut Pak Anjar.
Sambutan selamat datang dari Pak Anjar dan Ibu Diah Rahayu membuat Parman seperti mempunyai keluarga baru, walau setelah Darman jelaskan bahwa mereka tidak tinggal di rumah ini.
“Nanti pagi ada Mak Amih pembantu yang tiap pagi dan sore atau malam masak untuk anak-anak kosan, di dalam ada enam kamar, empat perempuan sisanya laki-laki nanti juga kamu kenalan, ayo masuk!” ucap Parman menjelaskan, setelah mobil mewah itu pergi, namun Parman merasa aneh ketika Pak Anjar melemparkan senyum lain ke arah Darman sebelum masuk ke dalam mobilnya.
...
“Semua memegang kunci kamar, dan pintu depan serta gerbang, jadi bebas mau pulang kapan saja, biasanya penghuni disini pulang larut malam,” ucap Darman membuyarkan lamunan Parman ketika merasakan suasana aneh di dalam rumah yang sangat luas, apalagi ia sudah berjalan dari arah depan sampai ke halaman belakang.
“Itu sumur Pak?” tanya Parman.
“Benar, kamar yang kamu tempati nanti disebelah sana, paling belakang yah, kamar mandinya di luar tapi, tidak apa-apa kan?” jawab Darman.
“Tidak Pak, sudah terbiasa di kampung juga,” jawab Parman, kini langkahnya terhenti ketika melihat kebun belakang dengan tumbuh rumput yang tinggi, dan beberap pohon jati yang menjulang.
“Ayo!” tegas Darman.
Dengan cepat Darman mengeluarkan sebuah kunci, namun mata Parman merasa heran dengan gembok besar yang menggantung di pintu kamar yang terlihat paling tua diantara kamar-kamar lainnya yang ia lihat di depan barusan, bahkan Darman terlihat kesulitan membukanya, dengan lilitan kain putihnya semakin penuh dengan darah.
Clekkkk!
“Ini, silahkan masuk, sudah beres di dalam,” ucap Darman kemudian pergi begitu saja meninggalkan Parman, menuju ke arah gudang tempat dimana sepeda yang akan diperbaiki.
Kamar berukuran cukup luas dengan ranjang dan lemari serta cermin tua hal pertama yang menyambut Parman.
“Seperti bekas kamar perempuan,”
“Sudah lama tidak digunakan,”
Krekettt!
Dengan perlahan Parman membuka pintu lemari, bahkan masih menyisakan debu, baru saja ia membuka lemari tua terdengar sebuah langkah seretan kaki di belakang tubuhnya, membuat ia langsung melihat ke arah cermin di samping lemari.
“Siapa?!!!” tegas Parman kaget, mendapati sesuatu dari pantulan cermin itu.
Seorang perempuan cantik dengan wajah pucat sudah berdiri dibelakang tubuh Parman, rambut indahnya terurai panjang, seketika perempuan itu melemparkan semyum manisnya sambil perlahan mengangkat tangan kanannya, menunjukan sebuah lilitan kain putih yang mengikat di telapak tangannya itu penuh darah.
Brukk!!!
Tiba-tiba pintu kamar tertutup kencang dengan sendirinya, bersamaan dengan senyum Darman dari arah gudang, bak sebuah pertanda yang sudah ia nantikan malam ini setelah membawa penghuni terakhir.
***
(Bersambung part 2)
Spoiler for for Index:
Part 2 - Singgah Darah
Part 2.2 & 2.3 - Singgah Darah
Part 3 - Singgah Darah
Part 3.1 - Singgah Darah
Part 4.1 - Singgah Darah
Part 4.2 - Singgah Darah
(Singgah Darah Lengkap)
Selamat bertualang...
Part 2.2 & 2.3 - Singgah Darah
Part 3 - Singgah Darah
Part 3.1 - Singgah Darah
Part 4.1 - Singgah Darah
Part 4.2 - Singgah Darah
(Singgah Darah Lengkap)
Selamat bertualang...
Diubah oleh qwertyping 14-09-2023 18:10






69banditos dan 22 lainnya memberi reputasi
19
3.9K
Kutip
30
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan