Adalah
Business Insider, yang pertama mempublikasikan tulisan tersebut. Cokelat yang dimaksud adalah hasil dari pohon kakao. Tulisan itu mengklaim bahwa pohon kakao akan punah pada 2050.
Informasi tersebut
bersumber darilaporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Impacts, Adaptation, and Vulnerability 2014, yang menyimpulkan (Tabel 9-5, hal. 627) bahwa dalam skenario bisnis seperti biasa dari emisi karbon masa depan, Ghana dan Pantai Gading akan mengalami kenaikan suhu 2,1 derajat Celsius. Juga tidak ada perubahan curah hujan.
Alhasil ini menciptakan kondisi terjadinya penurunan cukup besar lahan yang cocok untuk ditanami cokelat untuk produksi kakao di Ghana dan berkurang drastisnya--hampir total--lahan penanaman yang sesuai di Pantai Gading.
Kepunahan biologis, sebagaimana tersirat pada headline Business Insider mengacu pada kepunahan total spesies cokelat dari planet ini. Faktanya, itu jauh berbeda dari berkurangnya lahan yang cukup besar seperti yang dilaporkan oleh IPCC.
Lagipula, bahkan sebelum ilmuwan mempertimbangkan untuk menyebut tanaman kakao punah, harus ada minimal 50 tahun di mana tanaman cokelat ini tak nampak di manapun. Faktanya kini tidak demikian.
Di satu sisi, pohon kakao memang berisiko menjadi korban penyakit jamur dan perubahan iklim. Sebagai informasi, perubahan iklim dapat mengakibatkan banyak hal mulai dari meningkatkan banjir pesisir, hingga mendorong penyebaran penyakit yang ditularkan serangga.
Dinukil Scientific American, sebenarnya ancaman penyakit jamur pada tanaman kokoa bukan hal baru. pada 2010, Michael Moyer menulis tentang bagaimana penyebaran penyakit jamur menghancurkan pohon kakao di Amerika Tengah, habitat aslinya.
Para ilmuwan khawatir penyakit jamur ini bisa menjangkiti pohon kokoa di belahan lain dunia dan menimbulkan malapetaka serupa pada tanaman penghasil cokelat ini.
Masalahnya, tanaman kakao tergolong cukup sensitif. Situs National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menggambarkan betapa pohon kakao membutuhkan kondisi hutan hujan yang sangat spesifik: suhu yang cukup seragam, kelembapan tinggi, hujan lebat, tanah kaya nitrogen, dan perlindungan dari angin.
Kondisi yang paling sesuai ada di tiga negara, Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia.
Menilik data FAO, Pantai Gading merupakan produsen kakao terbesar di dunia. Rerata produksi kakao di negara tersebut sepanjang 2010 hingga 2016 adalah 1,45 juta ton per tahun.
Malah, pada tahun 2016 mencapai 1,47 juta ton. Ini menunjukkan adanya peningkatan.
Sementara Ghana berstatus sebagai produsen kakao terbesar kedua sejak tahun 2012. Sebelumnya, terbesar ketiga setelah Indonesia.
Pada periode 2010-2016 rerata pertumbuhan produksi kakao di Ghana adalah 5,7 persen per tahun. Tahun 2016 produksinya mencapai 858.720 ton.
Meski sempat mengalami penurunan produksi pada 2013, dari 879.348 ton menjadi 835.466 ton, angkanya stabil hingga 2016.
Indonesia adalah produsen kakao terbesar ketiga setelah Ghana. Tren produksi kakao periode 2010-2016 cenderung menurun, dari 844.626 ton tahun 2010 menjadi 639.138 ton pada tahun 2016.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, luas panen perkebunan kakao di Indonesia meski sempat naik pada tahun 2012 mencapai 1.852.900 hektare, kemudian trennya terus menurun hingga 1.709.284 hektare pada tahun 2015. Tahun 2016 naik 14.520 hektare dari tahun 2015.
Sedangkan produksi kakao--dalam bentuk biji kakao--periode 2010-2016 trennya menurun, dari 844.626 ton tahun 2010 menjadi 639.138 ton pada tahun 2016.
Dari ketiga negara penghasil kakao terbesar tersebut, terlihat bahwa tak ketiganya mengalami penurunan produksi pun luas lahan panen.
Memprediksi cokelat akan punah adalah sesuatu yang sifatnya prematur. Mengambil langkah antisipatif dengan melakukan upaya penyelamatan justru lebih produktif.
Seperti yang dilakukan produsen cokelat Mars lewat program Sustainability in a Generation-nya. Mereka bekerja sama dengan para ilmuwan, menyunting gen dan memodifikasi pohon kakao secara genetik agar dapat bertahan melawan penyakit jamur, serta dapat tumbuh dalam berbagai kondisi alam.
Patut juga dipertanyakan berapa harga cokelat yang harus dibayar oleh generasi mendatang, dan apakah modifikasi genetik dapat berperan dalam produksi cokelat pada masa depan.