- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
SINGGAH DARAH
![qwertyping](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/05/06/avatar11030309_7.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
qwertyping
SINGGAH DARAH
![SINGGAH DARAH](https://s.kaskus.id/images/2023/08/24/11030309_20230824071250.jpg)
Quote:
Garis hidup bernama takdir tak memberikan banyak pilihan dalam hidup seseorang bernama Parman Supratman, lelaki teramat nekat– anak tunggal yang berasal dari keluarga sederhana kental dengan agama, telah bersepakat dengan keputusan hidup, untuk pergi menimba ilmu di bangku perkuliahan meninggalkan rumah serta kampung halaman tercintanya.
Kepergiannya hanya bermodalkan satu gelang emas pemberian Ibunda tercinta, harta satu-satunya yang dimiliki keluarganya itu menjadi bekal pertama dan terakhirnya, karena seribu niatan dan jutaan rencana yang telah Parman miliki, kelak di kota tujuannya akan mencari pekerjaan sampingan.
Rencana hanya sebuah angan dan tulisan dalam sebuah kertas kosong yang dapat terlaksana atau gagal sekalipun, hal itu juga yang langsung datang nenimpa Parman manakala kedua kakinya berhasil menginjak kota tujuannya, ia yang sedang mencari tempat tinggal (Kosan) malah dihadapkan dengan berbagai kejutan penuh misteri sebagai ucapan selamat datang pada dirinya.
Misreri perkenalannya dengan Darman adalah asal muasal dimana malapetaka perlahan datang begitu saja, persinggahannya atas tawaran manis Darman menarik paksa ia harus masuk dan mengungkap misteri penuh darah yang saling berkaitan.
Terror dan segala jenis kejanggalan bak tak ingin ketinggalan hinggap dalam diri Parman, hingga lambat namun pasti tujuannya datang ke kota itu kini berganti dengan satu pertanyaan yang selalu hadir dalam pikirannya– siapa perempuan penuh darah itu? garis takdir tak ingin memberikan jeda kepada Parman untuk mengungkap dibalik sebuah tempat yang dijadikannya pesinggahan, hingga korban dan tumbal saling berjatuhan dari masa lalu sampai sekarang.
Kepergiannya hanya bermodalkan satu gelang emas pemberian Ibunda tercinta, harta satu-satunya yang dimiliki keluarganya itu menjadi bekal pertama dan terakhirnya, karena seribu niatan dan jutaan rencana yang telah Parman miliki, kelak di kota tujuannya akan mencari pekerjaan sampingan.
Rencana hanya sebuah angan dan tulisan dalam sebuah kertas kosong yang dapat terlaksana atau gagal sekalipun, hal itu juga yang langsung datang nenimpa Parman manakala kedua kakinya berhasil menginjak kota tujuannya, ia yang sedang mencari tempat tinggal (Kosan) malah dihadapkan dengan berbagai kejutan penuh misteri sebagai ucapan selamat datang pada dirinya.
Misreri perkenalannya dengan Darman adalah asal muasal dimana malapetaka perlahan datang begitu saja, persinggahannya atas tawaran manis Darman menarik paksa ia harus masuk dan mengungkap misteri penuh darah yang saling berkaitan.
Terror dan segala jenis kejanggalan bak tak ingin ketinggalan hinggap dalam diri Parman, hingga lambat namun pasti tujuannya datang ke kota itu kini berganti dengan satu pertanyaan yang selalu hadir dalam pikirannya– siapa perempuan penuh darah itu? garis takdir tak ingin memberikan jeda kepada Parman untuk mengungkap dibalik sebuah tempat yang dijadikannya pesinggahan, hingga korban dan tumbal saling berjatuhan dari masa lalu sampai sekarang.
Spoiler for Part 1 - Penghuni Terakhir:
Langit kemerah-merahan baru saja hadir dari arah timur dengan segera memanggil pagi agar segera tiba, cahaya itu terlihat jelas dari sebuah jendela kamar dengan kayu tua usangnya, yang tidak jarang menjadi incaran rayap.
“Tabungan terakhir...”
Seorang pemuda sedang memegang erat celengan ayam, sebuah tempat yang selalu ia jadikan sebagai penyimpanan uang bertahun-tahun lamanya, yang didapatkan dari pekerjaan serabutan sejak masih duduk dibangku sekolah.
“Semoga cukup untuk bekal sementara saja.”
Pemuda itu sudah mempertimbangkan sebuah keputusan berat dalam hidup, mengambil sebuah langkah penuh resiko untuk melawan keadaan dan tetap percaya pada mimpi-mimpi indahnya– harus pergi dari rumah dan meninggalkan kampung halaman, untuk mengemban ilmu di bangku kuliah.
Brakkk!!!
Sebuah kayu pengganjal jendela dengan yakin ia gunakan untuk menghancurkan celengan, seketika membuat beberapa lembar uang dan koin berserakan di dekat sebuah amplop undangan dari sebuah universitas ternama, yang ditujukan untuk Parman Supratman agar segera melakukan pendaftaran ulang, dengan menyisakan waktu tiga hari sampai penutupan.
“Semalam suntuk sudah Mak bicarakan sama Abah...”
Parman yang sedang membereskan hasil uang tabungannya itu langsung berbalik badan.
“Tapi hanya ini benda satu-satunya yang semoga cukup untuk bayar kuliah kamu dari awal...”
Mak Asih sang ibunda tercinta sedang berusaha menahan air matanya itu tidak menetes melewati pipi tuanya, menyodorkan sebuah perhiasan gelang.
“Parman janji akan ganti Mak, disana Parman mau sambil cari pekerjaan sampingan juga,” jawab Parman sudah tidak bisa menolak pemberian Ibunya, karena sudah dibicarakan sejak beberapa hari kebelakang.
“Ja–jangan.”
“Doakan saja panen Abah berhasil beberapa bulan kedepan, Abah tidak akan sudi Man untuk meminta bayaran pada setiap orang yang Abah tolong,”
Bah Arif sudah berdiri didekat pintu kamar dan masih mengenakan sorban, menatap ke arah pecahan celengan ayam yang sudah hancur.
Parman hanya terdiam menyaksikan kedua orang tuanya yang sedang menyembunyikan kesedihannya, karena ia tidak dapat mengikuti keinginan sang Abah untuk mengemban ilmu menuju sebuah pesantren, agar kelak dapat meneruskan cita-cita Bah Arif, terlebih ia adalah anak lelaki semata wayang.
“Balas semua kepercayaan Abah dan Mak kamu dengan Ibadah kamu disana, dan jangan lupa memberikan kabar, serta pulang ke rumah sederhana ini,” ucap Bah Arif kemudian pergi begitu saja, disusul usapan tangan Mak Asih berkali-kali ke arah kepala Parman, sebuah usapan yang ditandai doa dalam hatinya yang terus Mak Asih lantunkan.
“Ti–tidak biasanya wajah Abah seperti itu, tidak mungkin hanya cemas saja,” bisik hati Parman.
***
Kereta kelas ekonomi lokal baru saja melaju di jadwal keberangkatan siang yang akan membawa Parman menuju salah satu kota, dan akan tiba sore nanti.
Satu tas berukuran besar sudah Parman jepit mengenakan kedua pahanya, pandangan matanya terus saja melihat ke arah samping kaca kereta yang menampakan pemandang indah, namun tidak dengan perasaan yang menyelimuti Parman.
“Kejadian di rumah seharusnya tidak aku pikirkan!” tegasnya.
Sakitnya Bah Arif yang mendadak tanpa alasan, hingga sebuah pas foto alakadarnya yang terbuat dari bingkai kaca yang jatuh ketika ia berpamitan dan diantarkan Mak Asih keluar rumah terus menghantui pikirannya.
Terlebih sejak Parman sudah beberapa langkah meninggalkan rumah tidak biasanya Mak Asih mengengam telepon jaman dulu milik Bah Arif dan terlihat seperti berbicara dengan seseorang dengan raut wajah cemasnya. “Mungkin itu Pak Mantri dari kampung sebelah yang akan memeriksa keadaan Abah,” bisik hati Parman, berusaha mengabaikan kejadian di rumahnya yang ia rasa aneh itu.
“Maaf boleh ikut duduk disebelah.”
Suara lelaki seumuran Bah Arif terdengar kencang, sambil menepuk pundak Parman, mengalahkan suara laju kereta api yang cukup berisik.
“Bo–boleh silahkan Pak.”
Parman baru menyadari lelaki tua yang mengenakan topi hitam cukup lusuh itu sedari tadi berkeringat, duduknya seperti tidak tenang dan beberapa kali terus mengetik diatas handphonenya, sudah tidak terhitung lelaki tua itu membenarkan jaket kulit yang menempel di tubuhnya, membuat Parman semakin memperhatikan mengenakan ujung matanya.
Baru saja Parman mendapati sesuatu dari penglihatannya ke arah saku dalam jaket kulit yaitu sebuah kain putih yang terdapat noda darah yang cukup kental.
“Da–darah!” bisik hati Parman.
“Tujuan mana?”
Segera Parman perlihatkan selembar tiket yang sedari tadi ia pegang, sambil berusaha untuk membuat dirinya tenang.
“Kuliah?”
“Baru mau daftar ulang Pak.”
“Tujuannya sama dengan saya.”
Kepala lelaki tua itu hanya mengangguk, namun seperti tahu ketidak piawainya Parman menyembunyikan ketakutan atas apa yang ia lihat barusan.
Mulut lelaki tua itu seperti berbicara sesuatu namun tidak dapat didengar jelas oleh Parman.
“Maaf Pak bicara apa? Saya tidak dengar.”
Belum sempat Parman mendengar suara lelaki tua, tiba-tiba matanya sayu disusul gelengan kepala merespon pandangan matanya yang semakin buyar.
***
“Bangun! Tujuan kota ini, kan? Ayo turun!”
Lelaki jauh lebih muda dari seseorang yang sebelumnya duduk disebelah Parman menepuk pundaknya, hingga ia terburu-buru berdiri, karena sudah mendengar peringatan bahwa kereta api tidak akan lama lagi segera melaju.
“Mana lelaki tua barusan!” tegas Parman yang masih belum ingat kenapa ia bisa tertidur begitu lelap dan berjam-jam, namun ia ingat ucapan lelaki tua terakhir bahwa ia turun di kota yang sama.
Parman yang baru pertama menginjakan kaki di stasiun kota sedikit kebingungan apalagi ia sedang berusaha mengingat kejadian barusan di dalam kereta, dengan kain putih penuh darah.
“Ti–tidak mungkin darah binatang, lelaki itu tidak membawa apapun...”
“Seperti darah manusia!”
Parman dengan hatinya terus berusaha meyakinkan bahwa kedua bola matanya itu tidak salah melihat, ia terus mengikuti langkah orang-orang yang baru turun dengan tujuan kota yang sama untuk menuju jalan keluar stasiun.
“Ada yang mengikuti!” bisik hatinya.
Seseorang dengan perawakan tegap sambil menempelkan handphone di dekat telinganya, terus mengikutinya dari belakang dengan tatapan seolah ingin memakannya hidup-hidup.
“Hampir saja! Yakin bukan orang baik!” tegas Parman berhasil lolos dari orang yang membuatnya curiga itu.
“Padahal tujuanku baik datang ke kota ini, kenapa sudah dua kali berjumpa dengan orang-orang aneh,” bisiknya heran.
...
Langit sore perlahan meredup dengan sinar kuning keemasannya menyorot hiruk pikuk kota, namun berbalik dengan tumbuhnya rasa penasaran dalam diri Parman pada lelaki tua yang membuatnya bisa lupa kejadian berjam-jam di dalam kereta.
Suara berisiknya klakson kendaraan roda dua hingga roda empat menjadi hal pertama yang Parman dengar, sambil melihat sebuah pesan masuk ke dalam handphone yang tidak memiliki daya tahan baterai lama.
“Abah sudah membaik, semoga malam ini kamu sudah menemukan tempat untuk tidur sementara Man,”
Pesan dari Mak Asih sudah Parman baca, membuat ia harus melakukan langkah cepat mencari angkutan umum, menuju alamat yang ada dalam surat kampus yang sudah dikeluarkan dalam tas besarnya, apalagi belum tahu sama sekali jalan-jalan di kota ini, dan harus segera melupakan segala kejadian aneh barusan.
Kedua bola mata Parman masih mencari orang yang akan ia tanyakan alamat, namun ia malah mendapati lelaki tegap cukup jauh berdiri, sambil menganggukan kepala ke arahnya, namun perlahan mundur begitu saja.
“Aneh!” bisik hati Parman.
“Sudah ada kosan? Apa masih mencari?”
Detak jantung Parman bak ingin lepas, pandangan matanya seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat, dengan gelap malam yang baru saja tiba itu.
“Lah jadi melamun! Saya tanya, siapa tau butuh tumpangan saya antar ke kosan kamu.” Ucap lelaki tua duduk diatas motor tuanya, suaranya membuyarkan lamunan Parman.
“Ma–masih nyari tempat sementara Pak,” jawab Parman masih menatap ke arah jaket kulit yang sama, ketika ia lihat lelaki tua itu duduk disebelahnya.
“Jangan takut, saya Darman orang baik, lap yang kamu lihat penuh darah didalam saku jaket ini, bekas mengelap darah disini,” ucap Darman menunjukan luka cukup dalam di telapak tanganya, yang sudah ia lilitkan kain putih baru.
Huhhh!!
Parman hanya menghembuskan nafasnya cukup panjang, setelah terhindar dari orang yang mengejarnya, lelaki tua itu memberinya penjelasan masuk akal.
“Dengan tas sebesar itu dan dari tujuan kamu daftar kuliah, serta pandangan mata kamu kebingungan sepertinya mencari tempat tinggal,” tebak Darman sambil membakar rokoknya.
“Benar Pak,” jawab Parman singkat, masih memperhatikan dengan teliti sosok orang yang baru ia kenal.
“Kampus ini?” tanya Darman menjelaskan sebuah tempat yang bertepatan dengan tujuan Parman.
Parman hanya mengangguk dengan tebakan Darman yang sama sekali tidak meleset.
“Saya kerja sebagai penjaga kosan dan pengurus kebun disalah satu rumah yang dijadikan kosan,” ucap Darman.
“Ada kamar kosong Pak?” tanya Parman yang merasa kebetulan.
“Sayangnya penuh, tapi...” jawab Darman menghisap rokoknya dengan dalam, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Ta–tapi gimana Pak, maaf.” Tanya Parman semakin penasaran.
“Tapi ada satu kamar kosong, tidak terlalu bagus namun sepertinya cukup, begini saja...” jawab Darman setelah mengangguk berkali-kali.
“Mau ganti pekerjaan saya selama satu sampai tiga bulan, saya ada kerjaan keluar kota dengan Ibu dan Bapak pemilik rumah kosan itu, sebagai imbalan kamu bisa gratis makan dan tinggal, gimana? Apalagi saya tahu pemuda rantau seperti kamu,” tambah Darman menjelaskan.
Bak disambar petir di siang bolong, Parman langsung menyetujui tawaran Darman yang semakin membenarkan bahwa Darman adalah orang baik, dan pekerjaan berkebun sering Parman lakukan di kampung halamannya.
“Terimakasih Pak, saya mau sekali,” jawab Parman.
“Memang sudah takdir!” tegas Darman penuh arti.
“Ma–maksudnya Pak, takdir?” tanya Parman heran dengan ucapannya.
“Sudah ayo naik, takut semakin larut malam nanti terjebak macet!” tegas Darman sambil tersenyum penuh arti.
***
Sudah hampir setengah jam kendaraan roda dua tua segera melaju dengan gesit melewati kemacetan kota, Parman terus saja memperhatikan jalanan dari arah stasiun menuju tempat yang akan dituju Darman.
“Ini kampusnya...”
“Tidak akan jauh nanti kamu bisa jalan kaki, atau naik sepeda,” ucap Darman.
“Iyah Pak, dekat.” Jawab Parman semberingah, sesuai dengan alamat yang ia tuju.
“Siapa nama kamu? Dari tadi saya lupa tidak menanyakan hal itu,” tanya Darman, setelah hampir sampai.
“Parman Pak, hampir sama dengan nama Bapak,” jawab Parman sambil kulit dahinya mengkerut heran dengan sebuah rumah memiliki gerbang besar, berada jauh dari rumah-rumah lainnya, dengan samping kanan dan kiri dibalut tembok tinggi.
“Bagus, tidak salah lagi.” Ucap Darman semberingah, seolah ia mendapatkan sesuatu dari pikirannya itu, seperti sudah tahu dengan nama Parman.
Ucapan Darman sama sekali tidak dijawab oleh Parman, ia lebih memilih memperhatikan rumah luas dengan gaya bangunan lama seperti tidak pernah direnovasi sejak pertama berdiri, dan sudah terlihat mobil mewah terparkir.
“Darman! Kemari!” teriak seorang lelaki tampan jauh lebih muda dari Darman, baru keluar dari pintu depan rumah kosan.
“Itu yang punya kosan ini, Pak Anjar namanya, tunggu disini,” ucap Darman tergesa-gesa.
Darman langsung menunjukan bekas lukanya di hadapan Pak Anjar, kemudian menunjuk ke arah Parman, membuat Pak Anjar tersenyum lebar, tidak berselang lama keluarlah perempuan yang sangat cantik hampir seumuran dengan Pak Anjar, langsung menatap ke arah Parman.
“Seperti sedang membicarakan diriku,” bisik hati Parman.
“Parman sini!” teriak Darman.
Membuat Parman langsung berjalan tergesa-gesa, dan langsung mencium tangan Pak Anjar dan perempuan disampingnya.
“Yang betah yah, silahkan isi kamar kosong di dalam nanti dibantu Darman membereskan, dan bantu bereskan rumah dan kebun belakang yah, karena mulai besok Darman pergi bareng saya dan Bapak,” ucap perempuan memperkenal namanya Ibu Diah Rahayu.
Parman hanya menganggukan kepalanya pertanda setuju dan itu bukan pekerjaan sulit baginya, kini segala kecemasan dalam dirinya berganti dengan kepercayaan, bahkan ia masih tidak menyangka bahwa segala kemudahan menghampiri dirinya.
“Sepeda dibelakang, bekas Si Putri benerkan dulu Darman malam ini, biar besok bisa di pakai Parman ke kampusnya,” sahut Pak Anjar.
Sambutan selamat datang dari Pak Anjar dan Ibu Diah Rahayu membuat Parman seperti mempunyai keluarga baru, walau setelah Darman jelaskan bahwa mereka tidak tinggal di rumah ini.
“Nanti pagi ada Mak Amih pembantu yang tiap pagi dan sore atau malam masak untuk anak-anak kosan, di dalam ada enam kamar, empat perempuan sisanya laki-laki nanti juga kamu kenalan, ayo masuk!” ucap Parman menjelaskan, setelah mobil mewah itu pergi, namun Parman merasa aneh ketika Pak Anjar melemparkan senyum lain ke arah Darman sebelum masuk ke dalam mobilnya.
...
“Semua memegang kunci kamar, dan pintu depan serta gerbang, jadi bebas mau pulang kapan saja, biasanya penghuni disini pulang larut malam,” ucap Darman membuyarkan lamunan Parman ketika merasakan suasana aneh di dalam rumah yang sangat luas, apalagi ia sudah berjalan dari arah depan sampai ke halaman belakang.
“Itu sumur Pak?” tanya Parman.
“Benar, kamar yang kamu tempati nanti disebelah sana, paling belakang yah, kamar mandinya di luar tapi, tidak apa-apa kan?” jawab Darman.
“Tidak Pak, sudah terbiasa di kampung juga,” jawab Parman, kini langkahnya terhenti ketika melihat kebun belakang dengan tumbuh rumput yang tinggi, dan beberap pohon jati yang menjulang.
“Ayo!” tegas Darman.
Dengan cepat Darman mengeluarkan sebuah kunci, namun mata Parman merasa heran dengan gembok besar yang menggantung di pintu kamar yang terlihat paling tua diantara kamar-kamar lainnya yang ia lihat di depan barusan, bahkan Darman terlihat kesulitan membukanya, dengan lilitan kain putihnya semakin penuh dengan darah.
Clekkkk!
“Ini, silahkan masuk, sudah beres di dalam,” ucap Darman kemudian pergi begitu saja meninggalkan Parman, menuju ke arah gudang tempat dimana sepeda yang akan diperbaiki.
Kamar berukuran cukup luas dengan ranjang dan lemari serta cermin tua hal pertama yang menyambut Parman.
“Seperti bekas kamar perempuan,”
“Sudah lama tidak digunakan,”
Krekettt!
Dengan perlahan Parman membuka pintu lemari, bahkan masih menyisakan debu, baru saja ia membuka lemari tua terdengar sebuah langkah seretan kaki di belakang tubuhnya, membuat ia langsung melihat ke arah cermin di samping lemari.
“Siapa?!!!” tegas Parman kaget, mendapati sesuatu dari pantulan cermin itu.
Seorang perempuan cantik dengan wajah pucat sudah berdiri dibelakang tubuh Parman, rambut indahnya terurai panjang, seketika perempuan itu melemparkan semyum manisnya sambil perlahan mengangkat tangan kanannya, menunjukan sebuah lilitan kain putih yang mengikat di telapak tangannya itu penuh darah.
Brukk!!!
Tiba-tiba pintu kamar tertutup kencang dengan sendirinya, bersamaan dengan senyum Darman dari arah gudang, bak sebuah pertanda yang sudah ia nantikan malam ini setelah membawa penghuni terakhir.
***
(Bersambung part 2)
“Tabungan terakhir...”
Seorang pemuda sedang memegang erat celengan ayam, sebuah tempat yang selalu ia jadikan sebagai penyimpanan uang bertahun-tahun lamanya, yang didapatkan dari pekerjaan serabutan sejak masih duduk dibangku sekolah.
“Semoga cukup untuk bekal sementara saja.”
Pemuda itu sudah mempertimbangkan sebuah keputusan berat dalam hidup, mengambil sebuah langkah penuh resiko untuk melawan keadaan dan tetap percaya pada mimpi-mimpi indahnya– harus pergi dari rumah dan meninggalkan kampung halaman, untuk mengemban ilmu di bangku kuliah.
Brakkk!!!
Sebuah kayu pengganjal jendela dengan yakin ia gunakan untuk menghancurkan celengan, seketika membuat beberapa lembar uang dan koin berserakan di dekat sebuah amplop undangan dari sebuah universitas ternama, yang ditujukan untuk Parman Supratman agar segera melakukan pendaftaran ulang, dengan menyisakan waktu tiga hari sampai penutupan.
“Semalam suntuk sudah Mak bicarakan sama Abah...”
Parman yang sedang membereskan hasil uang tabungannya itu langsung berbalik badan.
“Tapi hanya ini benda satu-satunya yang semoga cukup untuk bayar kuliah kamu dari awal...”
Mak Asih sang ibunda tercinta sedang berusaha menahan air matanya itu tidak menetes melewati pipi tuanya, menyodorkan sebuah perhiasan gelang.
“Parman janji akan ganti Mak, disana Parman mau sambil cari pekerjaan sampingan juga,” jawab Parman sudah tidak bisa menolak pemberian Ibunya, karena sudah dibicarakan sejak beberapa hari kebelakang.
“Ja–jangan.”
“Doakan saja panen Abah berhasil beberapa bulan kedepan, Abah tidak akan sudi Man untuk meminta bayaran pada setiap orang yang Abah tolong,”
Bah Arif sudah berdiri didekat pintu kamar dan masih mengenakan sorban, menatap ke arah pecahan celengan ayam yang sudah hancur.
Parman hanya terdiam menyaksikan kedua orang tuanya yang sedang menyembunyikan kesedihannya, karena ia tidak dapat mengikuti keinginan sang Abah untuk mengemban ilmu menuju sebuah pesantren, agar kelak dapat meneruskan cita-cita Bah Arif, terlebih ia adalah anak lelaki semata wayang.
“Balas semua kepercayaan Abah dan Mak kamu dengan Ibadah kamu disana, dan jangan lupa memberikan kabar, serta pulang ke rumah sederhana ini,” ucap Bah Arif kemudian pergi begitu saja, disusul usapan tangan Mak Asih berkali-kali ke arah kepala Parman, sebuah usapan yang ditandai doa dalam hatinya yang terus Mak Asih lantunkan.
“Ti–tidak biasanya wajah Abah seperti itu, tidak mungkin hanya cemas saja,” bisik hati Parman.
***
Kereta kelas ekonomi lokal baru saja melaju di jadwal keberangkatan siang yang akan membawa Parman menuju salah satu kota, dan akan tiba sore nanti.
Satu tas berukuran besar sudah Parman jepit mengenakan kedua pahanya, pandangan matanya terus saja melihat ke arah samping kaca kereta yang menampakan pemandang indah, namun tidak dengan perasaan yang menyelimuti Parman.
“Kejadian di rumah seharusnya tidak aku pikirkan!” tegasnya.
Sakitnya Bah Arif yang mendadak tanpa alasan, hingga sebuah pas foto alakadarnya yang terbuat dari bingkai kaca yang jatuh ketika ia berpamitan dan diantarkan Mak Asih keluar rumah terus menghantui pikirannya.
Terlebih sejak Parman sudah beberapa langkah meninggalkan rumah tidak biasanya Mak Asih mengengam telepon jaman dulu milik Bah Arif dan terlihat seperti berbicara dengan seseorang dengan raut wajah cemasnya. “Mungkin itu Pak Mantri dari kampung sebelah yang akan memeriksa keadaan Abah,” bisik hati Parman, berusaha mengabaikan kejadian di rumahnya yang ia rasa aneh itu.
“Maaf boleh ikut duduk disebelah.”
Suara lelaki seumuran Bah Arif terdengar kencang, sambil menepuk pundak Parman, mengalahkan suara laju kereta api yang cukup berisik.
“Bo–boleh silahkan Pak.”
Parman baru menyadari lelaki tua yang mengenakan topi hitam cukup lusuh itu sedari tadi berkeringat, duduknya seperti tidak tenang dan beberapa kali terus mengetik diatas handphonenya, sudah tidak terhitung lelaki tua itu membenarkan jaket kulit yang menempel di tubuhnya, membuat Parman semakin memperhatikan mengenakan ujung matanya.
Baru saja Parman mendapati sesuatu dari penglihatannya ke arah saku dalam jaket kulit yaitu sebuah kain putih yang terdapat noda darah yang cukup kental.
“Da–darah!” bisik hati Parman.
“Tujuan mana?”
Segera Parman perlihatkan selembar tiket yang sedari tadi ia pegang, sambil berusaha untuk membuat dirinya tenang.
“Kuliah?”
“Baru mau daftar ulang Pak.”
“Tujuannya sama dengan saya.”
Kepala lelaki tua itu hanya mengangguk, namun seperti tahu ketidak piawainya Parman menyembunyikan ketakutan atas apa yang ia lihat barusan.
Mulut lelaki tua itu seperti berbicara sesuatu namun tidak dapat didengar jelas oleh Parman.
“Maaf Pak bicara apa? Saya tidak dengar.”
Belum sempat Parman mendengar suara lelaki tua, tiba-tiba matanya sayu disusul gelengan kepala merespon pandangan matanya yang semakin buyar.
***
“Bangun! Tujuan kota ini, kan? Ayo turun!”
Lelaki jauh lebih muda dari seseorang yang sebelumnya duduk disebelah Parman menepuk pundaknya, hingga ia terburu-buru berdiri, karena sudah mendengar peringatan bahwa kereta api tidak akan lama lagi segera melaju.
“Mana lelaki tua barusan!” tegas Parman yang masih belum ingat kenapa ia bisa tertidur begitu lelap dan berjam-jam, namun ia ingat ucapan lelaki tua terakhir bahwa ia turun di kota yang sama.
Parman yang baru pertama menginjakan kaki di stasiun kota sedikit kebingungan apalagi ia sedang berusaha mengingat kejadian barusan di dalam kereta, dengan kain putih penuh darah.
“Ti–tidak mungkin darah binatang, lelaki itu tidak membawa apapun...”
“Seperti darah manusia!”
Parman dengan hatinya terus berusaha meyakinkan bahwa kedua bola matanya itu tidak salah melihat, ia terus mengikuti langkah orang-orang yang baru turun dengan tujuan kota yang sama untuk menuju jalan keluar stasiun.
“Ada yang mengikuti!” bisik hatinya.
Seseorang dengan perawakan tegap sambil menempelkan handphone di dekat telinganya, terus mengikutinya dari belakang dengan tatapan seolah ingin memakannya hidup-hidup.
“Hampir saja! Yakin bukan orang baik!” tegas Parman berhasil lolos dari orang yang membuatnya curiga itu.
“Padahal tujuanku baik datang ke kota ini, kenapa sudah dua kali berjumpa dengan orang-orang aneh,” bisiknya heran.
...
Langit sore perlahan meredup dengan sinar kuning keemasannya menyorot hiruk pikuk kota, namun berbalik dengan tumbuhnya rasa penasaran dalam diri Parman pada lelaki tua yang membuatnya bisa lupa kejadian berjam-jam di dalam kereta.
Suara berisiknya klakson kendaraan roda dua hingga roda empat menjadi hal pertama yang Parman dengar, sambil melihat sebuah pesan masuk ke dalam handphone yang tidak memiliki daya tahan baterai lama.
“Abah sudah membaik, semoga malam ini kamu sudah menemukan tempat untuk tidur sementara Man,”
Pesan dari Mak Asih sudah Parman baca, membuat ia harus melakukan langkah cepat mencari angkutan umum, menuju alamat yang ada dalam surat kampus yang sudah dikeluarkan dalam tas besarnya, apalagi belum tahu sama sekali jalan-jalan di kota ini, dan harus segera melupakan segala kejadian aneh barusan.
Kedua bola mata Parman masih mencari orang yang akan ia tanyakan alamat, namun ia malah mendapati lelaki tegap cukup jauh berdiri, sambil menganggukan kepala ke arahnya, namun perlahan mundur begitu saja.
“Aneh!” bisik hati Parman.
“Sudah ada kosan? Apa masih mencari?”
Detak jantung Parman bak ingin lepas, pandangan matanya seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat, dengan gelap malam yang baru saja tiba itu.
“Lah jadi melamun! Saya tanya, siapa tau butuh tumpangan saya antar ke kosan kamu.” Ucap lelaki tua duduk diatas motor tuanya, suaranya membuyarkan lamunan Parman.
“Ma–masih nyari tempat sementara Pak,” jawab Parman masih menatap ke arah jaket kulit yang sama, ketika ia lihat lelaki tua itu duduk disebelahnya.
“Jangan takut, saya Darman orang baik, lap yang kamu lihat penuh darah didalam saku jaket ini, bekas mengelap darah disini,” ucap Darman menunjukan luka cukup dalam di telapak tanganya, yang sudah ia lilitkan kain putih baru.
Huhhh!!
Parman hanya menghembuskan nafasnya cukup panjang, setelah terhindar dari orang yang mengejarnya, lelaki tua itu memberinya penjelasan masuk akal.
“Dengan tas sebesar itu dan dari tujuan kamu daftar kuliah, serta pandangan mata kamu kebingungan sepertinya mencari tempat tinggal,” tebak Darman sambil membakar rokoknya.
“Benar Pak,” jawab Parman singkat, masih memperhatikan dengan teliti sosok orang yang baru ia kenal.
“Kampus ini?” tanya Darman menjelaskan sebuah tempat yang bertepatan dengan tujuan Parman.
Parman hanya mengangguk dengan tebakan Darman yang sama sekali tidak meleset.
“Saya kerja sebagai penjaga kosan dan pengurus kebun disalah satu rumah yang dijadikan kosan,” ucap Darman.
“Ada kamar kosong Pak?” tanya Parman yang merasa kebetulan.
“Sayangnya penuh, tapi...” jawab Darman menghisap rokoknya dengan dalam, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Ta–tapi gimana Pak, maaf.” Tanya Parman semakin penasaran.
“Tapi ada satu kamar kosong, tidak terlalu bagus namun sepertinya cukup, begini saja...” jawab Darman setelah mengangguk berkali-kali.
“Mau ganti pekerjaan saya selama satu sampai tiga bulan, saya ada kerjaan keluar kota dengan Ibu dan Bapak pemilik rumah kosan itu, sebagai imbalan kamu bisa gratis makan dan tinggal, gimana? Apalagi saya tahu pemuda rantau seperti kamu,” tambah Darman menjelaskan.
Bak disambar petir di siang bolong, Parman langsung menyetujui tawaran Darman yang semakin membenarkan bahwa Darman adalah orang baik, dan pekerjaan berkebun sering Parman lakukan di kampung halamannya.
“Terimakasih Pak, saya mau sekali,” jawab Parman.
“Memang sudah takdir!” tegas Darman penuh arti.
“Ma–maksudnya Pak, takdir?” tanya Parman heran dengan ucapannya.
“Sudah ayo naik, takut semakin larut malam nanti terjebak macet!” tegas Darman sambil tersenyum penuh arti.
***
Sudah hampir setengah jam kendaraan roda dua tua segera melaju dengan gesit melewati kemacetan kota, Parman terus saja memperhatikan jalanan dari arah stasiun menuju tempat yang akan dituju Darman.
“Ini kampusnya...”
“Tidak akan jauh nanti kamu bisa jalan kaki, atau naik sepeda,” ucap Darman.
“Iyah Pak, dekat.” Jawab Parman semberingah, sesuai dengan alamat yang ia tuju.
“Siapa nama kamu? Dari tadi saya lupa tidak menanyakan hal itu,” tanya Darman, setelah hampir sampai.
“Parman Pak, hampir sama dengan nama Bapak,” jawab Parman sambil kulit dahinya mengkerut heran dengan sebuah rumah memiliki gerbang besar, berada jauh dari rumah-rumah lainnya, dengan samping kanan dan kiri dibalut tembok tinggi.
“Bagus, tidak salah lagi.” Ucap Darman semberingah, seolah ia mendapatkan sesuatu dari pikirannya itu, seperti sudah tahu dengan nama Parman.
Ucapan Darman sama sekali tidak dijawab oleh Parman, ia lebih memilih memperhatikan rumah luas dengan gaya bangunan lama seperti tidak pernah direnovasi sejak pertama berdiri, dan sudah terlihat mobil mewah terparkir.
“Darman! Kemari!” teriak seorang lelaki tampan jauh lebih muda dari Darman, baru keluar dari pintu depan rumah kosan.
“Itu yang punya kosan ini, Pak Anjar namanya, tunggu disini,” ucap Darman tergesa-gesa.
Darman langsung menunjukan bekas lukanya di hadapan Pak Anjar, kemudian menunjuk ke arah Parman, membuat Pak Anjar tersenyum lebar, tidak berselang lama keluarlah perempuan yang sangat cantik hampir seumuran dengan Pak Anjar, langsung menatap ke arah Parman.
“Seperti sedang membicarakan diriku,” bisik hati Parman.
“Parman sini!” teriak Darman.
Membuat Parman langsung berjalan tergesa-gesa, dan langsung mencium tangan Pak Anjar dan perempuan disampingnya.
“Yang betah yah, silahkan isi kamar kosong di dalam nanti dibantu Darman membereskan, dan bantu bereskan rumah dan kebun belakang yah, karena mulai besok Darman pergi bareng saya dan Bapak,” ucap perempuan memperkenal namanya Ibu Diah Rahayu.
Parman hanya menganggukan kepalanya pertanda setuju dan itu bukan pekerjaan sulit baginya, kini segala kecemasan dalam dirinya berganti dengan kepercayaan, bahkan ia masih tidak menyangka bahwa segala kemudahan menghampiri dirinya.
“Sepeda dibelakang, bekas Si Putri benerkan dulu Darman malam ini, biar besok bisa di pakai Parman ke kampusnya,” sahut Pak Anjar.
Sambutan selamat datang dari Pak Anjar dan Ibu Diah Rahayu membuat Parman seperti mempunyai keluarga baru, walau setelah Darman jelaskan bahwa mereka tidak tinggal di rumah ini.
“Nanti pagi ada Mak Amih pembantu yang tiap pagi dan sore atau malam masak untuk anak-anak kosan, di dalam ada enam kamar, empat perempuan sisanya laki-laki nanti juga kamu kenalan, ayo masuk!” ucap Parman menjelaskan, setelah mobil mewah itu pergi, namun Parman merasa aneh ketika Pak Anjar melemparkan senyum lain ke arah Darman sebelum masuk ke dalam mobilnya.
...
“Semua memegang kunci kamar, dan pintu depan serta gerbang, jadi bebas mau pulang kapan saja, biasanya penghuni disini pulang larut malam,” ucap Darman membuyarkan lamunan Parman ketika merasakan suasana aneh di dalam rumah yang sangat luas, apalagi ia sudah berjalan dari arah depan sampai ke halaman belakang.
“Itu sumur Pak?” tanya Parman.
“Benar, kamar yang kamu tempati nanti disebelah sana, paling belakang yah, kamar mandinya di luar tapi, tidak apa-apa kan?” jawab Darman.
“Tidak Pak, sudah terbiasa di kampung juga,” jawab Parman, kini langkahnya terhenti ketika melihat kebun belakang dengan tumbuh rumput yang tinggi, dan beberap pohon jati yang menjulang.
“Ayo!” tegas Darman.
Dengan cepat Darman mengeluarkan sebuah kunci, namun mata Parman merasa heran dengan gembok besar yang menggantung di pintu kamar yang terlihat paling tua diantara kamar-kamar lainnya yang ia lihat di depan barusan, bahkan Darman terlihat kesulitan membukanya, dengan lilitan kain putihnya semakin penuh dengan darah.
Clekkkk!
“Ini, silahkan masuk, sudah beres di dalam,” ucap Darman kemudian pergi begitu saja meninggalkan Parman, menuju ke arah gudang tempat dimana sepeda yang akan diperbaiki.
Kamar berukuran cukup luas dengan ranjang dan lemari serta cermin tua hal pertama yang menyambut Parman.
“Seperti bekas kamar perempuan,”
“Sudah lama tidak digunakan,”
Krekettt!
Dengan perlahan Parman membuka pintu lemari, bahkan masih menyisakan debu, baru saja ia membuka lemari tua terdengar sebuah langkah seretan kaki di belakang tubuhnya, membuat ia langsung melihat ke arah cermin di samping lemari.
“Siapa?!!!” tegas Parman kaget, mendapati sesuatu dari pantulan cermin itu.
Seorang perempuan cantik dengan wajah pucat sudah berdiri dibelakang tubuh Parman, rambut indahnya terurai panjang, seketika perempuan itu melemparkan semyum manisnya sambil perlahan mengangkat tangan kanannya, menunjukan sebuah lilitan kain putih yang mengikat di telapak tangannya itu penuh darah.
Brukk!!!
Tiba-tiba pintu kamar tertutup kencang dengan sendirinya, bersamaan dengan senyum Darman dari arah gudang, bak sebuah pertanda yang sudah ia nantikan malam ini setelah membawa penghuni terakhir.
***
(Bersambung part 2)
Spoiler for for Index:
Part 2 - Singgah Darah
Part 2.2 & 2.3 - Singgah Darah
Part 3 - Singgah Darah
Part 3.1 - Singgah Darah
Part 4.1 - Singgah Darah
Part 4.2 - Singgah Darah
(Singgah Darah Lengkap)
Selamat bertualang...
Part 2.2 & 2.3 - Singgah Darah
Part 3 - Singgah Darah
Part 3.1 - Singgah Darah
Part 4.1 - Singgah Darah
Part 4.2 - Singgah Darah
(Singgah Darah Lengkap)
Selamat bertualang...
Diubah oleh qwertyping 14-09-2023 11:10
![tatatt](https://s.kaskus.id/user/avatar/2023/08/25/default.png)
![hamdani01721986](https://s.kaskus.id/user/avatar/2022/10/18/avatar11305153_1.gif)
![69banditos](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/03/30/avatar11017038_1.gif)
69banditos dan 22 lainnya memberi reputasi
19
3.6K
Kutip
30
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
![qwertyping](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/05/06/avatar11030309_7.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
qwertyping
#1
SINGGAH DARAH - PART 2
![SINGGAH DARAH](https://s.kaskus.id/images/2023/08/31/11030309_20230831082425.png)
Quote:
Update Part 2 - Tali Kain Kafan
Spoiler for Singgah Darah 2.1 - Tali Kain Kafan:
Sebuah ruangan lembab yang tak pernah lagi terjamah cahaya bahkan udara kini menjadi saksi bisu, manakala lantai keramik yang mempunyai usia tidak muda lagi sekarang menjadi pijakan langkah kaki seorang pemuda, yang sedari tadi sedang berusaha menikmati “Ucapan selamat datang” di sebuah kamar yang seharusnya tak berpenghuni.
***
Kedua bola mata Parman dengan pandangan heran sedang menatap ke arah cermin, pantulan sosok perempuan dengan kain putih melilit di tangannya yang sudah penuh dengan darah, suara pintu yang tertutup kencang secara tiba-tiba itu seketika membuyarkan padangan Parman, namun tidak beserta ingatannya pada sosok perempuan berambut panjang terurai.
“Sa–sama seperti luka Darman...” ucap Parman terbata-bata, sambil kulit dahinya mengkerut bersamaan kedua bola matanya berkeliling melihat seisi kamar.
“Benar luka ditangan Darman! Sama!” lanjut Parman mempertegas ingatanya itu tidak salah, dengan keringat yang semakin membanjiri seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba pandangan matanya berhenti pada sebuah pintu satu-satunya yang berada di kamar, dengan suara seperti seretan langkah kaki yang mendekat.
Srekk!!!Srekkk!!! Srekkkk!!!
“Siapa lagi!” tegas Parman langsung berjalan mendekat ke arah pintu yang sudah tertutup rapat, dengan bulu pundaknya semakin berdiri.
Dari celah bawah pintu itu Parman melihat ada bayangan manusia yang sedang berdiri menghadap pintu.
Krekeeettt...
“Astagfirullah!”
“Tidak usah istighfar saya ini manusia.”
“Maaf, maaf Nenek siapa?”
Nenek tua dengan mengenakan ciput penutup kepala yang tidak mampu menyembunyikan seluruh rambut yang sudah putih itu, hanya memperhatikan Parman dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Padangan matanya kemudian melihat ke dalam kamar yang akan Parman gunakan, namun mata nenek tua itu dapat Parman lihat– seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya malam ini.
“Si–siapa nama kamu? Saya diberikan kabar oleh Ibu Diah pemilik rumah yang anak-anak penghuni disini menyebutnya kosan,”
“Parman Nek, apa nenek Mak Amih,”
“Darman sudah cerita soal saya?”
“Su–sudah Nek.”
“Baguslah, hati-hati saja ingat tujuanmu pergi ke kota ini untuk apa, hal-hal yang tidak perlu kamu uruskan, tinggalkan saja secepatnya...”
Ucapan Mak Amih sontak membuat Parman terdiam, Nenek tua dengan pakaian lusuh itu seolah memahami apa saja yang sedang menimpa Parman ketika masuk ke dalam kamar yang sekarang pintunya terbuka lebar, membuat Parman hanya menatap kosong ke arah gudang yang sudah terdapat sepeda, sebelumnya yang diperbaiki Darman.
Tanpa Parman sadari, mulut Mak Amih seperti akan berbicara lagi sudah terbuka dengan perlahan, namun kedua bola matanya tiba-tiba melotot ke arah kamar, kemudian menundukan kepalanya, dan langsung berjalan tergesa-gesa dengan menyeret satu kakinya yang tidak normal itu.
“Kenapa kaki Mak Amih? Pantas saja jalannya diseret!” ucap Parman semakin penasaran pada Nenek tua sambil masuk kembali ke dalam kamarnya.
Padahal sebelumnya Parman masih ingat bahwa Mak Amih biasanya datang ke rumah ini pagi hari sesuai yang Darman katakan, dan itu menjadi pertanyaan besar Parman kenapa Mak Amih datang menemuinya malam ini.
Dengan perlahan Parman mengeluarkan pakaian yang ia bawa setelah masuk ke dalam kamar, dengan sengaja membuka pintu kamarnya itu dengan harapan akan ada beberapa penghuni kosan yang pulang, walau kamar yang ia tempati berada di paling belakang setidaknya ia dapat melihat jelas ke arah depan rumah.
Handuk sudah tersampai di bahu Parman, sambil jari-jarinya itu mengetik perlahan sebuah pesan yang akan ia kirimkan kepada Ibunya di kampung halaman.
“Bu, maaf Parman baru dapat kirim kabar, alhamdulillah ini sudah dapat tempat singgah sementara di sebuah kosan, gratis. Tapi Parman mulai besok mengurus kebun dan menjaga kosan ini, doakan yah Bu.”
Baru saja pesan itu dibaca ulang oleh Parman, ujung mata Parman seperti melihat ada yang memperhatikannya dari arah cermin.
“Ah mungkin ketakutan aku saja! Harusnya aku bersyukur bisa dapat tempat ini!” tegasnya langsung berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi di luar kamar, berusaha membuang segala kejanggalan walau setengah diri dan perasaannya menolak hal itu.
...
Selesai mandi dengan keadaan tubuh jauh lebih segar, sebuah sajadah yang Parman keluarkan dalam tasnya sudah terhampar menghadap kiblat, yang kebetulan kiblatnya berada tepat menghadap lemari dan membelakangi pintu kamar.
“Masih kotor, besok saja aku pel... mungkin suasana jadi menakutkan karena kotor,” bisik hatinya, sambil melihat ke arah atap kamar.
Sajadah yang berada tepat di samping ranjang kayu yang sudah berusia tua itu menjadi tempat Parman melaksanakan shalat, walau anehnya Parman merasa tubuhnya itu seketika merasakan panas dan kembali mengeluarkan keringat, padahal belum lama ia selesai mandi.
Tiga rakaat shalat sudah Parman jalankan, hingga ia sekarang sudah duduk diantara dua sujud rakaat terakhir, dengan tubuhnya yang kembali di banjiri keringat.
Krekeettt!
Tanpa ada angin yang menghantam pintu kamar, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya, membuat Parman membaca doa tahiyat akhir dengan cepat.
“Assalamualaikum warahmatullah..”
Tiba-tiba ada suara perempuan di belakang telinga Parman dan menjawab salamnya, dengan suara seperti menahan sakit.
Parman langsung berbalik badan dengan cepat, hingga membuat sajadahnya berantakan dengan seketika.
“Siapa!” tegas Parman.
Sama sekali Parman tidak mendapatkan wujud dari suara yang menjawab salamnya barusan, bahkan keringat sudah hampir menutupi kedua matanya yang langsung ia usap berkali-kali, membuat nafasnya ngos-ngosan.
“Tumben kamar puluhan tahun kosong ada yang buka!”
“Halah kamu tau dari mana?”
Seketika Parman mendengar percakapan dari arah dapur, membuat dirinya sedikit lega, setidaknya mengurangi rasa takut yang sudah berkumpul menjadi satu dalam dirinya, apalagi jawaban ucapan salam itu sangat jelas dan ia masih ingat dengan suara perempuan penuh kesakitan barusan.
“Lah! Darman bukannya pernah cerita!”
“Ah sudahlah! Kata Mak Amih kasihan anak baru itu!”
Dua orang penghuni kosan itu awalnya akan Parman datangi untuk sekedar berkenalan dan menanyakan cerita Darman tersebut, namun ia urungkan karena masih belum bisa beranjak dari duduknya, apalagi malam sudah semakin larut.
“Mak belum juga membalas pesan, bagaimana kondisi Abah,” bisik Parman dalam hati seketika ingat pada orang tuanya di kampung halaman, beberapa kali ia melihat ke arah handphone, namun belum ada keberanian ia untuk menceritakan semua pada Ibunya tersebut.
Tubuh Parman sudah terbaring diatas kasur yang masih memiliki sedikit debu-debu, bahkan ketika melihat ke arah jam dinding yang menempel di atas cermin, jam itu seperti sudah lama tidak menyala, membuat Parman perlahan memejamkan matanya, mencoba melawan rasa takut yang ia alami di malam pertama menempati kamar tersebut.
“Kalau memang persinggahan aku di kamar ini salah, tolong segera tunjukan,” ucap Parman dalam hati, sambil memejamkan matanya karena ia tidak ingin larut dalam ketakutan dan membenarkan perkataan Mak Amih– agar ingat tujuannya datang ke kota ini untuk menuntut ilmu di bangku perkuliahan.
Beberapa kali Parman berguling ke kanan dan ke kiri, mengalihkan pandangan matanya ke arah cermin dan atap kamar secara bergantian, tanpa ia sadari dibawah ranjang itu terlihat rambut panjang yang terurai di atas lantai keramik, bahkan ketika ia mencoba berdiri untuk menyimpan handphone ke atas meja cermin, hampir saja rambut itu terinjaknya.
***
Diubah oleh qwertyping 31-08-2023 13:32
![ariefdias](https://s.kaskus.id/user/avatar/2016/09/13/default.png)
![pulaukapok](https://s.kaskus.id/user/avatar/2020/06/13/avatar10874794_1.gif)
![69banditos](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/03/30/avatar11017038_1.gif)
69banditos dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas