- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kisah horor penyebaran agama Kristen di Batak. Dari suku kanibal hingga patung Jesus


TS
kangjati
Kisah horor penyebaran agama Kristen di Batak. Dari suku kanibal hingga patung Jesus

Penyebaran sebuah agama pada suatu kaum pasti umumnya menuai pertentangan pada penduduk lokal yang dimana masih menganut kepercayaan lain.

Seperti sejarah penyebaran agama Kristen di Batak, dimana disana dikisahi dengan kisah-kisah mengerikan.


Seperti sejarah penyebaran agama Kristen di Batak, dimana disana dikisahi dengan kisah-kisah mengerikan.

Quote:

Kisah horor mewarnai penyebaran agama Kristen di Batak. Dua orang misionaris asal AS saat masuk ke daerah itu dibantai. Tubuhnya direbus lalu dimakan ramai-ramai.
Sungguh tragis nasib dua misionaris Gereja Baptis Boston (AS), Samuel Munson (29) dan Henry Lyman (24), yang meninggalkan negaranya demi mengabarkan Injil di Lembah Silindung, Tapanuli Utara (Sumut).
Keduanya berangkat dari Sibolga dengan berjalan kaki melalui hutan belantara dan bukit-bukit terjal. Pada hari keenam perjalanan, sekelompok orang berwajah bengis membantai Munson dan Lyman. Tidak hanya dibantai, tubuh mereka juga dimakan beramai-ramai.
Peristiwa itu terjadi 28 Juni 1834 di Sisangkak, Lobupinang, sekitar 20 km sebelah barat kota Tarutung, Sumatera Utara. "Jauh sebelumnya, Raja Panggalamei Lumbantobing memerintahkan pasukannya membunuh setiap sibontar mata (orang Barat) yang memasuki daerah ini," kata Binner Lumbantobing (59), pemandu wisata di monumen Munson dan Lyman di Lobupinang beberapa waktu lalu. Binner mengaku generasi keenam dari leluhurnya Raja Panggalamei.
Atas perintah itu tidak ada ampun bagi Munson dan Lyman. "Mayatnya dipertontonkan di pasar. Kemudian dicincang dan sebagian lagi direbus. Setelah itu dimakan beramai-ramai. Tulang belulangnya dibuang ke tempat sampah itu," kata Binner, menunjuk sebuah batu hitam setinggi satu meter.
Serombongan warga AS membawa batu hitam tersebut dalam memperingati 100 tahun terbunuhnya Munson dan Lyman, 28 Juni 1934. Pada batu tertulis dalam bahasa Jerman, "darah martir adalah benih gereja Kristus."
“Daerah Batak merdeka”
Ikhwal kelompok suku kanibal yang gemar berperang dan perbudakan di dataran tinggi pedalaman Sumatera Utara, disebut dalam berbagai laporan perjalanan orang Eropa maupun Timur Tengah. Termasuk di antaranya Marco Polo yang singgah di pesisir timur Sumatera, April-September 1292.
Thomas Stamford Raffles, gubernur Inggris di Bengkulu (1818 -1824), mencatat kelompok suku di pedalaman Sumatera Utara yang gemar memakan daging mentah tawanan yang masih hidup. Oscar von Kessel adalah orang Eropa pertama yang pernah mengamati ritual kanibalisme di Silindung pada 1844.
Pejabat kolonial Belanda di Sibolga sempat menyarankan agar Munson dan Lyman menunda perjalanan ke lembah Silindung, karena situasi keamanan yang rawan dan sangat berbahaya bagi orang asing. Daerah kelompok suku liar ini tertutup rapat selama berabad-abad dan di luar kekuasaan kolonial. Belanda menyebutnya “daerah Batak merdeka” (De Onafhankelijke Bataklanden).
Munson dan Lyman tetap melanjutkan perjalanan dengan keyakinan, mereka datang bukan sebagai musuh, tetapi kawan yang membawa Injil dan perdamaian. Tetapi sekelompok orang bersenjata yang mengepungnya tidak mengerti apa yang diucapkan kedua misionaris. Mereka tewas dibantai sebelum mencapai Lembah Silindung yang diimpikannya.
Koalisi pedang dan Injil
Apa yang diimpikan Munson dan Lyman akhirnya terwujud 29 tahun kemudian. Ingwer Ludwig Nommensen, penginjil dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) Jerman, berhasil menginjakkan kaki di Siatasbarita, bukit yang berada di atas lembah Silindung, 11 November 1863. Tidak seperti pendahulunya, Nomensen lebih dulu mempersiapkan diri dengan menguasai bahasa dan adat Batak.
Dari sebuah gubuk sederhana di Saitnihuta, Tarutung, Nomensen mengenalkan Injil, pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga pertukangan, kepada penduduk setempat. Ia tidak goyah walaupun beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan. Atas permintaan sahabatnya, Raja Pontas Lumbantobing, ia pindah ke Pearaja, sekitar 4 km dari Saitnihuta.
Namun dalam perjalanan waktu, Nomensen melihat Sisingamangaraja XII sebagai kendala dalam Kristenisasi di Tanah Batak. Terutama karena kokohnya kepercayaan penduduk pada agama suku yang terpusat pada Sisingamangaraja XII sebagai raja imam.
Pemimpin suku Batak itu sendiri sangat dekat hubungannya dengan Aceh. Maka untuk mempercepat Kristenisasi dan membendung pengaruh Aceh, pemerintah kolonial Belanda harus segera menganeksasi Tanah Batak.
Awal 1878, Nomensen berulang kali meminta gubernur Belanda di Sumatera agar mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sisingamangaraja XII dan menganeksasi Silindung dan Toba. Ia meyakinkan penguasa kolonial bahwa orang Batak Kristen adalah sahabat sejati Belanda.
Belanda memenuhi permintaan tersebut. Nomensen menyambut pasukan pertama dari Sibolga yang tiba di Pearaja (Tarutung) , 6 Februari 1878. Dalam bukunya “Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba,” Dr Uli Korzok menulis, pengiriman pasukan tersebut menunjukkan terbentuknya “koalisi pedang dan injil” antara pemerintah kolonial Belanda dengan zending RMG. Peristiwa ini menyulut pecahnya Perang Toba I (1878 – 1893), perang perlawanan Sisingamangaraja XII melawan kekuasaan kolonial Belanda di Tanah Batak.
Dalam bukunya, peneliti bahasa dan budaya asal Jerman tersebut memaparkan laporan bulanan yang ditulis penginjil Nomensen dan rekan-rekannya untuk kantor pusat misi RMG di Jerman. Laporan-laporan tersebut dimuat di majalah Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft(BRMG). Ada sekitar 10.000 halaman yang ditulis oleh para penginjil RMG di Tanah Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah penginjilannya. Semua laporan tersebut tersimpan di kantor pusat RMG.
Bumi hangus
Dalam laporan yang dimuat majalah BRMG 1878 (12): 361-381, Nomensen menulis, sesudah pasukan Kolonel Engel tiba di Bahal Batu, kami mulai menyerang. Yang pertama diserang adalah Butar. Lima kampung dibakar. Di Naga Saribu, enam kampung dibakar karena menolak menyerah.
Bersama milisi Kristen yang dipersenjatai, Nomensen bertindak sebagai penerjemah dan pemandu operasi militer Belanda menuju target serangan. Ia juga bertindak sebagai mediator membujuk para raja dan pengikutnya agar menyerah dan tunduk kepada Belanda. Jika menolak, kampung-kampung mereka akan dibakar hingga rata dengan tanah. Sejak itu Toba berubah menjadi lautan api.
Dalam penyerangan ke Bakara, pusat kekuasaan dinasti Sisingamangaraja, Nomensen menulis, penduduk kampung-kampung itu melawan dengan gigih. Tidak ada suatu tindakan yang dilakukan tergesa-gesa sehingga tampak jelas mereka tidak takut.
“Hari berikutnya serdadu berangkat pagi-pagi sekali untuk menaklukkan kampung-kampung lainnya yang berjumlah sekitar 30-40 kampung yang langsung dibakar.”
“Jerit-tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema di seluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg memintanya agar jangan terlalu cepat membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan meyakinkan mereka supaya menyerah dan tunduk pada Belanda,” tulis Nomensen dalam laporannya ke kantor pusat zending RMG.
Pada hari keempat, tulis Nomensen, kami meninggalkan Bakara setelah serdadu lebih dulu membakar kampung-kampung yang kami tempati. Di Gurgur, hampir semua kampung dibakar karena membiarkan musuh menembaki kami di wilayahnya. Operasi bumi hangus ini berlanjut di Muara, Balige, Lintong ni Huta, Laguboti, Porsea, dan seterusnya.
Akibat gawatnya operasi militer Belanda, banyak penduduk meninggalkan Tanah Batak. Mereka pindah ke daerah lain yang lebih aman. Di Silindung, jumlah pengungsi asal Toba membludak. Mereka beramai-ramai mendaftar masuk agama Kristen. Mereka tahu Belanda tidak akan membakar rumah orang-orang Kristen. Seperti dikemukakan Nomensen, orang Batak Kristen adalah sahabat setia Belanda.
Strategi Nomensen melalui “koalisi pedang dan injil” terbukti ampuh. Proses Kristenisasi berjalan ekspres dan aman sejak tegaknya kekuasaan kolonial Belanda di Tanah Batak. Contohnya, setahun setelah tiba di Silindung (1865), misalnya, Nomensen hanya berhasil membabtis satu orang Batak. Setelah 7 tahun jumlahnya 1.250 jiwa.
Sepuluh tahun kemudian (1881) –saat Perang Toba I (1878-1881) berlangsung 3 tahun– jumlahnya naik lima kali lipat, 6.250 jiwa. Pada 1918, atau 11 tahun setelah Sisingamangaraja XII tewas, jumlahnya orang yang masuk Kristen di wilayah kerja RMG di Sumatera Utara meroket menjadi 185.731 jiwa.
Nomensen menyebut hal tersebut sebagai rahmat Tuhan. Tetapi ia sendiri ragu apakah orang-orang tersebut akan benar-benar menjadi seorang Kristen.
Kota wisata “roh halus”
Terlepas dari kontroversi perannya dalam menyulut Perang Toba I, Nomensen adalah pelopor kebangkitan suku Batak Toba dari keterasingan, kebodohan, dan keterbelakangan. Dari suku liar yang gemar berperang dan kanibal berubah menjadi kelompok suku yang melahirkan profesor, doktor, pengacara, jenderal, menteri, pengusaha, tukang tambal, rentenir, artis, penyanyi, tokoh kriminal, dan seterusnya.
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang dibangun Nomensen dan berkantor pusat di Pearaja, kini menaungi 3.139 gereja yang tersebar di dalam maupun luar negeri, dengan lima juta jemaat. Ini menempatkan HKBP sebagai organisasi keagamaan ketiga terbesar di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah.
Nomensen meninggal dalam usia 84 tahun di Sigumpar, Toba Samosir, 23 Mei 1918. Untuk mengenang jasanya, pemda membangun lokasi pertama Nomensen di Siatasbarita menjadi tempat kunjungan wisata rohani. Lengkap dengan patung Nomensen dan salib setinggi 20 meter. Areal ini dinamakan Salib Kasih. Kota Tarutung sendiri yang terletak di Lembah Silindung, berbenah dan mendapat predikat baru sebagai kota wisata rohani.
Tidak hanya itu, agar lebih meriah sebagai kota wisata rohani, pemda membangun patung Jesus setinggi 42 meter, dengan dana APBD 2013 sebesar Rp6,2 miliar. Lokasinya di Pea Tolong, tidak jauh dari Salib Kasih.
Masyarakat Taput menyambutnya antusias dan bangga. Penduduk Taput saat ini 324.000 jiwa, termasuk Tarutung (42.000 jiwa). Lebih 90 persen menganut Nasrani.
Celakanya, patung yang rencananya akan diresmikan Desember 2013, ternyata harus dihentikan di tengah jalan akibat penyimpangan yang merugikan negara sebesar Rp2,5 miliar. Dalam kasus ini, pengadilan Tipikor Medan (8/8/2017), memvonis dua terdakwa , kontraktor proyek dan pejabat pemda, masing-masing 15 bulan penjara.
Masyarakat Taput sendiri menjadi apatis setelah lima tahun tidak melihat ada kegiatan menyelesaikan pembangunan patung tersebut. Harapan dan rasa bangga bahwa patung tersebut akan menjadi ikon Tarutung sebagai kota wisata rohani, kandas ke dasar jurang.
"Jesus tidak hanya dianiaya semasa hidupnya. Patungnya juga ‘dianiaya’ di Tarutung,” kata Jannes Simorangkir (68), pengusaha tenun ulos di Tarutung, yang pernah mendapat penghargaan Upakarti dari pemerintah RI.
Ironisnya, setiap orang memandang dari Tarutung ke Siatasbarita, yang tampak adalah kerangka besi yang berdiri tegak nun jauh di atas puncak bukit. Ia seolah menjadi "monumen" kerusakan akhlak dan erosi kepercayaan.
Hanya di Tarutung yang pernah terjadi di dunia, pembangunan patung Jesus tidak diselesaikan akibat korupsi, kata seorang ibu di Pearaja. “Tarutung kini bukan kota wisata rohani, tetapi kota wisata roh halus,” ujarnya.
Masyarakat Kristen sendiri di Tapanuli Utara dan Toba serta para perantau tidak merasa terpanggil menyelesaikan patung tersebut secara gotong royong. Karena kewajiban moralnya adalah membangun tugu dan patung megah leluhurnya, seperti banyak kita saksikan di Tanah Batak.
Lebih satu abad lalu Nomensen ragu apakah membludaknya orang masuk Kristen akan benar-benar menjadi Kristen. Sebagai orang yang menguasai bahasa dan adat Batak, ia tentu melihat melihat masih dominannya nilai budaya masa silam –hamoraon, hasangapon, dan hagabeon– yang disebutnya sebagai tiga dosa yang bertentangan dengan dogma Kristen, yakni kasih.
Terbukti kemudian nilai budaya tersebut mengubah persepsi terhadap gereja. Tidak lagi dilihat semata-mata rumah Tuhan, tetapi pentas memamerkan kekayaan dalam bentuk busana, perhiasan emas dan permata, serta mobil mewah.
Jabatan pengurus gereja juga bukan bentuk pengabdian, tetapi sumber ekonomi dan status sosial. Dengan sendirinya politik uang, teror, bahkan kekerasan, kerap muncul dalam setiap pemilihan pengurus baru di banyak gereja HKBP. Bahkan organisasi keagamaan warisan Nomensen ini berulang kali mengalami perpecahan. Tetapi HKBP tetap kokoh karena mewakili identitas suku Batak.
Keduanya berangkat dari Sibolga dengan berjalan kaki melalui hutan belantara dan bukit-bukit terjal. Pada hari keenam perjalanan, sekelompok orang berwajah bengis membantai Munson dan Lyman. Tidak hanya dibantai, tubuh mereka juga dimakan beramai-ramai.
Peristiwa itu terjadi 28 Juni 1834 di Sisangkak, Lobupinang, sekitar 20 km sebelah barat kota Tarutung, Sumatera Utara. "Jauh sebelumnya, Raja Panggalamei Lumbantobing memerintahkan pasukannya membunuh setiap sibontar mata (orang Barat) yang memasuki daerah ini," kata Binner Lumbantobing (59), pemandu wisata di monumen Munson dan Lyman di Lobupinang beberapa waktu lalu. Binner mengaku generasi keenam dari leluhurnya Raja Panggalamei.
Atas perintah itu tidak ada ampun bagi Munson dan Lyman. "Mayatnya dipertontonkan di pasar. Kemudian dicincang dan sebagian lagi direbus. Setelah itu dimakan beramai-ramai. Tulang belulangnya dibuang ke tempat sampah itu," kata Binner, menunjuk sebuah batu hitam setinggi satu meter.
Serombongan warga AS membawa batu hitam tersebut dalam memperingati 100 tahun terbunuhnya Munson dan Lyman, 28 Juni 1934. Pada batu tertulis dalam bahasa Jerman, "darah martir adalah benih gereja Kristus."
“Daerah Batak merdeka”
Ikhwal kelompok suku kanibal yang gemar berperang dan perbudakan di dataran tinggi pedalaman Sumatera Utara, disebut dalam berbagai laporan perjalanan orang Eropa maupun Timur Tengah. Termasuk di antaranya Marco Polo yang singgah di pesisir timur Sumatera, April-September 1292.
Thomas Stamford Raffles, gubernur Inggris di Bengkulu (1818 -1824), mencatat kelompok suku di pedalaman Sumatera Utara yang gemar memakan daging mentah tawanan yang masih hidup. Oscar von Kessel adalah orang Eropa pertama yang pernah mengamati ritual kanibalisme di Silindung pada 1844.
Pejabat kolonial Belanda di Sibolga sempat menyarankan agar Munson dan Lyman menunda perjalanan ke lembah Silindung, karena situasi keamanan yang rawan dan sangat berbahaya bagi orang asing. Daerah kelompok suku liar ini tertutup rapat selama berabad-abad dan di luar kekuasaan kolonial. Belanda menyebutnya “daerah Batak merdeka” (De Onafhankelijke Bataklanden).
Munson dan Lyman tetap melanjutkan perjalanan dengan keyakinan, mereka datang bukan sebagai musuh, tetapi kawan yang membawa Injil dan perdamaian. Tetapi sekelompok orang bersenjata yang mengepungnya tidak mengerti apa yang diucapkan kedua misionaris. Mereka tewas dibantai sebelum mencapai Lembah Silindung yang diimpikannya.
Koalisi pedang dan Injil
Apa yang diimpikan Munson dan Lyman akhirnya terwujud 29 tahun kemudian. Ingwer Ludwig Nommensen, penginjil dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) Jerman, berhasil menginjakkan kaki di Siatasbarita, bukit yang berada di atas lembah Silindung, 11 November 1863. Tidak seperti pendahulunya, Nomensen lebih dulu mempersiapkan diri dengan menguasai bahasa dan adat Batak.
Dari sebuah gubuk sederhana di Saitnihuta, Tarutung, Nomensen mengenalkan Injil, pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga pertukangan, kepada penduduk setempat. Ia tidak goyah walaupun beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan. Atas permintaan sahabatnya, Raja Pontas Lumbantobing, ia pindah ke Pearaja, sekitar 4 km dari Saitnihuta.
Namun dalam perjalanan waktu, Nomensen melihat Sisingamangaraja XII sebagai kendala dalam Kristenisasi di Tanah Batak. Terutama karena kokohnya kepercayaan penduduk pada agama suku yang terpusat pada Sisingamangaraja XII sebagai raja imam.
Pemimpin suku Batak itu sendiri sangat dekat hubungannya dengan Aceh. Maka untuk mempercepat Kristenisasi dan membendung pengaruh Aceh, pemerintah kolonial Belanda harus segera menganeksasi Tanah Batak.
Awal 1878, Nomensen berulang kali meminta gubernur Belanda di Sumatera agar mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sisingamangaraja XII dan menganeksasi Silindung dan Toba. Ia meyakinkan penguasa kolonial bahwa orang Batak Kristen adalah sahabat sejati Belanda.
Belanda memenuhi permintaan tersebut. Nomensen menyambut pasukan pertama dari Sibolga yang tiba di Pearaja (Tarutung) , 6 Februari 1878. Dalam bukunya “Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba,” Dr Uli Korzok menulis, pengiriman pasukan tersebut menunjukkan terbentuknya “koalisi pedang dan injil” antara pemerintah kolonial Belanda dengan zending RMG. Peristiwa ini menyulut pecahnya Perang Toba I (1878 – 1893), perang perlawanan Sisingamangaraja XII melawan kekuasaan kolonial Belanda di Tanah Batak.
Dalam bukunya, peneliti bahasa dan budaya asal Jerman tersebut memaparkan laporan bulanan yang ditulis penginjil Nomensen dan rekan-rekannya untuk kantor pusat misi RMG di Jerman. Laporan-laporan tersebut dimuat di majalah Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft(BRMG). Ada sekitar 10.000 halaman yang ditulis oleh para penginjil RMG di Tanah Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah penginjilannya. Semua laporan tersebut tersimpan di kantor pusat RMG.
Bumi hangus
Dalam laporan yang dimuat majalah BRMG 1878 (12): 361-381, Nomensen menulis, sesudah pasukan Kolonel Engel tiba di Bahal Batu, kami mulai menyerang. Yang pertama diserang adalah Butar. Lima kampung dibakar. Di Naga Saribu, enam kampung dibakar karena menolak menyerah.
Bersama milisi Kristen yang dipersenjatai, Nomensen bertindak sebagai penerjemah dan pemandu operasi militer Belanda menuju target serangan. Ia juga bertindak sebagai mediator membujuk para raja dan pengikutnya agar menyerah dan tunduk kepada Belanda. Jika menolak, kampung-kampung mereka akan dibakar hingga rata dengan tanah. Sejak itu Toba berubah menjadi lautan api.
Dalam penyerangan ke Bakara, pusat kekuasaan dinasti Sisingamangaraja, Nomensen menulis, penduduk kampung-kampung itu melawan dengan gigih. Tidak ada suatu tindakan yang dilakukan tergesa-gesa sehingga tampak jelas mereka tidak takut.
“Hari berikutnya serdadu berangkat pagi-pagi sekali untuk menaklukkan kampung-kampung lainnya yang berjumlah sekitar 30-40 kampung yang langsung dibakar.”
“Jerit-tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema di seluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg memintanya agar jangan terlalu cepat membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan meyakinkan mereka supaya menyerah dan tunduk pada Belanda,” tulis Nomensen dalam laporannya ke kantor pusat zending RMG.
Pada hari keempat, tulis Nomensen, kami meninggalkan Bakara setelah serdadu lebih dulu membakar kampung-kampung yang kami tempati. Di Gurgur, hampir semua kampung dibakar karena membiarkan musuh menembaki kami di wilayahnya. Operasi bumi hangus ini berlanjut di Muara, Balige, Lintong ni Huta, Laguboti, Porsea, dan seterusnya.
Akibat gawatnya operasi militer Belanda, banyak penduduk meninggalkan Tanah Batak. Mereka pindah ke daerah lain yang lebih aman. Di Silindung, jumlah pengungsi asal Toba membludak. Mereka beramai-ramai mendaftar masuk agama Kristen. Mereka tahu Belanda tidak akan membakar rumah orang-orang Kristen. Seperti dikemukakan Nomensen, orang Batak Kristen adalah sahabat setia Belanda.
Strategi Nomensen melalui “koalisi pedang dan injil” terbukti ampuh. Proses Kristenisasi berjalan ekspres dan aman sejak tegaknya kekuasaan kolonial Belanda di Tanah Batak. Contohnya, setahun setelah tiba di Silindung (1865), misalnya, Nomensen hanya berhasil membabtis satu orang Batak. Setelah 7 tahun jumlahnya 1.250 jiwa.
Sepuluh tahun kemudian (1881) –saat Perang Toba I (1878-1881) berlangsung 3 tahun– jumlahnya naik lima kali lipat, 6.250 jiwa. Pada 1918, atau 11 tahun setelah Sisingamangaraja XII tewas, jumlahnya orang yang masuk Kristen di wilayah kerja RMG di Sumatera Utara meroket menjadi 185.731 jiwa.
Nomensen menyebut hal tersebut sebagai rahmat Tuhan. Tetapi ia sendiri ragu apakah orang-orang tersebut akan benar-benar menjadi seorang Kristen.
Kota wisata “roh halus”
Terlepas dari kontroversi perannya dalam menyulut Perang Toba I, Nomensen adalah pelopor kebangkitan suku Batak Toba dari keterasingan, kebodohan, dan keterbelakangan. Dari suku liar yang gemar berperang dan kanibal berubah menjadi kelompok suku yang melahirkan profesor, doktor, pengacara, jenderal, menteri, pengusaha, tukang tambal, rentenir, artis, penyanyi, tokoh kriminal, dan seterusnya.
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang dibangun Nomensen dan berkantor pusat di Pearaja, kini menaungi 3.139 gereja yang tersebar di dalam maupun luar negeri, dengan lima juta jemaat. Ini menempatkan HKBP sebagai organisasi keagamaan ketiga terbesar di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah.
Nomensen meninggal dalam usia 84 tahun di Sigumpar, Toba Samosir, 23 Mei 1918. Untuk mengenang jasanya, pemda membangun lokasi pertama Nomensen di Siatasbarita menjadi tempat kunjungan wisata rohani. Lengkap dengan patung Nomensen dan salib setinggi 20 meter. Areal ini dinamakan Salib Kasih. Kota Tarutung sendiri yang terletak di Lembah Silindung, berbenah dan mendapat predikat baru sebagai kota wisata rohani.
Tidak hanya itu, agar lebih meriah sebagai kota wisata rohani, pemda membangun patung Jesus setinggi 42 meter, dengan dana APBD 2013 sebesar Rp6,2 miliar. Lokasinya di Pea Tolong, tidak jauh dari Salib Kasih.
Masyarakat Taput menyambutnya antusias dan bangga. Penduduk Taput saat ini 324.000 jiwa, termasuk Tarutung (42.000 jiwa). Lebih 90 persen menganut Nasrani.
Celakanya, patung yang rencananya akan diresmikan Desember 2013, ternyata harus dihentikan di tengah jalan akibat penyimpangan yang merugikan negara sebesar Rp2,5 miliar. Dalam kasus ini, pengadilan Tipikor Medan (8/8/2017), memvonis dua terdakwa , kontraktor proyek dan pejabat pemda, masing-masing 15 bulan penjara.
Masyarakat Taput sendiri menjadi apatis setelah lima tahun tidak melihat ada kegiatan menyelesaikan pembangunan patung tersebut. Harapan dan rasa bangga bahwa patung tersebut akan menjadi ikon Tarutung sebagai kota wisata rohani, kandas ke dasar jurang.
"Jesus tidak hanya dianiaya semasa hidupnya. Patungnya juga ‘dianiaya’ di Tarutung,” kata Jannes Simorangkir (68), pengusaha tenun ulos di Tarutung, yang pernah mendapat penghargaan Upakarti dari pemerintah RI.
Ironisnya, setiap orang memandang dari Tarutung ke Siatasbarita, yang tampak adalah kerangka besi yang berdiri tegak nun jauh di atas puncak bukit. Ia seolah menjadi "monumen" kerusakan akhlak dan erosi kepercayaan.
Hanya di Tarutung yang pernah terjadi di dunia, pembangunan patung Jesus tidak diselesaikan akibat korupsi, kata seorang ibu di Pearaja. “Tarutung kini bukan kota wisata rohani, tetapi kota wisata roh halus,” ujarnya.
Masyarakat Kristen sendiri di Tapanuli Utara dan Toba serta para perantau tidak merasa terpanggil menyelesaikan patung tersebut secara gotong royong. Karena kewajiban moralnya adalah membangun tugu dan patung megah leluhurnya, seperti banyak kita saksikan di Tanah Batak.
Lebih satu abad lalu Nomensen ragu apakah membludaknya orang masuk Kristen akan benar-benar menjadi Kristen. Sebagai orang yang menguasai bahasa dan adat Batak, ia tentu melihat melihat masih dominannya nilai budaya masa silam –hamoraon, hasangapon, dan hagabeon– yang disebutnya sebagai tiga dosa yang bertentangan dengan dogma Kristen, yakni kasih.
Terbukti kemudian nilai budaya tersebut mengubah persepsi terhadap gereja. Tidak lagi dilihat semata-mata rumah Tuhan, tetapi pentas memamerkan kekayaan dalam bentuk busana, perhiasan emas dan permata, serta mobil mewah.
Jabatan pengurus gereja juga bukan bentuk pengabdian, tetapi sumber ekonomi dan status sosial. Dengan sendirinya politik uang, teror, bahkan kekerasan, kerap muncul dalam setiap pemilihan pengurus baru di banyak gereja HKBP. Bahkan organisasi keagamaan warisan Nomensen ini berulang kali mengalami perpecahan. Tetapi HKBP tetap kokoh karena mewakili identitas suku Batak.
Semoga dengan kisah ini kita dapat lebih bersyukur karena kita sudah mempunyai kepercayaan yang sudah diperjuangkan oleh pembuka agama masing-masing

Semoga threat ane bermanfaat.

Quote:


Jangan lupa rate bintang 5, tinggalin komentar dan bersedekah sedikit cendol buat ane dan ane doain agan makin ganteng dan cantik deh

SUMUR :
Beritagar.id
Quote:
Jangan lupa kunjungi thread ane yang lain gan 
Mencari pengganti Mourinho
Jangan mudah percaya endorsement selebritas
Perantau di Jakarta berisiko alami kegemukan
Kenapa orang batal menikah
85 Jejak kaki dinosaurus ditemukan di Inggris
Mainan terbaik untuk anak menurut para ahli
Nih arti adegan tambahan dalam film Aquaman
Helium dan bahaya yang mengintai
Yang perlu ente tahu tentang sayur kol~
Semut drakula terpilih jadi hewan tercepat di dunia


Mencari pengganti Mourinho
Jangan mudah percaya endorsement selebritas
Perantau di Jakarta berisiko alami kegemukan
Kenapa orang batal menikah
85 Jejak kaki dinosaurus ditemukan di Inggris
Mainan terbaik untuk anak menurut para ahli
Nih arti adegan tambahan dalam film Aquaman
Helium dan bahaya yang mengintai
Yang perlu ente tahu tentang sayur kol~
Semut drakula terpilih jadi hewan tercepat di dunia

Diubah oleh kangjati 21-12-2018 04:23
1
4.8K
Kutip
2
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan