Pertanyaan yang menarik, namun jawabannya mungkin lebih dari sekedar faktor agama. Ada sejarah peradaban yang panjang kenapa Jepang, Jerman dan Amerika cenderung lebih maju negaranya (setidaknya dilihat dari penguasaan ilmu dan teknologi).
Kapan-kapan ane akan membahas sejarah peradaban ini dengan lebih detil. Tak ada salahnya, sesekali kita bahas tema yang rada serius seperti tentang sejarah peradaban ini. Woke?
Namun ada sebuah studi tentang Katolik vs Protestan yang menunjukkan kesimpulan menarik : negara-negara yang mayoritasnya Protestan (Jerman, Amerika, Denmark, Norwegia) memang ternyata lebih makmur dibanding negara yang mayoritasnya Katolik (Italia, Portugal, Yunani dan Spanyol).
Mungkin itu ada hubungannya dengan premis terkenal dari
Max Weber berjudul Etika Protestan : agama ini memang lebih kompatibel dengan spirit kapitalisme, yang mendorong pemeluknya untuk hidup makmur.
Menjadi kaya itu juga ibadah, begitu salah satu doktrin dalam Etika Protestan.
Berbeda dengan Katolik yang mungkin cenderung konservatif, dan tidak mendorong pemeluknya untuk agresif mengejar kekayaan.
Banyak juga pendeta Katolik yang hanya bicara surga neraka, dan menganggap kaya itu dekat dengan setan. Kolot begitu. Samalah dengan sejumlah ustadz Islam yang konservatif dan melulu hanya bicara surga neraka plus hobi mengkafirkan orang lain. Semua agama selalu punya tipe pemeluk semacam ini.
Itulah mungkin kenapa sejumlah riset menunjukkan negara-negara Protestan lebih makmur dibanding negara mayoritas Katolik.
Dalam internal Islam sendiri kita mungkin menjumpai hal serupa. Perbedaan aliran (mazhab) atau ideologi Islam yang dianut bisa punya impak masif bagi kehidupan sosial ekonomi, bahkan kebijakan pembangunan ekonominya. Dalam jangka panjang ini akan berdampak signifikan bagi kemakmuran warganya.
Kontras yang paling mencengangkan mungkin perbandingan antara negara Saudi Arabia dengan Uni Emirates Arab. Keduanya negara Islam, sesama Arab dan sesama Kerajaan.
Namun kalau agan sista melihat bandara Dubai atau Abu Dhabi dan membandingkan dengan bandara Jeddah International (di Saudi Arabia), agan sista akan amat tertegun : betapa jauh bedanya.
Datanglah ke WC atau Toilet Bandara Jeddah, dan agan sista akan merasa seperti di toilet terminal Pulogadung yang jorok. Jujur ane sendiri suka shocked dengan fakta ini. Bagaimana bisa toilet di bandara sebuah negara yang jadi kiblat umat Islam sedunia bisa sedemkian kumuh.
(Dan jangan pernah anggap remeh kebersihan sebuah toilet. Sejumlah studi empirik menujukkan “level kebersihan toilet” sejatinya adalah cerminan mutu sebuah bangsa dalam mengelola ekonominya. Sama, kalau toilet kantor agan sista kumuh itu cerminan buruknya manajemen perusahaan agan sista).
Sebaliknya : datanglah ke Bandara Dubai, dan agan sista akan melihat betapa maju, BERSIH dan modern-nya pembangunan di Uni Emirates Arab.
Dubai (Fly Emirates) dan Abu Dhabi (Ettihad) memang cerita fenomenal. Dua kota di UEA ini adalah ikon kemajuan yang dramatis dan inovatif tentang kebangkitan ekonomi Arab Islam.
Nah, kenapa Uni Emirates Arab cenderung lebih sukses mengelola ekonomi negaranya dibanding Saudi Arabia? Mungkin ini ada korelasinya dengan ideologi Islam yang dianut.
Ideologi Islam Dubai dan Abu Dhabi cenderung lebih modern, toleran dan progresif. Sementara ideologi ekonomi Saudi Arabia kental diwarnai nilai-nilai Islam Wahabi yang sangat kolot dan konservatif.
Efeknya amat kentara : arah pembangunan ekonomi dua negara itu jadi amat berlainan.
Dan untuk menunjukkan perbedaannya cukup bandingkan Bandara Dubai dengan Bandara Jeddah International. Agan sista dijamin akan tercengang melihat perbedaan level kedua bandara ini.
Di Indonesia kita mungkin juga menjumpai hal serupa, dalam konteks organisasi Islam NU dan Muhammadiyah.
Meski sama-sama Islam, namun dilihat dari amal usaha ekonomi dan industri pendidikan, maka Muhammadiyah tampaknya jauh lebih masif karyanya dibanding NU.
Itu mungkin ada kaitannya dengan ideologi Muhammadiyah yang memang cenderung fokus pada kebangkitan ekonomi, pro saudagar, dan gigih membangun amal pendidikan modern yang progresif.
Ada kisah yang fenomenal tentang ideologi ekonomi Muhammadiyah ini. Datanglah ke Muhammadiyah di desa ane, Desa Pekajangan, sebuah desa kecil yang makmur di utara kota Pekalongan.
Muhammadiyah yang cuma selevel Desa ini sekarang memiliki satu rumah sakit umum yang maju, satu rumah sakit bersalin yang laris, universitas kesehatan terbaik di Jateng dan puluhan sekolah dari level SD hingga SMA.
Semuanya menghasilkan profit hingga Rp 10M per tahun yang kemudian 100% dikembalikan untuk manfaat umat. Itu semua hanya Muhammadiyah ukuran DESA.
Kalaulah banyak orang suka berteriak tentang kebangkitan umat, mungkin kiprah Muhamadiyah di desa ane itu adalah contoh terbaik wujud nyatanya. Best practice tentang Islam yang berkemajuan.
Iya, kebangkitan ekonomi Islam mungkin tidak bisa dibangun dengan unjuk rasa teriak-teriak di Jalanan, dan lalu mengisi headline koran-koran. Lengkap dengan tagline spirit blah-blah-blah.
Muhammadiyah di Desa Pekajangan menunjukkan membangun ekonomi umat Islam harus dengan karya nyata, bukan dengan takbir belaka disertai dengan kostum jubah dan sorban.